Rabu, 26 Mei 2010

Kisah Relokasi Pasar Keputran

Kebijakan relokasi pasar selalu menarik untuk disimak. Bukan saja karena kebijakan ini selalu menghadirkan ‘perlawanan’ dari para pedagang, tetapi juga karena selalu dikaitkan dengan adanya ‘kepentingan’ yang ikut menumpang di balik kebijakan tersebut.
Analisis cukup menarik disampaikan oleh Yunan Syaifulah dalam artikelnya yang berjudul “Memaknai Relokasi Pasar” yang dimuat Surya (17/5). Namun, sayangnya Yunan lebih banyak memaparkan penilaiannya menyangkut keberadaan pasar tradisional dan pasar modern, sehingga tidak secara jelas mengupas makna lebih dalam dalam penertiban Pasar Keputran.
Awalnya, publik di Surabaya sempat pesimistis, bahkan cenderung apatis ketika mendengar Pemkot Surabaya berniat menertibkan para pedagang kaki lima di Pasar Keputran yang menempati ruas jalan. Sikap semacam itu wajar, mengingat problem kesemrawutan Pasar Keputran sudah berlangsung bertahun-tahun dan desakan publik untuk menertibkannya juga sudah berulang-ulang terjadi. Namun, apatisme dan sinisme publik tersebut tidak menyurutkan langkah Pemkot Surabaya untuk mengembalikan Keputran pada fungsi semula.
Sebelum benar-benar ingin mengeksekusi Pasar Keputran, wacana relokasi terlebih dulu dilontarkan. Beragam reaksi bermunculan. Kalangan legislatif pun beragam menyikapinya. Ada yang positif mendukung dan ada pula yang malah mencurigai ada agenda terselubung di balik rencana untuk menertibkannya.
Mendekati saat-saat eksekusi, publik benar-benar diliputi kecemasan. Kecemasan itu muncul bukan saja dipicu oleh tradisi penertiban yang identik dengan praktik kekerasan yang acap berujung pada jatuhnya korban, tetapi juga karena di berbagai media baik cetak maupun elektronik menyuguhkan bentrok kekerasan antara warga dengan Satpol PP DKI Jakarta yang ingin menertibkan kawasan di Makam Mbah Priok.
Kekerasan berdarah tersebut seolah mengingatkan bahwa kebijakan penertiban menjadi ajang praktik kekerasan kepada warga. Aparat kepolisian dan Satpol PP seolah menjadi aktor utamanya. Tragedi makam Mbak Priok seolah menjadi penegas bahwa dalam setiap kegiatan penertiban selalu identik dengan ajang kekerasan terhadap warga, sehingga layak untuk dilawan.
Fakta tersebut disadari atau tidak telah ikut ‘memprovokasi’ untuk melawan apa saja yang berbau penertiban, termasuk pedagang di Keputran. Terbukti begitu mendengar bahwa Pemkot Surabaya akan menertibkan keberadaan mereka, para pedagang mengonsolidasi diri dan bersiap-siap seolah akan memasuki medan perang melawan siapa saja yang ingin mengusik kenyamanan mereka berdagang. Bagi mereka tampaknya berlaku kamus tak peduli siapa yang salah dan benar, pokoknya penertiban harus dilawan. Dan tanda-tanda akan terjadi perang demikian terasa.
Di hari yang ditetapkan untuk eksekusi, kita disuguhi saat-saat mendebarkan ketika para PKL dan pedagang Keputran sudah siaga dengan beragam senjata di genggaman berdiri membentuk barisan siap menghadang dan melawan penertiban.
Ketika eksekusi ditunda, ada yang berpikir bahwa Pemkot Surabaya memilih kalah. Namun, ternyata tidak. Pemkot dengan dibantu Polwil Surabaya dan Satpol PP memilih strategi lain yakni melakukan blokade ke semua akses menuju Pasar Keputran. Semua pedagang dilarang berjualan. Akibat aktivitas pedagang pun berhenti. Selain itu, perlahan para aparat kepolisian secara persuasif mendekati para pedagang dan memberi tekanan-tekanan secara psikologis. Perlahan-lahan akhirnya Keputran ditaklukkan.
Memetik Pesan
Tidak berlebihan kiranya bila penertiban Pasar Keputran adalah sebuah kisah sukses (success story) yang patut menjadi pilihan sebagai cara baru dalam melakukan penertiban. Meski penertiban tersebut belum tuntas benar, terbukti para pedagang tidak sepenuhnya rela pindah ke tempat yang telah disediakan seperti Pasar Induk Osowilangun atau Pasar Induk Agrobisnis dan ada yang bertahan di setren kali, namun keberhasilan membebaskan lahan publik di Pasar Keputran patutlah diapresiasi secara positif.
Ini pelajaran menarik. Pertama, agenda pembangunan yang berwajahkan penertiban sesungguhnya tidak harus berujung pada kekerasan dan jatuhnya korban. Budaya tersebut harus ditiadakan dalam praktik kehidupan yang akan mengedepankan aspek partisipasi publik. Artinya, publik bisa mengambil peran positif. Bila kesadaran ini terus-menerus disampaikan maka budaya tertib akan menjadi salah satu gaya hidup di kota tercinta ini. Membiarkan pelanggaran sekecil apa pun tentu akan jadi preseden bagi pelanggaran yang lebih besar.
Kedua, bahwa keberhasilan membersihkan Keputran dan mengembalikan ruas jalan ke fungsi semula menunjukkan bahwa pemkot bisa melakukan dan menertibkan ‘ketidakteraturan’ yang selama ini nyaris tak tersentuh. Keberhasilan tersebut harus jadi modal penting untuk melakukan penertiban-penertiban lainnya. Artinya, Pemkot tidak perlu ragu-ragu untuk menegakkan aturan demi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Keberhasilan tersebut juga diharapkan dapat menginspirasi semua kalangan bahwa budaya tertib dan taat aturan lebih akan memberikan kenyamanan dalam berusaha.
Hal ini perlu ditegaskan, mengingatkan Pemkot Surabaya meski punya keberanian untuk menertibkan, namun acap tidak disertai konsistensi dalam menegakkan aturan. Pengalaman dalam penertiban Pasar Gembong bisa jadi pembandingnya. Ternyata Pemkot relatif tidak peduli ketika secara perlahan-lahan para pedagang barang bekas tersebut mulai menempati lahan itu lagi. Kondisi itu bila tidak segera disikapi, maka bukan tidak mungkin pemkot akan butuh energi dan ongkos yang lebih mahal lagi untuk menertibkan.
Maka pertanyaan serupa tentu juga layak diajukan pada proyek penertiban Pasar Keputran yakni apakah kebijakan untuk mengembalikan fungsi jalan adalah kebijakan yang memang ‘tulus’ untuk kepentingan publik ataukah sekadar proyek yang ujung-ujungnya mengarah pada keinginan untuk meraup sejumlah rupiah.(Dimuat di Harian SUrya 19 Mei 2010, Ditulis Wahyu Kuncoro SNPeneliti Public Sphere Center (Puspec) - Surabaya)

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...