“Kesan Pertama Begitu Menggoda,
Selanjutnya Terserah Anda...”
Kutipan
kalimat iklan produk minyak wangi di atas sempat populer di masyarakat dan sering
muncul di layar TV pada era 1990 hingga 2000-an. Pesan yang ingin disampaikan adalah menekankan pentingnya membangun kesan
pertama (first impression) sebelum
kita mengajak orang lain untuk mau melangkah lebih jauh.
Pepatah
juga mengatakan first impression
determine your image. Dalam konteks
menumbuhkan minat baca, maka pepatah tersebut juga bisa diterjemahkan bahwa berhasil
atau gagalnya kita membangun minat membaca masyarakat sesungguhnya akan sangat
ditentukan saat kapan minat membaca itu pertama kali dikenalkan. Kalau kita
gagal mengenalkan minat baca secara baik, maka akan berimbas hingga dewasa
nanti. Lantaran itu, membangun kesan pertama tentang indahnya membaca menjadi
agenda strategis yang harus dipersiapkan dan ditata secara serius kalau kita
ingin masyarakat kita akan yang memiliki minat baca tinggi.
Kesan Pertama Pentingnya Membaca
Memasuki
bangku Sekolah Dasar (SD) dipahami menjadi fase awal anak-anak kita untuk secara
‘resmi’ mengenal dan diajari membaca buku. Memang, bukan berarti, sebelum masuk
SD, anak-anak tidak mengenal atau tidak bisa membaca sama sekali. Secara
faktual, banyak anak-anak yang sejak balita atau saat memasuki Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD) sudah dikenalkan dan diajari membaca buku. Namun pada masa pra-SD
tersebut, konsep pembelajaran yang diberikan lebih pada upaya bermain dan
bersosialisasi, dan belum menjadikan membaca sebagai bagian penting
pembelajaran.
Nah,
pada saat memasuki bangku Sekolah Dasar (SD) inilah maka anak-anak secara resmi
dikenalkan dan diajari membaca buku. Dengan demikian, pada masa pendidikan di level
SD inilah sesungguhnya menjadi momentum yang tepat untuk menyemaikan minat
baca. Karena pada masa inilah kesan pertama tentang bagaimana membaca menjadi
sangat penting. Sekali lagi, bila kita keliru dalam mengenalkan minat baca ini
ke anak-anak, maka dengan sendirinya ini akan berpengaruih kepada minat baca
anak-anak kita.
Sayangnya,
fase krusial dalam penumbuhan minat baca di tingkat Sekolah Dasar ini kurang
mendapat perhatian secara serius. Anak-anak SD yang sesungguhnya lebih membutuhkan
pondasi dalam penanaman nilai dan karakter khususnya agar memiliki minat membaca justru tidak diperhatikan.
Menanamkan pijakan filosofis agar anak menjadi suka membaca dilalaikan, sekolah
dan para orang tua lebih terpaku pada hasil akhir, yakni anak bisa membaca. Bisa
membaca seolah menjadi tujuan akhir, sehingga melupakan atau mungkin
mengabaikan bahwa membangun tradisi agar anak menjadi suka membaca jauh lebih
penting.
Sekolah
dan orangtua seolah berlomba-lomba memaksa anak-anak SD untuk berprestasi
mendapatkan nilai pelajaran yang baik atau prestasi lainnya yang lebih bisa
membanggakan dirinya. Anak hanya jadi pemuas dahaga prestasi para orangtua dan
mungkin sekolah. Berprestasi tentu penting, tetapi menanamkan nilai dan
karakrer bagi anak tentu lebih penting bagi masa depan sang anak nanti.
Selanjutnya Bagaimana?
Berkaca
dari realitas seperti itu, maka sungguh merupakan agenda strategis untuk menata
dan membenahi proses membangun kesan pertama bagi siswa SD untuk membaca. Kesan
pertama yang harus ditumbuhkan tersebut pada gilirannya akan mampu memotivasi
dan sekaligus menjadi awal dari lahirnya minat membaca di kalangan pelajar SD.
Setidaknya
ada empat hal yang harus diperhatikan ketika kita ingin membangun kesan pertama
membaca di SD bisa menjadi pondasi yang
kokoh dalam membangun minat baca
masyarakat.
Pertama, menyemai minat baca bagi siswa SD tidak bisa dipisahkan
dari proses pembelajaran di sekolah. Artinya, proses menumbuhkan minat membaca
merupakan bagian terintegrasi dari proses belajar mengajar yang dibangun
sekolah. Bukan saja, menyangkut fasilitas buku dan bahan bacaan yang harus
mendukung materi ajar sekolah, tetapi juga interaksi dan aktivitas membaca juga
harus berkaitan dengan pembelajaran.
Dengan
demikian, konsep pengajaran yang ditampilkan guru juga mencerminkan keinginan
untuk menguatkan minat baca di sekolah. Alangkah ironisnya, disaat kita ingin
mengajak anak didik kita aktif membaca, sementara tenaga pendidiknya (guru)
tidak memilihki gairah untuk membaca. Dengan demikian tradisi yang yang sama
juga harus dikembangkan dilevel tenaga pendidiknya.
Gerakan
literasi yang banyak ditujukan pada tenaga guru jangan sampai hanya semata
karena ingin mendapatkan point yang kemudian berujung pada nilai rupiah yang
didapatkan oleh guru. Kebiasan guru untuk membaca dan menghasilkan karya-karya
tulisan dan buku jangan sampai semata untuk mengajar rupiah, tetapi memang
sungguh-sungguh dilandasi oleh kesadaran akan pentingnya membangun minat
literasi di sekolah.
Kedua, bahwa harus diakui tidak banyak sekolah-sekolah SD yang
memiliki energi yang cukup untuk menjadikan budaya membaca sebagai minat
unggulan yang harus dikembangkan di sekolah. Indikasi paling mudah bisa dilihat
dari bagaimana sekolah membangun dan mengelola perpustakaan sekolah. Logikanya,
kalau semua bersepakat bahwa membaca sejak dini itu harus diutamakan maka
fasilitas layanan perpustakaan sekolah di SD harus megah dan lengkap. Namun
sayangnya, justru pada sekolah SD ini banyak yang tidak memiliki perpustakaan yang
representatif. Bahkan kalaupun punya, maka bangunan itu tidak layak untuk jadi
perpustakaan. Dengan kata lain, agar minat baca menjadi minat yang bermartabat.
Maka fasilitas baca berikut fasilitasnya juga harus bermartabat dan terhormat
bukannya malah berada di sudut-sudut sempit tersembunyi dan terpinggirkan.
Ketiga, bahwa mengelola perpustakaan sekolah itu bukan
sekedar mengelola buku dan sekadar administrasi peminjaman buku semata. Butuh
sumberdaya yang memang jiwa dan hatinya menyatu dengan buku. Ini salah satu
persoalan serius yang harus dibenahi dalam pengelolaan perpusataakaan. Sebagai
bagian dari layanan, tentu perpustakaan tidak bisa dikelola oleh tangan-tangan
yang biasa. Tetapi butuh tangan tangan yang kreatif dan komptenen untuk memberi
sentuihan pada layaan buku. Bisa kita hitung, berapa sekolah yang
perpustakaannya dikelola oleh seorang pustakawan. Alih-alih, dikelola
pustakawan, ada orang yang mau menjaga dan melayani perpustakaan dengan baik
saja sudah merupakan barang mahal. Kita masih sering menemukan dan mungkin
banyak, pengelolaan perpustakaan sekolah apalagi perpustakaan SD yang
asal-asalan dalam arti SDM pengelolannya diserahkan pada orang yang kebetulan
sempat dan punya waktu. Persoalan kompetensi menjadi urusan paling belakang.
Keempat, dukungan orangtua dan masyarakat. Minat baca pada anak tidak muncul begitu saja tanpa dukungan
ataupun peran dari orang tua. Di luar keluarga, lingkungan masyarakat
sesunguhnya juga punya kontribusi untuk ikut menciptakan minat baca. Sebelum
anak mengenal lembaga sekolah, banyak orangtua sudah mengajarkan buah hatinya
dengan bacaan. Bisa jadi bukan mengajari anaknya membaca, tetapi mengenalkan
anak-anak dengan buku bacaan sesungguhnya sudah merupakan bagian dari membangun
minat baca. Menumbuhkan minat baca pada anak tentu sangat ditentukan oleh
bagaimana orangtua mendidiknya dalam membiasakan diri untuk membaca. Anak akan
menjadi terbiasa membaca buku ketika orang tuanya juga memiliki kebiasaan yang
sama yaitu membaca buku. Tetapi tentu tidak banyak keluarga yang mau
menciptakan suasana seperti itu. Harapannya tentu, masyarakat ikut peduli
dengan menciptakan layanan dan fasilitas baca. Kita sungguh patut mengapresiasi
kesadaran masyarakat yang ikut menciptakan lingkungan sosial yang bisa memupuk
minat baca anak-anak. Hadirnya rumah pintar atau sudut baca di beberapa sudut
kampung dengan segala keterbatasannya
sungguh merupakan bagian dari kontribusi masyarakat dalam menumbuhkan
minat baca.Singkatnya, sungguh tidak mungkin kita membangun minat baca tanpa
melibatkan peran orang tua dan lingkungan sosialnya yakni masyarakat. (Wahyu Kuncoro SN / Staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas
Sunan Giri (Unsuri) Surabaya )
Wallahu’alam bhis-shawwab