Minggu, 16 Januari 2011

Menebak Nasib Duet Risma – Bambang DH



Di balik gegap gempita pro-kontra soal pembangunan Jalan Tol Tengah Kota, atau drama politik hak angket terkait Perwali kenaikan tarif reklame, sesungguhnya ada persoalan serius lainnya yang dampaknya juga akan sangat besar bagi masa depan sekaligus peta politik Surabaya nanti.
Persoalan serius tersebut tidak lain adalah nasib duet pasangan Tri Rismaharini – Bambang DH. Mengapa duet ini juga layak untuk bahan perbincangan dibalik semua hiruk pikuk politik sebagaimana paparan di atas?
Bahwa masa depan pasangan ini menjadi penting diperbincangkan karena melihat konstelasi politik yang tersaji hari ini sesungguhnya mengindikasikan ada persoalan di antara duet tersebut.
Beberapa ‘suasana’ yang mengarahkan pada ‘vonis’ bahwa ada masalah dalam hal ‘kemesraan’ pasangan tersebut setidaknya terbaca dari :
Pertama, situasi memanas yang tersulut akibat kebijakan dan langkah Walikota Tri Rismaharini utamanya dalam relasinya dengan institusi DPRD Surabaya nyaris tidak terlihat peran Bambang DH di dalamnya. Bambang DH sebagai politisi yang matang tentu paham betul bagaimana sesungguhnya cara meredam ‘garangnya’ DPRD Surabaya dalam menyikapi langkah dan kebijakan Walikota Surabaya baik dalam konteks terbitnya Perwali soal kenaikan tarif reklame ataupun polemik pembangunan tol tengah kota. Cenderung ‘dinginnya’ sikap Bambang DH dalam kasus tersebut memang melahirkan dua kemungkinan : Pertama, Bambang DH sengaja tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan tersebut. Artinya Walikota Risma memilih jalan sendiri dan tidak mendengarkan pertimbangan pihak lain termasuk Bambang DH. Kedua, Bambang DH memang tidak mau terlibat dan turut campur dalam polemik tersebut. Dan dari kedua kemungkinan tersebut, maknanya tetap sama yakni berarti ada persoalan dari duet tersebut.
Kedua, ketidakpuasan PDIP terhadap Walikota Tri Rismaharini dari ke hari kian menguat. Statemen – statemen politik dari para elit politik PDIP Surabaya bahwa mereka mulai ‘ditinggalkan’ Walikota semakin nyaring dan sering terdengar. Bahkan mulai digulirkan pula wacana agar PDIP mencabut dukungannya terhadap Risma dan memilih tempat oposisi. Meskipun sistem politik kita tidak mengenal oposisi, namun setidaknya suasana tersebut menunjukkan bahwa PDIP tidak ‘nyaman’ lagi dengan sikap dan kebijakan Risma.

Rumor Bambang DH Mundur
Di luar problema tersebut, muncul pula rumor bila Bambang DH akan mundur dari kursi wakil walikota Surabaya. Meskipun tidak ada sikap resmi terhadap rumor tersebut, kemungkinan Bambang DH akan mundur dari kursi wakil walikota Surabaya tentu sangat mungkin terjadi.
Mundurnya, Bambang DH dari kursi wakil walikota akan sangat mungkin terjadi setidaknya bila dibaca dari : Pertama, walikota Tri Rismaharini tidak mengubah cara berpolitiknya yang lebih ramah terhadap PDIP. Artinya, bukan tidak mungkin PDIP akan benar-benar merealisasikan ancamannya untuk mencabut dukungannya dengan sekaligus meminta Bambang DH melepas jabatan wakil walikota tersebut. Kedua, meskipun Risma mengubah sikap dan perlakuannya terhadap PDIP, Bambang DH juga sangat mungkin mundur dengan pertimbangan regenerasi bagi kader PDIP yang lain. Langkah ini juga mungkin terjadi, karena ada dugaan bahwa ‘relanya’ Bambang DH menjadi wakil walikota Risma hanya untuk menjadikan PDIP menang dalam Pilwali. Selanjutnya, Bambang DH akan mundur dari kursi wakil walikota Surabaya untuk kemudian digantikan kader muda lainnya dari PDIP. Keinginan Bambang DH untuk mundur dari kursi Wakil Walikota Surabaya selanjutnya digantikan oleh kader dari PDIP secara prosedural sangat dimungkinkan.
Merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pada pasal Pasal 26 ayat (4) mengatur bahwa mengisi kekosongan jabatan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berasal dari partai politik atau gabungan partai politik dan masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan 2 (dua orang calon wakil kepala daerah berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD. Artinya, bila Bambang DH mundur maka PDIP berhak mengajukan calon penggantinya untuk kemudian dipilih dalam rapar Paripurna DPRD Surabaya. Dan langkah penggantian ini rasanya lebih membuat PDIP aman dan memiliki modal strategis untuk merancang agenda politik lebih jauh lagi. Makna agenda politik lebih jauh misalnya, kader PDIP yang diplot menjadi pengganti Bambang DH ini bisa disiapkan untuk bertarung dalam Pilwali lima tahun mendatang. Bukan itu saja, kader PDIP pengganti Bambang DH ini juga bisa saja suatu saat menggantikan Risma menjadi walikota ’andai saja’ Risma lengser atau dilengserkan di tengah jalan. Dan kesempatan sebagaimana diungkapkan di atas tidak akan dimiliki PDIP bila wakil walikotanya masih Bambang DH. Artinya, menggantikan Bambang DH dengan kader PDIP yang lain adalah langkah strategis bagi PDIP untuk masa mendatang. Sementara pada wilayah lain, bila Bambang DH mundur dan digantikan kader PDIP yang lain, maka ini menjadi ’ancaman’ serius bagi kelanggengan jabatan Walikota Risma baik untuk lima tahun pertama, maupun untuk lima tahun berikutnya.

Lemahnya Komunikasi Politik
Mencermati dalam tiga bulanan pemerintahan Risma, maka kita saksikan betapa energi banyak dihabiskan oleh konflik politik yang tersaji antara Walikota dengan institusi DPRD Surabaya. Awalnya, konflik pada fase awal pemerintahan sesungguhnya bisa dipahami sebagai imbas ‘limbah’ Pilwali yang belum bisa dikelola secara baik. Apalagi institusi DPRD Surabaya kebetulan dipimpin oleh Wisnu Wardhana dari Partai Demokrat yang secara politik sempat ‘bertarung’ habis-habis selama Pilwali Surabaya sebelumnya. Artinya, semula publik hanya membaca bahwa konflik Pemkot Surabaya (baca : Walikota) dengan DPRD Surabaya hanyalah renik-renik imbas Pilwali saja atau sekadar ekspresi ‘balas dendam’ semata yang lama-kelamaan akan reda dengan sendirinya. Namun yang terjadi ternyata konflik tersebut bukannya meredup tetapi malah semakin memanas. Ironisnya lagi, PDIP yang sesungguhnya menjadi partai pendukung Walikota ternyata ikut-ikutan menjadi barisan yang ‘kecewa’ dengan sikap dan kebijakan walikota. Bukan itu saja, di internal birokrasi sendiri mulai muncul sikap ditinggalkan walikota sendiri. Kabarnya Walikota lebih banyak meminta pertimbangan staf ahlinya dibandingkan pertimbangan birokrasinya apalagi PDIP. Imbasnya, daftar kelompok yang seharus dirangkul yakni birokrasi dan PDIP justru ditinggalkan.
Dalam berbagai kesempatan misalnya, Walikota Risma selalu dengan bangganya menekankan dirinya sebagai walikota pilihan rakyat dan bukan walikotanya partai politik. Secara normatif, tentu statemen tersebut benar, tetapi secara politik jelas pernyataan tersebut melukai partai politik yang ‘berjasa’ mengusungnya. (baca : PDIP). Risma nampaknya lupa bahwa PDIP punya saham besar dibalik keberhasilannya dalam merengkuh kursi walikota Surabaya. Persoalannya, dalam politik tidak ada sesuatu yang gratis pasti ada ongkos politiknya. Pertanyaannya adalah, apakah Risma sudah melunasi ‘ongkos politik’ yang telah dibayarkan PDIP sehingga berhasil menang dalam Pilwali kemarin?
Kita tidak memungkiri bahwa dukungan warga masyarakat terhadap kepemimpinan Risma masih begitu besar. Tetapi dalam kehidupan politik yang dijalaninya, Risma bukan hanya perlu dukungan masyarakat, tetapi juga membutuhkan dukungan politik. Semua kebijakan yang diambil Walikota pastilah melalui proses politik. Artinya, agar pemerintahannya nanti efektif, maka Risma harus memperbaiki cara komunikasi politik dan mengelola kekuatan politik yang ada di sekitarnya. Inilah salah satu agenda yang nampaknya dilupakan Risma dalam tiga bulan memimpin Surabaya ini.
(Artikel Wahyu Kuncoro SN - Dimuat di Harian Bhirawa Edisi Senin (17/1/11) )

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...