Rabu, 03 September 2008

Revitalisasi Pertanian Butuh Dukungan Lembaga Keuangan

Potensi sektor pertanian di Jatim tak perlu diragukan lagi. Dalam berbagai diskusi dan seminar, sektor ini selalu direkomendasikan untuk dijadikan prioritas dalam pembangunan di Jawa Timur. Namun sayangnya, dalam praktik pembangunan kita, sektor pertanian seolah selalu dianaktirikan. Kebijakan-kebijakan pembangunan yang diambil kerap meminggirkan sektor ini. Fakta paling nyata adalah terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke sektor lain secara besar-besaran. Kita sudah terbiasa mendengar lahan sawah ataupun lahan tambak disulap untuk menjadi kawasan industri ataupun perumahan. Namun kita hampir tidak pernah mendengar lahan perumahan apalagi industri disulap jadi lahan pertanian. Fakta tersebut sesungguhnya sudah mencerminkan bagaimana kita memandang dan memperlakukan sektor pertanian. Berangkat dari cara pandang seperti itu, membuat masyarakat pun ikut-ikut tidak menghargai profesi yang berkaitan dengan dunia pertanian. Masyarakat desa menjadi berduyun-duyun ke kota. Pekerjaan menjadi petani dan nelayan seolah bukan lagi pekerjaan yang membanggakan. Dan imbasnya menjadi petani atau nelayan seolah identik dengan status ekonomi miskin. Yang terjadi kemudian, kemiskinan selalu identik dengan mereka yang selama ini bekerja dalam sektor pertanian. Ironisnya lagi, pemerintah juga ikut-ikutan latah dengan kemajuan zaman sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil seolah-olah ingin ikut arus menuju industrialisasi. Contoh paling nyata adalah bagaimana dunia pendidikan juga didorong untuk menjadi penopang ideologi industrialisasi. Sekolah-sekolah yang membuka program komputer dan teknologi informasi menjamur dimana-mana. Sementara sekolah yang semestinya mencetak SDM yang terampil bekerja di sektor pertanian mulai gulung tikar. Kita saksikan bagaimana nasib SMK pertanian dan sejenisnya yang mulai ditinggalkan. Fasilitas-fasilitas pendidikan dan laboratorium yang terlihat kuno dan kalah kelas dibanding sekolah-sekolah yang menawarkan program kekinian seperti komputer, TI, dan sejenisnya. Ilustrasi seperti itu sesungguhnya menunjukkan bahwa bila kita ingin benar-benar kembali membangun sektor pertanian terlalu banyak yang harus dikerjakan suka atau tidak suka. Dalam konteks inilah kita cukup prihatin bahwa dalam momentum Pemilihan Gubernur Jatim, kita belum melihat figur yang ada mau dan mampu bicara komprehensif mengenai bagaimana membangun sektor pertanian. Membangun pertanian bukan sekedar slogan dan retorika, tetapi harus dilandasi oleh pemahanam dan kepedulian secara sungguh-sungguh kepada sektor ini. Bagi Jatim, kita sempat memiliki pemimpin yang secara serius menggarap sektor ini. Yakni Gubernur Basofi dengan program Gerakan Kembali ke Desa (GKD). Bahwa apa yang dicanangkan Gubernur Basofi sesungguhnya sangat relevan kembali untuk dikembangkan lagi. Artinya, konsep dasar yang dibangun Basofi sesungguhnya bisa menjadi pijakan bagi gubernur nanti untuk melanjutkannya. Sekali lagi, membangun sektor pertanian tidak cukup hanya jadi slogan, tetapi harus bisa diterjemahkan dalam pelbagai dimensi dan sektor pembangunan lainnya. Mengingat mati hidupnya sektor ini sangat tergantung pada kebijakan sektor-sektor pembangunan lainnya. Sudah sejak belasan tahun para pemerhati dan publik mengingatkan pemerintah tentang proses kemunduran sektor pertanian, yang ditandai dengan menciutnya luas areal persawahan, khususnya di Jawa. Sudah berkembang banyak wacana tentang pembangunan kembali sektor pertanian. Tetapi, semuanya hanya sebatas wacana. Ketika kinerja sektor pertanian terus melemah, tidak ada upaya sistematis untuk memulihkannya. Akibatnya bisa kita rasakan sekarang, fatal. Bukan hanya mengubah status kita menjadi negara pengimpor beras, tetapi kemunduran besar di sektor pertanian telah memperluas kemiskinan dan pengangguran. Ketika awal menjabat, strategi revitalisasi pertanian dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Berkembang banyak harapan dari komitmen itu, dan tentu saja masyarakat pedesaan menunggu realisasinya. Revitalisasi sektor pertanian merupakan satu dari tiga strategi pemulihan dan pembangunan kembali ekonomi nasional yang nyaris hancur akibat krisis. Dua langkah lain meliputi percepatan investasi dan memacu ekspor untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6,5 persen per tahun. Sayang, tanda-tanda akan berprosesnya sebuah revitalisasi belum dirasakan hingga menjelang berakhirnya pemerintahan ini. Persoalan yang mengemuka bertolak belakang dengan hakikat revitalisasi itu. Ketika revitalisasi sektor pertanian digagas Presiden Susilo Bambang Yuhoyono, banyak orang berasumsi pemerintahannya akan memberi perhatian ekstra pada sektor pertanian. Sebab, kemunduran yang terjadi di sektor ini sedikit banyak disebabkan rendahnya minat negara untuk merevitalisasi. Tentu saja masih tersedia cukup waktu untuk memulai membangun kembali sektor yang satu ini. Kita berharap pemerintah segera mengambil inisiatif. Bentuknya bisa saja seperti Inpres yang memerintahkan semua kepala daerah mengajak masyarakat untuk membangun kembali sektor pertanian di daerah masing-masing. Sedikitnya ada lima alasan (Rokhmin Dahuri, 2002) mengapa kita harus all out membangun pertanian, perikanan, dan kehutanan. Pertama, jika dikelola secara profesional dan benar, dalam jangka pendek dan menengah (5–10 tahun) ketiga sektor tersebut mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar, dan menghadirkan ketahanan pangan nasional. Kedua adalah suatu kenyataan bahwa jumlah penduduk Indonesia maupun dunia akan terus bertambah, mencapai sekitar 300 juta dan 8 miliar pada tahun 2020. Kecenderungan ini akan melipat-gandakan permintaan domestik maupun global terhadap bahan pangan, serat (sandang), kayu, obat-obatan, kosmetik, energi, dan jasa-jasa lingkungan yang berasal dari ekosistem alam. Ketiga, bahwa negara dengan penduduk lebih dari 100 juta, jika kebutuhan pangannya bergantung pada pasokan impor, akan susah maju dan mandiri (FAO, 1998). Keruntuhan Uni Soviet adalah salah satu bukti dari fenomena ini. Keempat, bahwa sebagian besar kegiatan sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan berlangsung di daerah pedesaan, pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga membantu penyelesaian permasalahan nasional, yakni urbanisasi, brain drain, dan persebaran penduduk yang tidak merata. Kelima, sehubungan dengan sifatnya yang terbarukan, maka ketiga sektor ini jika dikelola secara bijaksana dapat menjamin pembangunan ekonomi Indonesia secara berkelanjutan. Lembaga Keuangan Berkaca pada kebutuhan di atas, maka pembentukan lembaga keuangan nonbank menjadi perlu dilakukan pemerintah dalam mendukung revitalisasi pertanian. Jika pemerintah hanya memberikan kredit murah untuk sektor pertanian, hal ini tidak akan bisa membuat petani sejahtera. Jika ingin merevitalisasi pertanian dan memperbaiki nasib petani, kebijakan yang dibuat harus komprehensif. Saat ini dari segi keuangan revitalisasi pertanian sulit dilakukan karena tidak adanya lembaga keuangan yang fokus pada pertanian dan faktor kehati-hatian bank dalam menyalurkan kredit ke sektor pertanian. Hanya para petani yang bankable saja yang mendapat penyaluran kredit dari bank. Dan, jumlah petani jenis ini sangat kecil. Artinya, revitalisasi pertanian tidak berjalan secara baik karena kemauan politik pemerintah sangat lemah. Pemerintah hanya memberikan kebijakan pada subsidi pupuk dan benih yang kurang menjangkau sasaran. Sementara itu, dalam waktu yang sama pemerintah sering melakukan intervensi dalam menentukan harga beras. Demikian juga kebijakan impor beras yang dijalankan pemerintah yang sangat bertentangan dengan semangat revitalisasi pertanian. Kebijakan tersebut ibarat melepas kepala tetapi memegang ekornya. Karena itu, perlu ada kebijakan yang komprehensif dalam rangka mendukung revitalisasi pertanian. Kebijakan yang komprehensif menyangkut reformasi agraria, kredit pertanian yang murah dari bank, lembaga keuangan yang mengelola pertanian, pembangunan infrastruktur pertanian dan modernisasi cara bercocok tanam. Indonesia bisa mencontoh Amerika Serikat atau Jepang dalam membuat kemudahan kepada para petaninya sehingga para petani bisa sejahtera. Wahyu Kuncoro SN; Jurnalis, Peneliti Public Sphere Center (PuSpeC) Surabaya. Dimuat di Surabaya Post (Rabu, 03/09/2008).

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...