Kamis, 25 Juni 2009

Saat Bunda Belajar Pidato.....



Malam itu, tepatnya Jumat (18/6) kulihat bunda gelisah tak menentu… Kutemukan ada kecemasan dan kegelisahn di wajahnya. Ketika kutanyakan ada apa ? Ternyata jawabannya sungguh di luar dugaan. Ternyata bunda bingung karena esok harinya harus memberikan sambutan kesan dan pesan mewakili orang tua murid. Ya, besok paginya Sabtu (20/6) adalah hari perpisahan siswa-siswi Play Grup Aisyiah 7 Wiyung – Surabaya.
”Lho memang kenapa, hanya pidato saja kok bingung, biasa saja kali,” ungkapku menanggapi kegelisahan bunda.
”Mau biasa bagaimana, lha wong belum terbiasa kok,” balas bunda dengan sedikit sewot.... Ohh... ya, emang selama ini Bunda belum pernah pidato dimuka umum...
Jadi dech,, malam itu aku mengajari satu demi satu kalimat yang harus diucapkan dalam pidato sambutannya nanti... Ternyata memang susah untuk memulai memberikan sambutan untuk pertama kali... Berkali-kali bunda menghapalkan kata-kata yang harus diucapkan.. Persis sama ketika masih SMA dulu dapat tugas harus menghapalkan bacaan Sholat..
”Bunda, pidato itu jangan dihapalkan.. mengalir saja,” saranku demi melihat bunda nggak hapal-hapal naskah pidato yang disampaikannya... Karena kasihan melihat bunda yang nggak hapal2.. aku tawarkan ya sudah aku saja nanti yang memberi sambutan.
”Nggak pa2 kan kalo ayah yang memberi sambutan,” saranku memberi jalan keluar.
”Ayah, memang nggak ingin lihat bunda maju kok,” jawab bunda dengan sengit.... Ehh.. bener juga.
”Ya, sdh kalo begitu,” jawabku singkat...
Syukurlah malam itu akhirnya bunda bisa menghapalkan naskah pidato yang sebenarnya hanya berisi belasan kalimat itu.
Esok harinya, saat2 yang dinantikannya tiba... Bertempat di Puri Matahari – Surabaya acara perpisahan digelar...
Satu demi satu perwakilan sekolah dan Komite sekolah maju ke depan memberi sambutan. Kulirik wajah bunda yang tegang menunggu panggilan MC.. Akhirnya, saat itu tibu.
”Selanjutnya perwakilan dari orang tua siswa akan memberi kesan dan pesan yang akan diwakili bunda Retno Susilowatie,” demikian Mc memanggil bunda untuk memberi sambutan.
Tidak sampai hati aku melihatnya... Kudengarkan satu demi satu kalimat yang disusun semalam diucapkan dengan lancar. Dalam hati aku bersyukur, karena bunda bisa melewatinya dengan lancar.....
Sungguh aku ikut lega dan bahagia melihat wajah bunda yang terlihat plong usai memberi sambutan.
Secara umum acara perpisahan berlangsung lancar-lancar. Namun satu hal yang membuatku bahagia adalah karena ksatria kecilku diumumkan menjadi juara kelas dari play grup tersebut.
Sebenarnya aku tidak terlalu kaget, karena menurutku Risyad anak yang cerdas. Namun sifat malunya acap menutupi kelebihan dan kecerdasannya yang dimiliki itu. Namun ternyata para guru-gurunya bisa menemukan kelebihan yang ada padanya. Melihat wajah dan sikap Risyad sungguh aku menemukan jiwaku di dalam dirinya… Semoga Risyad akan menjadi ksatria kebanggaan keluarga, bangsa dan agama…
Tetaplah melangkah menggapai citamu anakku….

Rabu, 10 Juni 2009

Kisah Manohara dan Harga Diri Bangsa

Manohara Odelia Pinot sudah kembali ke pangkuan ibundanya, Daisy Fajarina, di Jakarta. Manohara berhasil kabur dari lingkaran istana setelah mengikuti sebuah kegiatan di Singapura. Disebut-sebut pula Biro Intelijen Federal (FBI) dan Kedubes Amerika Serikat berjasa dalam ’pembebasan’ perempuan yang pernah menjadi model itu, Surya (1/6).
Agaknya, di samping menjadi urusan relasi privat keluarga Sultan Kelantan dengan keluarga Manohara, kini masalahnya akan meningkat ke ranah kenegaraan antara Indonesia dengan pemerintah Malaysia. Khususnya lagi publik akan mempertanyakan sejauh mana sebenarnya peran negara, dalam hal ini pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi warga negaranya. Wajar kiranya kalau publik mempertanyakan peran negara, karena boleh dikata Manohara berhasil bebas berkat insiatif-insiatif sendiri, bukan karena sikap proaktif Kedubes RI di Kuala Lumpur.
Sekali lagi keberhasilan Manohara kembali ke tanah air tentu melegakan kita. Namun dibalik kelegaan kita karena bisa menyaksikan pertemuan mengharukan antara ibu dan anak setelah sekian lama didera ketidakpastian menyisakan fakta yang menyesakkan kita. Betapa tidak, keberhasilan Manohara melepaskan diri dari dekapan kerajaan Kelantan Malaysia juga mempertontonkan betapa kita sebagai bangsa dipermalukan. Kita sebagai negara hanya bisa menyaksikan betapa hebatnya FBI dan Kedubes As dalam menyelamatkan warga kita sendiri. Kita juga menyaksikan betapa lebih pedulinya lembaga intelegen FBI dari AS dan Keduber Amerika dibandingkan dengan Kedubes RI sendiri ? Dimanakah letak harga diri bangsa ini ketika nasib warganya justru diselamatkan oleh bangsa lain?
Rasa malu akibat memudarnya harga diri sebagai bangsa semakin terasa karena di saat bersamaan kita sebagai bangsa hanya diam saja ketika Kapal perang Malaysia memasuki wilayah Kedaulatan RI di sekitar pulau Ambalat. Belum lagi kisah panjang dan selalu terulang bagaimana TKI kita diperlukan di Malaysia ternyata tidak juga membuat bangsa kita berani bersikap tegas. Berlebihankah kalau ada yang menuduh kita sebagai bangsa pengecut?

Dimana Keberanian Kita?
Adalah kenyataan bahwa pada tahun 1960-an kekuatan pertahanan RI merupakan yang terkuat di Asia Tenggara. Pada tahun 1980-an Indonesia dinilai tergolong negara ’macan Asia’ dalam ekonomi, khususnya karena faktor minyak dan gas bumi. Selain itu, diplomasi Indonesia masa lalu menunjukkan sikap yang lebih tegar dan percaya diri. Namun, kini bangsa lain tidak lagi melihat kekuatan Indonesia itu. Selain itu, bangsa lain seperti Malaysia telah berkembang maju saat Indonesia malah mundur.
Untuk membuat bangsa lain menghargai, kita harus meningkatkan harga diri dan martabat bangsa. Sukar mengharapkan orang lain menghargai kita kalau kita sendiri tidak menghargai diri sendiri. Usaha meningkatkan harga diri dan martabat bangsa akan menimbulkan citra lain dari yang sekarang sehingga membuat persepsi bangsa lain terhadap Indonesia lebih positif.
Martabat Indonesia pernah tinggi saat banyak bangsa memandang tinggi prestasi kita mencapai kemerdekaan melalui perjuangan kemerdekaan. Namun karena kemerdekaan itu tidak diikuti prestasi menonjol dalam berbagai bidang, khususnya ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi, kini penilaian tinggi itu tidak banyak sisanya.
Yang masih dinilai tinggi adalah seni tradisional Indonesia, khususnya dari Bali. Namun, dalam hal ini pun kita harus waspada karena ada keunggulan kita yang ’diaku’ bangsa lain, misalnya seni batik yang dipaten oleh Malaysia dan pertunjukan berbagai seni Indonesia di Singapura seakan-akan itu miliknya. Semua itu terjadi karena kelemahan kita dalam manajemen dan kurangnya semangat usaha jika dibandingkan dengan negara tetangga itu.
Lantaran itu, setiap orang yang merasa jadi pemimpin dalam bidang apa pun wajib menggerakkan lingkungannya dalam peningkatan harga diri dan martabat bangsa. Para pemimpin harus menunjukkan teladan dalam mengejar keunggulan (excellence) bagi diri ataupun organisasi yang dipimpin. Dengan kata lain, sikap pengecut yang dipertontonkan oleh para pemimpin kita bisa jadi akan ikut berkontribusi dalam membentuk karakter bangsa sebagai bangsa yang pengecut.

Hubungan Pasang Surut
Hubungan RI-Malasyia memang sangat dekat. Saking dekatnya kadang malah memunculkan persoalan-persoalan yang sesungguhnya dapat merusak hubungan baik. Sejak beberapa tahun lalu hubungan RI-Malaysia sering mengalami pasang surut. Kadang memanas, kadang membaik. Tapi inilah romantika hubungan persaudaraan tadi.
Kasus perebutan Pulua Sipadan/Legitan misalnya, sempat membuat hubungan kedua negara sedikit tegang. Demikian halnya dengan kasus penganiayaan TKI di Malaysia. Ketegangan semacam ini memang tidak hanya terjadi sekali. Kalau masih ingat di era Soekarno dulu, hubungan RI-Malaysia juga sempat memanas. Waktu itu Perdana Menterinya Tunku Abdul Rahman (1957-1970). Baru setelah perdana menterinya digantikan oleh Tun Abdul Razak (1970-1976), berikutnya Tun Hussein (1976-1981), hubungan bilateral kedua negara mulai membaik. Setelah Dr. Mahathir Mohamd menjadi perdana menteri dari tahun 1981-2003, hubungan RI-Malasyia menjadi teramat dekat, sehingga muncul sebutan kala itu Mahathir Mohamad sebagai ’Soeharto Little’.
Eratnya hubungan RI-Malaysia, karena kepemimpinan Mahathir Mohamad sangat menghormati nilai budaya dan sejarah. Di era itulah pembangunan di Malaysia tumbuh amat pesat, banyak mahasiswa Malaysia yang sekolah di Indonesia. Ada yang di IAIN (sekarang UIJ), di UGM, di UI.
Kita pun diuntungan, karena negeri itu memprioritaskan kehadiran TKI. Keberadaan TKI di Malaysia tentu sangat membantu negara itu, terutama dalam hal pembangnuan presarana dan sarana. Mulai dari jalan tol, gedung pencakar langit, sampai perkebunan. Tanpa TKI mana mungkin ada gedung pencakar langit berdiri di negeri itu. Demikian juga di sektor perkebunan, tanpa kehadiran TKI Indonesia, tak mungkin Malaysia mampu memproduksi minyak sawit terbesar di Asia. Sebaliknya bagi kita, Malaysia setidaknya menjadi lahan bagi TKI untuk mendapatkan kesempatan kerja. Oleh sebab itu, kedua negara ini memang saling membutuhkan.
Munculnya persoalan terkait dengan kasus penganiayaan warga negara RI di negeri itu (Baca : Manohara), harusnya tak akan terjadi kalau rakyat Malaysia bisa mempelajari sejarah masa lalu. Kenapa kasus semacam itu terjadi? Karena anak bangsa di negeri itu tak memahami, bahkan masih menunjukkan keakuannya, atau boleh disebut “congkak”. Mereka tak pernah belajar sejarah, dan tak paham sistem pemerintahan dan kemajuan negerinya sendiri. Kondisi diperparah oleh sikap para pemimpin kita yang lemah dan lembek. Jadilah bangsa kita bulan-bulanan negara tetangga semacam Malaysia. Bukan hanya Malaysia sebagai negara saja yang ’meremehkan’ kita tetapi warga negara mereka (Baca : Kerajaan Kelantan) juga ikut-ikutan meremehkan bangsa ini.
Sebagai bangsa yang memiliki idiologi, nasionalisme, tentu siapapun akan terusik dengan perlakukan tak tak terpuji Malaysia berikut warga negaranya , yang dapat semene-mena melakukan penganiayaan warga negara Indonesia. Kita tentu sangat berharap para pemimpin kita berani bersikap sebagai pemimpin sebuah bangsa yang besar bukan pemimpin yang merunduk ketika dihina dan dilecehkan. Sikap nasionalisme dan keberanian itu perlu kita tunjukkan karena harga diri sebagai bangsa Indoensia telah diusik.

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...