Sabtu, 30 September 2017

Kesan Pertama Membaca Begitu Menggoda



“Kesan Pertama Begitu Menggoda,
Selanjutnya Terserah Anda...”

Kutipan kalimat iklan produk minyak wangi di atas sempat populer di masyarakat dan sering muncul di layar TV pada era 1990 hingga 2000-an. Pesan yang ingin disampaikan  adalah menekankan pentingnya membangun kesan pertama (first impression) sebelum kita mengajak orang lain untuk mau melangkah lebih jauh.
Pepatah juga mengatakan first impression determine  your image. Dalam konteks menumbuhkan minat baca, maka pepatah tersebut juga bisa diterjemahkan bahwa berhasil atau gagalnya kita membangun minat membaca masyarakat sesungguhnya akan sangat ditentukan saat kapan minat membaca itu pertama kali dikenalkan. Kalau kita gagal mengenalkan minat baca secara baik, maka akan berimbas hingga dewasa nanti. Lantaran itu, membangun kesan pertama tentang indahnya membaca menjadi agenda strategis yang harus dipersiapkan dan ditata secara serius kalau kita ingin masyarakat kita akan yang memiliki minat baca tinggi.

Kesan Pertama Pentingnya Membaca
Memasuki bangku Sekolah Dasar (SD) dipahami menjadi fase awal anak-anak kita untuk secara ‘resmi’ mengenal dan diajari membaca buku. Memang, bukan berarti, sebelum masuk SD, anak-anak tidak mengenal atau tidak bisa membaca sama sekali. Secara faktual, banyak anak-anak yang sejak balita atau saat memasuki Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sudah dikenalkan dan diajari membaca buku. Namun pada masa pra-SD tersebut, konsep pembelajaran yang diberikan lebih pada upaya bermain dan bersosialisasi, dan belum menjadikan membaca sebagai bagian penting pembelajaran.
Nah, pada saat memasuki bangku Sekolah Dasar (SD) inilah maka anak-anak secara resmi dikenalkan dan diajari membaca buku. Dengan demikian, pada masa pendidikan di level SD inilah sesungguhnya menjadi momentum yang tepat untuk menyemaikan minat baca. Karena pada masa inilah kesan pertama tentang bagaimana membaca menjadi sangat penting. Sekali lagi, bila kita keliru dalam mengenalkan minat baca ini ke anak-anak, maka dengan sendirinya ini akan berpengaruih kepada minat baca anak-anak kita.
Sayangnya, fase krusial dalam penumbuhan minat baca di tingkat Sekolah Dasar ini kurang mendapat perhatian secara serius. Anak-anak SD yang sesungguhnya lebih membutuhkan pondasi dalam penanaman nilai dan karakter khususnya agar memiliki  minat membaca justru tidak diperhatikan. Menanamkan pijakan filosofis agar anak menjadi suka membaca dilalaikan, sekolah dan para orang tua lebih terpaku pada hasil akhir, yakni anak bisa membaca. Bisa membaca seolah menjadi tujuan akhir, sehingga melupakan atau mungkin mengabaikan bahwa membangun tradisi agar anak menjadi suka membaca jauh lebih penting.
Sekolah dan orangtua seolah berlomba-lomba memaksa anak-anak SD untuk berprestasi mendapatkan nilai pelajaran yang baik atau prestasi lainnya yang lebih bisa membanggakan dirinya. Anak hanya jadi pemuas dahaga prestasi para orangtua dan mungkin sekolah. Berprestasi tentu penting, tetapi menanamkan nilai dan karakrer bagi anak tentu lebih penting bagi masa depan sang anak nanti.

Selanjutnya Bagaimana?
Berkaca dari realitas seperti itu, maka sungguh merupakan agenda strategis untuk menata dan membenahi proses membangun kesan pertama bagi siswa SD untuk membaca. Kesan pertama yang harus ditumbuhkan tersebut pada gilirannya akan mampu memotivasi dan sekaligus menjadi awal dari lahirnya minat membaca di kalangan pelajar SD.
Setidaknya ada empat hal yang harus diperhatikan ketika kita ingin membangun kesan pertama membaca di SD bisa  menjadi pondasi yang kokoh dalam membangun minat  baca masyarakat.
Pertama, menyemai minat baca bagi siswa SD tidak bisa dipisahkan dari proses pembelajaran di sekolah. Artinya, proses menumbuhkan minat membaca merupakan bagian terintegrasi dari proses belajar mengajar yang dibangun sekolah. Bukan saja, menyangkut fasilitas buku dan bahan bacaan yang harus mendukung materi ajar sekolah, tetapi juga interaksi dan aktivitas membaca juga harus berkaitan dengan pembelajaran.
Dengan demikian, konsep pengajaran yang ditampilkan guru juga mencerminkan keinginan untuk menguatkan minat baca di sekolah. Alangkah ironisnya, disaat kita ingin mengajak anak didik kita aktif membaca, sementara tenaga pendidiknya (guru) tidak memilihki gairah untuk membaca. Dengan demikian tradisi yang yang sama juga harus dikembangkan dilevel tenaga pendidiknya.
Gerakan literasi yang banyak ditujukan pada tenaga guru jangan sampai hanya semata karena ingin mendapatkan point yang kemudian berujung pada nilai rupiah yang didapatkan oleh guru. Kebiasan guru untuk membaca dan menghasilkan karya-karya tulisan dan buku jangan sampai semata untuk mengajar rupiah, tetapi memang sungguh-sungguh dilandasi oleh kesadaran akan pentingnya membangun minat literasi di sekolah.
Kedua, bahwa harus diakui tidak banyak sekolah-sekolah SD yang memiliki energi yang cukup untuk menjadikan budaya membaca sebagai minat unggulan yang harus dikembangkan di sekolah. Indikasi paling mudah bisa dilihat dari bagaimana sekolah membangun dan mengelola perpustakaan sekolah. Logikanya, kalau semua bersepakat bahwa membaca sejak dini itu harus diutamakan maka fasilitas layanan perpustakaan sekolah di SD harus megah dan lengkap. Namun sayangnya, justru pada sekolah SD ini banyak yang tidak memiliki perpustakaan yang representatif. Bahkan kalaupun punya, maka bangunan itu tidak layak untuk jadi perpustakaan. Dengan kata lain, agar minat baca menjadi minat yang bermartabat. Maka fasilitas baca berikut fasilitasnya juga harus bermartabat dan terhormat bukannya malah berada di sudut-sudut sempit tersembunyi dan terpinggirkan.
Ketiga, bahwa  mengelola perpustakaan sekolah itu bukan sekedar mengelola buku dan sekadar administrasi peminjaman buku semata. Butuh sumberdaya yang memang jiwa dan hatinya menyatu dengan buku. Ini salah satu persoalan serius yang harus dibenahi dalam pengelolaan perpusataakaan. Sebagai bagian dari layanan, tentu perpustakaan tidak bisa dikelola oleh tangan-tangan yang biasa. Tetapi butuh tangan tangan yang kreatif dan komptenen untuk memberi sentuihan pada layaan buku. Bisa kita hitung, berapa sekolah yang perpustakaannya dikelola oleh seorang pustakawan. Alih-alih, dikelola pustakawan, ada orang yang mau menjaga dan melayani perpustakaan dengan baik saja sudah merupakan barang mahal. Kita masih sering menemukan dan mungkin banyak, pengelolaan perpustakaan sekolah apalagi perpustakaan SD yang asal-asalan dalam arti SDM pengelolannya diserahkan pada orang yang kebetulan sempat dan punya waktu. Persoalan kompetensi menjadi urusan paling belakang.
Keempat, dukungan orangtua dan masyarakat. Minat baca pada anak tidak muncul begitu saja tanpa dukungan ataupun peran dari orang tua. Di luar keluarga, lingkungan masyarakat sesunguhnya juga punya kontribusi untuk ikut menciptakan minat baca. Sebelum anak mengenal lembaga sekolah, banyak orangtua sudah mengajarkan buah hatinya dengan bacaan. Bisa jadi bukan mengajari anaknya membaca, tetapi mengenalkan anak-anak dengan buku bacaan sesungguhnya sudah merupakan bagian dari membangun minat baca. Menumbuhkan minat baca pada anak tentu sangat ditentukan oleh bagaimana orangtua mendidiknya dalam membiasakan diri untuk membaca. Anak akan menjadi terbiasa membaca buku ketika orang tuanya juga memiliki kebiasaan yang sama yaitu membaca buku. Tetapi tentu tidak banyak keluarga yang mau menciptakan suasana seperti itu. Harapannya tentu, masyarakat ikut peduli dengan menciptakan layanan dan fasilitas baca. Kita sungguh patut mengapresiasi kesadaran masyarakat yang ikut menciptakan lingkungan sosial yang bisa memupuk minat baca anak-anak. Hadirnya rumah pintar atau sudut baca di beberapa sudut kampung dengan segala keterbatasannya  sungguh merupakan bagian dari kontribusi masyarakat dalam menumbuhkan minat baca.Singkatnya, sungguh tidak mungkin kita membangun minat baca tanpa melibatkan peran orang tua dan lingkungan sosialnya yakni masyarakat. (Wahyu Kuncoro SN / Staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sunan Giri (Unsuri)  Surabaya )


Wallahu’alam bhis-shawwab

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...