Senin, 02 Agustus 2010

Kalau Bisa Murah, Kenapa Dibuat Mahal?

(Catatan Peran Teknologi Informasi dalam Demokratisasi)

Kebuntuan aktualisasi kedaulatan rakyat menjadi terbuka seiring dengan hadirnya reformasi 12 tahun silam. Implikasinya, pintu pelibatan publik dalam menentukan dan menata kehidupan ketatanegaraan terbuka lebar. Namun demikian, dalam fase demokrasi yang tengah beranjak berjalan ini, tentu banyak kelemahan di sana-sini. Perilaku dan praktik politik yang tidak jauh dari orientasi uang menjadi titik terlemah dari tampilan demokrasi kita. Itulah kerawanan paling mengkhawatirkan di tengah euforia demokrasi. Sebuah tabiat yang jauh dari norma dan etika demokrasi, dan berpotensi merusak substansi demokrasi itu sendiri, karena hanya melahirkan pemimpin dengan orientasi mengembalikan investasi politik yang telah dibelanjakan.
Munculnya pemimpin yang berorientasi materi itu, sesungguhnya menemukan pembenarannya dengan menilik bahwa ‘sistem dan prosedur’ demokrasi yang melahirkan sosok pemimpin ternyata membutuhkan biaya/ongkos yang sangat mahal. Dalam Pemilukada misalnya, seorang calon yang ingin maju maka hal pokok yang harus dipersiapkan adalah masalah kekuatan materi. Mengapa? tidak lain karena seluruh proses yang akan dilaluinya hampir pasti tidak ada yang gratis bahkan sangat mahal harganya. Dari mulai pendaftaran ke partai politik, proses seleksi dari mulai tingkat paling bawah sampai pengurus pusat semua ada harganya. Belum lagi dana untuk tim sukses dan kampanye yang luar biasa besarnya. Di luar dana yang harus disiapkan oleh masing-masing kontestan, pemerintah daerah juga harus menganggarkan melalui APBD untuk penyelenggaraannya.
Sementara di wilayah lain, aroma uang juga demikian kuat berhembus di tubuh partai politik. Sebagai pilar utama dalam menopang tegaknya demokrasi, wajah partai politik hari ini juga masih menjelma menjadi institusi yang lebih banyak berperan sebagai ‘broker’ kekuasaan yang ujung-ujungnya selalu mengkonversi setiap transaksi yang dilakukan dengan hitung-hitungan rupiah. Realitas semacam ini kadang bisa ‘dipahami’ mengingat seseorang untuk menjadi pemimpin partai mulai dari tingkat cabang sampai pusat juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kalau jadi ketua partai saja harganya mahal, tentu logikanya parpol akan dijadikan alat untuk bisa mengeruk keuntungan setidaknya agar bisa mengembalikan investasi yang telah dikeluarkan sebelumnya. Apalagi, di tengah tingginya angka pengangguran dan kemiskinan membuat parpol menjadi salah satu pelampiasan mereka yang tidak memiliki pekerjaan untuk terlibat. Imbasnya, partai dihuni oleh orang-orang yang lapar dan tidak punya pekerjaan. Sehingga tidak aneh kalau menjadi politisi ibarat sedang bekerja yang hasil akhirnya adalah seberapa uang yang didapatnya.
Dalam situasi parpol yang sedemikian, nampaknya menjadi tidak berlebihan kalau kemudian semua proses politik dan pemerintahan yang terjadi apalagi melibatkan partai politik maupun politisi (baca : DPRD) hampir pasti menjadi ajang transaksi belaka. Praktik itu bisa disimak dengan telanjang dalam setiap perumusan kebijakan baik berupa pembuatan UU, Perda dan apalagi yang berkaitan dengan penetapan anggaran. Itulah mengapa hampir semua implementasi kehidupan demokrasi di Indonesia teramat mahal, bahkan cenderung tanpa batas. Kita semua barangkali tidak terlalu terkejut mana kala seorang calon bupati menjadi gila karena tak mampu membayar utang miliaran rupiah yang dia gunakan untuk membiayai pencalonannya.
Terkadang ada rasa miris menyaksikan semuanya ini? Di saat negara ini sedang dirundung oleh duka karena kemiskinan dan kemelaratan, kita masih sempat menghabiskan dana miliaran rupiah demi harapan untuk mendapatkan sosok terbaik. Lantaran itu, benar kiranya apa yang disampaikan Mendagri Gamawan Fauzi bahwa ada sesuatu yang paradoks dalam praktik demokrasi kita yaitu untuk menjadi seorang kepala daerah dibutuhkan miliran rupiah, namun setelah menjadi kepala daerah mereka dituntut untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Gamawan mengungkapkan, gaji gubernur hanya Rp8,7 juta per bulan, sedangkan gaji bupati Rp6,2 juta.
“Logikanya, kalau menjadi gubernur membutuhkan Rp20 miliaran dengan gaji sebesar itu butuh waktu berapa lama untuk mengembalikanya,” ungkap Mendagri, Kompas (23/7/2010).
Apa yang disampaikan Mendagri tersebut setidaknya menunjukkan kepada kita betapa pemerintah sendiri masih gamang dalam mewujudkan sebuah pemerintahan yang bersih ketika sistem politik yang masih berjalan tersandera oleh praktik politik yang demikian mahal harganya.

Memangkas Ongkos Politik
Berkaca dari eksplanasi di atas, maka mahalnya biaya politik dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia setidaknya dapat dipilah menjadi dua faktor: pertama karena sistem dan prosedurnya dan yang kedua karena faktor manusianya. Dengan demikian langkah yang bisa diambil untuk memangkas mahalnya ongkos demokrasi tersebut, pertama harus menyentuh wilayah sistem/prosedur demokrasi yang berlangsung dan yang kedua mampu membangun karakter manusianya sehingga menjadikan manusia-manusia yang tidak mendewakan materi. Meskipun terlihat sederhana, tetapi upaya itu bukan hal yang mudah. Mengapa? tidak lain karena semua greget demokrasi yang berjalan selama ini selalu mengatasnamakan untuk memperbaiki keadaan, namun yang terjadi justru malah sebaliknya. Imbasnya, demokrasi yang terbangun jauh dari substansi demokrasi itu sendiri, yaitu yang menempatkan rakyat dan seluruh aspirasinya sebagai pemilik yang sah atas kedaulatan di negeri ini.
Di sinilah dilema dari praktik demokrasi di negara yang para elitenya belum dewasa dalam berdemokrasi. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikannya rendah adalah ladang subur terpeliharanya tradisi itu. Kita bisa melihat negara-negara yang relatif lebih dewasa dalam berdemokrasi dapat menjalankan pemilu langsung secara praktis dan ekonomis. Semua pihak ambil bagian. Menurut pakar ekonomi yang kini jadi politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Drajat Wibowo mahalnya biaya politik dalam penyelenggaraan demokrasi merupakan ekses dari Pemilu yang dilaksananan ditengah-tengah kemiskinan. Di negara-negara maju, rakyat tidak mau menjual suara, malahan rakyat yang membiayai kandidat secara sukarela seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Asutralia.
Realitas tentang demikian mahalnya ongkos politik dalam penyelenggaraan demokrasi sepatutnya bisa mendorong semua pihak untuk mendesain ulang sistem dan prosedur politik agar tidak terlalu mahal. Terlepas dari kontroversi yang terjadi, munculnya keinginan untuk mengembalikan model Pemilihan Gubernur (Pilgub) dari pemilihan langsung ke model pemilihan melalui DPRD setidaknya menunjukkan adanya kegelisahan betapa Pilgub menjadi prosesi politik yang sangat mahal. Sementara pada sisi lain, keberadaan gubernur sesungguhnya merupakan kepanjangtangan presiden yang seharusnya bisa sejalan dengan kebijakan presiden. Di luar wacana tersebut, kita juga patut mengapresiasi langkah kalangan legislatif untuk menaikkan angka ambang batas pemilu (Electoral Threshold) maupun ambang batas parlemen Parliament Threshold) sebagai sebuah upaya melakukan penyederhanaan partai politik. Penyederhanaan partai diharapkan bisa ikut menyederhanan proses politik baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam penyelenggaraan system demokrasi yang selama ini banyak direpotkan akibat demikian banyaknya partai politik yang terlibat.

Peran Teknologi Informasi
Esensi demokrasi adalah persoalan komunikasi. Komunikasi yang efektif memungkinkan perjuangan demokrasi bisa berlangsung secara cepat dan tentu saja murah. Dalam konteks ini, maka kehadiran Teknologi Informasi (TI) untuk ikut serta membangun komunikasi yang efektif menjadi relevan adanya. Karakter TI yang egaliter sangat sesuai dengan sifat demokrasi. Penyebaran informasi berlangsung secara peer to peer, one to one, one to many ataupun broadcast. Tidak ada hirarki penyampaian informasi yang mengarah kepada filterisasi informasi sebagaimana terjadi pada sistem informasi di suatu organisasi tertutup. Ide perjuangan demokrasi dengan mudah mencapai sasaran masyarakat luas tanpa terkendala oleh rejim pengawasan informasi yang dilakukan oleh penguasa.
Adanya TI menjadikan distribusi informasi akan menjadi lebih mudah dan cepat. Imbasnya komunikasi pun menjadi sesuatu yang tidak mahal lagi. Apalagi, beberapa faktor yang membuat demokrasi menjadi mahal harganya adalah karena distorsi informasi yang terjadi baik yang disengaja atau tidak.
Pada wilayah yang lebih luas, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi melalui dunia maya atau internet yang berbentuk jejaring sosial, seperti facebook, twitter, dan blog secara tidak langsung ternyata mampu memengaruhi proses demokratisasi di Indonesia. Gerakan demokrasi rakyat yang riil justru banyak ditemui lewat jejaring sosial, seperti facebook, twitter, dan blog. Hal itu menunjukkan bahwa ada perkembangan yang lebih baik dari masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya secara lebih luas, dibandingkan dengan dulu yang hanya mampu menyuarakannya lewat wakil rakyat di DPR.
Di dunia maya, setiap orang dapat berkomentar atau menyuarakan aspirasi dan dukungannya terkait isu-isu dan persoalan negara, maupun persoalan sosial yang tengah terjadi. Beberapa contoh menarik misalnya ketika kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit-Chandra, perseteruan RS Omni International dengan Prita Mulyasari, Bank Century, dan sebagainya yang menunjukkan antusiasme masyarakat menanggapi lewat jejaring sosial. Hal ini merupakan dampak positif perkembangan proses demokratisasi di Indonesia, terutama perkembangan dalam proses komunikasi politik, meskipun tetap ada dampak negatif yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi itu. Maka disadari atau tidak, kehadiran TI akan membuat demokrasi menjadi lebih mudah dan murah.
Persoalannya kemudian adalah siapkah kita untuk menjadikan demokrasi itu murah? Pertanyaan ini relevan diajukan karena realitas menunjukkan bahwa penikmat ‘mahalnya demokrasi’ adalah para pelaku politik (baca : politisi) yang notabene menjadi pengambil kebijakan-kebijakan dalam pemerintahan. Artinya, relakah para politisi kita untuk tidak lagi menikmati keuntungan yang bisa diraihnya ketika demokrasi itu mahal harganya. Bagi publik tentu berlaku logika, kalau demokrasi bisa dilangsungkan dengan murah dan mudah mengapa harus dibuat mahal dan rumit.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

***

Pendidikan Karakter, Bagaimana Menyemaikannya?

Praktik korup yang terjadi di segala bidang kehidupan dianggap biasa, bahkan seolah menjadi sebuah keniscayaan. Meminjam ilustrasi ‘zaman edan’nya Ranggawarsita, maka kita hari ini tengah mengalami krisis moral dan keteladanan. Buruknya perilaku moral bangsa justru dipertontonkan secara masif oleh mereka yang disebut panutan dan pemimpin bangsa. Melunturnya sikap kepemimpinan di segala lini membuat kita seolah-olah sebuah orkestra kehidupan tanpa konduktor. Karut marutnya moralitas dan budaya yang ditandai terjadinya krisis kejujuran, krisis keberanian untuk mengungkap yang benar dan berujung pada krisis kepercayaan ini membuat kita layak mempertanyakan kembali seperti inikah karakter bangsa ini?
Kian mencemaskannya budaya dan karakter anak negeri ini, menuntut kita untuk lebih peduli dan serius dalam menyemaikan kembali karakter bangsa yang bersendikan pada nilai-nilai luhur bangsa.
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menekankan pentingnya pendidikan karakter. Artinya, sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa maka pendidikan karakter mendesak untuk diterapkan. Pendidikan karakter sangat penting dalam rangka terbentuknya karakter peserta didik yang kuat dan kokoh, menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional tersebut menyiratkan bahwa melalui pendidikan hendak diwujudkan peserta didik yang memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual maupun kecerdasan kinestetika.
Harus diakui, selama ini pendidikan cenderung kepada peningkatan mutu intelektualitas. Porsinya kepada pembentukan nilai, budi pekerti, pendidikan moral masih minim. Orang tua lebih senang kalau anak dapat sepuluh, orientasinya pada pembentukan intelektual, bukan pada pembentukan karakter. Pendidikan karakter adalah mengubah tabiat yang berujung pada membentuk karakter dan sikap bangsa. Pembangunan karakter idealnya dibangun dari pendidikan dalam keluarga. Sayangnya, banyak orangtua yang belum memahami potensinya sebagai pendidik bagi anak-anaknya, padahal orangtua adalah aktor penting dalam pengembangan keterampilan hubungan sosial anak. Ada orangtua yang paham potensinya sebagai pendidik bagi anak-anaknya, namun mereka mengabaikan potensi itu hanya karena ingin memenuhi obsesinya semata yakni beranggapan bahwa mendidik anak pada sebuah institusi lebih baik dari hasil didikan langsung di rumah.

Bagaimana Menyemaikannya?
Bekaca dari paparan di atas, maka mempersiapkan sistem pendidikan yang mampu memberikan pondasi dalam membangun karakter anak didik menjadi semakin relevan untuk dilakukan. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana memulainya
Hemat penulis, ada beberapa catatan penting yang patut disodorkan sebagai bahan diskusi dalam membangun sebuah sistem yang bisa meletakkan dasar-dasar karakter bagi anak didik kita.
Pertama, membangun karakter anak bangsa bukan sebuah persoalan instan yang bisa dicapai dalam sekejap, namun membutuhkan poses panjang, terus menerus dan secara konsisten dilakukan. Lantaran itu, pendidikan yang menanamkan nilai-nilai luhur kemanusiaan (kejujuran, kreativitas moral dan kasih sayang universal) sangatlah perlu diberikan kepada anak-anak sejak usia dini. Dalam usia ini anak masih belum terkontaminasi dengan sifat yang kurang baik sehingga sangat memungkinkan untuk ditanamkan sifat-sifat atau karakter dasar. Penanaman pendidikan karakter pada anak usia dini diharapkan dapat mempersiapkan mereka kelak sebagai manusia-manusia yang mempunyai identitas di dalam masyarakat lokalnya sekaligus mempunyai visi global untuk membangun dunia bersama.
Dalam konteks ini, patut rasanya kita apresisai langkah pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang memiliki greget untuk memperhatikan perkembangan Pendidikan Anak Dini Usia (PAUD). Bergairahnya berbagai pihak untuk menyelenggarakan pendidikan PAUD tentu menjadi angin segar bagi upaya untuk mempersiapkan SDM sejak dini usia. Namun demikian perkembangan tersebut haruslah tetap dipantau agar niat positif untuk menyelenggarakan PAUD tersebut tidak ‘tersesat’ hanya menjadi sekadar gaya hidup belaka yang melupakan orientasi dan visi pendidikan di usia dini sebagai fase dasar dalam menanamkan karakter anak.
Kedua, bahwa pembangunan karakter sangat berkaitan dengan keteladanan. Artinya, pendidikan karakter tidak hanya cukup diajarkan melalui mata pelajaran di dalam kelas saja. Sekolah dapat menerapkannya melalui kegiatan-kegiatan pembiasaan. Pelaksanaannya dapat dilakukan baik secara spontan, terprogram, maupun dengan keteladanan. Kegiatan pembiasaan secara spontan bisa dilakukan dengan saling menyapa, baik antarteman, antarguru, maupun antara guru dengan murid. Guru-guru sebagai teladan harus datang pagi dan tidak terlambat. Begitu datang, guru sudah berdiri di depan pintu sekolah dan menyambut anak-anak yang datang dengan menyalaminya. Keteladanan yang diberikan seorang pendidik (guru) tentu tidak hanya ditampilkan dalam lingkungan sekolah saja. Dalam masyarakat pun seorang guru harus tetap bisa memberikan keteladanan dalam sikap dan perilaku kesehariannya. Dalam falsafah Jawa mengajarkan bahwa guru berarti digugu lan ditiru (jadi panutan dan contoh). Dengan demikian, ketika hari ini kita menyaksikan anak didik tidak mampu menampilkan perilaku dan karakter yang kita harapkan maka bisa jadi karena para pendidik/guru juga tengah mengalami krisis keteladanan.
Ketiga, bahwa merujuk peran guru sebagai pendidik memiliki makna bahwa seorang guru bukan hanya menyampaikan ilmu pengetahuan tetapi juga mendidik anak dalam bersikap dan berperilaku. Pertanyaannya adalah sudahkan para guru kita hari ini memiliki bekal yang memadai untuk menjadi pendidik? Menjadi pendidik bukan hanya membutuhkan kecerdasan dan kemapanan dalam penguasaan ilmu pengetahuan tetapi juga harus memiliki kemapanan dan kematangan dalam sikap dan berperilaku.
Pertanyaan ini layak untuk diajukan mengingat kebijakan pendidikan kita relatif memberikan kelonggaran bagi siapa saja untuk menjadi guru. Kalau dulu untuk menjadi guru, minimal harus lulus Sekolah pendidikan Guru (SPG) ataupun Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) --sebuah institusi yang secara khusus didesain untuk menghasilkan tenaga pendidik dan kini sudah dibubarkan--, namun hari ini semua orang bisa menjadi guru hanya dengan mengikuti semacam pendidikan penyetaraan. Pemerintah sepertinya menganggap bahwa mempersiapkan SDM menjadi tenaga guru sama halnya dengan mempersiapkan SDM pada bidang kerja lainnya sehingga tidak perlu dipersiapkan secara khusus. Imbasnya, siapa saja yang ingin menjadi guru dipersilakan asalkan telah ‘menyesuaikan’ pendidikan dengan pendidikan khusus. Jalur pintas menjadi tenaga didik inilah yang membuat sektor pendidikan khususnya tenaga guru menjadi ‘pelarian’ bagi masyarakat yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor lain. Ironisnya lagi, SDM buangan ini pada akhirnya akan berperan pada sektor yang sesungguhnya sangat strategis bagi bangsa ini. Logikanya, bagaimana kita bisa menghasilkan anak didik yang berkualitas dan memiliki karakter yang mapan kalau tenaga didiknya (guru) saja diproduksi secara instan ditambah lagi dengan bahan baku yang ala kadarnya. Pesan terpentingnya dari realitas tersebut adalah bahwa sungguh menumpuk aspek dan sektor yang perlu dibenahi agar pendidikan bisa menjadi instrumen terpenting dalam membangun karakter anak didik.
Akhirnya, kita sungguh berharap dunia pendidikan menjadi motor penggerak untuk memfasilitasi pembangunan karakter, sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan norma-norma di masyarakat. Pembangunan dan pendidikan karakter menjadi suatu keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas, juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun orang lain.
Wallahu'alam Bhis-shawwab

***

Momentum Mengembalikan Martabat KPK

Menemani KPK Melintasi Masa-masa Kritis (1-bersambung)


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini tengah memasuki fase-fase kritis dalam melintasi sejarahnya. Akumulasi persoalan yang terus menimpa lembaga ini membuat posisi dan perannya semakin mencemaskan. Seleksi calon pimpinan KPK yang sedang berjalan hari ini pun sejatinya juga berpotensi menghadirkan masalah baru yang akan memperumit posisi KPK.
Misalnya polemik menyangkut masa jabatan ketua KPK yang baru nanti. Panitia seleksi mengisyaratkan pimpinan KPK yang baru menjabat selama empat tahun. Itu berarti akan terjadi dualisme masa jabatan pimpinan KPK karena empat unsur pimpinan KPK yang lain—Chandra M Hamzah, Bibit Samad Rianto, Muhammad Jasin, dan Haryono Umar—akan berakhir masa jabatannya pada 18 Desember 2011. Sementara itu, Komisi III DPR menghendaki masa jabatan pimpinan KPK yang mengisi kekosongan hanya satu tahun. Polemik soal itu dan segala komplikasinya hanya akan melemahkan KPK. Selain itu, proses seleksi yang dianggarkan Rp2,5 miliar ini merupakan proses yang tidak mudah, karena berada di bawah kritik masyarakat terhadap KPK dan juga terhadap pemerintah sendiri sebagai penyelenggara seleksi tersebut.
Pemilihan Pimpinan KPK baru ‘terpaksa’ dilakukan menyusul Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memutuskan mantan Ketua KPK Antasari Azhar terbukti terlibat dalam pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen dan divonis 18 tahun penjara. Merujuk pada UU 30/2002 tentang KPK menggariskan bahwa pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan karena menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana. Pasal ini dikoreksi Mahkamah Konstitusi saat Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah menguji pasal tersebut. MK mengoreksi pasal tersebut menjadi pemberhentian tetap baru bisa dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan MK itu tidak berlaku surut sehingga Antasari tidak bisa ikut ‘terselamatkan’ dengan putusan MK tersebut. Antasari diberhentikan tetap karena dia bukan hanya berstatus terdakwa, melainkan telah divonis pengadilan meskipun Antasari sendiri banding. Dengan dalil adanya kekosongan pimpinan KPK, sesuai UU, Presiden mengusulkan calon pengganti kepada DPR. Panitia seleksi pun dibentuk dan bekerja dengan membuka pendaftaran calon pimpinan KPK.
Belajar dari pengalaman, seleksi pimpinan KPK nantinya akan berujung kepada pengajuan nama kepada DPR untuk disetujui. Di DPR nantinya akan ada proses politik untuk melakukan fit and proper test. Seleksi inilah yang menurut kita akan rawan dengan kepentingan politik. Proses pemilihan Antasari Azhar dulunya misalnya diwarnai dengan hal ini. Sosok yang sejak pemilihannya sangat kontroversial itu terbukti akhirnya terlibat di dalam kasus yang sangat mempermalukan lembaga sebesar KPK.

Mengembalikan Martabat KPK
Proses seleksi dan kemudian penentuan dari DPR menyebabkan banyak pihak merasa enggan menempuh proses itu. Korupsi di negeri ini memang sudah sangat luar biasa parah. Karena itu dibutuhkan cara-cara yang sangat luar biasa pula. Dan orang yang harus memberantas korupsi, haruslah sosok yang luar biasa pula. Artinya, mencari pimpinan KPK, bukan perkara mudah. Dicari, manusia setengah dewa!
Kebutuhan akan manusia setengah dewa itu semakin relevan dikemukakan agar bisa mengembalikan pamor KPK. Disadari atau tidak, hari ini pamor KPK mulai meredup akibat tumpukan persoalan yang menghadangnya. Dari vonis 18 tahun untuk mantan ketua KPK Antazari Azhar, kasus dugaan penyuapan terhadap Bibit-Candra M Hamzah, pengakuan Ketua MK Mahfud MD bahwa ada ‘mafia kasus’ yang bergentayangan di sekitar orang-orang KPK hingga sikap KPK dalam menuntaskan skandal bailout Bank Century yang kurang greget membuat sebagian mulai gelisah bahwa KPK mulai kehilangan idealismenya. Dalam bekapan persoalan yang sebanyak itu, maka momentum seleksi pemilihan pimpinan KPK ini menjadi ajang pertaruhan bagi keinginan dan upaya untuk mengembalikan jati diri dan martabat KPK yang sempat terkoyak oleh beberapa kasus di atas.
Lantaran itu untuk mengembalikan kembali martabat KPK, maka Pimpinan KPK tidak saja harus memiliki integritas tinggi dan keberanian dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, tetapi juga harus memiliki moral yang baik. Oleh karena itu, rekam jejak, prestasi, dan latar belakang calon harus menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan pimpinan KPK kali ini. Calon pimpinan KPK mutlak harus bersih dan tidak memiliki cacat hukum di masa lalu. Panitia seleksi tidak boleh memberi toleransi terhadap sekecil apapun rekam jejak buruk calon di masa silam, baik dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan korupsi maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kecacatan sedikit saja akan berdampak pada upaya pemberantasan korupsi yang akan dilakukannya kelak. Sebab, hal itu akan dijadikan koruptor sebagai senjata untuk menghalangi upaya pemberantasan korupsi.
Calon pimpinan KPK juga harus memiliki konsep 'zero tolerance' terhadap korupsi dan antiintervensi politik. Artinya, calon tidak boleh tunduk pada elite negeri ini, termasuk pada pimpinan lembaga tinggi negara. Mereka juga tidak boleh disusupi kepentingan politik atau berafiliasi dengan partai politik. Hal ini penting agar tidak terjadi tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Apalagi salah satu yang harus dibersihkan adalah lembaga pemerintahan. Calon pimpinan KPK harus bisa membuat terobosan saat menangani beragam kasus dan memiliki pemahaman hukum yang kuat. Mereka pun harus memiliki keberanian karena nantinya akan menangani perkara tindak pidana korupsi kelas kakap dan berhadapan dengan pelaku korupsi yang memiliki jaringan mafia hukum.
Muncul kabar yang merisaukan kita bahwa mayoritas pendaftar berlatar belakang pengacara. Di antara mereka adalah figur yang selama ini dikenal sebagai pengacara terdakwa korupsi. Sampai hari ini, publik masih belum menemukan dari para pendaftar itu ''manusia super'' yang diharapkan bisa memimpin lembaga pemberantas korupsi ini. Karena itu, sejumlah gagasan pun bermunculan. Salah satunya, panitia seleksi diminta lebih proaktif dan melakukan pendekatan personal kepada figur-figur yang diharapkan bisa memimpin lembaga super seperti KPK. Sebab, ada kecenderungan, orang-orang yang baik, kredibel, tulus, dan ikhlas dalam hidupnya tidak akan menyodorkan diri untuk menggapai jabatan tertentu. Selain itu, bisa pula, orang yang memiliki ciri-ciri tersebut tidak memiliki nyali yang cukup untuk memimpin KPK. Sebab, seperti diketahui, medan tempur yang akan dilalui sangatlah berat. Hanya orang bernyali super yang akan berani memimpinnya. Selain dengan pendekatan pribadi, jalur lain mungkin bisa ditempuh. Misalnya, seseorang, sekelompok orang, atau organisasi masyarakat yang peduli pada pemberantasan korupsi, mendorong, melakukan pendekatan, dan mendaftarkan seseorang yang diyakini memiliki kriteria memadai menjadi pimpinan KPK. Entah mana yang pas dan realistis untuk ditempuh. Yang kita harapkan, panitia seleksi yang diketuai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar harus mencari terobosan agar persoalan tersebut terpecahkan. Pemimpin KPK yang terpilih nanti benar-benar yang memenuhi kriteria manusia super: berintegritas, kredibel, tulus/ikhlas dalam mengabdi, serta memiliki keberanian di atas rata-rata. Memang, panitia seleksi hanyalah pintu masuk awal bagi seseorang untuk menjadi pimpinan KPK. Pintu berikutnya ada di tangan anggota dewan di Senayan. Namun, pintu awal ini jelas sangat menentukan. Bila panitia seleksi sukses menyeleksi dan memilih orang-orang super, tentu pilihan mana pun yang dijatuhkan anggota dewan nanti, tetaplah manusia super yang layak memimpin KPK. Dengan demikian, hasil kerja panitia seleksi jelas sangat menentukan. Dan, rasanya, harapan layak disandarkan di sana. Sebab, pengalaman selama ini belum cukup untuk mengantarkan kita memiliki harapan banyak kepada anggota dewan. Masih terlalu banyak perilaku anggota dewan yang menjadikan kita sulit menaruh kepercayaan kepada mereka. Apalagi, tidak sedikit dari mereka -baik yang masih aktif maupun yang sudah mantan- tersangkut kasus korupsi dan harus berhadapan dengan KPK.
Kepentingan politik memang tidak mudah dilihat dari awal. Pemerintah yang pasti memiliki kepentingan, parlemen yang juga punya kepentingan, jelas tidak ingin kelihatan terlalu menonjol di dalam hal itu. Persoalan besar adalah ketika seorang pimpinan KPK telah menjabat, maka “pesan-pesan” politik itulah yang akan menonjol. Parahnya, seorang pimpinan KPK yang terpilih tidak akan serta merta disodori sejumlah persoalan-persoalan masa lalu. Hal-hal demikian hanya akan digunakan di masa mendatang, manakala entah itu pemerintah maupun parlemen hendak menggolkan sebuah kepentingan. Tidak heran kemudian, belajar dari kejadian yang menimpa Antasari Azhar dan percobaan kriminalisasi pimpinan KPK serta berbagai keanehan dari kasus-kasus yang disidik oleh KPK, publik meragukan seleksi ini akan berjalan dengan baik.
Keberadaan KPK masih sangat dibutuhkan bangsa ini. Tanda-tanda tindak korupsi akan berkurang masih jauh. Bahkan, ada kecenderungan meningkat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pelakunya juga bukanlah orang-orang sembarangan. Tapi, orang yang memiliki power besar dan kelihaian merekayasa suatu masalah. Sudah menjadi keyakinan kita bersama bahwa tindak korupsi adalah ancaman besar bagi masa depan bangsa. Karena itu, melawan dan mengenyahkan adalah langkah yang mutlak dilakukan. KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, tidak bisa tidak, harus diselamatkan. Salah satunya adalah menciri figur pimpinan yang terbaik. (bersambung).

============================================
Menemani KPK Melintasi Masa-masa Kritis (2-habis) -- sub
Jangan Biarkan KPK Kesepian
Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian

Sejak kelahirannya, KPK terus saja digugat. Uji materi terhadap UU KPK dan UU Tipikor beberapa kali diajukan sampai akhirnya MK memutuskan Pengadilan Tipikor kehilangan konstitusionalitas sampai dengan 19 Desember 2009. Pada tingkat gagasan, ketika KPK mulai menyentuh pusat kekuasaan, muncul keraguan soal pemberantasan korupsi model KPK. Mulai disuarakan isu bahwa pemberantasan korupsi menghambat penyerapan anggaran negara atau ungkapan banyak orang mulai takut menjadi pemimpin proyek karena takut ditangkap KPK.
Permasalahan yang menerpa KPK semakin kronis ketika mantan pucuk pimpinan tertingginya yakni Antasari Azhar menerima vonis hukuman 18 tahun penjara karena khusus keterlibatannya pada pembunuhan. Fakta tersebut bukan hanya berdampak pada berkurangnya personel KPK secara permanen, tetapi yang paling menyedihkan adalah ternodanya kredibilitas KPK di mata publik. Belum lagi rencana pengadilan terhadap Bibit-Candara oleh PN Jaksel pada kasus dugaan penyuapan sebagai imbas pembatalan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Majelis hakim PN Jaksel mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Anggodo Widjojo, tersangka kasus upaya percobaan penyuapan dan upaya menghalang-halangi penyidikan. Anggodo meminta SKPP atas nama Bibit dan Chandra dicabut. Dengan diterimanya gugatan Anggodo, membuat KPK kembali menghadapi masalah.
Melihat masalah yang membelit Bibit dan Chandra, sepertinya ada pihak-pihak tertentu yang ikut bermain dengan memasang perangkap untuk memperlemah KPK. Cara itu mungkin saja untuk menyibukkan KPK agar tidak fokus dalam menjaring para koruptor, termasuk terkait dengan skandal Century yang diduga melibatkan Wapres Boediono dan (mantan) Menkeu Sri Mulyani. Berangkat dari fakta tersebut, tidak berlebihan bila kemudian muncul kecurigaan bila putusan praperadilan terkait Bibit dan Chandra akan menghambat kinerja KPK. Memang masih ada jalan untuk mematahkan keputusan PN Jaksel, yakni melalui Kejaksaan Agung lewat banding. Peran Kejaksaan Agung akan menjadi kunci apakah kasus Bibit dan Chandra ini merupakan permainan untuk mematikan KPK atau benar-benar karena alasan hukum.
Terlepas pada terlibat tidaknya mereka, jelas kasus tersebut mulai menodai kepercayaan publik terhadap KPK. Awalnya publik berharap bahwa anggota apalagi pimpinan KPK adalah benar-benar manusia setengah dewa yang tidak punya cela sedikitpun.
Hingga saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan diri sebagai lembaga andalan memerangi korupsi. Tidak ada seorang pun, termasuk seorang Anggodo Widjojo bisa meloloskan diri dari tangan KPK. Dukungan publik begitu besar saat KPK diterpa oleh masalah. Fenomena itu bisa terjadi karena sampai hari ini, KPK-lah yang dipercayai dan diyakini sebagai lembaga yang mampu dan sungguh-sungguh memberantas korupsi. Namun, di tengah begitu tinggi apresiasi publik terhadap peran KPK, kita pun tidak bisa memungkiri bahwa penyakit mulai menggerogoti tubuh KPK.
Pengakuan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD tentang adanya mafia hukum yang ‘menempel’ pada instansi KPK jelas sebuah persoalan serius bagi KPK. Karena itu, bila tidak disikapi bisa jadi akan merusak citra KPK yang dipandang relatif bersih dibanding institusi hukum lainnya. Terlepas dari sinyalemen yang mengarah ada mafia dalam internalnya, KPK perlu mengambil tindakan nyata untuk membuktikan bahwa lembaga itu bersih dari orang-orang yang bisa mengatur penyelidikan, penyidikan dan penuntutan atas kasus korupsi yang sedang diusutnya.
Dari awal pembentukannya, para perumus UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah mengantisipasi terhadap kemungkinan pimpinan, anggota dan pegawai KPK berbuat kejahatan. Ada sanksi penjara bagi anggota ataupun pegawai KPK yang mengadakan hubu-ngan langsung atau tidak langsung dengan tersangka, atau siapa saja yang ada korelasinya dengan kasus korupsi yang sedang ditangani oleh komisi. Bahkan, sanksi lebih keras dimuat dalam UU tersebut dengan mencantumkan ancaman hukum ditambah sepertiga terhadap anggota dan pegawai KPK yang melakukan tindak pidana korupsi. Jelaslah, berbagai aturan dan rambu-rambu yang amat terang sudah ada untuk membentengi KPK agar tidak dicemari bermacam praktik tercela dan ilegal. Bahkan, kode etik internal pun juga membatasi para petinggi ataupun pegawai KPK. Kalaupun nantinya, dari hasil penyelidikan internal ditemukan bukti awal keterlibatan personel KPK dalam makelar kasus, maka wajib bagi lembaga itu untuk mengungkapkannya secara transparan. KPK pun berkewajiban menerapkan sanksi hukum tanpa sedikit pun membela aparatnya yang terlibat. Dengan demikian, memang KPK layak dipercaya.

Skandal Century
Kasus Century boleh jadi merupakan ‘berkah’ besar bagi upaya pengungkapan kasus korupsi di tanah air. Berkat kasus Century, skandal-skandal korupsi lainnya ikut terbuka. Bergulirnya kasus Century ke pansus ternyata diiringi dengan terbukanya berbagai kasus, semisal pengemplang pajak, kasus L/C fiktif, dan kasus-kasus lainnya. Kasus Century juga merupakan skandal yang banyak ditengarai sebagai pangkal kejadian Cicak versus Buaya yang akhirnya melahirkan tokoh Susno Duaji serta dibuatnya Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum. Belakangan, Susno Duaji dan satgas banyak terlibat di kasus mafia pajak ala Gayus. Tidak hanya sampai di situ. Terjadi pertarungan antarjenderal, semacam 'perang bintang' di kepolisian. Bahkan terungkap makelar-makelar kasus lainnya yang katanya biasanya hingga berkantor di kepolisian. Ada beberapa jaksa yang dihentikan sementara dari jabatan mereka. Di Ditjen Pajak juga demikian. Beberapa mantan petingginya juga mulai dikejar.
Hampir semua sektor telah mulai menjadi sasaran. Hampir semua pihak yang terlibat juga telah mulai memberikan catatan. Pada saat yang sama, pihak-pihak yang terlibat telah melakukan langkah-langkah tertentu dengan tujuan tertentu. Namun, suara kencang itu terkesan riuh, bahkan boleh jadi terlalu bising. Di titik tertentu, mulai ada banyak yang terungkap, tetapi pada saat yang sama ada yang tidak terungkap dan semakin gelap.
Dalam pengungkapan skandal Bank Century, posisi KPK menjadi terjepit di antara beragam kepentingan politik yang mengitarinya. Ibaratnya maju kena mundur pun kena. Kondisi ini secara telanjang terlihat bagaimana respon publik yang telanjur membubung berkat ‘aksi akrobatik’ Pansus DPR dalam mengungkap skandal Bank Century. Aksi heroik bak pahlawan dari para anggota Pansus Century seolah telah menjatuhkan vonis yang dengan sendirinya harus diikuti oleh KPK. Di mata DPR RI dan kemudian diikuti oleh publik yang telanjur gemas dengan pemerintah yang terkesan melindungi Wapres Boediono dan (mantan) Menkeu Sri Mulyani ikut-ikut berharap agar KPK segera mengeksekusi pejabat yang dinilai (secara politik) terlibat di dalamnya. Dan ketika KPK tidak serta merta mengambil sikap sejajar dengan hasil rekomendasi Pansus berimbas KPK giliran menjadi sasaran kekecewaan publik. Sikap KPK yang hati-hati (pada sisi lain dianggap lamban) terhadap kasus Century sesungguhnya menemukan pembenaran ketika ternyata parpol pendukung Pansus pun ternyata hanya ‘main-main’. Artinya, sehebat apapun hasil dan rekomendasi Pansus ternyata tak lebih dari alat transaksi politik semata. Keluarnya Sri Mulyani dari kabinet Indonesia Bersatu II ke Bank Dunia seolah menjadi target utama Pansus. Sehingga nyanyian nyaring Pansus untuk mengusut skandal century pun menjadi nyaris tak terdengar lagi.
Kabar adanya barter kasus antara pemerintah dan sejumlah partai politik yang berhembus kencang belakangan ini tentunya sangat memprihatinkan kita. Tapi, kita berharap KPK tidak sampai terpengaruh. Independensi dan kredibilitas KPK dipertaruhkan, jangan sampai dapat dipengaruhi pihak-pihak yang memiliki ‘’vested interest’’ pribadi maupun kelompok/golongan. Apa jadinya bangsa ini bila hal-hal yang buruk melanggar hukum malah dibarterkan dengan hal-hal yang melanggar hukum pula, sementara KPK malah melemah, membuat kebijakan melawan hati nurani rakyat.
Publik harus terus mengawal proses jalannya tindak lanjut hukum Bank Century setelah melewati ranah politik yang melelahkan agar kasusnya segera ke jalur hukum. Siapa pun yang bersalah harus diperiksa dan dihukum tanpa pilih kasih. Mengingat beban dan tanggung jawab yang dipikulkan kepada KPK amat besar, sekaligus menjadikan KPK sebagai harapan terakhir bangsa Indonesia, seharusnya pimpinan negeri ini segera mengambil langkah. Jangan biarkan masalah ini berlarut-larut, kecuali memang menginginkan KPK lumpuh. Jika benar percaya KPK dapat memberantas "tikus-tikus" yang menggerogoti negara, berilah kesempatan pada KPK seutuhnya. Jangan setengah-setengah, apalagi direcoki dengan rekayasa. Tetapi, jika KPK tak dibutuhkan, karena dianggap mengganggu kinerja pemerintah, ya bubarkan saja.
Terus menerus terpaan yang menempa KPK semakin membuat KPK pada posisi lemah. KPK sedang kesepian. Ia membutuhkan dukungan publik yang kuat. Kita khawatir berbagai skandal korupsi yang terus terjadi, disertai hilangnya komitmen elite memberantas korupsi, membuat rakyat kian frustrasi. Mempertimbangkan itu semua, kita memandang KPK masih dibutuhkan. Meskipun demikian, kita pun harus belajar bahwa pemberian kewenangan luar biasa tetap membutuhkan mekanisme kontrol yang ketat karena pada intinya kekuasaan tetap berpotensi untuk korup. Sekali lagi jangan biarkan KPK kesepian menghadapi ini semua. Dukungan dan control tetap harus diberikan dalam menjalankan tugasnya menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di negeri ini.
Wallahu’alam Bhis-shawwab
(Catatan : Merupakan naskah yang menjadi Juara Pertama Lomba Jurnalistik KPK 2010 Kategori Media Cetak)
***

Rabu, 26 Mei 2010

Pesan Politik Kemenangan Anas

Sepekan sudah kongres II Partai Demokrat selesai digelar. Namun demikian, perbincangan tentang apa yang terjadi berikut figure yang terpilih menahkodai Partai Demokrat untuk periode 2010-2015 masih ramai terdengar. Melalui pertarungan ketat hingga harus dua putaran, Anas Urbaningrum (AU) mampu meraih kursi ketua Umum Partai Demokrat setelah mengalahkan kandidat lain yakni Andi Malarangeng (AM) dan Marzukie Ali (MA). Dalam putaran kedua, AU mampu meraih dukungan 280 suara (53 %) dan MA meraih 248 suara (47%). Sementara calon kuat yang banyak dijagokan yakni AM malah sudah harus terpental di putaran pertama, Kompas (24/5).
Sebagai perhelatan terakbar partai penguasa, tentu apa yang terjadi selama kongres menjadi menarik untuk disimak. Sebagai partai terbesar, maka yang terjadi di dalamnya juga merepresentasikan bagaimana wajah dan dapur partai politik kita. Dengan demikian, bagaimana prospek demokrasi ke depan seharusnya juga dapat dibaca dari apa yang terjadi selama kongres berlangsung.
Kemenangan AU yang juga Ketua Fraksi Demokrat DPR RI ini memang cukup mengejutkan banyak kalangan. Mengingat sebelumnya, prediksi lebih banyak mengunggulkan Menpora Andi Malarangeng yang akan menang. Klaim dapat dukungan dari Cikeas menjadi faktor penyebab mengapa AM lebih diunggulkan. Terlepas dari kejutan tersebut, hemat penulis setidaknya ada 5 (lima) ‘pesan politik’ yang bisa dipetik dari kemenangan Anas Urbaningrum dalam perhelatan kongres II Partai Demokrat khususnya bila direlasikan dengan masa depan dan perkembangan demokrasi di tanah air.
Pertama, kekhawatiran intervensi SBY dalam menentukan ketua umum nyaris tidak terlihat. Klaim bahwa SBY lebih memihak calon AM yang dimanifestasikan dari dukungan putra bungsu SBY Edi Bhaskoro alias Ibas tidak terbukti. Bahkan bisa jadi klaim tersebut menjadi bumerang bagi AM, ketika secara terbuka di depan peserta kongres SBY menegaskan agar peserta memilih ketua umum berdasarkan hati nuraninya. Artinya, klaim tim sukses AM yang dalam berbagai kesempatan terkesan ‘mengeksploitasi’ Cikeas menimbulkan sikap kurang simpati peserta kongres. Sikap SBY yang membiarkan para kader partai demokrat bertarung secara fair dan terbuka akan menjadi garansi bagi kader-kadernya untuk berbuat yang terbaik. Sikap SBY tersebut juga akan mengurangi tingkat ketergantungan partai terhadap SBY. Dengan demikian, melalui kongres SBY telah ‘berhasil’ mendidik kader-kadernya untuk secara perlahan menentukan nasib dan masa depan partai sendirinya.
Kedua, bahwa terpilihnya Anas Urbaningrum dalam kongres juga mencerminkan kemenangan demokrasi yang berpijak pada akar rumput. Artinya, dukungan arus bawah terhadap sosok AU, terbukti tidak tergoyahkan oleh AM yang lebih banyak didukung oleh elit politik. Realitas ini tentu menjadi kabar baik bagi dunia politik kita yang lebih banyak mempertontonkan panggung politik yang lebih banyak bersikap ‘minta petunjuk’ dibanding dengan mendengarkan apa yang terjadi di tingkatan arus bawah. Artinya, pelajaran terpentingnya adalah bahwa para politisi mestinya harus lebih banyak bergaul dengan masyarakat bawah dibandingkan dengan ‘bermanis muka’ dengan elit politiknya saja.
Ketiga, realitas lain yang menggembirakan adalah bahwa ternyata peserta kongres benar-benar mengapresiasi kinerja nyata dari para calon. Terbukti dalam putaran pertama AU dan MA lebih banyak mendapatkan dukungan dibandingkan dengan AM. Fakta ini bisa jadi menunjukkan bahwa kader-kader Demokrat menyadari betul siapa yang telah berkeringat dalam membesarkan partai. Hal ini penting dicatat, karena banyak partai yang acap dalam memilih pengurus lebih memilih kader ‘kutu loncat’ baik karena pertimbangan popularitas maupun materi dibandingkan kader-kader mereka sendiri yang telah merintis karier politik dari bawah.
Keempat, gagalnya AM lebih dini, yakni sudah tersungkur sejak putaran pertama juga menandakan bahwa popularitas bukan lagi segala-galanya. Tidak ada pihak manapun yang menyangkal popularitas AM. Bahklan dari segi publikasi dan kampanye di media-media, AM jauh lehih agresif dibandingkan calon lain. Namun ternyata popularitas tidak serta merta menjamin elektabilitas yang tinggi pula. Pengalaman ini sesungguhnya sangat relevan bila dikontekstualisasikan dengan hajatan Pemilukada di berbagai daerah yang lebih menyandarkan popularitas dibanding kualitas dan kapasitas kader. Sempat hebohnya publik karena beberapa artis ibukota yang ikut Pemilukada di daerah seharusnya mulai tercerahkan dengan fenomena yang terjadi di Partai Demokrat. Artinya, para elit parpol tidak seharusnya terlalu ‘silau’ dengan popularitas seseorang, sehingga kadang harus mengorbankan proses perkaderan yang telah berjalan. Dengan demikian, harus diakui bahwa Partai Demokrat melalui kongresnya telah mengajarkan dan membutikan bahwa popularitas bukan segala-galanya dalam melakukan kompetisi politik.
Kelima, bahwa kemenangan AU juga diharapkan bisa menjadi momentum terjadinya alih generasi di parpol dan khususnya lagi di negeri ini. Dengan usianya yang masih 41 tahun telah menjadikan AU sebagai ketua partai termuda. Apa yang terjadi di Demokrat tersebut seharusnya membuat malu para elit politik partai lain yang masih sangat bergantung pada generasi tua. Bandingkan saja dengan usia Ketua Umum PDIP Megawati yang sudah 64 tahun, Ketum Golkar Aburizal Bakri (63 tahun), Ketua Partai Hanura Wiranto (63 tahun) dan sebagainya. Dari fakta tersebut kita berharap partai-partai lain tidak terus-menerus bergantung pada figur-figur yang sudah tidak up to date lagi alias kedaluwarsa.

Menakar Prospek 2014
Bahwa hasil Kongres II Partai Demokrat juga harus dibaca sebagai langkah Demokrat menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 mendatang. Artinya, siapapun Ketua Umumnya yang terpilih jelas tidak bisa dilepaskan dari figur calon presiden yang akan diusung oleh Demokrat nanti. Mengingat pada Pilpres 2014 nanti Demokrat sudah tidak bisa mencalonkan lagi SBY untuk ketiga kalinya sehingga harus dicarikan figure penggantinya. Dengan kata lain, Demokrat telah memilih AU untuk menjadi figur yang bisa jadi akan dimajukan dalam Pilpres nanti.
Meski masih relatif muda, banyak pihak memang menilai bahwa AU memiliki potensi dan kemampuan untuk menjadi pemimpin puncak negeri ini di masa mendatang. Sikap cerdas, yang dibalut dengan penyampaian yang santun baik dalam sikap dan tutur kata akan menjadi modal penting untuk merebut hati pemilih nanti. Kemampuan AU merebut kursi ketua umum Demokrat melalui proses yang demokratis sejatinya telah menunjukkan kematangan dan kepiawaiannya dalam politik. Jika potensi dan konsistensi itu terus terjaga maka bukan tidak mungkin AU nanti akan menjadi generasi penerus SBY memimpin negeri ini.
Pada tahun 2014 nanti, AU akan genap berusia 46 tahun yang hanya selisih satu tahun lebih muda dari Barack Obama yang menjadi presiden Amerika Serikat (AS) ketika berusia 47 tahun. Artinya, kalau negara sebesar AS saja bisa memberi kesempatan orang muda semacam Barack Obama untuk memimpin, tentu Indonesia juga bisa, mengapa tidak?
Wallahu’alam Bhis-shawwab

Kisah Relokasi Pasar Keputran

Kebijakan relokasi pasar selalu menarik untuk disimak. Bukan saja karena kebijakan ini selalu menghadirkan ‘perlawanan’ dari para pedagang, tetapi juga karena selalu dikaitkan dengan adanya ‘kepentingan’ yang ikut menumpang di balik kebijakan tersebut.
Analisis cukup menarik disampaikan oleh Yunan Syaifulah dalam artikelnya yang berjudul “Memaknai Relokasi Pasar” yang dimuat Surya (17/5). Namun, sayangnya Yunan lebih banyak memaparkan penilaiannya menyangkut keberadaan pasar tradisional dan pasar modern, sehingga tidak secara jelas mengupas makna lebih dalam dalam penertiban Pasar Keputran.
Awalnya, publik di Surabaya sempat pesimistis, bahkan cenderung apatis ketika mendengar Pemkot Surabaya berniat menertibkan para pedagang kaki lima di Pasar Keputran yang menempati ruas jalan. Sikap semacam itu wajar, mengingat problem kesemrawutan Pasar Keputran sudah berlangsung bertahun-tahun dan desakan publik untuk menertibkannya juga sudah berulang-ulang terjadi. Namun, apatisme dan sinisme publik tersebut tidak menyurutkan langkah Pemkot Surabaya untuk mengembalikan Keputran pada fungsi semula.
Sebelum benar-benar ingin mengeksekusi Pasar Keputran, wacana relokasi terlebih dulu dilontarkan. Beragam reaksi bermunculan. Kalangan legislatif pun beragam menyikapinya. Ada yang positif mendukung dan ada pula yang malah mencurigai ada agenda terselubung di balik rencana untuk menertibkannya.
Mendekati saat-saat eksekusi, publik benar-benar diliputi kecemasan. Kecemasan itu muncul bukan saja dipicu oleh tradisi penertiban yang identik dengan praktik kekerasan yang acap berujung pada jatuhnya korban, tetapi juga karena di berbagai media baik cetak maupun elektronik menyuguhkan bentrok kekerasan antara warga dengan Satpol PP DKI Jakarta yang ingin menertibkan kawasan di Makam Mbah Priok.
Kekerasan berdarah tersebut seolah mengingatkan bahwa kebijakan penertiban menjadi ajang praktik kekerasan kepada warga. Aparat kepolisian dan Satpol PP seolah menjadi aktor utamanya. Tragedi makam Mbak Priok seolah menjadi penegas bahwa dalam setiap kegiatan penertiban selalu identik dengan ajang kekerasan terhadap warga, sehingga layak untuk dilawan.
Fakta tersebut disadari atau tidak telah ikut ‘memprovokasi’ untuk melawan apa saja yang berbau penertiban, termasuk pedagang di Keputran. Terbukti begitu mendengar bahwa Pemkot Surabaya akan menertibkan keberadaan mereka, para pedagang mengonsolidasi diri dan bersiap-siap seolah akan memasuki medan perang melawan siapa saja yang ingin mengusik kenyamanan mereka berdagang. Bagi mereka tampaknya berlaku kamus tak peduli siapa yang salah dan benar, pokoknya penertiban harus dilawan. Dan tanda-tanda akan terjadi perang demikian terasa.
Di hari yang ditetapkan untuk eksekusi, kita disuguhi saat-saat mendebarkan ketika para PKL dan pedagang Keputran sudah siaga dengan beragam senjata di genggaman berdiri membentuk barisan siap menghadang dan melawan penertiban.
Ketika eksekusi ditunda, ada yang berpikir bahwa Pemkot Surabaya memilih kalah. Namun, ternyata tidak. Pemkot dengan dibantu Polwil Surabaya dan Satpol PP memilih strategi lain yakni melakukan blokade ke semua akses menuju Pasar Keputran. Semua pedagang dilarang berjualan. Akibat aktivitas pedagang pun berhenti. Selain itu, perlahan para aparat kepolisian secara persuasif mendekati para pedagang dan memberi tekanan-tekanan secara psikologis. Perlahan-lahan akhirnya Keputran ditaklukkan.
Memetik Pesan
Tidak berlebihan kiranya bila penertiban Pasar Keputran adalah sebuah kisah sukses (success story) yang patut menjadi pilihan sebagai cara baru dalam melakukan penertiban. Meski penertiban tersebut belum tuntas benar, terbukti para pedagang tidak sepenuhnya rela pindah ke tempat yang telah disediakan seperti Pasar Induk Osowilangun atau Pasar Induk Agrobisnis dan ada yang bertahan di setren kali, namun keberhasilan membebaskan lahan publik di Pasar Keputran patutlah diapresiasi secara positif.
Ini pelajaran menarik. Pertama, agenda pembangunan yang berwajahkan penertiban sesungguhnya tidak harus berujung pada kekerasan dan jatuhnya korban. Budaya tersebut harus ditiadakan dalam praktik kehidupan yang akan mengedepankan aspek partisipasi publik. Artinya, publik bisa mengambil peran positif. Bila kesadaran ini terus-menerus disampaikan maka budaya tertib akan menjadi salah satu gaya hidup di kota tercinta ini. Membiarkan pelanggaran sekecil apa pun tentu akan jadi preseden bagi pelanggaran yang lebih besar.
Kedua, bahwa keberhasilan membersihkan Keputran dan mengembalikan ruas jalan ke fungsi semula menunjukkan bahwa pemkot bisa melakukan dan menertibkan ‘ketidakteraturan’ yang selama ini nyaris tak tersentuh. Keberhasilan tersebut harus jadi modal penting untuk melakukan penertiban-penertiban lainnya. Artinya, Pemkot tidak perlu ragu-ragu untuk menegakkan aturan demi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Keberhasilan tersebut juga diharapkan dapat menginspirasi semua kalangan bahwa budaya tertib dan taat aturan lebih akan memberikan kenyamanan dalam berusaha.
Hal ini perlu ditegaskan, mengingatkan Pemkot Surabaya meski punya keberanian untuk menertibkan, namun acap tidak disertai konsistensi dalam menegakkan aturan. Pengalaman dalam penertiban Pasar Gembong bisa jadi pembandingnya. Ternyata Pemkot relatif tidak peduli ketika secara perlahan-lahan para pedagang barang bekas tersebut mulai menempati lahan itu lagi. Kondisi itu bila tidak segera disikapi, maka bukan tidak mungkin pemkot akan butuh energi dan ongkos yang lebih mahal lagi untuk menertibkan.
Maka pertanyaan serupa tentu juga layak diajukan pada proyek penertiban Pasar Keputran yakni apakah kebijakan untuk mengembalikan fungsi jalan adalah kebijakan yang memang ‘tulus’ untuk kepentingan publik ataukah sekadar proyek yang ujung-ujungnya mengarah pada keinginan untuk meraup sejumlah rupiah.(Dimuat di Harian SUrya 19 Mei 2010, Ditulis Wahyu Kuncoro SNPeneliti Public Sphere Center (Puspec) - Surabaya)

Mengurai Kesemrawutan DPT PIlwali Surabaya

TINGGAL tiga pekan lagi, Pemilihan Wa­li Kota-Wakil Wali Kota (Pilwali) Surabaya 2009 akan segera digelar. Sayang, bukan kabar menggembirakan yang diharapkan bisa memantik rasa optimisme dan gai­rah untuk menyambutnya. Namun, kabar mencemaskan yang justru kita dapat. Selain belum optimalnya fungsi-fungsi pengawasan, ada temuan kasus-kasus baru yang boleh jadi menambah keraguan kita bahwa pilwali yang akan dihelat pada 2 Juni 2010 tersebut akan berlangsung secara fair. Salah satu masalah pelik yang kini membutuhkan penyelesaian serius adalah temuan adanya daftar pemilih tetap (DPT) berma­salah di beberapa kecamatan di Surabaya. Menurut tim sukses pasangan Risma-Bambang D.H., di beberapa kecamatan pihaknya menemukan nama-nama "aneh" yang masuk DPT. Disebut aneh karena nama itu ternyata merujuk pada orang yang sudah meninggal atau anak-anak yang masih di bawah umur, yang notabene tidak masuk dalam DPT. Bahkan, dari hasil verifikasi Panwas Ko­ta Surabaya, ditemukan selisih 702 pemilih. Berdasar hasil pengawasan panwas ter­ha­dap validasi DPT di 163 panitia pemungut­an suara (PPS), ada selisih 702 pemilih. Berdasar rekap DPT versi panwas, ada 2.143.403 pemilih. Sementara itu, DPT ver­si KPU yang ditetapkan PPS pada 18 April lalu memastikan ada 2.144.105 pemilih. Artinya, jumlah pemilih dalam DPT versi panwas lebih sedikit jika dibandingkan de­ngan versi KPU (Jawa Pos, 11/5).Persoalan tersebut tak urung menimbulkan kecemasan dan pesimisme bahwa pilwali nanti bisa menjadi ajang pesta demokrasi yang benar-benar demokratis. Bahkan, bisa jadi realitas itu akan menyuburkan kecuriga­an bahwa pilwali yang akan digelar nanti hanya akal-akalan segelintir orang yang memiliki modal besar sehingga bisa merekayasa hasilnya. Kecemasan tersebut tentu saja beralasan. Sebab, bila angka DPT yang bermasalah itu signifikan, jelas legitimasi hasilnya nanti akan terpengaruh. Dan, penga­laman dalam pilgub Jatim kemarin juga mengajarkan kepada kita bahwa pro­sesi pemilu lokal bisa "diutak-atik" untuk bisa memenangkan calon tertentu. Baik dimulai saat penyusunan DPT, tahap pemilihan, hing­ga tahap penghitungan hasilnya.Karena itu, semua pihak, khususnya KPU Kota Surabaya berikut aparat di bawahnya, yakni panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan PPS di tingkat kelurahan, seharusnya lebih mem­buka diri terhadap data DPT yang mereka punya. Sebab, kalau masih ada pihak-pihak yang mencoba menutup-nutupi masalah tersebut, akan muncul bumerang. Biarkan semua pihak bisa mengakses DPT sehingga nanti dapat dilakukan koreksi atau setidaknya bisa diantisipasi melalui langkah-langkah yang bisa disepakati bersama. Menutup diri dan mengklaim bahwa DPT "baik-baik saja" tentu sudah bukan zamannya lagi.Problem DPT memang menjadi masalah yang pelik dan cenderung bersifat laten dalam setiap penyelenggaraan pemilu, sebagai­mana yang terjadi saat pilpres maupun pileg lalu. Artinya, hampir dalam setiap pe­nye­lenggaraan pemilu dan pilkada, dari waktu ke waktu selalu hadir masalah, khususnya dalam penyusunan DPT. Persoalan tersebut akan menjadi problem serius atau setidaknya akan jadi bahan yang berpotensi "bermasalah" ketika hasil pemilu menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan. Namun, masalah DPT akan dianggap angin lalu bila perbedaan hasil pemilu terlalu jauh. Artinya, DPT akan jadi masalah panjang bila selisihnya bisa memengaruhi hasil. Harus diakui, munculnya masalah dalam penyusunan DPT mencerminkan betapa buruknya sistem administrasi kependudukan kita. Logikanya, kalau dalam pembuatan KTP saja bisa muncul ganda, bukan hal aneh bila dalam penyusunan DPT pun hal yang sama bisa terjadi. Sebab, dalam penyusunan DPT, memang modal dasarnya adalah data kependudukan yang notabene juga "bermasalah" validitasnya. Terlepas dari masih buruknya sistem administrasi kependudukan kita, munculnya kekacauan DPT tersebut juga mengindikasikan masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam penyusunan DPT. Satu-satunya harapan agar DPT tidak ber­ma­salah adalah KPU -melalui petugas di kecamatan dan kelurahan- secara sungguh-sunguh memverifikasi DPT itu. Sayang, harapan tersebut rasanya juga terlalu berlebihan bila disematkan dalam pundak KPU dan jajarannya. Ketidakjelasan anggaran bagi PPK dan PPS yang sempat terjadi bisa jadi ikut memengaruhi kesungguhan mereka untuk bekerja. Tentu saja masalah anggaran tidak bisa dijadikan dalih untuk menghindar dari tanggung jawab tersebut. Artinya, kasus DPT bermasalah menunjukkan bahwa kinerja KPU dan aparat di bawahnya tidak optimal. Mereka ten­tu tidak boleh berkilah bahwa tidak ada warga yang memprotes sebelumnya. Sebab, bagaimanapun mereka memiliki tugas untuk memverifikasi data yang berasal dari dinas kependudukan tersebut. Ruwetnya DPT ber­arti sama dengan verifikasi yang dilakukan KPU beserta jajarannya tidak maksimal. Se­mentara verifikasi data menjadi ranah KPU. Dalam konteks ini, KPU tidak patut lepas tangan dalam menyikapinya.Hemat penulis, catatan terpentingnya ialah bukan mencari siapa yang paling bertanggung jawab dalam masalah DPT tersebut, tetapi tugas lebih penting lagi adalah bagaimana menyikapi DPT bermasalah itu. Ini penting untuk dilakukan agar kita tidak berlarut-larut dalam berdebat tentang siapa yang salah dan harus bertanggung jawab. Selain itu, kesigapan dalam mengurai masalah DPT tersebut diperlukan agar jangan sampai masalah DPT ini menjadi konsumsi politik untuk menyerang atau membangun citra politik pasangan tertentu. Sebab, kalau itu yang terjadi, bukan tidak mungkin masalah tersebut hanya akan ramai dalam wacana tanpa ada penyelesaian yang tuntas.Tidak banyak pilihan ideal yang bisa diambil dalam menyikapi masalah DPT. Mem­verifikasi ulang dan membuat DPT baru, misalnya, jelas tidak mungkin karena berarti juga akan menunda tahap pilwali yang telah ditetapkan. Satu-satunya langkah ia­lah membuat kompromi semua pihak dengan tetap merujuk pada keputusan formal yang telah dibuat. Misalnya, KPU mem­­beri tanda nama mana yang bermasalah dalam DPT sehingga tidak boleh meng­gu­nakan hak pilihnya dalam pilwali nanti. Selain itu, bagi yang belum masuk DPT, mereka boleh menggunakan hak pilihnya, asal bisa menunjukkan identitas diri yang sah sesuai dengan domisilinya. Namun, ini tentu harus dikonsultasikan bersama agar tidak menyalahi hukum formal yang ada. Arti­nya, diperlukan kesepakatan-kesepakat­an bahwa penyelesaian yang diambil adalah bersifat darurat sehingga tidak sampai membuyarkan tahap yang telah disusunnya.Di atas itu semua, munculnya temuan DPT bermasalah tersebut haruslah disyukuri. Sebab, itu berarti kita telah menemukan salah satu potensi yang bisa saja akan jadi masalah saat penetapan hasil nanti. Kita berharap kasus tersebut segera diselesaikan agar nanti tidak menjadi pintu masuk bagi pihak-pihak yang tidak diuntungkan oleh hasil pilwali Surabaya mendatang. (Artikel ini dimuat di Jawa Pos edisi 12 Mei 2010. Penulis : Wahyu Kuncoro SN, adalah jurnalis, peneliti pada Public Sphere Center (Puspec) Surabaya

Senin, 01 Maret 2010

Rumitnya Menegakkan Peraturan di Tengah Masyarakat Lapar

Menertibkan Kegiatan Pertambangan di Jatim

Undang Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara membawa semangat baru bagi Jawa Timur. Kehadiran UU yang dipertegas dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan serta PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dinilai mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya pengelolaan pertambangan yang salah dan tidak berpihak pada masyarakat dan lingkungan.

"UU 4/2009 memuat ketentuan tentang penetapan wilayah pertambangan yang tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan, sehingga berdasarkan kewilayahan telah ditentukan wilayah usaha, wilayah untuk pemberdayaan masyarakat dan wilayah pencadangan negara (konservasi)," jelas Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jatim Ir Dewi J Putriatni, Msc.
Menurut pejabat yang baru memimpin Dinas ESDM selama tiga bulan ini, Jawa Timur memiliki sekitar 20 jenis bahan tambang unggulan yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan sektor industri dan konstruksi di Jatim dan sekitarnya. Implikasinya, Pemerintah Propinsi Jatim harus mengambil langkah-langkah serius sejalan dengan amanah UU 4/2009 tersebut.
"Kita akan lakukan evaluasi terhadap seluruh aktivitas pertambangan mineral yang ada di Jatim baik yang izin usaha pertambangannya diterbitkan Kab/Kota maupun Provinsi," jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga akan melakukan pembinaan dan penertiban pertambangan tanpa izin secara persuasif dan melakukan tindakan hukum bila diperlukan.
"Kita intensifkan monitoring pemanfaatan hasil tambang dan mendata lahan bekas tambang," jelas alumnus Teknik kimia ITS ini.
Dan sebagai bukti komitmennya tersebut, Dinas ESDM Jatim turun ke lokasi tambang di Jatim untuk melihat kondisi alam, tata cara penambangan dan penanganan pasca tambang pada Rabu-Kamis (24-25/2) lalu. Lokasi yang jadi tujuan awal adalah penambangan pasir batu (sirtu) di Ngoro Mojokerto dan penambangan batu andesit (batu kali) di Winongan Pasuruan.
Selain Bhirawa, tim juga terdiri dari unsure Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jatim dan Biro Sumber Daya Alama (SDA) Pemprov Jatim. Tim yang ke Mojokerto dipimpin oleh Kadis ESDM Dewi J Putriatni, sementara tim ke Pasuruan dipimpin Kabid Air Tanah Dinas ESDM Rustamadji.
Menurut Dewi, dari hasil kunjungan tersebut setidaknya membantu dirinya untuk melakukan pembenahan-pembenahan terhadap kondisi pertambangan yang ada di Jatim.
Ketika meninjau lokasi pertambangan sirtu di Ngoro Mojokerto misalnya, timnya menemukan fakta-fakta yang barangkali tidak sama persis dengan yang sering dipublikasikan media selama ini.
"Ada memang kerusakan-kerusakan lahan tambang yang mencemaskan, namun ada juga pihak penambang yang punya komitmen untuk melakukan reklamasi lahan," jelasnya lagi. Yang perlu ditekankan bahwa kerusakan-kerusakan lahan yang banyak terjadi adalah akibat ulah Penambang LiarTanpa Izin (PETI).
"Kalau para penambang yang berizin, masih bisa kita kendalikan. Namun yang merupakan PETI inilah yang sulit mengatasinya," tambahnya.
Menurut Dewi, permasalahannya bukan sekadar hukum harus ditegakkan tetapi juga menyangkut kelangsungan hidup warga sekitarnya yang sudah bertahun-tahun menggantungkan hidupnya dengan cara menambang pasir (secara liar).
“Menambang pasir sudah menjadi taruhan hidup dan mati bagi mereka. Kondisi seperti ini tentu butuh pendekatan yang persuasif. Orang yang sedang lapar tentu sulit diajak bicara soal hukum,” tambah Dewi lagi. Namun demikian, tentu kondisi tersebut tidak boleh menyurutkan langkah untuk terus mengedukasi warga agar tidak semau-nya melakukan aktivitas penambangan secara liar.
Harapan agar ada penertiban terhadap penambang liar tersebut juga disuarakan oleh para penambang yang memiliki izin. Salah satunya adalah PT Karya Mitra Sejati yang mengantongi izin pertambangan sejak 1993. Luas lahan yang dimilikinya mencapai 445 hektar. Dari lahan seluas itu hanya 68% yang bisa dilakukan penambangan.
"Ada beberapa lahan yang digunakan untuk bangunan dan juga tempat tinggal, sehingga tidak seluruhnya bisa diambil bahan tambangnya," jelas direktur PT Karya Mitra Sejati MH Huddin Al Sony. Dan dari potensi lahan yang ada tersebut jelas Sony sudah 72% yang diambil hasil tambangnya. Pihaknya berkomitmen untuk melakukan reklamasi terhadap lahan yang sudah diambil.
"Jadi tidak benar tudingan kalau kami menelantarkan lahan bekas tambang. Dari cara menambang hingga pengelolaan pasca tambang kami mematuhi ketentuan yang berlaku," jelasnya lagi.
SEMUA perusahaan tambang yang berizin telah memiliki kontrak kesepakatan dalam izin yang dikeluarkan Gubernur Jatim. Bahwa setiap perusahaan tambang diwajibkan menempatkan dana jaminan reklamasi lingkungan sekitar tambang di Bank Jatim berdasarkan luas areal pertambangan.
Lebih lanjut, menurut Sony yang juga menjabat Sekjen Asosiasi Perusahaan Tambang (Apertam), pihaknya berharap agar pemerintah tidak hanya menekan kalangan penambang untuk mengurus perizinan, tetapi juga memberikan jaminan agar bisa berusaha secara nyaman. Pasalnya, disatu sisi pemerintah menekan para penambang legal, namun di sisi lain pemerinath juga membiarkan para penambang liar (illegal mining) untuk beroperasi.
"Kami sering kena getah akibat ulah penambang liar yang cenderung kurang memedulikan lingkungan," keluhnya..
Kabag ESDM dan Lingkungan Biro SDA Pemprov Jatim, Diah Susilowati ketika dikonfirmasi Bhirawa mengungkapkan, persoalan yang terjadi di Ngoro, Mojokerto, telah menjadi concern biro-nya.
“Tahun ini telah diagendakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) terkait kerusakan lingkungan di Ngoro akibat penambangan Sirtu,’’ jelasnya.
Nantinya kajian ini akan dijadikan referensi dalam merumuskan kebijakan penataan lahan di Ngoro dan Gempol.
“Masyarakat juga akan dilibatkan karena merekalah yang ikut memberi kontribusi terjadinya kerusakan,’’ tambahnya. Selain ini, pihaknya (Biro SDA, red) juga telah mempersiapan Draft Peraturan Gubernur (Pergub) tentang kriteria kerusakan lahan akibat penambangan sistem terbuka.
’’Adanya Pergub diharapkan bisa menekan kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan, akibat penambangan dan bisa memaksa penambang untuk melakukan reklamasi lahan bekas tambang,” tegasnya.
Selain meninjau lokasi penambangan di Ngoro, tim juga melakukan peninjauan ke lokasi penambangan batu jenis andesit yang dikelola anak perusahaan Holcim Indonesia yakni PT Pendawa Lestari Perkasa (PLP). Pemegang SIPD 545.4/080/116/1997 yang berlokasi di Ds Jeladri, Kecamatan Winongan, Pasuruan memiliki izin lahan seluas 71 hektar.
’’Sampai sekarang baru sekitar 14 hektar lahan yang sudah ditambang,’’ jelas Corporate Comunication PT Holcim Indonesia Deni Nuryandain.
Menurut alumnus Undip ini, proses penambangan sudah dimulai sejak 1998, namun produksi baru benar-benar stabil pada tahun 2000-an. ’’Praktis baru 9 tahunan kita produksi secara stabil," tambahnya.
Sementara itu Manajer Operasi PT PLP, Ir Tribowo menjelaskan sistem penambangan yang dilakukan dengan block systems. Dari keseluruhan lahan yang ada dibagi dalam 4 blok. Penambangan dilakukan secara berurutan.
’’Kita sudah melakukan penambangan di blok yang kedua. Untuk blok yang selesai ditambang (blok I) langsung kita reklamasi,’’ jelasnya.
Sementara itu Kabid Air Tanah Dinas ESDM, Rustamadji mengakui dengan model sistem blok kerusakan lahan akibat kegiatan pertambangan bisa segera direklamasi.
’’Kalau menggunakan model lain yakni single continuous batch, maka kerusakan alam baru bisa direklamasi ketika kegiatan penambangan sudah selesai semua. Dan inilah yang sering diprotes masyarakat dan LSM,’’ tegas Rustam.
Lebih lanjut, menurut Rustamadji, selain mengevaluasi kegiatan pertambangan, kunjungan ke PT PLP juga untuk mensosialisasikan UU Minerba yang baru berikut PP yang telah terbit.
Rencananya, selain kedua lokasi itu, Dinas ESDM Jatim juga akan meninjau lokasi penambangan di tempat lainnya di Jatim. Semangatnya tentu saja agar kegiatan pertambangan yang ada di Jatim tetap berjalan tanpa harus mengabaikan aspek lingkungannya.
Menurut Kadis ESDM Jatim, Ir Dewi J Putriatni MSc kegiatan pertambangan akan membuat berubahnya morfologi (bentang alam), namun dengan melalui perencanaan dan tahap pertambangan yang benar maka usaha pertambangan akan berdaya guna dan berhasil guna bagi meningkatnya perekonomian.
Sayangnya, lanjut Dewi sektor pertambangan sebagai komoditas alternatif masyarakat dimanfaatkan sebagai mata pencaharian sehingga terjadi eksploitasi sumber daya mineral tanpa melalui mekanisme legalitas dan prosedur yang benar.
’’Praktik seperti itu menyebabkan persepsi kalau sektor pertambangan merupakan pemicu terjadinya kerusakan lingkungan," ungkap Dewi dengan penuh keprihatinan. ( wahyu kuncoro sn/wartawan Harian Bhirawa)

Wahyu Kuncoro SN: Jalan Berliku Menuju Revitalisasi Industri Pupuk

Wahyu Kuncoro SN: Jalan Berliku Menuju Revitalisasi Industri Pupuk

Jalan Berliku Menuju Revitalisasi Industri Pupuk

Penulis :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa
Alumnus Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya


Lazimnya, petani di negeri ini hanya akan mengalami dua musim, yakni musim tanam dan musim panen. Namun menariknya, ternyata masih ada satu musin lagi yang pasti dialami para petani kita yakni musim kelangkaan/kenaikan harga pupuk.
Ya, persoalan penyediaan pupuk bagi petani sudah sangat parah. Hal itu terjadi setiap tahun, dan dianggap peristiwa musiman yang tak terlewatkan. Pemerintah sepertinya tak sanggup merumuskan solusi untuk menjamin ketersediaan pupuk dalam jumlah yang mencukupi dan dengan harga yang terjangkau. Padahal, pusaran sumber utama kelangkaan dan melambungnya harga sudah terdeteksi sejak lama, yakni di mata rantai distribusi. Hal itu mengacu pada pengakuan produsen pupuk, bahwa jumlah produksinya memenuhi kebutuhan petani tanaman pangan. Tudingan yang diarahkan pada para distributor pupuk pun tak lebih retorika yang tanpa makna. Sebab kenyataannya pemerintah tak mampu menumpas kejahatan dalam distribusi pupuk.
Ironisnya, kebijakan subsidi pupuk yang diberikan pemerintah juga menjadi tak berarti, manakala musim kelangkaan tiba. Niat mulia membantu petani dan memacu produktivitas pertanian, kalah dengan kepiawaian para distributor mengakali tata niaga yang disusun pemerintah. Tak ada pilihan lain, petani harus membeli pupuk berapa pun harganya.
Untuk mengatasi penyimpangan alokasi pupuk bersubsidi tersebut, sesungguhnya bukan persoalan yang rumit. Pemerintah tidak perlu lantas mencabut subsidi, sebagaimana yang dilakukan terhadap BBM. Apalagi kita sepakat komoditas pupuk masih perlu disubsidi untuk memacu produktivitas pertanian, di samping juga meringankan beban petani, yang juga masih merasakan beban berat dampak kenaikan harga BBM.
Konsumen pupuk yang sangat spesifik, ditambah wilayah penyebaran yang terkonsentrasi di sentra-sentra pertanian, sebenarnya memudahkan pemerintah untuk mengarahkan kembali alokasi pupuk bersubsidi hanya kepada petani tanaman pangan. Cukup dengan menata kembali distribusi dari produsen, persoalan seharusnya teratasi. Sayangnya, formulasi kebijakan distribusi dan tata niaga pupuk, tak cukup efektif menjamin pupuk bersubsidi tersebut jatuh ke tangan petani secara memadai. Sebut saja kebijakan rayonisasi dalam distribusi oleh produsen pupuk, dinilai masih mengandung kelemahan. Di antaranya tidak ada fleksibilitas manakala di wilayah distribusi satu produsen terjadi kelangkaan, sementara di rayon lain yang bukan wilayah distribusinya pupuk melimpah.

Jaminan Produksi Pupuk
Paparan di atas setidaknya menyadarkan kita betapa persoalan pupuk sesungguhnya sangat strategis bagi masa depan bangsa ini. Artinya, nasib bangsa ini khususnya dalam menjamin ketahanan pangan di masa mendatang sangat ditentukan seberapa kita bisa mengelola produksi pupuk berikut mendistribusikannya.
Apalah artinya produksi pupuk melimpah kalau aliran distribusi pupuknya tidak mengarah pada petani yang membutuhkan. Demikian pula sehebat-hebatnya sistem dan mekanisme distribusi yang kita miliki, juga tidak akan terlalu berarti ketika produksi pupuk juga mengalami kendala apalagi sampai macet. Artinya, bahwa di samping membenahi distribusi pupuk yang terus dililit masalah, penting kiranya memikirkan produksi pupuk yang juga dihadapkan pada persoalan yang tidak kalah rumitnya, yakni kapasitas industri pupuk yang terbatas karena usia pabrik yang sudah tua sehingga efisiensinya berkurang dan pasokan gas yang juga mengancam kelangsungan industri pupuk di tanah air. Sekadar catatan bahwa sekitar 90 persen bahan baku pupuk adalah gas. Sehingga dengan sendirinya ketika pasokan gas tiada, maka kelangsungan hidup industri pupuk pun ikut menjadi terancam.
Berpijak pada kondisi ini, maka keinginan pemerintah untuk melakukan revitalisasi industri pupuk menjadi menemukan relevansinya. Selain karena pupuk merupakan sarana produksi pertanian dalam mendukung ketahanan pangan nasional sebagaimana paparan di atas, juga karena mempertimbangkan tingkat kebutuhan pupuk yang akan terus mengalami peningkatan.
Faktor lain yang tak kalah pentingnya mengapa revitalisasi industri pupuk merupakan keniscayaan adalah karena pabrik pupuk yang ada sudah tua dan kurang efisien, sehingga kapasitas pabrik yang ada sekarang tidak mampu memenuhi kebutuhan pupuk ke depan.
Untuk mendukung rencana revitalisasi pabrik pupuk itu, maka ketersediaan pasokan gas menjadi hal pokok untuk dipersiapkan secara jangka panjang. Ini penting ditegaskan karena dengan industri tumbuh maka permintaan gas semakin besar dan harga naik. Karena itu, akan terjadi tarik-menarik antara gas untuk energi kebutuhan masyarakat dan yang dipakai untuk pupuk.
Barangkali kita perlu banyak belajar ketika harga minyak di pasaran bisa tembus hingga 100 dolar AS. Kondisi tersebut telah membawa dampak banyak komoditas pangan yang digunakan untuk biofuel, sehingga mengerek harga pangan. Di sisi lain, tanpa ada pupuk maka produksi pangan juga tidak baik. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana cara mengatasi kebutuhan energi yang cukup besar itu?
Hemat penulis, ke depan akan terjadi tarik-menarik. Dengan demand tinggi, maka harga naik. Karena itu kita harus berpikir bagaimana supaya konsumsi energi yang digunakan untuk industri pupuk bisa efisien. Salah satunya saat ini yakni dengan membenahi industri pupuk. Pabrik-pabrik yang sudah tua harus segera direhabilitasi. Rehabilitasi yakni dengan mengganti peralatan yang sudah usang dengan teknologi yang jauh lebih baru sehingga bisa hemat energi. Selain juga mengonversi dengan bahan energi yang lebih murah dan cukup berlimpah, seperti batu bara. Karena kita bisa manfaatkan untuk processing-nya.
Sekali lagi, karena revitalisasi industri pupuk ini menjadi prioritas, maka konsekuensinya pemerintah harus berani menjamin pasokan gas untuk pabrik pupuk akan dipenuhi seluruhnya. Apalagi, sampai hari ini belum semua pabrik pupuk mendapatkan jaminan pasokan gas setelah kontrak pasokan dari kontraktor berakhir. Sejauh ini, baru Pabrik Kaltim V yang terjamin bahan baku gasnya melalui penandatanganan principal agreement antara Pupuk Kaltim dengan Total EP, Pearl Oil, dan Inpex selama 2012-2021.

Ironi Pasokan Gas
Sebagaimana banyak dipublikasikan media, terungkap bahwa mulai tahun 2011 sejumlah pabrik pupuk utama di Indonesia menghadapi ketidakpastian pasokan gas karena kontrak dengan produsen (umumnya usaha asing) gas habis. Padahal, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa sekitar 90 persen bahan baku pupuk adalah gas. Persoalan gas makin serius karena kebutuhan gas dalam negeri terus meningkat. Apalagi, pemerintah mendorong penggunaan gas untuk pembangkit listrik agar lebih efisien.
Sementara pada wilayah lain, sumber-sumber energi semakin hari kian langka dan menjadi barang mahal. Kita memiliki sumber energi terlengkap, tetapi masih menghadapi persoalan.
Minyak bumi, gas bumi, panas bumi, batu bara adalah sumber-sumber energi yang terkandung dalam perut bumi nusantara. Karena itu, kita mendorong pemerintah sebagai representasi negara lebih kuat dan bertenaga dalam pengelolaan sumber-sumber energi nasional. Peraturan-peraturan pengelolaannya harus terutama berpihak secara kuat bagi kepentingan nasional, kemakmuran rakyat.
Bukankah kompetensi dan kapasitas nasional semakin meningkat sehingga sudah saatnya kita melakukan kalkulasi ulang agar kebijakan energi nasional lebih berpihak dan bermanfaat lebih besar bagi bangsa sendiri? Harapan semacam itu tentu wajar dan bahkan sudah menjadi sebuah keniscayaan. Sebagaimana kritikan sering dilontarkan banyak pihak, sampai saat ini semua kekayaan itu masih salah urus. Akibatnya, tak jarang industri domestik menghadapi persoalan di bidang energi. Perusahaan Listrik Negara (PLN), misalnya, masih juga bermasalah dalam hal pasokan bahan bakar untuk pembangkitan.
Industri yang ada saja terpaksa menahan produksinya. Industri pupuk, industri keramik, dan industri karet yang memerlukan gas juga acap kali terbirit-birit kesulitan pasokan. Begitu juga sektor pertanian, mesti diperkuat sebab sektor ini seharusnya menjadi kekuatan ekonomi nasional, karena Indonesia sebagai negara agraris. Apalagi, mayoritas rakyat Indonesia menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Penyediaan pupuk secara tepat volume dan tepat waktu membutuhkan komitmen penuh pemerintah sebagai bentuk pembelaan negara terhadap petani.
Wallahu'alam Bhis-shawwab.

Minggu, 21 Februari 2010

Menelisik Aliran Success Fee Bank Jatim

Aliran dana berupa success fee sebagai bentuk ucapan ‘terima kasih’ yang mengalir dari Bank Jatim ternyata tidak hanya mengalir ke ke pejabat eksekutif di lingkungan Pemprov Jatim, tetapi juga ke kepala daerah di 38 Kota/Kabupaten sebagai pemegang saham. Temuan itu terungkap setelah Komisi C melakukan hearing dengan sejumlah pihak dan akademisi. (Kompas, 15/1/2010).
Sebagaimana diketahui, komposisi saham Bank Jatim ini terdiri atas 60% milik pemprov Jatim dan sisanya 40% milik Kabupaten/Kota dengan proporsi tertentu. Sebagai bentuk imbalan dalam membantu mengembangkan usaha Bank Jatim, masing-masing pemilik saham berhak mendapatkan success fee. Persoalannya adalah apakah pemberian dan penggunaan success fee tersebut sesuai aturan atau tidak. Dan inilah agenda penting berikutnya yang harus terus dikejar agar terungkap semua tanda tanya terkait misteri aliran dana Bank Jatim.
Mencuatnya kasus aliran success fee Bank Jatim ini berawal dari temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa ada enam Bank Daerah yang sudah memberikan fee adalah Bank Sumut (Rp 53,811 miliar), Bank DKI (Rp 17,075 miliar), Bank Jabar-Banten (Rp 148,287 miliar), Bank Jateng (Rp 51,064 miliar), Bank Jatim (Rp 71,483 miliar) dan Bank Kaltim (Rp 18,591 miliar), sehingga total fee mencapai Rp 71,483 miliar.
Pemberian fee yang dilakukan oleh pihak bank dilakukan dengan tujuan agar pejabat daerah bersedia menyimpan dana APDB di bank pemberi fee. Temuan aliran dana fee diberikan kepada kepala daerah selama periode 2004-2008. Menurut temuan KPK fee tidak hanya dalam bentuk uang cash, tetapi juga fasilitas lain seperti hiburan atau biaya lain untuk keperluan kerabat dekat pejabat daerah seperti pernikahan anak kepala daerah dan sebagainya.
Dalam perspektif bisnis, barangkali pemberian fee dari Bank Jatim dan juga bank-bank lain khususnya yang berstatus BUMD kepada pihak-pihak yang dianggap berjasa karena menanamkan investasi uangnya ke bank bersangkutan adalah wajar. Bahkan semua bank komersial lainnya barangkali memiliki budaya seperti itu untuk menarik minat agar banyak nasabah yang mau menanamkan uangnya. Namun langkah tersebut menjadi persoalan karena pihak yang diberi fee adalah pejabat publik yang notabene uang yang ditanamkan adalah milik publik dan bukan milik perseorangan. Logikanya, kalau pun toh nanti ada fee, tentulah fee itu juga dikembalikan kepada kepentingan publik dan tidak dinikmati oleh orang per orang. Kalau fee itu dinikmati untuk kepentingan pribadi sudah dengan sendiri pejabat yang bersangkutan akan terjerat pasal korupsi berupa penyalahgunaan jabatan dan upaya memperkaya diri sendiri. Namun masalahnya, praktik semacam itu seringkali dilindungi oleh aturan yang dibuatnya. Artinya, praktik yang sesungguhnya merupakan cikal bakal korupsi didesain dan ditutupi dengan aturan dan payung hukum. Akibatnya, tindakan tersebut dianggap legal karena memang ada payung hukumnya. Kasus pro-kontra soal legalitas jasa pungut (japung) barangkali bisa menjadi pelajaran. Betapa para pejabat kita baik eksekutif maupun legislatif mendapatkan sesuatu yang bukan haknya tetapi dilegalkan oleh aturan yang dibuatnya sendiri.
Lantaran itu, relevan kiranya langkah DPRD Jatim utamanya Komisi C untuk melacak kemana saja dana itu dan untuk peruntukan apa saja dana itu diberikan. Ini penting dilakukan agar ada transparansi dalam penggunaan anggaran. Sayangnya, sampai hari ini DPRD belum menjadi institusi yang kredibel untuk mengungkap kasus-kasus semacam itu. Sehingga publik pantas khawatir bahwa langkah DPRD Jatim untuk mengungkap kasus aliran fee hanyalah langkah basa-basi saja yang ujung-ujungnya juga ‘nyaris tidak terdengar’ hasilnya.
Kekhawatiran ini layak diungkapkan karena aliran fee semacam itu, bisa jadi bukan hanya ditujukan kepada eksekutif saja tetapi bisa jadi juga dinikmati oleh para legislatif. Karena tradisi politik kita menunjukkan tidak ada sesuatu yang gratis. Artinya, pemberian fee kepada eksekutif karena menanamkan dana APBD di Bank Jatim tersebut juga atas persetujuan DPRD Jatim. Biasanya DPRD juga tidak mau hanya jadi penonton. Pertanyaannya, apakah benar DPRD Jatim juga akan berani mengungkapnya bila aliran fee ini juga dinikmati anggota dewan meski itu pada periode sebelumnya?

Menertibkan BUMD
Praktik pemberian fee bagi pejabat adalah merupakan perilaku buruk yang hampir terjadi di hampir semua BUMN dan BUMD. Bahkan seringkali muncul ungkapan bahwa BUMN dan BUMD itu hanya dijadikan sapi perahan untuk membiayai banyak sekali keperluan pejabat seperti bermain golf sampai menggelar hajatan. Itulah yang nampaknya hari ini ingin ditertibkan. Bagi Bank Jatim, mestinya sudah lebih teratur, karena peraturan ketat yang diberlakukan oleh Bank Indonesia. Bank Jatim pun akhirnya menjadi bank yang sehat dan mempunyai kinerja yang baik, meskipun belum bisa melepaskan diri dari praktik pemberian fee semacam itu.
Komitmen untuk memberantas korupsi tak boleh mengendur. Kita memperkirakan masih banyak lagi yang bakal ditemukan oleh KPK terkait dengan praktik-praktik buruk seperti itu. Semua itu menunjukkan betapa budaya korupsi memang masih melekat dan tidak mungkin bisa dihilangkan secara serentak. Sekali lagi upaya preventif berupa perbaikan peraturan dan sistem haruslah terus dilakukan. Kelemahan peraturan bisa menjadi celah yang akan dimanfaatkan untuk hal-hal negatif yang hanya akan menguntungkan pejabat.
Realitas seperti ini tidak bisa dianggap remeh. Jika kita berhasil mengumpul kembali sebagian saja dari fee yang dimakan para pejabat atau mantan pejabat itu, bisa membangun banyak fasilitas infrastruktur yang berguna bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan rakyat di Jawa Timur.
PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dengan tegas tidak membolehkan pejabat menerima fee dari apa pun kegiatan atau proses aktivitas birokrasi dari proyek yang ditanganinya. Karena mereka sudah digaji, plus sudah mendapatkan berbagai tunjangan. Makanya, fee atas nama apa pun, itu tidak dibenarkan. Bisa saja itu dikategorikan korupsi uang negara, karena didapat setelah melaksanakan proses birokrasi pemerintahan atau proyek Pemerintah.
Akhirnya, bahwa pesan terpenting dari munculnya kasus ini adalah kian mendesaknya mengubah cara pandang dan cara memperlakukan BUMD. Kalau sebelumnya BUMD hanya tak lebih sebagai ‘kasirnya’ pejabat dan tempat penampungan mantan-mantan pejabat yang tidak memiliki job. Maka sudah seharus semua pihak ikut mendorong dan mengawal agar peran dan posisi BUMD benar-benar sebagai badan usaha yang profesional yang bisa bermanfaat bagai daerah yang bersangkutan.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

****
Penulis :
Wahyu Kuncoro SN
Jurnalis; Peneliti Public Sphere Center (PuSpeC) – Surabaya

Risma dan Dilematika PDIP

Langkah untuk menuju gelanggang Pemilihan Walikota (Pilwali) Kota Surabaya bagi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Tri Rismaharini semakin terang benderang. Usai silaturahmi ke tokoh PDIP Jatim Sutjipto, komunikasi politik dan penggalangan dukungan mulai intensif dilakukan Risma. Meski ada penolakan di kalangan internal PDIP, namun harus diakui, juga ada reaksi positif yang muncul dari para elit politik PDIP sendiri. Artinya, bila serangkaian komunikasi politik yang telah dimulai Risma terus berlanjut yang berujung pada kerelaan PDIP untuk mengusung Risma dalam Pilwali mendatang, maka itu berarti PDIP mulai berani bersikap rasional untuk mengusung figur yang akan dimajukan dam pilwali mendatang. Meskipun sesungguhnya langkah itu pada wilayah lain juga menunjukkan kalau PDIP tidak konsisten dalam sikap politiknya. Mengapa ? Tidak lain karena, jauh-jauh hari PDIP sudah menggembar-gemborkan mekanisme dan prosedur penetapan figur Cawali/Cawawali melalui forum Rakercabsus. Padahal forum tersebut sudah telanjur menetapkan nama Bambang DH, Saleh Ismail Mukadar dan Wisnu Sakti Bhuana sebagai nama yang disetor ke DPP untuk mendapatkan rekomendasi. Meski DPP memiliki otoritas penuh untuk menetapkan siapa nama yang dikehendaki, namun bila itu dilakukan maka akan menambah panjang daftar panjang inskonsistensi politik PDIP.
Sebenarnya kita tidak perlu terlalu heran dengan inskonsistensi PDIP dalam berpolitik. Pengalaman paling telanjang adalah dalam Pilgub Jatim kemarin. Ketika forum Rakercabsus yang digelar DPC-DPC se Jatim akhirnya secara mutlak telah memilih Soekarwo sebagai Bacagub PDIP, namun ketika sampai Jakarta ternyata keputusan yang diambil PDIP malah memilih Soetjipto yang notabene merupakan kader yang kalah. Blunder politik tersebut telah dibayar sangat mahal dengan kegagalan calon yang diusung PDIP. Dan Soekarwo yang telah 'didzalimi'nya justru yang muncul sebagai pemenang meskipun melalui Pilgub yang panjang dan melelahkan.
Memang, logika PDIP untuk tidak mengusung figur di luar partai barangkali ada benarnya. Sebagai partai besar, tentu akan menjadi naif bila PDIP tidak memiliki stok kader yang memadai. Artinya, mengusung Cawali dari luar partai sesungguhnya juga menandakan bila partai yang bersangkutan sedang mengalami krisis kader handal. Selain itu, pengalaman politik PDIP yang mengusung kepala daerah dari luar partai juga cenderung tidak mengenakan. Banyak tokoh yang berhasil menjadi kepala daerah melalui PDIP ternyata lupa akan ‘balas jasa’ terhadap partai pengusungnya. Pengalaman pahit seperti itulah yang kemudian memunculkan trauma bagi PDIP untuk mengusung tokoh dari luar partai.
Di atas itu semua, kengototan PDIP untuk mengusung kader sendiri juga disebabkan oleh sifat over confidence akan popularitas Bambang DH. Dalam pandangan PDIP, Bambang DH masih akan menjadi daya tarik yang luar biasa untuk menyedot perhatian publik. Kalaupun tidak boleh jadi cawali jadi Cawawali pun Bambang DH menurut mereka akan menjadi pendulang suara yang baik.
Namun perkembangan politik ternyata tidak seperti itu. Langkah DPC PDIP yang telanjur mendeklarasikan pasangan Saleh Mukadar-Bambang DH (Sabar) ternyata tidak mendapat respon yang memadai dari public. Meski Bambang DH masih memiliki pesona dihadapan warga Surabaya namun figur Saleh Ismail Mukadar justru menjadi kartu mati bagi PDIP untuk memenangkan Pilwali.
Di sela-sela kegamangan itulah, kemudian muncullah desakan agar PDIP berani mengusung nama yang berasal dari luar partai tetapi memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi. Salah satu figur yang dinilai memiliki kans besar dan popularitas tinggi adalah Tri Rismaharini.
Nama Risma ini sesungguhnya jauh-jauh hari sudah banyak disuarakan berbagai kalangan sebagai figur yang layak untuk memimpin kota Surabaya. Karya nyata yang dihasilkan selama menjadi birokrat di Pemkot Surabaya membuat warga kesengsem dengan Risma. Sayangnya partai politik yang ada cenderung memilih kader sendiri dibanding mencari figur yang kompeten dan teruji kapasitas dan kapabilitas dalam memimpin kota Surabaya. Sementara Risma sendiri tidak terlalu bernafsu untuk mengejar jabatan sebagai Walikota. Di berbagai kesempatan Risma selalu menolak untuk dicalonkan baik sebagai cawali maupun sebagai cawawali. Padahal dari segi popularitas jelas Risma sangat layak jual bahkan popularitasnya bisa jadi akan mengalahkan figur lain andai saja Risma mau mendeklarasikan diri maju gelanggang Pilwali.
Hari ini, partai politik cenderung melihat Pilwali sebagai ajang untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Tiket Cawali yang disediakan parpol tak ubahnya alat untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Mekanisme penjaringan cawali/cawawali yang digelar parpolnya tak lebih dari ‘aksi tipu-tipu, untuk mempedayai figur yang mendaftar. Bagaimana tidak, calon yang sudah lolos sampai pusat sekalipun tidak ada jaminan akan mendapat rekomendasi. Banyak mekanisme dan prosedur yang dibuat yang intinya bahwa parpol boleh semau gue dalam menetapkan figur yang bakal dipilihnya. Ironisnya, banyak figur yang terpikat dengan muslihat partai politik. Hasrat kekuasaan yang terlalu tinggi membuat banyak tokoh tidak sadar kalau tengah dipedayai parpol dengan iming- iming tiket cawali.
Dalam kungkungan budaya politik yang seperti itu, tidak terlalu keliru kiranya kalau Risma juga tidak terlalu tertarik untuk terjun dalam pertarungan politik yang tengah dipenuhi politisi-politisi yang mendewakan uang seperti itu.
Namun demikian, meski terkesan agak terlambat kalau benar Risma akan menjadi Cawali lewat pintu apapun khususnya lagi PDIP maka kahadirannya akan dinilai lebih bermartabat dibanding kalau Risma yang melamar ke parpol. Artinya, kesediaanya Risma untuk maju bukan karena keinginannya sendiri (baca : haus kekuasaan), tetapi karena aspirasi warga khususnya PDIP yang menilainya layak untuk memimpin Surabaya. Dan inilah salah satu nilai plus dari figur Tri Rismaharini. Yakni jadi pemimpin bukan karena ingin, tetapi karena diinginkan masyarakat.
Namun di atas itu semua, dilema besar kini justru terjadi di tubuh PDIP. Di satu sisi kalau PDIP tetap ngotot ingin maju dengan kader sendiri, misalkan dengan mengajukan pasangan Saleh-Bambang maka berat kiranya untuk menang. Selain figur Saleh yang terlalu kecil popularitas dan elektabilitasnya juga akan kesulitan untuk meraup dukungan suara dari luar PDIP. Logikanya karena kedua figur merupakan kader PDIP sehingga sulit untuk menarik suara dari komunitas lain. Sementara pada sisi lain, peluang PDIP untuk menang akan sedikit terbuka, namun sayangnya PDIP harus melirik calon di luar stok kader yang dimilikinya. Maka pertanyaan mendasarnya adalah, apakah PDIP ingin menang dalam Pilwali, ataukah tetap bersikukuh dengan egoismenya dengan mengusung kadernya sendiri untuk maju dalam Pilwali nanti dengan resiko kalah. Bagaimana PDIP ?
Wallahu’alam Bhis-shawwab

Minggu, 24 Januari 2010

Wartawan Bhirawa Terima Journalism Award BPK RI





Mengawali tahun 2010 ini, wartawan Harian Bhirawa Wahyu Kuncoro SN kembali memperoleh penghargaan dalam bidang jurnalistik. Kali ini penghargaan tersebut berupa Journalism Award yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI).
Penghargaan yang diberikan di Auditorium Kantor BPK RI Senin (18/1) kemarin, merupakan rangkaian kegiatan untuk memperingati usia BPK RI yang ke-63. Hadir dalam acara tersebut Ketua BPK RI Hadi Poernomo, Wakil Ketua BPK Herman Widyananda dan anggota BPK lainnya. Nampak juga hadir para mantan ketua BPK seperti Anwar Nasution dan JB Soemarlin.
Lomba yang mulai diumumkan pada akhir Oktober 2009 melalui website BPK RI ini terdiri atas tiga ketagori, yaitu kategori pemberitaan, kategori editorial, dan kategori artikel opini. Tulisan yang dilombakan adalah karya jurnalistik mengenai BPK dalam kurun waktu Januari s.d. Desember 2009. BPK RI menerima 3440 tulisan pemberitaan, editorial, dan opini.
Bertindak sebagai dewan juri adalah Masmimar Mangiang (Jurnalis Senior), Ade Armando (Pengamat Komunikasi), dan Acep Mulyadi (BPK RI).
Setelah melalui proses penilaian, maka diputuskan pemenang untuk Kategori Opini : Juara I diraih Bambang PS Brodjenegoro (Harian Kompas), Juara II Wahyu Kuncoro SN (Harian Bhirawa) Juara III Bambang Widjojanto (Kompas). Kategori Pemberitaan : Juara I diraih Rahmad Budi Harto (Harian Republika), Juara II Heriyono Adi (Harian Solo Pos), juara III Padjar Iswara, Amanda Megarani, Iqbal Muhtarom (Majalah TEMPO). Untuk kategori Editorial : Juara I Budi Winarno (Jurnal Nasional), juara II Rizal R Surya (Analisa) dan juara III Soesilo Abadi (Sinar Harapan). Selain mendapatkan uang tunai, masing-masing juara juga mendapatkan hadiah berupa sayu buah laptop untuk juara 1, satu unit kamera untuk juara II dan hadiah tape recorder untuk juara ketiga.
Menurut Ketua BPK Hadi Poernomo peringatan HUT tidak berhenti pada aspek seremonial. Peringatan 63 tahun BPK lanjutnya akan dimanfaatkan sebagai momentum untuk meningkatkan sinergi antara Lembaga Negara dengan Lembaga BPK RI dalam rangka mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara melalui tugas pemeriksaan yang dilakukan BPK RI sesuai amanat konstitusi.
Hari lahir BPK sendiri tambahnya sebenarnya jatuh pada tanggal 1 Januari. Namun rangkaian kegiatan peringatan 63 tahun tersebut diselenggarakan sampai akhir Januari. Selain dengan upacara peringatan HUT, ulang tahun BPK tahun ini diperingati dengan kegiatan syukuran, aksi sosial, journalism award, juga forum BPK Mendengar yang merupakan sarana BPK untuk menggali informasi mengenai pandangan dan penilaian stakeholders terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi BPK. Seluruh kegiatan tersebut terkait dengan upaya mendorong percepatan penegakan pemerintahan bersih dan tata kelola keuangan negara yang baik.
Peringatan 63 tahun BPK kali ini memiliki makna tersendiri bagi para pimpinan BPK RI, karena merupakan tahun pertama masa bhakti Anggota BPK untuk mengawal mandat konstitusi yaitu mendorong terciptanya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
“Kepemimpinan BPK saat ini memiliki arah baru, yaitu melakukan upaya mendorong transparansi dan akuntabilitas keuangan negara dengan asas kolegial,” jelas Hadi Poernomo.
Selama ini, tambahnya lagi untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas keuangan negara, BPK telah berinisiatif untuk melakukan beyond the call of duty yang secara tidak langsung berhasil meningkatkan kinerja pemerintah dalam bidang pertanggungjawaban keuangan negara. Inisiatif ini akan tetap dilaksanakan, dengan meningkatkan sinergi bersama pihak-pihak terkait yaitu lembaga-lembaga negara dan aparat pemeriksa/pengawas lainnya. Selain itu juga mengembangkan link and match data dan informasi yang dimiliki auditee dengan proses pemeriksaan BPK.
Sinergi itu dapat dilaksanakan dengan meningkatkan koordinasi bersama pemerintah untuk memperluas cakupan pemeriksaan melalui pemeriksaan yang bekerja untuk dan atas nama BPK, KAP, serta APIP. Sinergi yang juga penting adalah dengan mengembangkan pola hubungan data dan informasi dengan auditee untuk menciptakan suatu pusat data BPK. Strategi link and match diawali dengan mengidentifikasikan sumber informasi apa yang diperlukan BPK dari berbagai lembaga/kementerian atau badan. Data ini dapat berupa data finansial maupun non finansial yang diolah serta digunakan dalam proses pemeriksaan secara elektronis. ira

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...