Senin, 04 Juni 2018

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas


Pengantar :
Esai berjudul “Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhasil menjadi Juara 2 (Kedua)  dalam lomba penulisan Esai Kreasi Pancasila yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)  2018.

Jejak-jejak budaya dengan kandungan pesan kearifan lokal (local wisdom) telah secara sempurna terangkum menjadi nilai- nilai dasar dalam 5 sila Pancasila. Kearifan lokal  adalah  filsafat yang hidup  di dalam hati masyarakat, berupa kebijaksanaan akan kehidupan, way of life, ritus-ritus adat, dan sejenisnya. Kearifan lokal merupakan  produk  berabad-abad yang melukiskan kedalaman batin manusia dan keluasan rasionalitas dengan sesamanya serta menegaskan keluhuran rasionalitas hidupnya. Nilai-nilai kearifan yang tergali dari rahim negeri inilah yang selanjutnya menjadikan Pancasila sebagai sebuah fondasi filosofis (philosophische grondslag) yang menjadi jiwa bangsa Indonesia.
Menurut Jaques Derrida, meaning (makna) dari suatu teks itu unattainable (tak bisa dijangkau) dan unreachable ( tak bisa diraih) dan undefinable (tak bisa didefinisikan). Dalam bahasa Derrida, makna tidak bisa dibukukan, dituntaskan, dikejar hingga habis. Sebaliknya, menurutnya makna itu tercetus seperti traces (jejak jejak langkah kaki). Secara metaforis Derrida hendak berkata suatu teks sungguh terlampau jauh untuk bisa diraih maknanya secara penuh, tetapi yang bisa diketahui adalah bahwa kebenaran-kebenartan makna itu nyata dalam perjalan manusia yang menghidup teks tersebut. Bila dikaitkan deegan teks Pancasila, maka hampir tidak mungkin membukukan suatu makna yang sudah selesai perihal teks sila-sila Pancasila. Makna “Ketuhanan” misalnya tidak mungkin direduksi dalam suatu frase yang selesai, demikian juga dengan “Kemanusiaan”. “Persatuan”, “kerakyatan” dan “Keadilan” dalam Pancasila. Makna yang bisa kita tuliskan mengenai Pancaila – konteks kebijaksanaan lokal ialah traces, berupa pluralitas jejak-jejak perjalanan aneka narasi kehidupan, tradisi, ritual, mitos, upacara selamatan, sastra yang ada dalam masyarakat. Demikianlah kearifan lokal – Pancasila  menjadi mungkin, justru karena keluhuran nilai-nilai Pancasila ada dalam penghayatan  bangsa Indonesia serta nyata dan terus menerus, (Armada Riyanto : 2015).
Perspektif ini menjadi relevan untuk menjelaskan mengapa hari ini banyak orang merasa galau dengan masa depan Pancasila. Ada kekhawatiran Pancasila hanya akan jadi cerita pengantar tidur bagi anak cucu kita kelak, kalau generasi sekarang tidak segera menemukan ‘kesaktian’ Pancasila dalam meredam dan menjawab berbagai persoalan kebangsaan yang terjadi. Hemat penulis, apa yang menimpa Pancasila saat ini, sesungguhnya merupakan implikasi dari realitas yang secara sadar atau tidak telah terjadi secara perlahan-lahan dan terus terjadi. Apa itu? Tidak lain adalah jejak-jejak kearian lokal yang tersimpan --dalam tradisi hidup sehari-hari, dalam mitologi, dalam sastra yang indah, dalam bentuk ritual ritual penghormatan leluhur atau upacara ada, dalam wujud nilai-nilai simbolik bentuk rumah, dalam bahasa dan seni budaya-- di negeri ini  satu persatu hilang dan  terus tergerus dan hilang diterkam kaangkuhan modernitas dan kemajuan zaman.
Tercerabutnya nilai-nilai Pancasila di kalangan generasi muda yang terjadi hari ini sesungguhnya harus membuka mata kita akan pentingnya dihidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut bisa dijadikan pegangan, tali pengikat, sebagai filter, di tengah ancaman kebersamaan, ancaman intoleransi, korupsi serta derasnya arus modernitas yang membawa anak muda kita ke dalam pilihan pragmatis, hedon dan profan.
Pancasila merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa untuk bangsa Indonesia yang beraneka ragam. Karena itu, Pancasila harus senantiasa dijaga, dipelihara dan diimplementasikan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Pancasila sudah final menjadi falsafah dan dasar negara Republik Indonesia. Bahwa Pancasila sudah final, tidak perlu diperdebatkan lagi untuk menjadi falsafah hidup dan dasar negara Republik Indonesia. Pancasila telah terbukti menjadi wadah pemersatu bangsa Indonesia yang beraneka ragam. Kita tidak perlu lagi mempersoalkan Pancasila karena nilai-nilai Pancasila berakar dari budaya bangsa kita sehingga terbukti Pancasila menjadi wadah pemersatu bangsa Indonesia yang beraneka ragam dan multikultutal. Yang perlu kita lakukan adalah menjiwai dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai Pancasila, seperti toleransi dan menghargai keberagaman harus mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Penting bagi kita bagaimana mewujudkan nilai-nilai Pancasila, seperti toleransi, menghargai keberagaman karena sejak dari awal Indonesia sudah plural.

Menyuburkan Kembali Akar Budaya
Di era modernisme dan globalisasi, berbagai ideologi masuk Indonesia dan mengancam keberadaan ideologi negara, yaitu Pancasila. Jika kita tidak kuat, maka kita akan mudah dirasuki oleh ideologi-ideologi lain, seperti liberalisme, komunisme, dan radikalisme Islam yang mengancam keutuhan dan ketahanan bangsa. Karena itu, harapan agar merevitalisasi nilai-nilai Pancasila untuk memperkuat jati diri bangsa menjadi menemukan relevansinya. Pancasila harus menjadi pandangan hidup dan dasar negara, sehingga bangsa Indonesia tidak kehilangan roh. Kalau ideologi-ideologi lain itu dibuat manusia, tetapi Pancasila ditemukan oleh presiden pertama Bung Karno sebagai rahmat dari Tuhan. Pancasila itu bersifat batin sehingga tidak bisa dikalahkan oleh ideologi lain. Intinya, kita harus menjiwai dan mengimplementasikan Pancasila dalam sikap dan tingkah laku masyarakat Indonesia.
Indonesia adalah negara multietnis, agama, ras dan golongan. Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Adapun Pancasila adalah ideologi yang bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia yang sudah terbukti mampu menyatukan dan mendamaikan berbagai kemajemukan itu di Bumi Pertiwi. Dengan kekuatan kearifan lokal itu, Pancasila mampu menyelamatkan bangsa Indonesia dari berbagai gangguan dan ancaman perpecahan. Pancasila sebagai ideologi negara telah mengakomodasi kearifan lokal yang hidup di Nusantara seperti gotong royong, adat-istiadat, silaturahmi, dan lain-lain. Itu terdapat dalam sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
NKRI ini tetap berlangsung dan berjalan harmonis karena kekuatan dari nilai-nilai Pancasila itu. Maka pemahaman nilai Pancasila itu harus terus digalakkan, terutama kepada para generasi muda. Selain itu, pelestarian budaya, adat-istiadat dan kearifan lokal lainnya oleh berbagai pihak, pemerintah, dan masyarakat, yang didukung pula oleh ideologi negara, Pancasila dan Undang-undang 1945 sangat dibutuhkan saat ini dan pada masa yang akan datang.
Pancasila merupakan dasar dan falsafah bangsa yang sudah terbukti kesaktiannya dalam mempersatukan seluruh komponen bangsa dari Sabang sampai Merauke. Dalam perjalanan bangsa sejak kemerdekaan, Pancasila terbukti ampuh menjadi ideologi kunci dalam menjalankan roda kehidupan masyarakat Indonesia sampai saat ini. Tanpa Pancasila, bukan hal yang mustahil bangsa ini tidak bisa utuh seperti sekarang ini.  Tanpa Pancasila, mungkin kita sudah tercerai-berai. Karena keragaman Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa, agama, hingga bahasa, sangat rentan pecah bila tidak ada pemersatu yang diyakini secara bersama. Belum lagi negara kita yang berbentuk kepulauan, tentu memiliki potensi yang tinggi untuk terpisah satu sama lain. Pada 1987, Pusat Survei dan Pemetaan ABRI merilis ada 17.508 pulau di Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Di sinilah pentingnya Pancasila sebagai dasar negara yang mampu menjadi perekat beragam perbedaan tersebut. Dengan Pancasila, berbagai perbedaan-perbedaan tersebut bukan lagi menjadi kelemahan. Kemajemukan bangsa ini menjadi sebuah kekayaan Indonesia yang jarang sekali dimiliki oleh negara lain. Masing-masing suku bangsa memiliki adat istiadat, bahasa hingga kesenian khusus yang menjadi identitasnya. Ada tari Pendet dari Bali yang sangat mendunia. Ada tari Saman dari Aceh yang juga sangat terkenal. Dan, itu semua menjadi kebanggaan nasional Indonesia. Semuanya masih ada dan menjadi identitas nasional karena peran Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Artinya, Indonesia adalah Pancasila.
Keduanya tidak bisa dilepaskan, karena Pancasila lahir dari kemajemukan bangsa dengan latar belakang sosial-budaya, geografis, dan kesamaan sejarah masyarakat Indonesia. Sebaliknya, pandangan hidup, ideologi, falsafah bangsa Indonesia itu semuanya telah tecermin dari nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. Karena itu, Pancasila tidak akan bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Indonesia saat ini memang menjadi negara demokrasi terbesar keempat di dunia. Namun, yang perlu diingat adalah Indonesia memiliki kekhasan yang berbeda dengan demokrasi yang ada di negara-negara lain, bahkan dengan demokrasi di Eropa maupun Amerika sekalipun. Atau kita lazim menyebutnya Demokrasi Pancasila. Kesuksesan Indonesia dalam berdemokrasi tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila yang mengalir di seluruh urat nadi dan darah manusia Indonesia.
Bukan tidak mungkin nilai nilai Pancasila akan tergerus seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi. Maka itu, para generasi penerus bangsa wajib dibekali dengan nilai-nilai Pancasila sejak dini. Sekolah-sekolah perlu lagi memberikan pelajaran yang cukup tentang Pancasila. Yang tak kalah penting adalah jangan sampai Pancasila hanya menjadi jargon belaka. Jangan sampai Pancasila dijadikan komoditas politik untukkepentingan sesaat kelompok tertentu.  Jangan sampai Pancasila hanya diakui milik golongan tertentu. Kampanye soal Pancasila juga jangan sampai digunakan untuk menyerang atau mendiskreditkan kelompok-kelompok yang kritis, karena cara-cara seperti itu justru akan memecah belah bangsa dan akan membahayakan kesatuan dan kemajemukan masyarakat yang selama ini hidup rukun.
Kearifan lokal dan ideologi Pancasila dinilai menjadi kolaborasi terbaik untuk membentengi bangsa dari "serangan" ideologi transnasional yang membawa paham-paham kekerasan. Kearifan lokal di Indonesia diakui sebagai alat pemersatu bangsa kita yang majemuk. Itu diucapkan banyak ulama-ulama, terutama dari Timur Tengah. Mereka memuji Indonesia karena mampu hidup damai dengan berbagai keragaman agama, suku, ras, bahasa, dan sebagainya. Bahkan mereka juga memuji Islam Indonesia yang toleran. Identitas bangsa Indonesia, yaitu kearifan lokalnya yang dikenal memiliki peradaban, kultur, bahasa, dengan ciri masing-masing daerah. Artinya, dengan saling menghormati dan menjunjung tinggi kearifan lokal, masyarakat otomatis telah memperkuat persatuan bangsa. Masing-masing daerah memiliki kultur dan adat sendiri, dan semua bisa saling menghormati dan menghargai.
Indonesia mempunyai sejarah sebagai bangsa yang disegani dan dikagumi oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Nilai-nilai luhur rakyatnya dan kearifan lokal masyarakatnya mampu menyatukan keanekaragaman budaya, tradisi, dan adat-istiadat dalam ikatan kebersamaan yang saling menghormati dan menghargai. Tak heran jika ada dua kerajaan besar yang pernah memiliki wilayah seluruh Asia Tenggara, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Lantas, apakah modal demografi bangsa Indonesia tersebut? Nilai asli Indonesia terbukti mampu mengakomodir semua kepentingan kelompok menjadi perpaduan yang serasi dan harmonis. Nilai-nilai kearifan lokal yang dapat membawa Indonesia ke puncak kejayaan, di antaranya semangat gotong royong, tolong-menolong, kemajemukan, dan budi pekerti.
Semangat gotong royong merupakan kearifan lokal bangsa Indonesia yang ada sejak nenek moyang kita. Sebagai contoh, apabila di suatu masyarakat di daerah pegunungan terjadi kerawan tanah longsor atau banjir, maka seluruh warga akan bekerja bersama-sama membuat terasering untuk menanggulangi bencana tersebut tanpa berharap upah atau imbalan. Semangat tolong-menolong dimunculkan ketika salah satu warga yang memiliki hajat. Seluruh warga tanpa dikomandoi akan menyumbangkan tenaga dan material guna menyelesaikan hajat orang tersebut. Jiwa kemajemukan sangat terlihat dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika dihadapkan pada pekerjaan bersama, tak seorang pun warga akan memandang latar belakang, suku, agama, ras atau golongan. Mereka meleburkan diri untuk memelihara keharmonisan umum. Sedangkan budi pekerti merupakan ajaran hidup yang diturunkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia agar selalu menghormati dan menghargai orang lain, serta memperlakukan orang lain seperti diri sendiri.
Nilai-nilai kearifan lokal merupakan sifat asli bangsa kita, namun telah diracuni dan dikaburkan oleh kekuatan asing. Budaya kebersamaan luntur oleh budaya pragmatis transaksional. Kerja bakti lingkungan yang dimaksudkan sebagai media komunikasi antar warga dan menimbulkan rasa ikut memiliki fasum/fasos, dianggap sebagai kegiatan formalitas yang dapat ditinggalkan dengan cara membayar sejumlah uang. Ruang publik sebagai tempat berkumpulnya warga tidak dijadikan prioritas dalam program pembangunan. Saling sapa antar warga menjadi hal yang aneh, bahkan antar tetangga pun tidak kenal satu dengan lainnya. Semangat kebersamaan luntur menjadi sikap individualistis dan apatis. Nah hemat penulis,  kalau dalam kondisi demikian, maka sesungguhnya hanya mengenalkan Pancasila secara tekstual kepada generasi sekarang juga tidak cukup bisa untuk memperbaiki keadaaan. Sebab, teks-teks indah yang tersurat dalam butir-butir Pancasila itu hanya akan menjadi teks mati kalau tidak diimbangi dengan tumbuh dan bangkitnya budaya bangsa, yang notabene merupakan asal muasal kearifan lokal.
Singkatnya, salah satu cara tepat untuk menyuburkan kembali pohon besar bernama Pancasila tidak ada lain adalah memupuk subur akar-akarnya budaya bangsa yang dulunya menyimpan kearifan lokal. Dengan demikian, agenda besar kita bersama adalah menghidupkan kembali pesan-pesan kearifan lokal yang biasanya tersaji dalam tradisi hidup sehari-hari, dalam mitologi, dalam sastra yang indah, dalam bentuk ritual ritual penghormatan leluhur atau upacara ada, dalam wujud nilai-nilai simbolik bentuk rumah, dalam bahasa dan seni budaya untuk selanjutnya dimanisfetasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kita sungguh percaya, ketika sumber-sumber kearifan lokal tersebut bisa hidup berkembang lagi, maka pohon besar Pancasila akan kembali menghijau kembali daun-daunnya. Kalaupun hari ini terlihat beberapa daunnya meranggas, mengering kemudian jatuh berguguran daun-daunnya itu karena kita telah melupakan akar budaya dari Pancasila yang mulai tercerabut dari kehiduapn kemasyarakatan kita hari ini.

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...