Selasa, 05 Agustus 2008

Bersatu Melawan Kunker


Wahyu Kuncoro SN
Peneliti Senior pada Public Sphere Center (PuSpeC)
Surabaya


Berbagai media, hari-hari ini mengekspos sikap berbagai elemen dalam masyarakat dari LSM, kalangan kampus, advokat, hingga politisi yang tengah menggalang kekuatan untuk menolak rencana kunjungan kerja yang akan dilakukan oleh DPRD Jatim.
Aksi penolakan ini demikian hebatnya sehingga sampai mengancam untuk melakukan sweeping terhadap anggota dewan. Melihat begitu dahsyatnya reaksi masyarakat terhadap rencana kunker tersebut mengindikasikan memang ada persoalan dengan rencana kunker tersebut.
Penolakan beberapa elemen dalam masyarakat terhadap kegiatan kunjungan kerja (kunker) baik yang dilakukan oleh kalangan eksekutif maupun legislatif sesungguhnya sudah menjadi hal yang lumrah terjadi. Reaksi tersebut sesungguhnya harus dibaca sebagai indikasi masih relatif berjalannya mekanisme kontrol dari masyarakat.
Lantaran itu, maraknya aksi mobilisasi massa untuk menentang kunker hendaknya dibaca secara wajar-wajar saja. Pun demikian pula dengan aksi penolakan yang dilakukan oleh kelompok yang menyebut sebagai 19 elemen masyarakat yang menuntut pembatalan rencana kunker DPRD Jatim 9 - 20 Mei mendatang.
Sebagai bagian dari masyarakat, memang sah-sah saja bila kelompok kritis masyarakat tersebut melakukan peran tersebut. Yang dibutuhkan kemudian adalah bahwa anggota DPRD harus secara elegan menjelaskan program tersebut.
Kunjungan kerja dianggap sebagai salah satu mekanisme untuk melakukan pembelajaran. Dalam kerangka pemahaman seperti ini maka dengan sendirinya siapa saja termasuk anggota DPRD Jatim boleh menjadikan kegiatan kunjungan kerja sebagai bagian dari pembelajaran diri.
Persoalan menjadi demikian rumit karena ternyata anggota DPRD tidak cerdas dalam menyikapi penolakan tersebut. Argumentasi bahwa program tersebut telah lama ditetapkan menjadi cermin betapa anggota DPRD tidak membiasakan diri untuk membuat program kerja (baca: kunker) yang memiliki basis argumentasi memadai.
Kunker yang sesungguhnya merupakan istilah yang positif telah berubah menjadi bermakna negatif. Bahkan kunker sudah dianggap dan disamakan dengan ngelencer. Terjadinya distorsi makna tersebut jelas tidak terjadi dengan serta merta. Namun merupakan akumulasi pemahaman dan buah dari perilaku dari para pejabat kita dalam meletakkan fungsi kunker.
Melakukan kunker itu positif-positif saja. Tetapi baru akan menimbulkan persoalan ketika maksud, tujuan, dan target yang diinginkan tidak terukur dan tidak jelas. Bahkan lebih ironis lagi karena kunker acap hanya untuk melegitimasi sikap DPRD yang ingin jalan-jalan atau sekadar untuk menambah 'pendapatan' mereka.
Imbasnya, ketika muncul berita anggota dewan akan kunker yang terlebih dulu terbangun di benak masyarakat adalah membuang-buang anggaran saja. Meski terlihat tidak bijak, namun cara pandang masyarakat yang sudah telanjur seperti ini semestinya harus diletakkan sebagai sebuah warning agar anggota DPRD kita lebih hati-hati sebelum memutuskan untuk melakukan kunker.

Masyarakat sesungguhnya juga memang harus bersikap fair, yakni tidak semua hasil kunjungan kerja itu tidak bermakna sama sekali. Beberapa hasil kunker tersebut terbukti memang memiliki dampak positif bagi Jatim khususnya dalam membuat produk kebijakan maupun pembuatan regulasi di Jatim.
Yang menjadi pertanyaan barangkali berapa persentase hasil kunker yang dianggap bermakna dibandingkan dengan kunker yang hanya sebatas ngelencer. Inilah yang selama ini tidak pernah dipublikasikan dan didiskusikan secara terbuka dengan masyarakat.
Sebagai sekedar catatan, beberapa hasil kunker yang terbukti membawa hasil misalnya Rencana Pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) merupakan salah satu keberhasilan kunker dewan ke Jerman beberapa waktu lalu. Imbasnya dewan berhasil menarik investor masuk ke Jatim untuk menginvestasikan dananya.
Penyusuan rancangan perda lanjut usia dan raperda stren kali. Selain itu, beberapa investasi di Jatim diklaim sebagai salah satu hasil kunker. Misalnya, investasi proyek air bersih Umbulan, Pasuruan, investasi Tiongkok pada usaha produksi sepatu (Tanggulangin, Magetan, dan Mojokerto), dan pertambangan minyak di Situbondo yang saat ini masih terbentur peraturan pemerintah tentang investasi asing dan sebagainya.

Peran Partai Politik
Kalau kita berdebat soal bermanfaat dan tidaknya kunker dengan berangkat dari cara pandang dan kepentingan masing-masing jelas hanya akan membuang energi saja. Upaya yang paling fair adalah dengan melihat aturan main yang ada.

Ketentuan untuk bisa melakukan kunker ke luar negeri sesungguhnya cukup baik untuk bisa menekan kemungkinan anggota dewan melakukan kunker seenaknya. Beberapa ketentuan yang digariskan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20/2005, misalnya mengisyaratkan rencana perjalanan dinas para anggota DPRD harus dilengkapi proposal yang berisi tujuan serta program kerja yang ingin dicapai.
Dewan harus mengirim berkas ke gubernur yang berisi nama, negara yang dituju, serta tujuan keberangkatan. Seluruh berkas, baik proposal maupun data pendukung, lantas dikirim ke Depdagri untuk dimintakan persetujuan. Peserta kunker dibatasi maksimal lima orang dalam satu kelompok. Pembatasan jumlah rombongan dimaksudkan supaya kunker lebih efektif dan efisien.
Namun, meski aturannya cukup baik, toh di lapangan aturan tinggal aturan dan dengan mudahnya bisa dilewati.
Aturan yang seharusnya menjadikan kunker lebih efisien tanpa menghamburkan uang rakyat itu ternyata masih bisa 'disiasati'. Salah satu modus dewan menyiasati aturan tersebut misalnya dengan membagi seluruh anggota komisi yang berjumlah 19-20 orang menjadi empat pokja (kelompok kerja). Aggotanya 4-5 orang. Setiap pokja diminta mengusulkan negara tujuan yang berbeda. Jadwal kunjungan pun diatur bergantian untuk menghindari tudingan kunker beramai-ramai.
Selain itu, keinginan untuk mendorong pihak eksekutif ikut mengoreksi anggaran untuk kunker legislatif sesungguhnya sudah menimbulkan keraguan. Logikanya, pihak eksekutif dalam hal ini gubernur tentu tidak akan 'tega' untuk tegas dalam memangkas anggaran kunker, karena pihak eksekutif pun tidak ingin agenda kunkernya nanti pun bakal diganggu dewan. Sehingga praktis harapan agar pihak eksketif mau mengoreksi rencana kunjungan legislatif adalah sesutu yang sulit dilakukan.
Selain masyarakat dan elemen kritis di dalamnya, maka kekuatan yang semestinya mampu berfungsi mengontrol perilaku politik DPRD adalah partai politik induk. Namun fungsi itu menjadi tidak berjalan karena secara faktual menunjukkan anggota DPRD ternyata juga merupakan elite/pimpinan partai politik.
Bila ini yang terjadi maka menjadi tidak relevan lagi kalau kita berharap partai politik bisa mengendalikan anggota DPRD. Yang terjadi justru partai politik menjadi humas bagi DPRD. Inilah amburadulnya sistem politik kita. Parpol yang sesungguhnya menjadi dapur dalam pengambilan politik tetapi justru menjadi alat pembenar bagi kinerja DPRD yang keliru.
Melihat tradisi kunker yang demikian menggelisahkan ini sudah sepatutnya ada shock therapy khususnya dari jajaran aparat hukum kita untuk bisa menyeret anggota DPRD yang melakukan kunker seenaknya. Kalau kejaksaan dan KPK bisa menyeret para anggota dewan dan pejabat yang korupsi, tentunya mereka juga bisa menjerat anggota DPRD yang menggunakan anggaran seenaknya.
Artinya, pada derajat tertentu penggunaan dana APBD yang seenaknya, termasuk misalnya untuk kunker yang tidak jelas adalah juga melakukan korupsi dalam wajah yang berbeda. Lantaran itu pekerjaan besar yang harus kita lakukan adalah mendorong aparat hukum kita baik kejaksaan, kepolisian, maupun KPK mampu mengontrol kinerja dewan dalam penggunaan anggaran.
Singkatnya perlu ada kebersamaan baik dari elemen kritis dalam masyarakat berikut dari aparat hukumnya untuk meneguhkan tekad menghentikan kunker yang tidak memiliki makna apapun bagi masyarakat.


Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...