Minggu, 21 Februari 2010

Menelisik Aliran Success Fee Bank Jatim

Aliran dana berupa success fee sebagai bentuk ucapan ‘terima kasih’ yang mengalir dari Bank Jatim ternyata tidak hanya mengalir ke ke pejabat eksekutif di lingkungan Pemprov Jatim, tetapi juga ke kepala daerah di 38 Kota/Kabupaten sebagai pemegang saham. Temuan itu terungkap setelah Komisi C melakukan hearing dengan sejumlah pihak dan akademisi. (Kompas, 15/1/2010).
Sebagaimana diketahui, komposisi saham Bank Jatim ini terdiri atas 60% milik pemprov Jatim dan sisanya 40% milik Kabupaten/Kota dengan proporsi tertentu. Sebagai bentuk imbalan dalam membantu mengembangkan usaha Bank Jatim, masing-masing pemilik saham berhak mendapatkan success fee. Persoalannya adalah apakah pemberian dan penggunaan success fee tersebut sesuai aturan atau tidak. Dan inilah agenda penting berikutnya yang harus terus dikejar agar terungkap semua tanda tanya terkait misteri aliran dana Bank Jatim.
Mencuatnya kasus aliran success fee Bank Jatim ini berawal dari temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa ada enam Bank Daerah yang sudah memberikan fee adalah Bank Sumut (Rp 53,811 miliar), Bank DKI (Rp 17,075 miliar), Bank Jabar-Banten (Rp 148,287 miliar), Bank Jateng (Rp 51,064 miliar), Bank Jatim (Rp 71,483 miliar) dan Bank Kaltim (Rp 18,591 miliar), sehingga total fee mencapai Rp 71,483 miliar.
Pemberian fee yang dilakukan oleh pihak bank dilakukan dengan tujuan agar pejabat daerah bersedia menyimpan dana APDB di bank pemberi fee. Temuan aliran dana fee diberikan kepada kepala daerah selama periode 2004-2008. Menurut temuan KPK fee tidak hanya dalam bentuk uang cash, tetapi juga fasilitas lain seperti hiburan atau biaya lain untuk keperluan kerabat dekat pejabat daerah seperti pernikahan anak kepala daerah dan sebagainya.
Dalam perspektif bisnis, barangkali pemberian fee dari Bank Jatim dan juga bank-bank lain khususnya yang berstatus BUMD kepada pihak-pihak yang dianggap berjasa karena menanamkan investasi uangnya ke bank bersangkutan adalah wajar. Bahkan semua bank komersial lainnya barangkali memiliki budaya seperti itu untuk menarik minat agar banyak nasabah yang mau menanamkan uangnya. Namun langkah tersebut menjadi persoalan karena pihak yang diberi fee adalah pejabat publik yang notabene uang yang ditanamkan adalah milik publik dan bukan milik perseorangan. Logikanya, kalau pun toh nanti ada fee, tentulah fee itu juga dikembalikan kepada kepentingan publik dan tidak dinikmati oleh orang per orang. Kalau fee itu dinikmati untuk kepentingan pribadi sudah dengan sendiri pejabat yang bersangkutan akan terjerat pasal korupsi berupa penyalahgunaan jabatan dan upaya memperkaya diri sendiri. Namun masalahnya, praktik semacam itu seringkali dilindungi oleh aturan yang dibuatnya. Artinya, praktik yang sesungguhnya merupakan cikal bakal korupsi didesain dan ditutupi dengan aturan dan payung hukum. Akibatnya, tindakan tersebut dianggap legal karena memang ada payung hukumnya. Kasus pro-kontra soal legalitas jasa pungut (japung) barangkali bisa menjadi pelajaran. Betapa para pejabat kita baik eksekutif maupun legislatif mendapatkan sesuatu yang bukan haknya tetapi dilegalkan oleh aturan yang dibuatnya sendiri.
Lantaran itu, relevan kiranya langkah DPRD Jatim utamanya Komisi C untuk melacak kemana saja dana itu dan untuk peruntukan apa saja dana itu diberikan. Ini penting dilakukan agar ada transparansi dalam penggunaan anggaran. Sayangnya, sampai hari ini DPRD belum menjadi institusi yang kredibel untuk mengungkap kasus-kasus semacam itu. Sehingga publik pantas khawatir bahwa langkah DPRD Jatim untuk mengungkap kasus aliran fee hanyalah langkah basa-basi saja yang ujung-ujungnya juga ‘nyaris tidak terdengar’ hasilnya.
Kekhawatiran ini layak diungkapkan karena aliran fee semacam itu, bisa jadi bukan hanya ditujukan kepada eksekutif saja tetapi bisa jadi juga dinikmati oleh para legislatif. Karena tradisi politik kita menunjukkan tidak ada sesuatu yang gratis. Artinya, pemberian fee kepada eksekutif karena menanamkan dana APBD di Bank Jatim tersebut juga atas persetujuan DPRD Jatim. Biasanya DPRD juga tidak mau hanya jadi penonton. Pertanyaannya, apakah benar DPRD Jatim juga akan berani mengungkapnya bila aliran fee ini juga dinikmati anggota dewan meski itu pada periode sebelumnya?

Menertibkan BUMD
Praktik pemberian fee bagi pejabat adalah merupakan perilaku buruk yang hampir terjadi di hampir semua BUMN dan BUMD. Bahkan seringkali muncul ungkapan bahwa BUMN dan BUMD itu hanya dijadikan sapi perahan untuk membiayai banyak sekali keperluan pejabat seperti bermain golf sampai menggelar hajatan. Itulah yang nampaknya hari ini ingin ditertibkan. Bagi Bank Jatim, mestinya sudah lebih teratur, karena peraturan ketat yang diberlakukan oleh Bank Indonesia. Bank Jatim pun akhirnya menjadi bank yang sehat dan mempunyai kinerja yang baik, meskipun belum bisa melepaskan diri dari praktik pemberian fee semacam itu.
Komitmen untuk memberantas korupsi tak boleh mengendur. Kita memperkirakan masih banyak lagi yang bakal ditemukan oleh KPK terkait dengan praktik-praktik buruk seperti itu. Semua itu menunjukkan betapa budaya korupsi memang masih melekat dan tidak mungkin bisa dihilangkan secara serentak. Sekali lagi upaya preventif berupa perbaikan peraturan dan sistem haruslah terus dilakukan. Kelemahan peraturan bisa menjadi celah yang akan dimanfaatkan untuk hal-hal negatif yang hanya akan menguntungkan pejabat.
Realitas seperti ini tidak bisa dianggap remeh. Jika kita berhasil mengumpul kembali sebagian saja dari fee yang dimakan para pejabat atau mantan pejabat itu, bisa membangun banyak fasilitas infrastruktur yang berguna bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan rakyat di Jawa Timur.
PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dengan tegas tidak membolehkan pejabat menerima fee dari apa pun kegiatan atau proses aktivitas birokrasi dari proyek yang ditanganinya. Karena mereka sudah digaji, plus sudah mendapatkan berbagai tunjangan. Makanya, fee atas nama apa pun, itu tidak dibenarkan. Bisa saja itu dikategorikan korupsi uang negara, karena didapat setelah melaksanakan proses birokrasi pemerintahan atau proyek Pemerintah.
Akhirnya, bahwa pesan terpenting dari munculnya kasus ini adalah kian mendesaknya mengubah cara pandang dan cara memperlakukan BUMD. Kalau sebelumnya BUMD hanya tak lebih sebagai ‘kasirnya’ pejabat dan tempat penampungan mantan-mantan pejabat yang tidak memiliki job. Maka sudah seharus semua pihak ikut mendorong dan mengawal agar peran dan posisi BUMD benar-benar sebagai badan usaha yang profesional yang bisa bermanfaat bagai daerah yang bersangkutan.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

****
Penulis :
Wahyu Kuncoro SN
Jurnalis; Peneliti Public Sphere Center (PuSpeC) – Surabaya

Risma dan Dilematika PDIP

Langkah untuk menuju gelanggang Pemilihan Walikota (Pilwali) Kota Surabaya bagi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Tri Rismaharini semakin terang benderang. Usai silaturahmi ke tokoh PDIP Jatim Sutjipto, komunikasi politik dan penggalangan dukungan mulai intensif dilakukan Risma. Meski ada penolakan di kalangan internal PDIP, namun harus diakui, juga ada reaksi positif yang muncul dari para elit politik PDIP sendiri. Artinya, bila serangkaian komunikasi politik yang telah dimulai Risma terus berlanjut yang berujung pada kerelaan PDIP untuk mengusung Risma dalam Pilwali mendatang, maka itu berarti PDIP mulai berani bersikap rasional untuk mengusung figur yang akan dimajukan dam pilwali mendatang. Meskipun sesungguhnya langkah itu pada wilayah lain juga menunjukkan kalau PDIP tidak konsisten dalam sikap politiknya. Mengapa ? Tidak lain karena, jauh-jauh hari PDIP sudah menggembar-gemborkan mekanisme dan prosedur penetapan figur Cawali/Cawawali melalui forum Rakercabsus. Padahal forum tersebut sudah telanjur menetapkan nama Bambang DH, Saleh Ismail Mukadar dan Wisnu Sakti Bhuana sebagai nama yang disetor ke DPP untuk mendapatkan rekomendasi. Meski DPP memiliki otoritas penuh untuk menetapkan siapa nama yang dikehendaki, namun bila itu dilakukan maka akan menambah panjang daftar panjang inskonsistensi politik PDIP.
Sebenarnya kita tidak perlu terlalu heran dengan inskonsistensi PDIP dalam berpolitik. Pengalaman paling telanjang adalah dalam Pilgub Jatim kemarin. Ketika forum Rakercabsus yang digelar DPC-DPC se Jatim akhirnya secara mutlak telah memilih Soekarwo sebagai Bacagub PDIP, namun ketika sampai Jakarta ternyata keputusan yang diambil PDIP malah memilih Soetjipto yang notabene merupakan kader yang kalah. Blunder politik tersebut telah dibayar sangat mahal dengan kegagalan calon yang diusung PDIP. Dan Soekarwo yang telah 'didzalimi'nya justru yang muncul sebagai pemenang meskipun melalui Pilgub yang panjang dan melelahkan.
Memang, logika PDIP untuk tidak mengusung figur di luar partai barangkali ada benarnya. Sebagai partai besar, tentu akan menjadi naif bila PDIP tidak memiliki stok kader yang memadai. Artinya, mengusung Cawali dari luar partai sesungguhnya juga menandakan bila partai yang bersangkutan sedang mengalami krisis kader handal. Selain itu, pengalaman politik PDIP yang mengusung kepala daerah dari luar partai juga cenderung tidak mengenakan. Banyak tokoh yang berhasil menjadi kepala daerah melalui PDIP ternyata lupa akan ‘balas jasa’ terhadap partai pengusungnya. Pengalaman pahit seperti itulah yang kemudian memunculkan trauma bagi PDIP untuk mengusung tokoh dari luar partai.
Di atas itu semua, kengototan PDIP untuk mengusung kader sendiri juga disebabkan oleh sifat over confidence akan popularitas Bambang DH. Dalam pandangan PDIP, Bambang DH masih akan menjadi daya tarik yang luar biasa untuk menyedot perhatian publik. Kalaupun tidak boleh jadi cawali jadi Cawawali pun Bambang DH menurut mereka akan menjadi pendulang suara yang baik.
Namun perkembangan politik ternyata tidak seperti itu. Langkah DPC PDIP yang telanjur mendeklarasikan pasangan Saleh Mukadar-Bambang DH (Sabar) ternyata tidak mendapat respon yang memadai dari public. Meski Bambang DH masih memiliki pesona dihadapan warga Surabaya namun figur Saleh Ismail Mukadar justru menjadi kartu mati bagi PDIP untuk memenangkan Pilwali.
Di sela-sela kegamangan itulah, kemudian muncullah desakan agar PDIP berani mengusung nama yang berasal dari luar partai tetapi memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi. Salah satu figur yang dinilai memiliki kans besar dan popularitas tinggi adalah Tri Rismaharini.
Nama Risma ini sesungguhnya jauh-jauh hari sudah banyak disuarakan berbagai kalangan sebagai figur yang layak untuk memimpin kota Surabaya. Karya nyata yang dihasilkan selama menjadi birokrat di Pemkot Surabaya membuat warga kesengsem dengan Risma. Sayangnya partai politik yang ada cenderung memilih kader sendiri dibanding mencari figur yang kompeten dan teruji kapasitas dan kapabilitas dalam memimpin kota Surabaya. Sementara Risma sendiri tidak terlalu bernafsu untuk mengejar jabatan sebagai Walikota. Di berbagai kesempatan Risma selalu menolak untuk dicalonkan baik sebagai cawali maupun sebagai cawawali. Padahal dari segi popularitas jelas Risma sangat layak jual bahkan popularitasnya bisa jadi akan mengalahkan figur lain andai saja Risma mau mendeklarasikan diri maju gelanggang Pilwali.
Hari ini, partai politik cenderung melihat Pilwali sebagai ajang untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Tiket Cawali yang disediakan parpol tak ubahnya alat untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Mekanisme penjaringan cawali/cawawali yang digelar parpolnya tak lebih dari ‘aksi tipu-tipu, untuk mempedayai figur yang mendaftar. Bagaimana tidak, calon yang sudah lolos sampai pusat sekalipun tidak ada jaminan akan mendapat rekomendasi. Banyak mekanisme dan prosedur yang dibuat yang intinya bahwa parpol boleh semau gue dalam menetapkan figur yang bakal dipilihnya. Ironisnya, banyak figur yang terpikat dengan muslihat partai politik. Hasrat kekuasaan yang terlalu tinggi membuat banyak tokoh tidak sadar kalau tengah dipedayai parpol dengan iming- iming tiket cawali.
Dalam kungkungan budaya politik yang seperti itu, tidak terlalu keliru kiranya kalau Risma juga tidak terlalu tertarik untuk terjun dalam pertarungan politik yang tengah dipenuhi politisi-politisi yang mendewakan uang seperti itu.
Namun demikian, meski terkesan agak terlambat kalau benar Risma akan menjadi Cawali lewat pintu apapun khususnya lagi PDIP maka kahadirannya akan dinilai lebih bermartabat dibanding kalau Risma yang melamar ke parpol. Artinya, kesediaanya Risma untuk maju bukan karena keinginannya sendiri (baca : haus kekuasaan), tetapi karena aspirasi warga khususnya PDIP yang menilainya layak untuk memimpin Surabaya. Dan inilah salah satu nilai plus dari figur Tri Rismaharini. Yakni jadi pemimpin bukan karena ingin, tetapi karena diinginkan masyarakat.
Namun di atas itu semua, dilema besar kini justru terjadi di tubuh PDIP. Di satu sisi kalau PDIP tetap ngotot ingin maju dengan kader sendiri, misalkan dengan mengajukan pasangan Saleh-Bambang maka berat kiranya untuk menang. Selain figur Saleh yang terlalu kecil popularitas dan elektabilitasnya juga akan kesulitan untuk meraup dukungan suara dari luar PDIP. Logikanya karena kedua figur merupakan kader PDIP sehingga sulit untuk menarik suara dari komunitas lain. Sementara pada sisi lain, peluang PDIP untuk menang akan sedikit terbuka, namun sayangnya PDIP harus melirik calon di luar stok kader yang dimilikinya. Maka pertanyaan mendasarnya adalah, apakah PDIP ingin menang dalam Pilwali, ataukah tetap bersikukuh dengan egoismenya dengan mengusung kadernya sendiri untuk maju dalam Pilwali nanti dengan resiko kalah. Bagaimana PDIP ?
Wallahu’alam Bhis-shawwab

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...