Sabtu, 29 November 2008

Pembangunan Berbasis Riset atau Wangsit?


Catatan Pembubaran Balitbang Kota Surabaya -- sub
Pembangunan Berbasis Riset atau Wangsit
Oleh :
Wahyu Kuncoro SN

Pengantar :
Artikel berikut dimuat di Surabaya Post, Jumat (28/11/2008).
Keberadaan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kota Surabaya akhirnya berakhir seiring dengan digedoknya Perda Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemkot Surabaya, Senin (24/11) kemarin. Keberadaan Balitbang Kota Surabaya selama ini memang kerap menjadi sorotan. Dan nampaknya, jalan yang dipilih untuk mengakhiri berbagai tudingan miring tersebut adalah dengan membubarkannya (baca : merger dengan Bappeko).
Bagi penulis, pilihan politik yang diambil tersebut barangkali akan meredakan sorotan dan tudingan miring terhadap peran Balitbang Kota Surabaya, namun langkah membubarkannya bukanlah sebuah penyelesaian yang strategis tetapi justru menjadi langkah konyol dan bisa menjerumuskan bagi arah pembangunan di Kota Surabaya.
Banyak pihak sudah mengingatkan betapa penting dan vitalnya keberadaan riset bagi pembangunan kota. Bahkan secara nasional, pemerintah pusat hari ini juga mendorong perguruan tinggi untuk memperbanyak riset dan penelitian yang berkaitan dengan pembangunan. Selain itu, perhatian pemerintah juga kian membaik dengan munculnya Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2007 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Peneliti sebagai revisi atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Peneliti. Berdasar Perpres baru tersebut mengamanahkan adanya peningkatan tunjangan bagi peneliti yang mencapai 10 kali lipat lebih.
Apa artinya? Tidak lain adalah pemerintah pusat sesungguhnya memandang bahwa riset dan profesi riset merupakan profesi yang harus dihargai secara memadai. Selain itu, sebagai bentuk komitmen pemerintah pusat terhadap fungsi riset utamanya terhadap eksistensi Balitbang juga bisa terbaca dari hadirnya Surat Edaran (SE) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (SE Mendagri) Republik Indonesia Nomor: 061/2721/SJ tertanggal 12 November 2007 yang meminta agar eksistensi balitbangda tetap dipertahankan di provinsi, kabupaten/kota. Provinsi, kabupaten/kota yang belum membentuk balitbangda agar segera membentuk balitbangda. Nah berpijak, pada semangat pemerintah pusat yang ingin lebih memberdayakan peran dan fungsi riset dalam pembangunan, kita dikagetkan oleh langkah Kota Surabaya yang malah membubarkan Balitbang.
Menilik dari logika yang disampaikan eksekutif dan legislatif sungguh pembubaran Balitbang seolah semakin menegaskan kepada kita bagaimana pola pikir birokrasi dan politisi kita yang cenderung tidak mendalam dan kurang bisa berpikir secara strategis dan visioner. Penilaian ini bisa dirunut dari argumentasi yang disodorkan oleh otoritas politik Kota Surabaya untuk membubarkan Balitbang.
Agumentasi tersebut misalnya adalah karena mereka (eksekutif dan legislatif) menganggap bila fungsi dan wilayah kerja Balitbang dianggap sama dengan perencanaan sehingga dianggap cocok bila dimerger dengan Bappeko Kota Surabaya. Sekilas memang wajar bila ada kesan sama antara penelitian dan perencanaan namun bila ditelisik lebih jauh maka jelas sangat berbeda antara peran dan fungsi penelitian dengan perencanaan. Penelitian sesungguhnya harus merupakan institusi yang independen yang bekerja dengan berpijak pada sebuah grand desain pembangunan Kota.
Balitbang nantinya akan menjadi ’penjaga idealisme’ pembangunan. Mengapa ? karena nantinya apa yang direkomendasikan Balitbang adalah sesuatu yang berpijak pada data dan angka-angka yang ilmiah dan bukan angka-angka manipulatif yang kerap direkayasa demi untuk melaksanakan proyek pembangunan. Lantaran itu, ketika akhirnya Pemkot Surabaya memilih untuk melebur Balitbang dalam badan Bappeko Kota Surabaya maka langkah tersebut sejatinya telah menyeret Balitbang –yang berisi insan peneliti yang notabene independen dan hanya takluk pada kaidah ilmiah-- menjadi sekadar tukang stempel birokrasi yang kerja-kerjanya hanya menjadi legitimasi bagi birokrasi untuk membuat proyek yang bernama pembangunan. Peneliti yang merupakan barang langka di negeri ini hanya akan menjadi ’kambing congek’ yang bekerja karena kebutuhan yang bernama proyek pembangunan. Nah dalam logika ini saja sesungguhnya nampak bila pejabat-pejabat birokrasi dan politisi di Surabaya lebih banyak didominasi oleh orang-orang yang berpikir bahwa peneliti hanya sekadar instrumen untuk menunjukkan bahwa sebuah kebijakan yang diambil seolah-olah telah sesuai dengan kaidah ilmiah. Kalau ini yang terjadi maka warga Surabaya harus bersiap-siap bila nantinya mendapati kebijakan dan proyek pembangunan yang dipilih dan dikerjakan karena pertimbangan ’kiro-kiro apik’ dan bukannya kebijakan pembangunan yang merupakan rumusan hasil kajian dan penelitian mendalam. Jadi jangan heran kalau tiba-tiba muncul program pembangunan yang aneh dan nganeh-nganehi. Maklum pejabat kita lebih percaya wangsit dari pada riset dan penelitian.

Bagaimana Selanjutnya?
Berkaca dari itu, tentu kita patut prihatin dengan langkah yang diambil Kota Surabaya yang pola pikirnya justru mundur ke belakang dengan membubarkan Balitbang. Namun demikian harus kita akui bahwa keberadaan Balitbang di beberapa Kota/Kab saat ini harus direvitalisasi agar bisa memenuhi harapan dan kebutuhan. Harus juga kita akui bila hasil-hasil penelitian yang dihasilkan oleh Balitbang belum terlalu bermakna. Karena seringkali suatu penelitian didasarkan lebih pada isu aktual, maka pada saat hasil penelitiannya akan diterapkan dalam konteks perencanaan, isu yang berkembang saat itu sudah berbeda.
Untuk itu, perlu dilakukan perubahan model perencanaan penelitian ke depan. Sifat dari penelitiann-penelitian sudah harus mengacu pada road map hasil penelitian yang sudah ada dan memang sudah sesuai dengan tahapan pembangunan/ RPJMD. Dengan demikian maka tidak akan ada lagi sorotan miring seperti itu. Tentang belum termanfaatkannya hasil-hasil penelitian oleh masyarakat pengguna, sebenarnya dengan adanya database hasil penelitian yang telah dihimpun bisa dipublikasikan melalui website. Masyarakat pengguna sudah dapat mengakses informasi yang ada sesuai dengan keinginannya untuk pemanfaataan lebih lanjut, baik untuk keperluan akademik, perencanaan pembangunan atau untuk tujuan komersial. Masalahnya barangkali tidak semua masyarakat pengguna gemar/ terbiasa dengan internet, sehingga mungkin kedepan Balitbang harus lebih proaktif lagi mempromosikan hasil-hasil penelitiannya lewat jalur konvensional, seperti seminar, pameran atau lokakarya.
Upaya berikutnya adalah perlu kerja keras untuk mengajak SDM yang belum ‘tune in’ dengan suasana penelitian yang ‘abstrak’ apalagi memahami pentingnya model data base hasil penelitian, dan road map hasil penelitian sebagai bahan kebijakan, pengambangan iptek dan bahan perencanaan pembangunan dengan arah dan target tertentu. Pola penelitian berbasis isu aktual yang saat ini lebih mendominasi model penelitian dilembaga litbang pada skala kabupaten-kota, propinsi maupun nasional, tidak terlalu memerlukan energi yang berlebihan dalam pengelolaannya. Namun seperti yang kita sama-sama pahami hasilnya belum optimal sebagai bahan perencanaan pembangunan. Untuk membangun SDM seperti yang diharapkan, barangkali kedepan diperlukan model rekruitmen yang selektif mulai dari awal CPNS untuk menjadi tenaga fungsional peneliti atau seperti persyaratan LIPI saat ini dengan membatasi usia maksimal 45 tahun untuk PNS. Namun tentu saja dengan memberikan perangsang dalam bentuk tunjangan fungsional peneliti yang setara dengan struktural agar minat untuk masuk ke Lembaga Litbang semakin tinggi sehingga ada proses kompetisi, dan hal itu sesuai dengan usulan LIPI untuk mensetarakan tunjangan fungsional dengan struktural. Di sisi lain, model insentif berbasis kinerja mungkin dapat menjadi solusi terbaik dimasa yang akan datang.
Selain itu, agar penelitian yang dilakukan oleh Balitbang tidak bertabrakan dengan penelitian di dinas-dinas maka penelitian yang dilakukan adalah penelitian yang terkait dengan kebijakan, bahan perencanaan pembangunan atau pengembangan iptek. Karena itu, penelitian-penelitiannya lebih ditekankan misalnya, pada kemungkinan potensi dampak negative/ positif dari suatu kebijakan, teknologi yang akan dikembangkan, system yang akan diterapkan, atau model perangkat lunak yang ditemukan agar bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, pembangunan daerah atau pengembangan iptek. Penelitian oleh dinas teknis pada dasarnya adalah penelitian untuk mencari efisiensi suatu teknologi, sistem, model agar lebih berdaya/ berhasil guna dibandingkan dengan konsep yang sudah ada. Namun karena selama ini belum adanya mekanisme filter yang jelas, maka masih sulit untuk menentukan siapa harus mengerjakan apa. Sebenarnya, yang paling penting adalah apakah penelitian-penelitian tersebut masih pada jalur/ trak yang benar, dilihat dari road map hasil penelitian sebagai acuan perencanaan pembangunan yang akan datang, atau justru penelitiannya telah berada di luar jalur. Wallahu’alam Bhis-shawwab.

000

Nasibnya Tak Lagi Seindah Bentuknya

Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Bagian 1 – bersambung) -- sub
Nasibnya Tak Lagi Seindah Bentuknya
Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa


Pengantar :
Naskah berikut merupakan naskah artikel yang berhasil meraih juara pertama dalam ajang Journalist Writing Competition yang diselenggarakan Departemen Perikanan dan Kelautan RI Nopember 2008 - Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) II.
---------------------------------------------------

Keunikan, keindahan serta keanekaragaman kehidupan bawah laut dari kepulauan Indonesia yang membentang luas di cakrawala khatulistiwa masih banyak menyimpan misteri dan menjadi tantangan untuk mengungkap potensinya. Salah satu dari potensi sumberdaya hayati yang tak ternilai harganya dari segi ekonomi dan ekologinya adalah sumberdaya terumbu karang. Bahkan khusus mengenai terumbu karang, Indonesia juga dikenal sebagai pusat distribusi terumbu karang untuk seluruh Indo-Pasifik.
Secara tradisional terumbu karang dimanfaatkan sebagai bahan bangunan karena mengandung kapur. Demikian pula pasir yang diambil dari ekosistem terumbu karang digunakan sebagai bahan campuran semen. Kerang atau tiram raksasa diambil cangkangnya untuk dijadikan bahan pembuat lantai bangunan. Terumbu karang menyediakan sumber pakan yang berlimpah bagi penduduk Indonesia. Banyak sekali ikan-ikan karang, hewan-hewan moluska, ekhinodermata dan krustasea ditangkap, dan dimakan karena mereka memiliki daging yang bergizi tinggi sebagai sumber pakan.
Pada beberapa wilayah tertentu, komunitas lokal sangat bergantung kepada banyak tipe terumbu karang dan hewan laut di terumbu karang, untuk pakan sehari-hari dan untuk diperdagangkan. Termasuk di dalamnya ialah penyu, berbagai jenis ikan, berbagai jenis moluska (hewan bertubuh lunak yakni kerang dan siput laut), krustasea (udang-udangan) dan ekhinodermata (hewan berkulit duri contohnya teripang).
Singkatnya, terumbu karang bagaikan oase di padang pasir untuk lautan. Karenanya banyak hewan dan tanaman yang berkumpul di sini untuk mencari makan, memijah, membesarkan anaknya, dan berlindung. Bagi manusia, ini artinya terumbu karang mempunyai potensial perikanan yang sangat besar.
Keberadaan terumbu karang (coral reef) selain mampu menahan abrasi, juga memiliki keindahan tersendiri, terutama dengan keanekaragaman binatang laut di sekitar terumbu karang. Binatang unik ini dipastikan membentuk sebuah ekosistem yang penting bagi biota laut yang pada akhirnya bisa menentukan hasil tangkapan para nelayan. Namun sayangnya kini nasib terumbu karang ternyata tak lagi seindah bentuknya.
Sekadar ilustrasi, dari hasil penelitian tahun 2001 yang dikeluarkan Badan Riset Kelautan dan Perikanan menyebutkan 70 persen terumbu karang di perairan Indonesia dalam keadaan rusak parah. Luas terumbu ini menghampar sekitar 60.000 - 86.000 kilometer persegi atau seperdelapan dari luas terumbu karang di dunia. Akibat kerusakan itu, Indonesia menderita kerugian se kitar dua juta ton ikan per tahun. Bukti kerugian juga dirasakan para nelayan tradisional yang umumnya tidak bisa melaut melebihi 12 mil dari tepi pantai. Dari waktu ke waktu, hasil tangkapan nelayan terus merosot, mengakibatkan ongkos melaut lebih besar dibandingkan hasil penjualan ikan.
Ironisnya, kerusakan terumbu karang tidak hanya disebabkan ulah kelompok masyarakat miskin yang butuh mencari nafkah keluarga. Tetapi pemerintah baik pusat maupun daerah juga terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam penghancuran binatang kecil tapi indah ini. Kebijakan pemerintah cenderung tidak memihak pelestarian kehidupan laut sehingga proses kerusakan semakin cepat.
Sebagai contoh misalnya terbitnya surat izin yang diberikan Ditjen Perlindungan dan Konservasi Departemen Kehutanan nomor 88/KPTS/DJ-V/2000 tanggal 4 September 2000 yang membolehkan adanya perusahaan yang mengekspor terumbu karang ke Jepang. Hal serupa terjadi ketika pemerintah pusat mengizinkan PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) mengelola Pulau Sanghiang menjadi taman wisata alam, akhir tahun 1993. Status cagar alam pulau itu dicabut. Saat pembangunan berlangsung tahun 2001, terumbu karang di sekitar pulau ini hancur, termasuk laguna-laguna yang indah. Perusahaan tersebut berencana membangun hotel, cottage, vila pribadi, lapangan golf, sarana hiburan dan sebagainya. Namun akibat krisis ekonomi, pembangunan taman wisata alam ini tidak bisa dilanjutkan. PT PKP meninggalkan kawasan ini begitu saja dengan meninggalkan kerusakan ditimbulkan di Pulau Sanghiang seluas 800 hektar. Belum lagi banyak kepala daerah yang mengizinkan adanya penambangan pasir di wilayah pantai yang ujung-ujungnya menghancurkan kehidupan laut utamanya terumbu karang.

Ekosistem Tertua
Terumbu karang di Indonesia merupakan bagian dari corel reef dunia yang menghampar dari Amerika Selatan, Australia, Indonesia, Asia hingga Afrika Selatan. Penelitian dari World Watch Institute menyebutkan terumbu karang merupakan ekosistem tertua di dunia dengan umur sekitar 600 juta tahun. Terumbu karang di Australia yang disebut Great Barier Reef, misalnya, terdiri dari 2.900 satuan terumbu karang yang terbentuk dari evolusi selama itu.
Multi fungsi yang diperankan terumbu karang, menjadi salah satu penyebab banyaknya pihak yang berupaya memburu lokasi terumbu karang. Terumbu karang dengan aneka ragam bentuk dan variasi warna, menjadi salah satu daya tarik, bukan saja disenangi ikan tapi juga manusia. Penyelam baik dalam kapasitasnya pencari ikan maupun wisatawan menempatkan kawasan terumbu karang sebagai salah satu pilihan yang menarik. Fungsi demikian ’bagai dua sisi mata uang logam’. Di satu sisi terumbu karang menjadi penyelamat kekayaan laut, disisi lain menjadi salah satu sumber pendapatan yang menguntungkan. Kedua kepentingan itu kadang kala berseberangan, apalagi jika dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab.
Menurut data Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam, Indonesia pernah menjadi eksportir terumbu karang hidup terbesar di dunia. Tercatat 200 ribu buah selama tahun 1992 dan 800 ribu buah selama tahun 1999. Sumbangan produksi terumbu karang Indonesia di sektor perikanan tercatat 2,7 miliar dolar AS per tahun dan sektor pariwisata sebesar 600 juta dolar AS per tahun.
Meskipun kerusakan oleh perdagangan karang belum diteliti lebih dalam bukan berarti tidak perlu diantisipasi, namun demikian tetap diperlukan upaya pencegahan dengan menerapkan prosedur pemanfaatan yang benar, antara lain dengan menerapkan sertifikasi ekolabel. Sistem sertifikasi ekolabel, yang merupakan mekanisme pasar bersifat sukarela ini berupa sistem informasi atas suatu produk yang dikelola secara ramah lingkungan, yang bertujuan antara lain mengurangi tingkat kematian dan kerusakan sumberdaya, meningkatkan kegiatan pengelolaan, harga jual di pasar dunia dan memberikan kepastian berusaha dalam jangka panjang.
Kenyataan di berbagai kawasan laut telah terjadi kerusakan terumbu karang yang sudah sampai pada tahap yang sangat membahayakan baik kelangsungan hidup biota laut maupun manusia sendiri. Padahal seharusnya pemanfaatan kekayaan laut tidak hanya untuk kepentingan seketika atau jangka pendek saja, tapi lebih mengedepankan kebutuhan masa depan.
Lantaran itu, maka harus dibangun kesadaran bagi segenap komponen terhadap permasalahan ini. Sudah saatnya lebih memperhatikan kekayaan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Cara - cara yang tidak bertanggung jawab dalam mengelola dan mengurus keanekaragaman hayati laut sudah saatnya dihentikan. Saatnya menggalang tekad dan kemauan untuk bersama - sama menyadari akan bahaya kerusakan terumbu karang. (bersambung)

===========================================
Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Bagian 2 – habis) -- sub
Dari Menyadarkan hingga Memberdayakan
Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Pemerintah menyadari bahwa perlu ada tindakan segera dalam menyelamatkan terumbu karang Indonesia dari kepunahan. Dorongan untuk membuat program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang semakin menguat sejalan dengan keprihatinan para peneliti kelautan Indonesia akan nasib terumbu karang yang kondisinya makin memburuk
Pada tahun 1980-an Indonesia ikut terlibat dalam Program ASEAN-Australia, Living Coastal Resources, untuk memantau dan mengevaluasi sumberdaya laut di Asia Tenggara. Survei pendahuluan yang dilakukan oleh para peneliti Indonesia tahun 1984 menghadirkan fakta yang sangat mengkhawatirkan, yang menunjukkan kondisi terumbu karang di Indonesia yang dalam keadaan baik tinggal sekitar 5 %, lumayan 29 %, buruk 25 %, dan sangat buruk 40 %.
Temuan ini mengejutkan banyak orang termasuk para pengambil keputusan di negeri ini, yang kemudian menimbulkan kesadaran akan perlunya diambil tindakan-tindakan untuk melindungi dan melestarikan ekositem yang sangat berharga ini. Panitia Persiapan ditetapkan tahun 1994, dan konsep awal Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) kemudian dirumuskan. Ternyata konsep ini mendapat tanggapan yang sangat positif dari berbagai lembaga internasional, bahkan kesediaan untuk ikut berpartisipasi. Tiga lembaga donor menyatakan kesediaan mereka untuk memberikan bantuan pendanaan untuk program ini yakni World Bank, Asia Development Bank, dan AusAID (Australia Agency for International Development). Tanggal 1 September 1998, Coremap kemudian secara resmi diluncurkan.
Coremap bertujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola terumbu karang secara berkelanjutan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau kecil.
Program ini dilaksanakan dalam rentang waktu tahun 1998 - 2013 melalui tiga tahap. Pertama, Tahap Inisiasi (1998 – 2004); Kedua, Tahap Desentralisasi dan Akselerasi (2004 – 2009), Ketiga, Tahap Pelembagaan (2010 – 2015). Dengan demikian program Coremap saat ini telah memasuki fase kedua yang disebut juga fase akselerasi atau percepatan.
Fokus kegiatan Coremap II adalah Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat dengan kegiatan terkait konservasi, perikanan, pemberdayaan masyarakat, wisata bahari. Program Coremap II ini dilaksanakan di beberapa daerah, seperti; Provinsi Sulawesi Selatan (Kab Pangkep dan Selayar), Provinsi Sulawesi Tenggara (Kab Buton, dan Wakatobi), Provinsi Papua (Kab Biak), Provinsi Irian Jaya Barat (Kab Raja Ampat) serta Provinsi Nusa Tenggara Timur (Kab Sikka).
Dari lokasi Coremap II tersebut setelah dilakukan penelitian menampilkan beberapa profile wilayah yang relatif seragam baik menyangkut kondisi terumbu karang maupun kondisi sosial ekonominya. Sebagian besar lokasi, kondisi terumbu karangnya sudah rusak sementara kondisi sosial ekonominya mayoritas juga terjerat oleh kemiskinan.
Sebagai contoh misalnya desa-desa pesisir yang berada di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Hampir separuh penduduk di desa-desa pesisir tersebut memiliki pendapatan kurang dari Rp500 rubu per bulan. Hal yang lebih parah terjadi di desa-desa lokasi Coremap II yang berada di Kabupaten Pangkep (Pangkajene Kepulauan), Sulawesi Selatan. Di lokasi ini utamanya desa-desa yang berada di kepulauan, pendapatan rumah tangganya kecil. Sebanyak 50 persen rumah tangga di kawasan ini mempunyai pendapatan paling tinggi Rp402 ribu.

Melepas Jebakan Kemiskinan
Bahwa dari hasil penelitian terhadap lokasi Coremap II menunjukkan problem utama yang sering menjadi faktor pendorong nelayan untuk melakukan eksploitasi sumber daya laut secara berlebihan adalah faktor kemiskinan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan harus diakui memang selama ini selalu identik dengan kehidupan masyarakat pesisir. Faktor-faktor yang membuat masyarakat pesisir khususnya di lokasi Coremap II terus terjebak pada lingkaran kemiskinan setidaknya adalah sebagai berikut :
Pertama, faktor pendidikan. Dari survei terhadap wilayah lokasi Coremap II menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakatnya ternyata masih berpendidikan SD ke bawah. Fakta itu bisa dilihat misalnya tingkat pendidikan penduduk di Kabupaten Biak Numfor yang ternyata 60% penduduk hanya pendidikan SD ke bawah. Penduduk yang memiliki ijazah SLTP/ dan SLTA hanya 20 %. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Kabupaten Wakatobi. Bahwa dari rendahnya pendidikan masyarakat setempat jelas akan berimplikasi luas. Minimnya ketrampilan membuat mereka tidak bisa berpikir tentang pekerjaan alternatif bila musim tak memungkinkan lagi mereka ke laut. Imbasnya, kemudian mereka melakukan penangkapan sebanyak-banyak dengan harapan penjualan hasil tangkapnya bisa digunakan untuk menutupi kebutuhan saat mereka tak bisa melaut akibat cuaca/musim. Ironisnya untuk mendapat hasil tangkap yang banyak mereka lantas menggunakan bahan peledak yang berujung pada kerusakan terumbu karang. Efek berikutnya tentu saja akan semakin mengurangi jumlah ikan di laut akibat kerusakan terumbu karang tersebut.
Kedua, minimnya infrastruktur dan akses ekonomi. Bahwa dapat dipastikan bila tak satu pun masyarakat yang ingin hidup miskin termasuk masyarakat pesisir. Keinginan untuk meningkatkan taraf hidupnya jelas ada, namun semua terkendala oleh ketiadaan modal. Misalnya minimnya hasil tangkap adalah karena peralatan tangkapnya yang masih sangat sederhana. Selain itu karena tidak adanya alat dan sarana pendingin maka hasil ikan yang ditangkapnya kerap tidak layak lagi untuk dijual. Problem ini jelas menjadi persoalan serius bagi kalangan nelayan. Situasi akan berbeda ketika insfrastruktur ekonomi seperti transportasi misalnya tersedia relatif baik . Misalnya seperti yang ada di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Akibat penurunan hasil tangkapan, sebagian nelayan di kawasan pulau-pulau beralih usaha dari nelayan tangkap ke nelayan budidaya dan ke sektor lain seperti perdagangan, jasa dan angkutan. Hal tersebut bisa terjadi karena para nelayan setempat memiliki ketrampilan tambahan selain melaut. Selain itu faktor ketersediaan insfrastruktur ekonomi lainnya memungkinkan mereka untuk beralih usaha.
Ketiga, minimnya perhatian pemerintah. Upaya untuk meningkatkan kesejahtaran masyarakat di pesisir hampir mustahil dilakukan tanpa campur tangan negara. Negara dengan otoritas yang dimiliki akan mampu menghadirkan program dan kebijakan yang bisa membuka peluang bagi masyarakat pesisir untuk meningkatkan taraf hidupnya. Peran negara dalam hal pemerintah adalah misalnya dengan membuat peraturan perundangan yang melindungi sumber daya laut dari kerusakan. Larangan mencari ikan dengan menggunakan bom dan obat bius adalah salah satu contohnya. Selain itu pemerintah daerah setempat juga bisa membuat program yang langsung bisa bermanfaat bagi nelayan. Misalnya seperti yang dilakukan Kabupaten Biak Numfor yang membuat program pemasangan rumpon rudal di perairan laut distrik Biak Timur. Terbukti adanya rumpon ini mampu meningkatkan hasil tangkap. Kebijakan tersebut kemudian juga diikuti dengan pemberian bantuan coobox. Sehingga nelayan dapat menyimpan hasil tangkapannya sebelum dipasarkan. Selain itu pemerintah (dengan melibatkan instansi/institusi yang kompeten) juga bisa memberdayakan masyarakat setempat dengan membuat program pemberian ketrampilan untuk menjadi pekerjaan alternatif selama mereka tidak memungkinkan melaut.
Dari eksplanasi di atas terlihat bahwa faktor kemiskinan dan tekanan permintaan dari luar telah mendorong nelayan melakukan segala cara untuk mengekploitasi Sumber Daya Laut (SDL) tanpa peduli keberlajutannya. Sebaliknya tersedianya alternatif mata pencaharian dan akses pasar untuk hasil produksi akan mengurangi over fishing dan mendorong pemanfaatna SDL yang ramah lingkungan. Peran pemerintah daerah sangat diperlukan untuk menyediakan akses untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk baik dalam penyediaan kesempatan kerja alternatif maupun pemasaran. Di samping itu diperlukan kemampuan politik dan aksi yang serius dalam membantu masyarakat mengelola SDL.
Berpijak pada kebutuhan tersebut di atas maka kehadiran program Coremap II menemukan relevansinya. Lantaran itu upaya sosialisasi program Coremap harus terus dilakukan.
Jangan sampai sosialisasai kegiatan ini hanya terbatas pada pimpinan formal dan nonformal saja, namun juga kepada masyarakat luas khususnya masyarakt pesisir yang terlibat langsung dalam kegiatan ini. Masyarakat yang mendengar informasi tidak lengkap akan menjadi mudah curiga dan salah paham. Akibat informasi yang sepotong-potong para nelayan acap menganggap program termasuk Coremap tidak bermanfaat, bahkan sebaliknya mengganggu kehidupan masyarakat, karena melarang kegiatan mereka.
Kesalahpahaman ini harus segera diatasi agar mereka tidak antipati terhadap pelaksanaan program tersebut. Bagaimanapun pengelolaannya harus berbasiskan masyarakat, sehingga penduduk di sepanjang pesisir memiliki pengertian mendalam tentang terumbu karang. Diharapkan, tidak ada lagi pertentangan antara pembangunan dan kebutuhan hidup manusia di satu pihak, dengan upaya melestarikan lingkungan di sisi lain. Dengan kata lain, menyelamatkan terumbu karang, berarti menyelamatkan bumi ini dari kehancuran akibat keserakahan manusia. Wallahu’alam Bhis-shawwab.

Jumat, 10 Oktober 2008

Momentum Bangkitkan Emosi Ke-Jawa Timur-an




Setahun lalu, kemeriahan dan gegap gempita perdebatan publik menyangkut penetapan Hari Ulang Tahun (HUT) Provinsi Jatim melalui perda demikian terasakan. Meski, memantik sedikit kontroversi dalam masyarakat, akhirnya DPRD Jatim tahun kemarin menetapkan HUT Provinsi Jatim menjadi tanggal 12 Oktober.
Dan hari ini, ketika Jatim bersiap memperingati HUT-nya pada tanggal 12 Oktober nanti nampaknya publik sudah melupakan kontroversi atas penetapan tanggal tersebut. Terbukti, sepi-sepi saja respon masyarakat terhadap rencana resepsi HUT Jatim tersebut.
Keputusan politik memang sudah dilakukan oleh eksekutif dan legislatif dengan menetapkan Perda Hari Jadi Jatim tersebut. Meski banyak yang mengganjal terkait keputusan menetapkan tanggal 12 Oktober sebagai Hari Ulang Provinsi Jatim, namun langkah bijak yang sebaiknya diambil adalah melihat bahwa penetapan Hari Jadi Jatim tersebut sebagai bagian dari proses pencarian kebenaran yang memang selalu bersifat dinamis. Artinya, kebenaran bukan merupakan harga mati dan bersifat statis. Sehingga bukan tidak mungkin bila Hari Jadi Jatim pun kelak akan dilakukan perubahan bila memang ada data dan argumentasi yang memadai untuk melakukan perubahan tersebut.
Munculnya perdebatan dan ketidakpuasan atas penetapan tanggal 12 Oktober tersebut pada wilayah lain sesungguhnya patut untuk disyukuri. Kondisi tersebut bisa dibaca secara positif yakni bahwa masyarakat di Jatim bukan lagi masyarakat yang pasif dan pasrah. Tetapi masyarakat Jatim adalah merupakan masyarakat yang aktif dan berani untuk berbeda sikap dengan pemimpinnya. Dan hal itu merupakan modal penting dalam mengelola Jatim. Dengan kondisi sedemikian diharapkan para pemimpin kita baik di eksekutif dan legislatif selalu memberikan argumentasi dan pijakan yang kuat dalam mengambil keputusan apapun.
Para pakar Sejarah mungkin tidak akan mempersoalkan tanggal 12 Oktober 1945 sebagai Hari Jadi Provinsi Jawa Timur asalkan dilengkapi dengan bukti sejarah yang autentik. Minimnya data autentik yang dijadikan pijakan penetapan Hari Jadi tersebut barangkali yang mendorong munculnya perdebatan tersebut. Namun sekali lagi, saat ini tentu tidak cukup bijak kalau kita terus menerus memperdebatkan validitas dan dasar hukum penetapan tanggal tersebut.
Kita mungkin hanya bisa melihat bahwa Perda hadir juga merupakan produk dan pilihan politik. Sehingga bisa jadi ketika situasi politik berubah, hari Jadi Jatim pun akan berubah. Artinya, jangan sampai penetapan Perda tentang Hari Jadi tersebut menghentikan langkah kita untuk terus mencari dan mencari catatan dan bukti sejarah yang lebih valid untuk dijadikan dasar bagi pemilihan tanggal tersebut.
Lantaran itu, barangkali akan lebih produktif lagi bila fokus kita kemudian adalah harus diapakan dengan Hari Jadi Jatim tersebut. Dana miliaran rupiah telah telanjur dikeluarkan untuk keperluan tersebut. Apakah kemudian kita sudah puas karena telah memiliki Hari Jadi ? Atau apakah cukup hanya dijadikan sarana membangkitkan romantisme atau hanya sekadar mementingkan aspek seremonial belaka. Tidak inginkan kita, penetapan Tanggal Hari Jadi tersebut bisa dijadikan momentum untuk membangkitkan semangat dan etos baru dalam membangun Jawa Timur ?

Emosi Ke-Jawa Timur-an
Menyimak prosesi perayaan HUT Jatim yang diselenggarakan setahun yang lalu (2007, red), bagi penulis memang menghadirkan sesuatu yang mengganjal. Sekadar catatan, saat resepsi perayaan HUT Jatim tahun kemarin, dari 38 kepala daerah yang diundang ternyata tak banyak bahkan tak satu pun yang bersedia hadir.
Mungkin akan ada yang berkilah, seberapa pentingkah menghadiri resepsi ulang tahun, dibandingkan mengerjakan pekerjaan rumah di daerah masing-masing yang mungkin lebih mendesak untuk diselesaikan. Bisa jadi memang ada yang memiliki urusan yang demikian penting sehingga tidak bisa ikut menghadiri resepsi HUT Jatim. Tetapi ketika semua kepala daerah tidak ada yang hadir maka tidak akan terlalu keliru bila kemudian muncul kesimpulan bahwa dimata para kepala daerah bila menghadiri resepsi HUT Jatim adalah tidak penting. Bila ini benar, maka sebenarnya kita masih bisa menghibur diri bahwa memang hadir acara resepsi tidak terlalu penting. Tetapi kita akan menjadi prihatin bila argumentasinya adalah bahwa menghadiri acara provinsi dianggap sudah tidak penting lagi. Atau dalam bahasa yang lebih lugas lagi, apa pentingnya kehadiran institusi provinsi bagi keberadaan Kabupaten/Kota di Jatim.
Kekhawatiran itu semakin menjadi-jadi ketika dikaitkan dengan fenomena politik pasca pemberlakukan otonomi daerah yang mulai menunjukkan kecenderungan semakin merdekanya daerah (Kabupatan/Kota). Atau dengan kata lain, keengganan kabupaten/kota untuk hadir jangan-jangan menjadi bukti bahwa kehadiran provinsi dianggap sudah tidak penting lagi bagi daerah.
Kita tentu patut cemas dengan fakta perihal keengganan para kepala daerah untuk hadiri di HUT tersebut. Karena bisa jadi itu merupakan bukti nyata betapa Kabupaten/Kota tidak lagi memiliki kepedulian dengan nasib Jatim. Bila itu dibiarkan maka bukan tidak mungkin, nantinya yang terjadi adalah persaingan bebas antar daerah.
Salah satu kecemasan yang kian terasakan adalah berlomba-lombanya daerah untuk membuat produk hukum yang hanya mempertimbangkan kepentingan daerah masing-masing. Imbasnya adalah terjadi ketidakserasian pembangunan antar daerah.
Dalam posisi seperti itu, sesungguhnya posisi provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah menjadi penting untuk menjadi pengatur keserasian pembangunan antar daerah. Namun ironisnya lagi, akibat fungsi tersebut acap terjadi hubungan yang kurang harmonis antar Kab/Kota dengan provinsi. ‘Ketegangan’ yang kerap terjadi antar Provinsi Jatim dengan Kota Surabaya adalah salah satu indikasi nyata situasi tersebut. Sehingga sesungguhnya momentum HUT Jatim harus dijadikan momentum untuk membangkitkan kesadaran membangun kebersamaan tersebut. Artinya, menyejahterakan rakyat tidak bisa dibangun secara sendiri-sendiri, namun antar daerah tetaplah harus terjalin kebersamaan agar terjadi keselarasan dalam menelorkan kebijakan.
Di luar itu yang lebih penting lagi sesungguhnya adalah seberapa mampukah penetapan Hari jadi Jatim tersebut bisa membangkitkan kebersamaan dalam membangun Jatim. Dan kesadaran itu tentu bukan hanya berlaku bagi petinggi-petinggi di pemprov Jatim tetapi juga menjadi kesadaran bagi Walikota/Bupati di Jawa Timur. Sudahkah terbangun kesadaran bahwa membangun Kab/Kota tidak mungkin dilakukan tanpa menjaga keserasian dan keseimbangan antar daerah. Bila kesadaran ini ada maka, kolektivitas dan kebersamaan antar Kab/kota di Jawa Timur sepatutnya menjadi agenda yang harus diprioritaskan dibandingkan dengan memenuhi ego daerah demi untuk memajukan daerah masing-masing tanpa mempertimbangkan kepentingan dan pembangunan di daerah lain.
Dalam konteks menjaga keserasian dan keselarasan pembangunan antar Kab/Kota di Jatim inilah sesungguhnya membuat peran Pemerintah Provinsi menjadi penting adanya. Selamat Merayakan HUT Provinsi Jatim.
Wallahu’alam Bhis-shawwab.
Oleh : Wahyu Kuncoro SN ; Jurnalis; Pemerhati Birokrasi-Pemerinthan Peneliti muda Public Sphere Center (PuSpeC)- SUrabaya ; (Artikel dimuat di Jawa Pos edisi Jumat (10/10/2008))

Rabu, 03 September 2008

Revitalisasi Pertanian Butuh Dukungan Lembaga Keuangan

Potensi sektor pertanian di Jatim tak perlu diragukan lagi. Dalam berbagai diskusi dan seminar, sektor ini selalu direkomendasikan untuk dijadikan prioritas dalam pembangunan di Jawa Timur. Namun sayangnya, dalam praktik pembangunan kita, sektor pertanian seolah selalu dianaktirikan. Kebijakan-kebijakan pembangunan yang diambil kerap meminggirkan sektor ini. Fakta paling nyata adalah terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke sektor lain secara besar-besaran. Kita sudah terbiasa mendengar lahan sawah ataupun lahan tambak disulap untuk menjadi kawasan industri ataupun perumahan. Namun kita hampir tidak pernah mendengar lahan perumahan apalagi industri disulap jadi lahan pertanian. Fakta tersebut sesungguhnya sudah mencerminkan bagaimana kita memandang dan memperlakukan sektor pertanian. Berangkat dari cara pandang seperti itu, membuat masyarakat pun ikut-ikut tidak menghargai profesi yang berkaitan dengan dunia pertanian. Masyarakat desa menjadi berduyun-duyun ke kota. Pekerjaan menjadi petani dan nelayan seolah bukan lagi pekerjaan yang membanggakan. Dan imbasnya menjadi petani atau nelayan seolah identik dengan status ekonomi miskin. Yang terjadi kemudian, kemiskinan selalu identik dengan mereka yang selama ini bekerja dalam sektor pertanian. Ironisnya lagi, pemerintah juga ikut-ikutan latah dengan kemajuan zaman sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil seolah-olah ingin ikut arus menuju industrialisasi. Contoh paling nyata adalah bagaimana dunia pendidikan juga didorong untuk menjadi penopang ideologi industrialisasi. Sekolah-sekolah yang membuka program komputer dan teknologi informasi menjamur dimana-mana. Sementara sekolah yang semestinya mencetak SDM yang terampil bekerja di sektor pertanian mulai gulung tikar. Kita saksikan bagaimana nasib SMK pertanian dan sejenisnya yang mulai ditinggalkan. Fasilitas-fasilitas pendidikan dan laboratorium yang terlihat kuno dan kalah kelas dibanding sekolah-sekolah yang menawarkan program kekinian seperti komputer, TI, dan sejenisnya. Ilustrasi seperti itu sesungguhnya menunjukkan bahwa bila kita ingin benar-benar kembali membangun sektor pertanian terlalu banyak yang harus dikerjakan suka atau tidak suka. Dalam konteks inilah kita cukup prihatin bahwa dalam momentum Pemilihan Gubernur Jatim, kita belum melihat figur yang ada mau dan mampu bicara komprehensif mengenai bagaimana membangun sektor pertanian. Membangun pertanian bukan sekedar slogan dan retorika, tetapi harus dilandasi oleh pemahanam dan kepedulian secara sungguh-sungguh kepada sektor ini. Bagi Jatim, kita sempat memiliki pemimpin yang secara serius menggarap sektor ini. Yakni Gubernur Basofi dengan program Gerakan Kembali ke Desa (GKD). Bahwa apa yang dicanangkan Gubernur Basofi sesungguhnya sangat relevan kembali untuk dikembangkan lagi. Artinya, konsep dasar yang dibangun Basofi sesungguhnya bisa menjadi pijakan bagi gubernur nanti untuk melanjutkannya. Sekali lagi, membangun sektor pertanian tidak cukup hanya jadi slogan, tetapi harus bisa diterjemahkan dalam pelbagai dimensi dan sektor pembangunan lainnya. Mengingat mati hidupnya sektor ini sangat tergantung pada kebijakan sektor-sektor pembangunan lainnya. Sudah sejak belasan tahun para pemerhati dan publik mengingatkan pemerintah tentang proses kemunduran sektor pertanian, yang ditandai dengan menciutnya luas areal persawahan, khususnya di Jawa. Sudah berkembang banyak wacana tentang pembangunan kembali sektor pertanian. Tetapi, semuanya hanya sebatas wacana. Ketika kinerja sektor pertanian terus melemah, tidak ada upaya sistematis untuk memulihkannya. Akibatnya bisa kita rasakan sekarang, fatal. Bukan hanya mengubah status kita menjadi negara pengimpor beras, tetapi kemunduran besar di sektor pertanian telah memperluas kemiskinan dan pengangguran. Ketika awal menjabat, strategi revitalisasi pertanian dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Berkembang banyak harapan dari komitmen itu, dan tentu saja masyarakat pedesaan menunggu realisasinya. Revitalisasi sektor pertanian merupakan satu dari tiga strategi pemulihan dan pembangunan kembali ekonomi nasional yang nyaris hancur akibat krisis. Dua langkah lain meliputi percepatan investasi dan memacu ekspor untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6,5 persen per tahun. Sayang, tanda-tanda akan berprosesnya sebuah revitalisasi belum dirasakan hingga menjelang berakhirnya pemerintahan ini. Persoalan yang mengemuka bertolak belakang dengan hakikat revitalisasi itu. Ketika revitalisasi sektor pertanian digagas Presiden Susilo Bambang Yuhoyono, banyak orang berasumsi pemerintahannya akan memberi perhatian ekstra pada sektor pertanian. Sebab, kemunduran yang terjadi di sektor ini sedikit banyak disebabkan rendahnya minat negara untuk merevitalisasi. Tentu saja masih tersedia cukup waktu untuk memulai membangun kembali sektor yang satu ini. Kita berharap pemerintah segera mengambil inisiatif. Bentuknya bisa saja seperti Inpres yang memerintahkan semua kepala daerah mengajak masyarakat untuk membangun kembali sektor pertanian di daerah masing-masing. Sedikitnya ada lima alasan (Rokhmin Dahuri, 2002) mengapa kita harus all out membangun pertanian, perikanan, dan kehutanan. Pertama, jika dikelola secara profesional dan benar, dalam jangka pendek dan menengah (5–10 tahun) ketiga sektor tersebut mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar, dan menghadirkan ketahanan pangan nasional. Kedua adalah suatu kenyataan bahwa jumlah penduduk Indonesia maupun dunia akan terus bertambah, mencapai sekitar 300 juta dan 8 miliar pada tahun 2020. Kecenderungan ini akan melipat-gandakan permintaan domestik maupun global terhadap bahan pangan, serat (sandang), kayu, obat-obatan, kosmetik, energi, dan jasa-jasa lingkungan yang berasal dari ekosistem alam. Ketiga, bahwa negara dengan penduduk lebih dari 100 juta, jika kebutuhan pangannya bergantung pada pasokan impor, akan susah maju dan mandiri (FAO, 1998). Keruntuhan Uni Soviet adalah salah satu bukti dari fenomena ini. Keempat, bahwa sebagian besar kegiatan sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan berlangsung di daerah pedesaan, pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga membantu penyelesaian permasalahan nasional, yakni urbanisasi, brain drain, dan persebaran penduduk yang tidak merata. Kelima, sehubungan dengan sifatnya yang terbarukan, maka ketiga sektor ini jika dikelola secara bijaksana dapat menjamin pembangunan ekonomi Indonesia secara berkelanjutan. Lembaga Keuangan Berkaca pada kebutuhan di atas, maka pembentukan lembaga keuangan nonbank menjadi perlu dilakukan pemerintah dalam mendukung revitalisasi pertanian. Jika pemerintah hanya memberikan kredit murah untuk sektor pertanian, hal ini tidak akan bisa membuat petani sejahtera. Jika ingin merevitalisasi pertanian dan memperbaiki nasib petani, kebijakan yang dibuat harus komprehensif. Saat ini dari segi keuangan revitalisasi pertanian sulit dilakukan karena tidak adanya lembaga keuangan yang fokus pada pertanian dan faktor kehati-hatian bank dalam menyalurkan kredit ke sektor pertanian. Hanya para petani yang bankable saja yang mendapat penyaluran kredit dari bank. Dan, jumlah petani jenis ini sangat kecil. Artinya, revitalisasi pertanian tidak berjalan secara baik karena kemauan politik pemerintah sangat lemah. Pemerintah hanya memberikan kebijakan pada subsidi pupuk dan benih yang kurang menjangkau sasaran. Sementara itu, dalam waktu yang sama pemerintah sering melakukan intervensi dalam menentukan harga beras. Demikian juga kebijakan impor beras yang dijalankan pemerintah yang sangat bertentangan dengan semangat revitalisasi pertanian. Kebijakan tersebut ibarat melepas kepala tetapi memegang ekornya. Karena itu, perlu ada kebijakan yang komprehensif dalam rangka mendukung revitalisasi pertanian. Kebijakan yang komprehensif menyangkut reformasi agraria, kredit pertanian yang murah dari bank, lembaga keuangan yang mengelola pertanian, pembangunan infrastruktur pertanian dan modernisasi cara bercocok tanam. Indonesia bisa mencontoh Amerika Serikat atau Jepang dalam membuat kemudahan kepada para petaninya sehingga para petani bisa sejahtera. Wahyu Kuncoro SN; Jurnalis, Peneliti Public Sphere Center (PuSpeC) Surabaya. Dimuat di Surabaya Post (Rabu, 03/09/2008).

Sabtu, 16 Agustus 2008

Berkunjung ke PT KEM Kaltim


Studi Banding DLH-Bapedal Jatim ke PT KEM Kaltim


Bagi sebagian masyarakat, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi alam melalui kegiatan tambang dianggap selalu menghasilkan kerusakan lingkungan dan menebar ancaman melalui limbah yang dihasilkannya. Namun anggapan tersebut tidak berlaku dengan penambangan emas yang dilakukan PT Kelian Equatorial Mining (KEM). Lantas apa yang dilakukan perusahaan milik Rio Tinto (Inggris) ini sehingga lingkungan yang berada di areal pertambangan bisa dikembalikan seperti sediakala?
Berikut laporan wartawan Bhirawa Wahyu Kuncoro SN yang berkesempatan melakukan studi banding ke lokasi bekas penambangan emas milik PT KEM yang berlokasi di Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur.
Dipimpin langsung Plt Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Jatim Ir Dewi J Putriatni, MSc rombongan yang terdiri dari Ketua Dewan Lingkungan Hidup (DLH) Jatim Drs Abdul Latief Burhan, Ir Henny Sutji T, MSi Sekretaris DLH, Drs Antoro Hendra S (anggota DLH), Dra Endang Mei, Apt Kasubbid Pengkajian, Ir Diah Susilowatie, MT Kasubbid Amdal, Agnes Tuti Rumiati dosen ITS Surabaya dan Bhirawa yang menjadi satu-satunya media yang diajak meninggalkan Surabaya menggunakan Pesawat Lion Air pukul 06.30 WIB.
”Studi banding ini dilakukan untuk melihat langsung bagaimana rehabilitasi lingkungan pascapenambangan yang dilakukan PT KEM,” jelas Plt Kepala Bapedal Jatim Ir Dewi J Putriatni MSc sesaat sebelum pesawat take off di Bandara Juanda Surabaya. Pilihan studi banding ke PT KEM lanjut Dewi, karena rehabilitasi lahan yang dilakukan perusahaan milik Rio Tinto (Inggris) tersebut terbaik di Indoensia
Selama kurang lebih 1 jam 15 menit mengudara, pesawat landing dengan selamat di Bandara Sepinggan Balikpapan. Berbeda dengan di Surabaya yang cerah, ketika sampai di Balikpapan hujan rintik-rintik menyambut kedatangan rombongan. Rombongan disambut Manajer Administrasi dan Hubungan Eksternal PT KEM Yudi Nurcahyana.
Rencana semula, perjalanan dari Balikpapan menuju Sendawar (Ibukota Kab Kutai Barat) akan ditempuh dengan menggunakan pesawat kecil Twin Otter pukul 14.00 WITA. Pesawat dengan 16 seat ini melayani penerbangan seminggu 3 kali yakni Senin, Rabu dan Kamis. Namun karena cuaca yang kurang mengizinkan, pesawat ditunda hingga pukul 16.00 WIB. Setelah beberapa saat menanti, muncul kabar bahwa pesawat batal berangkat karena cuaca yang tidak mengizinkan. Jalan darat akhirnya menjadi satu-satunya pilihan yang harus diambil untuk menuju lokasi. Rombongan akhirnya menyewa tiga mobil (baca : taksi plat hitam) untuk mengantarkan rombongan menuju lokasi PT KEM yang berada di Kec Melak, Kutai Barat.
Perjalanan darat selama lebih dari 10 jam itu terasa berat dan melelahkan. Jalan yang berkelok-kelok dan fisik jalan yang tidak layak plus hujan turun semakin membuat perjalanan kian berat. Perut terasa diaduk-aduk. Bhirawa yang tidak terbiasa menempuh perjalan seberat itu akhirnya menjadi satu-satunya anggota rombongan yang mabuk darat.
”Masak penumpang yang paling muda kok malah yang mabuk,” canda sekretaris DLH Jatim Ir Henny Sutji T, Msi ketika tahu Bhirawa mabuk darat.
Tepat pukul 04.00 waktu setempat, rombongan tiba dipintu masuk lokasi pertambangan. Setelah semua anggota diperiksa dan diberi tanda pengenal, akhirnya rombongan masuk lokasi bekas pertambangan yang berada di tengah hutan.
Suasana yang masih gelap gelita membuat anggota rombongan tidak bisa melihat kondisi di dalam hutan tersebut. Sekitar lima belas menit kemudian rombongan pun tiba di mess milik PT KEM yang akan menjadi tempat beristirahat sebelum melakukan tinjauan lapangan keesokan harinya.
Usai sarapan pagi pukul 09.00 WIB, rombongan didampingi Manajer Administrasi dan Hubungan Eksternal PT KEM Yudi Nurcahyana dan Manajer PT Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL) David Roberto melakukan peninjaun langsung ke lapangan. Sepanjang perjalanan, yang terlihat bukit-bukit yang telah menghijau, jauh dari kesan bahwa dulunya bekas lahan pertambangan emas. Meski demikian sisa-sisa bekas pabrik itu tetap ada.
Sambil sesekali berhenti dan turun dari bis Yudi dan David silih berganti memberi penjelasan kepada anggota rombongan. Tak kenal lelah keduanya melayani pertanyaan anggota rombongan yang silih berganti mencecarnya.
Dari penjelasan keduanya, diketahui bahwa PT KEM beroperasi di Kelian sejak 1992. Kontrak karya perusahaan itu ditandatangani pada 1985, yang kemudian ditingkatkan menjadi hak pinjam pakai. Produksi rata-rata KEM per tahun sebanyak 14 ton emas dan 10 ton perak sejak 1992 hingga 2004. KEM beroperasi berdasarkan kontrak karya 1985, mulai berproduksi 1992. Kegiatan penambangan di lubang tambang terbuka dihentikan pada Mei 2003 karena kandungan bijih emas di lokasi tersebut telah habis. Pengolahan bijih timbunan yang tersisa dilaksanakan sampai KEM mengakhiri produksinya pada Februari 2005.
Menurut Yudi, pengakhiran tambang dilakukan dengan mengacu pada rekomendasi Komite Pengarah Pengakhiran Tambang (KPPT). Dokumen itu telah disetujui pemerintah dan dijadikan acuan dalam pelaksanaan pengakhiran tambang. Komite ini dibentuk pada 1999 dan mulai bekerja pada 2001, menyelesaikan tugasnya Juni 2003. KPPT diketuai secara bersama oleh Presiden Direktur KEM dan Bupati Kutai Barat. Anggota KPPT pemangku kepentingan (stakeholders) melalui pihak pemerintah (pusat, provinsi, dan kabupaten), DPRD, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat adat, akademisi, serta perusahaan.
Pola pengakhiran tambang yang dilakukan oleh KEM merupakan benchmark di Indonesia ataupun pada tingkat internasional. Pengakhiran tambang yang dilakukan KEM dijadikan salah satu proyek percontohan program kemitraan pembangunan atau BPD (Business Partnership for Development) oleh Bank Dunia.
Dalam melakukan aktivitas penambangan, PT KEM menggunakan area seluas 1.192 hektare dari 6.670 hektare areal pinjam pakai. Selama beroperasi, PT KEM telah membayar pajak kepada pemerintah lebih dari Rp 1 Triliun.
Dari 1.192 hektare yang digunakan dalam penambangan diperkirakan akhir tahun 2008 ini akan direhabilitasi seluruhnya. PT KEM masih akan melakukan pemantauan pascatambang (periode 2008-2013). Proses rehabilitasi lahan dimulai dengan melakukan penggenangan terhadap areal seluas 800 hektar dengan air.
"Kita menggenangi tiga areal yang selama ini dipakai untuk penambangan emas dalam upaya mensterilisasikan dari limbah-limbah berbahaya," jelas Manajer PT Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL) David Roberto. Tiga kawasan yang digenangi merupakan areal yang selama ini merupakan bekas tambang (pit) serta dua lainnya merupakan areal eks pembuangan limbah tambang emas (tailing) yakni Dam Namuk dan satu lagi sudah merupakan kolam yang selama ini digunakan untuk pembilasan (Dam Nakan). Lahan yang dibutuhkan untuk ketiganya 801,45 hektar. Menurut David tiga kolam tersebut akan terus dikontrol tingkat keasamannya sehingga nantinya dapat dimanfaatkan untuk mengairi areal yang selama ini menjadi tempat bangunan untuk karyawan yang nantinya akan dijadikan kawasan basah (wet land) seluas 20 hektar. Lahan basah mirip dengan sawah yang ditanami rerumputan.
”Itu berfungsi untuk mengolah air secara alami dari pit sebelum dialirkan ke Sungai Kelian,” jelas David lagi.
Pada areal tambang setelah digenangi kemudian akan direhabilitasi untuk menjadikan sebagai kawasan hutan lindung seperti sediakala sebelum dijadikan areal penambangan. Dalam rangka menyiapkan program hutan lindung, telah dibentuk perusahaan bernama Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL) yang bertugas membantu pemerintah melakukan pengawasan.
Saat ini KEM telah mengerjakan reklamasi dan rehabilitasi yang diharapkan selesai akhir 2008 ini. Selanjutnya mulai 2008 hingga 2013 akan memasuki masa pasca tambang. Sedangkan pada 2013 pemantauan selanjutnya akan dilaksanakan oleh PT HLKL.
Dalam sebuah paparan, Manajer PT Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL) David Roberto menjelaskan bila perubahan fisik bentang alam pasti terjadi. Dulunya, areal tambang adalah hutan produksi terbatas. Waktu itu, hanya pohon-pohon tertentu yang bisa ditebang untuk dijual oleh suatu perusahaan. Dengan berakhirnya tambang, jelas terdapat pengurangan lahan hampir 1.000 hektar. Suatu konsekuensi logis jika bentang alam permukaan bumi dikupas untuk kepentingan pertambangan.Konsekuensi logis lainnya, kondisi hutan sebelum ditambang tidak akan bisa kembali seratus 100 persen. Maksimal 70 persen. Itupun butuh waktu minimal 20 tahun.
“Yang bisa dilakukan adalah menanam sebanyak mungkin jenis tumbuhan lokal di lahan yang akan direhabilitasi,” kata David Roberto lagi.
Rio Tinto melalui PT KEM menyiapkan dana 11 juta dollar untuk dana abadi operasional PT HLKL. Kemudian, secara politis, perusahaan dan pemerintah setempat menggodok rancangan peraturan daerah untuk menjadikan lahan areal bekas PT KEM sebagai hutan lindung. Harapannya memang setelah dikembalikan pada 2013, kawasan bekas tambang ditetapkan sebagai hutan lindung dan dikelola oleh PT HLKL.Bagaimana kalau sebaliknya?
Yudhi Nurcahyana mengemukakan bahwa semua keputusan berada di pemerintah dan masyarakat. Rekomendasi yang telah diusulkan KPPT sebaiknya ditaati. Dana besar yang disiapkan tadi hanya bisa digunakan kalau kawasan bekas tambang berstatus hutan lindung.
“Rio Tinto tidak akan menarik dana itu kembali. Kalau tidak hutan lindung, dana juga tidak bisa digunakan,” kata Yudhi Nurcahyana. Pemerintah setempat sampai saat ini sepertinya memilih agar kawasan bekas tambang itu menjadi hutan lindung. Jika dijadikan kawasan produktif sepertinya tidak menguntungkan.
Selain itu, sejak tahun 2003, kegiatan pengembangan kemasyarakatan PT KEM disalurkan melalui Yayasan Rio Tinto yang kini menjadi yayasan lokal Yayasan Anum Lio (YAL). YAL berperanan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat Kutai Barat melalui program-program pertanian, kesehatan, dan kebudayaan. Program itu dilaksanakan dalam bentuk pendampingan. Beberapa keberhasilan program YAL, antara lain, peningkatan Ketahanan Pangan di sekitar lokasi PT KEM, pemberantasan TBC, sosialisasi adat dan budaya Dayak. KEM menempatkan dana abadi (US$ 2,4 juta) guna mendukung kegiatan YAL.
Kepala Bapedal Jatim mengaku hasil kunjungan tersebut akan menjadi referensi bagi Jatim bila nantinya akan membuka lahan tambang khususnya di kawasan hutan.
”Dari pengalaman PT KEM, setidaknya membuktikan bahwa bila dikelola secara baik, aktivitas penambangan tidak selalu merusak lingkungan,” tegas penggemar pop mie yang selalu terlihat energik ini. Selain itu, lanjut Dewi, diharapkan dengan pengalaman ini masyarakat bisa lebih terbuka menerima investor yang ingin melakukan penambangan di Jatim. (wahyu kuncoro sn)

Rabu, 06 Agustus 2008

Bersama bunda dan Risyad




Himpitan beban hidup dan beratnya ayunan langkah terasa ringan dan indah saat bunda dan risyad bersamaku. Tiada kebahagiaan dan keindahaan selain bisa menyaksikan bunda dan Risyad tertawa bahagia... Semoga aku bisa membahagiakan keduanya...

Selasa, 05 Agustus 2008

Bersatu Melawan Kunker


Wahyu Kuncoro SN
Peneliti Senior pada Public Sphere Center (PuSpeC)
Surabaya


Berbagai media, hari-hari ini mengekspos sikap berbagai elemen dalam masyarakat dari LSM, kalangan kampus, advokat, hingga politisi yang tengah menggalang kekuatan untuk menolak rencana kunjungan kerja yang akan dilakukan oleh DPRD Jatim.
Aksi penolakan ini demikian hebatnya sehingga sampai mengancam untuk melakukan sweeping terhadap anggota dewan. Melihat begitu dahsyatnya reaksi masyarakat terhadap rencana kunker tersebut mengindikasikan memang ada persoalan dengan rencana kunker tersebut.
Penolakan beberapa elemen dalam masyarakat terhadap kegiatan kunjungan kerja (kunker) baik yang dilakukan oleh kalangan eksekutif maupun legislatif sesungguhnya sudah menjadi hal yang lumrah terjadi. Reaksi tersebut sesungguhnya harus dibaca sebagai indikasi masih relatif berjalannya mekanisme kontrol dari masyarakat.
Lantaran itu, maraknya aksi mobilisasi massa untuk menentang kunker hendaknya dibaca secara wajar-wajar saja. Pun demikian pula dengan aksi penolakan yang dilakukan oleh kelompok yang menyebut sebagai 19 elemen masyarakat yang menuntut pembatalan rencana kunker DPRD Jatim 9 - 20 Mei mendatang.
Sebagai bagian dari masyarakat, memang sah-sah saja bila kelompok kritis masyarakat tersebut melakukan peran tersebut. Yang dibutuhkan kemudian adalah bahwa anggota DPRD harus secara elegan menjelaskan program tersebut.
Kunjungan kerja dianggap sebagai salah satu mekanisme untuk melakukan pembelajaran. Dalam kerangka pemahaman seperti ini maka dengan sendirinya siapa saja termasuk anggota DPRD Jatim boleh menjadikan kegiatan kunjungan kerja sebagai bagian dari pembelajaran diri.
Persoalan menjadi demikian rumit karena ternyata anggota DPRD tidak cerdas dalam menyikapi penolakan tersebut. Argumentasi bahwa program tersebut telah lama ditetapkan menjadi cermin betapa anggota DPRD tidak membiasakan diri untuk membuat program kerja (baca: kunker) yang memiliki basis argumentasi memadai.
Kunker yang sesungguhnya merupakan istilah yang positif telah berubah menjadi bermakna negatif. Bahkan kunker sudah dianggap dan disamakan dengan ngelencer. Terjadinya distorsi makna tersebut jelas tidak terjadi dengan serta merta. Namun merupakan akumulasi pemahaman dan buah dari perilaku dari para pejabat kita dalam meletakkan fungsi kunker.
Melakukan kunker itu positif-positif saja. Tetapi baru akan menimbulkan persoalan ketika maksud, tujuan, dan target yang diinginkan tidak terukur dan tidak jelas. Bahkan lebih ironis lagi karena kunker acap hanya untuk melegitimasi sikap DPRD yang ingin jalan-jalan atau sekadar untuk menambah 'pendapatan' mereka.
Imbasnya, ketika muncul berita anggota dewan akan kunker yang terlebih dulu terbangun di benak masyarakat adalah membuang-buang anggaran saja. Meski terlihat tidak bijak, namun cara pandang masyarakat yang sudah telanjur seperti ini semestinya harus diletakkan sebagai sebuah warning agar anggota DPRD kita lebih hati-hati sebelum memutuskan untuk melakukan kunker.

Masyarakat sesungguhnya juga memang harus bersikap fair, yakni tidak semua hasil kunjungan kerja itu tidak bermakna sama sekali. Beberapa hasil kunker tersebut terbukti memang memiliki dampak positif bagi Jatim khususnya dalam membuat produk kebijakan maupun pembuatan regulasi di Jatim.
Yang menjadi pertanyaan barangkali berapa persentase hasil kunker yang dianggap bermakna dibandingkan dengan kunker yang hanya sebatas ngelencer. Inilah yang selama ini tidak pernah dipublikasikan dan didiskusikan secara terbuka dengan masyarakat.
Sebagai sekedar catatan, beberapa hasil kunker yang terbukti membawa hasil misalnya Rencana Pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) merupakan salah satu keberhasilan kunker dewan ke Jerman beberapa waktu lalu. Imbasnya dewan berhasil menarik investor masuk ke Jatim untuk menginvestasikan dananya.
Penyusuan rancangan perda lanjut usia dan raperda stren kali. Selain itu, beberapa investasi di Jatim diklaim sebagai salah satu hasil kunker. Misalnya, investasi proyek air bersih Umbulan, Pasuruan, investasi Tiongkok pada usaha produksi sepatu (Tanggulangin, Magetan, dan Mojokerto), dan pertambangan minyak di Situbondo yang saat ini masih terbentur peraturan pemerintah tentang investasi asing dan sebagainya.

Peran Partai Politik
Kalau kita berdebat soal bermanfaat dan tidaknya kunker dengan berangkat dari cara pandang dan kepentingan masing-masing jelas hanya akan membuang energi saja. Upaya yang paling fair adalah dengan melihat aturan main yang ada.

Ketentuan untuk bisa melakukan kunker ke luar negeri sesungguhnya cukup baik untuk bisa menekan kemungkinan anggota dewan melakukan kunker seenaknya. Beberapa ketentuan yang digariskan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20/2005, misalnya mengisyaratkan rencana perjalanan dinas para anggota DPRD harus dilengkapi proposal yang berisi tujuan serta program kerja yang ingin dicapai.
Dewan harus mengirim berkas ke gubernur yang berisi nama, negara yang dituju, serta tujuan keberangkatan. Seluruh berkas, baik proposal maupun data pendukung, lantas dikirim ke Depdagri untuk dimintakan persetujuan. Peserta kunker dibatasi maksimal lima orang dalam satu kelompok. Pembatasan jumlah rombongan dimaksudkan supaya kunker lebih efektif dan efisien.
Namun, meski aturannya cukup baik, toh di lapangan aturan tinggal aturan dan dengan mudahnya bisa dilewati.
Aturan yang seharusnya menjadikan kunker lebih efisien tanpa menghamburkan uang rakyat itu ternyata masih bisa 'disiasati'. Salah satu modus dewan menyiasati aturan tersebut misalnya dengan membagi seluruh anggota komisi yang berjumlah 19-20 orang menjadi empat pokja (kelompok kerja). Aggotanya 4-5 orang. Setiap pokja diminta mengusulkan negara tujuan yang berbeda. Jadwal kunjungan pun diatur bergantian untuk menghindari tudingan kunker beramai-ramai.
Selain itu, keinginan untuk mendorong pihak eksekutif ikut mengoreksi anggaran untuk kunker legislatif sesungguhnya sudah menimbulkan keraguan. Logikanya, pihak eksekutif dalam hal ini gubernur tentu tidak akan 'tega' untuk tegas dalam memangkas anggaran kunker, karena pihak eksekutif pun tidak ingin agenda kunkernya nanti pun bakal diganggu dewan. Sehingga praktis harapan agar pihak eksketif mau mengoreksi rencana kunjungan legislatif adalah sesutu yang sulit dilakukan.
Selain masyarakat dan elemen kritis di dalamnya, maka kekuatan yang semestinya mampu berfungsi mengontrol perilaku politik DPRD adalah partai politik induk. Namun fungsi itu menjadi tidak berjalan karena secara faktual menunjukkan anggota DPRD ternyata juga merupakan elite/pimpinan partai politik.
Bila ini yang terjadi maka menjadi tidak relevan lagi kalau kita berharap partai politik bisa mengendalikan anggota DPRD. Yang terjadi justru partai politik menjadi humas bagi DPRD. Inilah amburadulnya sistem politik kita. Parpol yang sesungguhnya menjadi dapur dalam pengambilan politik tetapi justru menjadi alat pembenar bagi kinerja DPRD yang keliru.
Melihat tradisi kunker yang demikian menggelisahkan ini sudah sepatutnya ada shock therapy khususnya dari jajaran aparat hukum kita untuk bisa menyeret anggota DPRD yang melakukan kunker seenaknya. Kalau kejaksaan dan KPK bisa menyeret para anggota dewan dan pejabat yang korupsi, tentunya mereka juga bisa menjerat anggota DPRD yang menggunakan anggaran seenaknya.
Artinya, pada derajat tertentu penggunaan dana APBD yang seenaknya, termasuk misalnya untuk kunker yang tidak jelas adalah juga melakukan korupsi dalam wajah yang berbeda. Lantaran itu pekerjaan besar yang harus kita lakukan adalah mendorong aparat hukum kita baik kejaksaan, kepolisian, maupun KPK mampu mengontrol kinerja dewan dalam penggunaan anggaran.
Singkatnya perlu ada kebersamaan baik dari elemen kritis dalam masyarakat berikut dari aparat hukumnya untuk meneguhkan tekad menghentikan kunker yang tidak memiliki makna apapun bagi masyarakat.


Kamis, 24 Juli 2008

Menghitung Peluang Cagub dalam Putaran Dua Pilgub Jatim



Keinginan publik Jatim untuk segera mengetahui siapa gubernur yang baru nampaknya harus sedikit tertunda. Dari hasil quick count menunjukkan bahwa perolehan suara terbanyak masih dibawah angka 30 %, imbasnya untuk menentukan Gubernur terpilih harus berlangsung dua putaran.
Berdasar hasil perhitungan cepat yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei menunjukkan pasangan KarSa (Soekarwo-Saifullah Yusuf) dan KaJi (Khofiffa-Mudjiono) yang akan kembali bertarung dalam putaran kedua nanti.
Melajunya KarSa dan KaJi dalam perolehan suara Pilgub kemarin sejatinya juga menegaskan bahwa Pilgub lebih merupakan pertarungan figur ketimbang pertarungan partai politik. KarSa dan KaJi adalah figur yang didukung oleh partai-partai yang relatif kecil, namun berkat figur yang kuat mampu mendongkrak perolehan suaranya.
Sementara calon yang berasal dari partai-partai besar yakni Golkar, PDIP dan PKB justru keok dalam perolehan suaranya. Namun demikian, tentu saja kondisi tersebut tidak lantas dengan mudah bisa menyimpulkan bahwa partai politik menjadi tidak penting dalam mendulang suara. Keduanya (figur dan partai politik) merupakan kekuatan harus saling bersinergi untuk mampu mendapatkan dukungan suara secara optimal.
Selain mampu membuktikan bahwa peran figur lebih dominan dibandingkan dengan partai politik, hasil Pilgub kemarin juga mampu menunjukkan adanya fenomena perolehan suara yang menarik untuk disimak. Misalnya saja perolehan suara yang didapat oleh pasangan SR (Sucipto-Ridwan) yang didukung PDIP ternyata mampu meraih dukungan yang signifikan. Dari perhitungan quick count saja mampu meraup dukungan dalam kisaran 20 persen. Padahal banyak pihak memprediksi bahwa dukungan untuk SR ini akan kecil.
Keputusan DPP yang merekomendasikan Sucipto sebagai Cagub yang notabene dalam forum Rakerdasus kalah telak dari Soekarwo dinilai sebagian pengamat merupakan blunder yang akan menggembosi dukungan calon dari PDIP. Namun dengan hasil yang diperoleh tersebut setidaknya membuktikan bahwa konstituen PDIP cukup loyal dan solid. Dan ini mungkin yang akan dijaga untuk Pemilu 2009 mendatang. Karena alasan kepentingan Pemilu 2009 lah yang membuat DPP PDIP membuat keputusan tidak populer dengan memilih kader sendiri (meski kalah telak dalam Rakerdasus) untuk runing dalam Pilgub Jatim.
Dukungan suara yang didapatkan pasangan SR juga tidak bisa dilepaskan dari faktor Ridwan Hisjam. Sebagai mantan Ketua DPD Golkar Jatim, tentu Ridwan memiliki insfrastruktur politik yang cukup kuat. Kedekatannnya dengan kalangan pesantren diperkirakan ikut memasok pundi-pundi suara yang diraih pasangan SR. Selain itu ikatan emosional dengan para pendukung golkar terbukti juga masih kuat. Hal ini terlihat dari perolehan suara yang tinggi khususnya di kantong-kantong golkar. Kondisi ini membuktikan bahwa di mata kader dan simpatisan golkar sosok Ridwan Hisyam masih disegani dan dihormati.
Hasil yang di luar dugaan adalah perolehan suara untuk Salam (Soenarjo-Ali Maschan Moesa). Pasangan ini awalnya merupakan pasangan yang paling kuat dan diprediksikan akan dengan mudah melenggang menuju kursi L-1. Didukung oleh partai besar Golkar plus sosok Ali Mascahn Musa yang mantan Ketua PW NU Jatim dinilai akan menjadi garansi bila kemenangan dalam Pilgub sudah berada dalam genggaman. Namun, ketidakmampuannya dalam mengelola sumber daya politiknya membuat perlahan-lahan popularitasnya merosot. Kemunculan figur Soekarwo juga menjadi faktor mulai meredupnya popularitas Soenarjo. Sehingga publik kemudian memprediksikan bahwa Soenarjo dan Soekarwo akan bersaing ketat dalam Pilgub Jatim. Namun peta kemudian berubah dengan kemunculan Khofifah. Meski sedikit terlambat start, namun popularitas mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan ini meroket cepat. Dan akhirnya terbukti dalam hasil Pilgub ini mampu menempel ketat perolehan suara KarSa.
Sementara hasil suara yang diraih pasangan Achmady-Suhartono yang disingkat Achsan tidak jauh dengan yang diprediksikan banyak pihak. Konflik PKB yang berkepanjangan berikut figur yang kurang kuat membuat angka yang diperolehnya pun terpuruk. Yang barangkali bisa dibaca dari angka dukungan Achmady adalah barangkali lebih merepresentasi dukungan warga Nahdliyin terhadap Gus Dur.

Menghitung Peluang
Berangkat dari fakta di atas, maka hampir pasti semua konsentrasi para tim sukses akan menatap Pilgub Putaran kedua nanti. Bukan saja para tim sukses yang calonnya bakal bertarung di putaran kedua, tetapi tim sukses yang calonnya gagal pun tetap akan ikut menentukan peta pertarungan di babak kedua nanti. Dengan demikian pertarungan politik di babak kedua ini jelas akan habis-habisan dan akan berlangsung lebih keras dan bukan tidak mungkin tensi dan peluang konflik lebih besar dibandingkan pilgub di putaran pertama.
Variabel penting yang akan menentukan siapa yang menang dalam putaran kedua nanti justru berada pada pasangan calon yang kalah. Yakni akan dialihkan kemana dukungan masa yang diperolehnya.
Hemat penulis, dalam putaran kedua nanti pasangan Karsa kurang diuntungkan oleh situasi politik yang ada. Meski KarSa –berdasar quick count-- mendulang suara terbanyak pada putaran pertama, namun untuk memenangkan putaran kedua akan sangat berat karena kondisi politik yang kurang menguntungkan.
Beberapa catatan penting yang relevan disodorkan betapa KarSa butuh kerja keras untuk mempertahankan kemenangannya sebagaimana diraih pada putaran pertama, setidaknya adalah sebagai berikut :
Pertama, bahwa potensi KarSa untuk mendapatkan limpahan suara dari para calon yang kalah cukup sulit. Dari pasangan SR misalnya, meskipun Pakde Karwo pernah ikut Rakerdasus dan akhirnya mendapat dukungan mutlak tetapi ternyata DPP berkata lain. Imbasnya, di arus bawah PDIP muncul gejolak apakah mendukung Pakde Karwo ataukah Sucipto. Maka kemudian munculah rumor penggembosan yang dilakukan pendukung KarSa. Kondisi ini jelas membuat ‘tidak nyaman’ elit PDIP. Dan bila kondisi itu tetap bertahan maka akan sulit bagi KarSa untuk mendapatkan limpahan dukungan dari PDIP. Hal yang sama juga terjadi dari pasangan Salam. Secara politik persaingan figur Soekarwo dan Soenarjo terasa ‘panas’ di lingkungan birokrasi. Sikap ‘saling bunuh’ antar keduanya yang diekspresikan dari kebijakan mutasi, politik anggaran dalam penyusunan APBD seolah menjadi api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Soenarjo yang merasa ‘dirugikan’ tentu memendam ‘sakit hati’ atas kebijakan–kebijakan yang diambul Soekarwo. Bukan tidak mungkin Pilgub putaran kedua nanti menjadi momentum paling tepat untuk membalas dendam dengan mengalihkan dukungan Salam ke Kaji. Kemenangan Kaji bisa jadi lebih memberikan rasa aman bagi orang-orang Soenarjo yang ada di birokrasi. Sementara dari masa pendukung pasangan Achsan (Achmady-Suhartono) yang diperkirakan merupakan massa riil pendukung Gus Dur juga lebih memungkinkan dialihkan ke Kaji. Dasar pemikirannya, Khofifah relatif tidak bermasalah dengan Gus Dur dibandingankan Gus Ipul. Selain itu, sikap PB NU sendiri yang direpresentasikan oleh HasyimMuzadi yang secara sembunyi-sembunyi mendukung Khofifah jelas akan menyulitkan upaya Karsa untuk menambah pundi-pundi suara dari warga Nahdliyin. Dan bukan tidak mungkin, keberhasilan Khofifah untuk melaju ke putaran dua Pilgub Jatim akan membuat PB NU secara all out memberikan dukungan kepada Khofifah.
Kedua, bahwa bila dilihat dari konstelasi politik di level nasional ternyata juga kurang menguntungkan posisi KarSa. Sabagai Cagub diajukan partai demokrat yang notabene pendukung SBY, jelas kemenangan Karsa nanti akan dipersepsikan bakal menjadi kaki politik SBY dalam Pilpres mendatang. Berangkat dari kepentingan tersebut, maka bisa jadi partai-partai yang tidak menginginkan SBY menjadi presiden lagi akan bahu-membahu menghadang langkah SBY. Salah satunya dengan menghadang majunya Karsa menjadi gubernur Jatim. Bila ini benar, maka dalam putaran kedua nanti bukan tidak mungkin Karsa akan dikeroyok ramai-ramai partai yang tidak menginginkan SBY menang dalam Pilpres.
Bahwa analisis di atas hanyalah analisis di atas kertas yang bisa berlaku dan juga tidak. Politik bukan hanya hitung-hitungan di atas kertas, sehingga apapun bisa terjadi. Catatan di atas hanyalah ingin menggambarkan betapa berat dan kerasnya perjuangan yang harus dilakukan agar bisa menang dalam putaran kedua nanti.
Meski terlihat butuh perjuangan berat, namun peluang KarSa untuk menang tetap terbuka lebar dengan catatan : Pertama, segenap tim sukses Karsa harus mampu menjual dan menjajakan kekuatan figurnya. Sehingga kalaupun kemudian partai politik besar tidak mendukungnya, namun ketokohan dan kekuatan figurnya akan mampu merebut dukungan publik. Apalagi dalam pilgub kekuatan tokoh/figur relatif lebih menentukan dibandingkan instrumen partai. Kedua, Karsa harus membangun komunikasi politik dengan elit partai. Komunikasi ini jelas bukan hanya pada level Jatim tetapi pada level nasional. Kunci komunikasi politik dalam tradisi kita adalah modal. Jadi butuh modal besar untuk bisa membeli dukungan dari parpol-parpol lain. Ketiga, tim sukses Karsa harus secara serius menggarap massa yang selama ini diidentifikasikan sebagai golput. Angka golput dalam Pilgub Jatim yang menyentuh kisaran 40 % jelas bukan angka yang kecil. Sehingga masih terbuka lebar peluang untuk mengais suara dari kelompok ini.
Oleh karenanya KarSa harus mampu meyakinkan mereka (golput) untuk memberikan hak pilihnya. Sekali lagi, perlu kerja dan modal besar untuk bisa memenangkan putaran kedua nanti. Siapa yang mau kerja keras dan didukung modal besar lebih berpeluang untuk memenangkan pertarungan di putaran kedua.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

Rabu, 23 Juli 2008

Nurma Izzah, Met Menempuh Hidup Baru


Nurma Izzah, Met Menempuh Hidup Baru yaa..
Namanya semanis wajahnya... Lembutnya juga selembut sinar matanya... Kalau nggak percaya lihat aja fotonya...Namun egoisnya yaa ampun...Namun apapun sifat dan sikapnya, aku bersyukur punya teman seperti Izzah..Kabarnya sih bulan Agustus nanti sahabatku ini akan menikah. Aku bersyukur setelah sekian lama menanti Izzah ternyata telah menemukan tambatan hatinya yang cocok dan akan menjadi teman berbagi nantinya... Semoga, nanti aku diundang.. Insyaallah aku akan datang kok bersama istri dan anakku... Mungkin sekarang ini lagi sibuk-sibuknya mikirin persiapan pernikahan.. Ya sudah met bersibuk ria.. Kalau ada yang bisa aku bantu... pasti aku bantu.. Masih disimpan nomor telpku... Kalau sudah dihapus yaa nggak paa2... Ok dech, met menempuh hidup baru yaa..

Ntar kalo udah menikah, egoisnya dikurangin yaa.. Kasihan suamimu nanti terus bilang Capek Dech.. mikirin kamu terus


Salam manis sll

WKSN

Kamis, 17 Juli 2008

Hari Pertama Masuk Play Grup


Senin (14/7) adalah hari pertama Matahariku –sebutan untuk buah hatiku—Risyad Nazhir Aqila masuk Play Grup yang dikelola Aisyiah Kec Wiyung Surabaya. Meskipun sebelum mendaftar playgrup Risyad sudah ikut kelompok bermain ataupun les bahasa, tetapi hari pertama masuk playgrup benar-benar membuat kami was-was. Kecemasan itu berawal dari kebiasaan RIsyad yang agak susah mandi pagi. Padahal untuk masuk playgrup harus pagi-pagi banget. Selain itu, Risyad adalah tipe anak yang pemalu sehingga kami khawatir dia akan menangis saat bertemu dengan banyak orang yang tidak dikenalnya. Dan terbukti, kecemasan kami tersebut benar-benar menjadi nyata. Kami harus memaksanya untuk mandi hingga menangis sekeras-kerasnya. Demikian juga saat masuk halaman sekolahnya Risyad juga langsung menangis dan minta pulang… Namun semua itu hanya berlaku di hari pertama saja… Hari berikutnya semua bisa dikendalikan. Meski pemalu dan mudah menangis, sebenarnya Risyad adalah anak yang cerdas dan bijaksana (seperti ayahnya). Artinya, untuk mengajak melakukan hal-hal yang baru perlu ada diskusi panjang dulu (merayu, red). Karena Risyad sepertinya paham apa yang sebenarnya diinginkan ayah bundanya… Kini untuk mandi pagi tidak mudah lagi. Bahkan bangun tidur dan harimasih gelap kadang minta mandi.. Demikian juga saat di sekolah juga mulai bisa menikmatinya….
Semoga sekolah play grup ini akan menjadi pijakan langkah bagi matahariku untuk menjadi pemimpin besar di masa depan sebagaimana keinginan kami yang terekspresikan dari namanya Risyad Nazhir Aqila yang kami tafsirkan sebagai Pemimpin cerdas yang akan jadi Penunjuk Jalan bagi orang-orang disekitarnya...
Amien..

Minggu, 29 Juni 2008

Mengitung Potensi Politik Lansia dalam Pilgub Jatim

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Jurnalis;
Peneliti Public Sphere Center (PuSpec), Surabaya


Keberadaan masyarakat lanjut usia (lansia) nampaknya belum mendapatkan perhatian cukup dalam masyarakat kita. Pencitraan yang cenderung meletakkan lansia sebagai kelompok masyarakat yang tidak produktif bahkan dianggap beban masyarakat semakin memperparah kondisi tersebut. Sehingga sering ditemukan cara pandang yang meletakkan lansia sebagai komunitas masyarakat yang hanya butuh belas kasihan belaka.
Dalam kerangka pemahaman yang semacam itu maka keinginan untuk memberdayakan potensi yang dimiliki lansia menjadi butuh energi ekstra. Ada problem menyangkut cara pandang masyarakat yang perlu dibongkar terlebih dahulu untuk memperjuangkan agar lansia mendapatkan ruang dan tempat yang layak dalam pembangunan ini. Dengan kata lain, prosesi pembangunan yang tengah berjalan hari ini nampaknya belum meletakkan lansia sebagai salah satu aktor penting yang harus dihitung dan dipertimbangkan keberadaannya.
Bahwa peminggiran terhadap peran dan potensi lansia ternyata bukan saja pada ranah sosial kemasyarakatan kita saja, tetapi pada wilayah politik pun kita menyaksikan bahwa lansia belum menjadi ‘komoditas’ yang menarik perhatian mereka. Buktinya, partai politik berikut insfrastruktur politiknya cenderung mengabaikan potensi lansia dalam misi-misi politiknya.
Bagi Jawa Timur, contoh yang paling mudah disodorkan untuk menyimpulkan bahwa belum ada kepedulian yang layak terhadap keberadaan lansia adalah ‘sepinya’ suara partai politik –termasuk birokratnya-- dalam menuarakan kepentingan lansia di Jatim. Kenyataan tersebut semakin membuktikan betapa para penyelenggara negara kita tidak memiliki sensitivitas yang cukup untuk sedikit memikirkan nasib dan ksejahteraan lansia.
Lemahnya posisi tawar lansia dalam politik secara terang benderang juga terlihat dalam pemilihan kepala daerah selama ini. Pun demikian kiranya dalam menghadapi Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2008 nanti. Posisi dan peran lansia juga nyaris tidak diperbincangkan dalam forum-forum politik.
Setidaknya ada dua tema penting yang layak didiskusikan menyangkut keberadaan lansia dalam relasinya dengan politik (baca Pilgub). Pertama, adalah seberapa signifikan jumlah lansia sehingga pantas untuk dijadikan target dalam meraup dukungan politik atau menjadi wilayah yang potensial digarap. Kedua adalah seberapa besar komitmen politik yang ada untuk memperhatikan nasib dan kesejahteraan lansia.

Potensi ‘Politik’ Lansia
Berdasar data dari Badan Pusat Statistik (BPS), terlihat ada laju pertumbuhan persentase jumlah lansia di Jatim. Data BPS tahun 1990 menunjukkan dari jumlah penduduk 32,5 juta jumlah lansianya mencapai 2,5 juta (4,48%). Pada tahun 2000 jumlah penduduk menjadi 35,5 juta sementara jumlah lansianya mencapai 3,7 juta (10,54%) dan pada tahun 2006 dari jumlah penduduk Jatim yang 37.478.737 jiwa, lansianya mencapai 3.942.419 (11%). Dan persentase jumlah lansia tersebut akan semakin besar bila dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebagai jumlah real yang memiliki hak pilih.
Sekedar ilustrasi, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2004 lalu, Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Jawa Timur berdasar data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim mencapai 27.120.974 orang, sementara jumlah lansia pada tahun yang sama (2004) mencapai 3.741.811. Dengan demikian potensi suara yang bisa disumbangkan lansia mencapai 13,797 %. Distribusi suara lansia ini tentu untuk masing-masing daerah tidak sama. Misalnya untuk Kabupaten Banyuwangi dengan lansia sebanyak tahun 2005 yang mencapai 188.307 orang sementara DPT Pilkada tahun yang sama yang mencapai 1.201.733 maka persentase lansianya mencapai 15,67 %. Dengan demikian tentu merupakan sebuah kesalahan bila para elit politik tidak melirik potensi yang dimiliki lansia ini.
Apalagi, kalangan lansia ini pun memiliki ‘mesin politik’ yang relatif kuat dengan keberadaan Karang Werda. Merujuk pada Keputusan Gubernur Jatim 65/1996 tentang Pembentukan Karang Werda di Propinsi Jatim. Karang Werda adalah lembaga kemasyarakatan desa/kelurahan bagi lanjut usia. Sekedar catatan hingga saat ini sudah 4.895 desa/kelurahan yang memiliki Karang werda atau 57,81 % dari total 8467 desa/kelurahan yang ada di Jatim. Artinya, potensi massa lansia sesungguhnya menggiurkan untuk disimak bagi yang ingin memanfaatkannya dalam kepentingan politik.
Selain faktor jumlah yang cukup signifikan, pentingnya memperhitungkan potensi politik lansia adalah menyangkut multiflier effect (dampak ikutan) yang mungkin ditimbulkannya. Gambaran mudahnya, seorang lansia biasanya --meski tidak semuanya-- adalah sosok yang punya pengaruh kuat di lingkungannya apalagi bila lansia tersebut adalah mantan pejabat atau tokoh masyarakat. Sehingga bisa saja nantinya, seorang lansia akan mampu menggandneg suara laian baik anak, cucu dan sebagainya.
Di atas itu semua, tentu kita berharap agar kepedulian dan perhatian terhadap keberadaan lansia tidak an sich karena misi dan kepentingan politik saja. Namun harus dicamkan bahwa persoalan lansia adalah persoalan kita bersama tanpa harus ada embel-embel kepentingan politik.

Nasib Lansia
Terlepas dari faktor dan kepentingan politik, perlunya perhatian terhadap lansia juga dilandasi oleh kenyataan dalam tradisi sosial kita dimana masyarakat lanjut usia cenderung tidak diberi kesempatan secara memadai untuk berperan dan dianggap sebagai kelompok masyarakat yang tidak produktif. Meski juga harus dicatat tidak semua lansia dapat dikategorikan sebagai tak produktif dan menjadi beban masyarakat. Masih banyak lansia yang menyimpan potensi baik dari segi keilmuan dan ketrampilan yang bila diberdayakan akan menjadi kelompok masyarakat yang produktif.
Ketika seseorang sudah menjadi lansia dan tidak bisa melakukan apapun maka dengan sendirinya akan menjadi beban masyarakat lainnya. Masih beruntung bila para lansia tersebut adalah mantan pejabat atau birokrat barangkali masih memiliki dana pensiunan untuk menghidupi sisa hidupnya. Atau mungkin para lansia tersebut kebetulan berasal dari keluarga yang mapan sehingga masih ada keluarga yang akan memperhatikannya. Namun akan menjadi persoalan bila para lansia tersebut berasal dari masyarakat kebanyakan yang kondisi ekonominya biasa-biasanya saja. Maka keberadaan menjadi beban bagi keluarganya. Lantas bagaimana bila mereka kebetulan berada dalam kondisi keluarga yang miskin, maka hampir dapat ditebak mereka (para lansia) akan menyandarkan hidupnya dari belas kasihan dan kehidupan di jalanan (baca : menjadi gelandangan).
Bahwa kepedulian terhadap keberadaan lansia sejatinya tidak diterjemahkan hanya sejauh kita mau memberi bantuan kepada lansia atau seberapa besar angka-angka anggaran yang bisa dialokasikan bagi lansia. Namun kepedulian terhadap lansia juga dapat diukur dari terciptanya ruang bagi lansia untuk dapat menampilkan peran-peran dan mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Untuk itu perlu dibangun kembali cara pandang masyarakat utamanya para penyelenggara negara bahwa lansia tidak hanya cukup diberi bantuan saja namun juga harus dibukakan ruang yang memadai untuk menampilkan potensi yang dimilikinya.

Mendialogkan Paradigma Penataan PKL Surabaya

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Pemerhati Birokrasi – Pemerintahan
Peneliti Public Sphere Center (PuSpeC)
Alumnus ITS - Surabaya



Persoalan Pedagang Kaki Lima (PKL) memang merupakan hal klasik bagi kota besar seperti Surabaya. Dari tahun ke tahun masalah PKL selalu menjadi pemberitaan media. Dan ironisnya, persoalan dari tahun ke tahun tentang PKL hanya itu-itu saja. Kalau tidak menyangkut proyek penertiban bagi PKL yang menempati lahan-lahan terlarang ya masalah keinginan Pemkot Surabaya yang ingin melokalisasi PKL dalam kawasan tertentu.
Dan kembali, hari ini Pemkot Surabaya mempertontonkan kekuatan nyalinya untuk kembali menertibkan keberadaan PKL di beberapa ruas jalan dan lokasi yang dianggap mengganggu kenyamanan publik. Dibandingkan proyek-proyek penertiban sebelumnya, upaya Pemkot kali ini sepertinya cukup serius. Setelah beberapa waktu lalu sukses menggusur PKL di kawasan legendaris Gembong, Pemkot mulai berancang-ancang untuk menata PKL yang ada di kawasan Ampel dan PKL yang berada di sekitar Tugu Pahlawan, Jawa Pos (11/3).
Keberanian Pemkot Surabaya untuk menertibkan (baca : menggusur) pasar Gembong sesungguhnya merupakan langkah maju yang diambil oleh Pemkot Surabaya. Bagaimanapun awalnya publik pesimis bila Pemkot akan berani untuk menggusur para pedagang yang sudah puluhan tahun berdagang di Gembong. Namun ternyata keraguan masyarakat terhadap keseriusan Pemkot dalam menertibkan kawasan Gembong tidak terbukti. Pemkot ternyata berani dan serius, sehingga akhirnya Gembong pun mulai berubah wajah. Kalau sebelumnya khususnya pagi hari dan sore hari selalu macet dan sekarang jalannya mulai terlihat lapang dan tidak semrawut lagi. Pesan yang bisa kita petik adalah bahwa kalau Pemkot serius maka sesungguhnya persoalan apapun akan bisa diselesaikan.
Berbekal cerita sukses saat menggusur PKL di Gembong, Pemkot nampak kian percaya diri untuk melakukan langkah serupa untuk PKL dilokasi-lokasi yang selama ini nyaris tidak tersentuh. Yakni PKL yang berada di kawasan Ampel Surabaya, Kompas (8/3).
Bahwa apa yang dialami para PKL di Gembong atau nasib yang bakal menimpa PKL di Kawasan Ampel bukan barang baru bagi kota ini. Bahkan model kebijakan yang diambil Pemkot dalam menata (baca : menggusur) PKL pun juga bukan cerita asing bagi kita. Singkatnya, membincangkan tentang pedagang Kaki Lima (PKL) dalam konteks penataan kota selalu relevan untuk dilakukan. Hampir mustahil kita membahas dan mendiskusikan masalah perkotaan tanpa mempertimbangkan variabel PKL. Namun ironisnya, kebijakan –kebijakan pembangunan dan perkotaan hampir pasti tidak pernah menempatkan PKL sebagai pihak yang diakui keberadaannya.
Contoh sederhana misalnya kita ingin membangun pusat-pusat perbelanjaan ataupun perkantoran, maka sudah bisa ditebak bahwa tidak pernah akan ada desain/rencana dan pemetaan bangunan yang memberikan ruang bagi keberadaan PKL. Padahal secara faktual keberadaan PKL nantinya akan dibutuhkan sebagai penopang ekonomi komunitas baru tersebut.
Kita kerap berdebat soal bagaimana mengatur jalur hijau, lokasi-lokasi bisnis, namun kita enggan untuk mewujudkan lokasi dan tempat yang memadai bagi keberadaan PKL. Kalau pun toh kita merencanakan lokasi tertentu untuk PKL pastilah kebijakan itu tidak pernah melibatkan PKL untuk memutuskanya. Sehingga aroma kepentingan Pemerintah lebih terasa dibanding memihak kepentingan PKL. Dengan model kebijakan yang seperti itu maka yang terjadi kemudian adalah PKL selalu hadir di luar antisipasi dan bisa jadi juga di luar skenario penataan kota kita. Dampaknya keberadaan PKL dan kehadirannya selalu identik dengan melanggar penataan perkotaan.
Logikanya, bagaimana tidak melanggar kalau desain awalnya tidak pernah mengatur masalah PKL. Salahnya PKL ataukah salah pengambil keputusan yang tidak pernah memperhitungkan keberadaan PKL ?.

Menetapkan Paradigma
Paradigma yang digunakan dalam mengelola dan mengatur keberadaan PKL nampaknya yang harus disepakati terlebih dahulu. Kesepakatan ini menjadi penting mengingat dengan menyimak model kebijakan yang diterapkan selama ini khususnya dalam menyikapi keberadan PKL, publik kerap dibingungkan atas desain kebijakan yang diambil Pemkot Surabaya. Aroma yang selama ini tercium dari model penataan PKL adalah menempatkan PKL sebagai masalah atau bahkan proyek dan belum sekali pun menempatkan PKL sebagai solusi. Pertanyaannya, tidak mungkinkah kita membuat PKL sebagai solusi atas berbagai persoalan perkotaan yang ada ?
Melalui pengertian dan ciri-ciri sektor informal (baca : PKL) yang dikemukakan Lubell (1991), Rachbini dan Hamid (1994), dan Hans-Dieter Evers (1991) terlihat bahwa posisi sektor informal dalam struktur ekonomi terkesan : (a). Tidak diakui, posisi mereka diletakkan dalam struktur yang tidak jelas, (b) mereka sama sekali tidak mendpat proteksi atau perlindungan secara hukum, (c) usaha sektor ini sering dinilai secara negatif, bahkan (d) dianggap kegiatan perekonomian yang bertentangan dengan praktik ekonomi legal.
Berpijak pada logika inilah yang mungkin membuat para pengambil kebijakan di kota ini selalu menempatkan PKL sebagai salah satu masalah dalam pengelolaan perkotaan. Sehingga kebijakan penataan terhadap PKL pun lebih kental suasana penggusuran, peminggiran dan sebagainya yang dikonsepkan untuk seolah ‘menghilangkan’ keberadaan PKL dari kota Surabaya. Pun demikian, upaya untuk menata dan menggusur PKL selama ini pun tidak terlalu menunjukkan hasil yang signifikan. Terbukti dari tahun ke tahun masalah PKL tidak juga mereda tetapi justru semakin meluas lokasi dan volumenya. Setidaknya ada 2 (dua) hal yang membuat kebijakan penataan PKL tidak membuahkan hasil yang nyata :
Pertama, Pemerintah kota terlihat tidak memiliki konsistensi dalam melakukan kebijakan penataan. Melihat begitu banyaknya jumlah PKL yang tersebar di berbagai lokasi dibutuhkan konsistensi Pemkot dalam melakukan penertiban. Namun yang terlihat adalah Pemkot selalu terlambat dalam mengambil tindakan. Contoh mudah, Pemkot bersemangat melakukan penertiban ketika volume PKL yang ada di suatu tempat sudah melimpah. Sehingga bukan saja membutuhkan energi dan anggaran yang besar tetapi pada sisi lain juga menimbulkan perlawanan yang lebih besar dari PKL. Kondisi akan berbeda dan mungkin lebih mudah bila Pemkot secara dini mendeteksi lokasi-lokasi yang potensial untuk tumbuhnya PKL. Ini artinya, Pemkot Surabaya tidak memiliki konsistensi dalam melakukan penataan.
Kedua, pemerintah kota terlalu memaksa diri untuk mengambil alih kebijakan penataan PKL ini. Sementara energi dan kekuatan yang dimiliki Pemkot tidak sebanding dengan jumlah PKL yang harus ditangani. Jalan keluarnya tentu dengan menggunakan aparat birokrasi di bawahnya yakni kecamatan dan kelurahan. Kalau pendelegasian kewenangan ini berjalan, Pemkot tidak perlu terjun langsung menata PKL tetapi cukup menggerakan aparatnya untuk mengawasi, mengatur sekaligus mengeksekusi PKL yang membangkang. Namun yang lebih penting lagi tentu adalah bahwa pendelegasian kewenangan ini juga harus disertai topangan dana yang memadai.
Demikian berliku dan berputarnya kebijakan penataan PKL di kota ini nampaknya membuat ada pergeseran paradigma dalam penertiban PKL. Kalau sebelumnya menempatkan PKL sebagai masalah yang harus diselesaikan kini ada paradigam baru yang tidak lagi menganggap PKL sebagai sekedar masalah tetapi justru menempatkan PKL sebagai ‘proyek’.
Munculnya penilaian ini tidak boleh dianggap mendramatisir persoalan tetapi sesungguhnya merupakan pantulan dari realitas yang terbaca dari praktik kebijakan dan penataan PKL Pemkot Surabaya. Hari ini kita menyaksikan seolah-olah Pemkot berikut jajarannya melihat PKL sebagai proyek yang bisa dikonversikan untuk menyedot anggaran. Sebagai proyek tentu orientasinya bukan untuk diselesaikan tetapi keberadaan PKL an sich menjadi lahan untuk menghasilkan anggaran.
Di balik kefrustasian kita melihat kebijakan untuk menyikapi keberadaan PKL, perlu kiranya cara pandang kita diubah secara radikal. Yakni tidak lagi menempatkan PKL sebagai masalah atau bahkan proyek, tetapi menempatkan PKL sebagai solusi. Paradigma semacam ini pun sesungguhnya bukan hal yang mengada-ada tetapi mencoba memetakan dari pengalaman yang ada. Yakni, sebenarnya PKL itu tidak harus diletakkan dan dipandang dari sisi gelapnya saja, tetapi juga harus kita lihat dari sisi terang keberadaan PKL. Sisi terang keberadaan PKL ini patut dikemukakan agar kita tidak serta merta memberi stempel PKL sebagai sumber masalah.
Sisi-sisi terang keberadaan PKL tersebut sesungguhnya sudah banyak disajikan. Misalnya dari paparan Ismail (1991) yang menyimpulkan bahwa keberadaan sektor informal merupakan realitas sosial ekonomi masyarakat urban. Kesempatan kerja yang terbatas, minimnya sumber daya alam, kesenjangan tenaga kerja terampil dan tidak terampil pada akhirnya akan mendorong lahirnya sektor informal.
Dalam konteks tersebut sektor informal telah memainkan peran penting dalam menyerap tenaga kerja miskin di perkotaaan. Wajah terang inilah yang seharusnya dipertimbangkan agar kebijakan-kebijakan yang dikenakan terhadap PKL tidak selalu dilatari oleh pencitraan PKL sebagai sumber masalah, lahan proyek tetapi juga dipandang bahwa PKL pun memiliki peluang untuk menjadi solusi bagi kota ini.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

Di Mana Wajah Kultural NU Itu Sekarang?

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Penulis adalah seorang jurnalis
Peneliti senior Public Sphere Center (PuSpeC), Surabaya


Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Tanah Air, bahkan ada yang mengklaim terbesar di dunia. Di masa lalu, banyak momen ketika NU tampil begitu anggun dengan mengambil sikap kritis terhadap pemerintah, dan selalu berada di depan untuk menjaga keseimbangan dalam berbagai isu kebangsaan.
Sejarah emas yang ditorehkan NU patut menjadi acuan untuk mempertahankan dan mengembangkan eksistensi NU di masa depan.
Sayangnya, sejarah emas NU di bidang keumatan dan kerakyatan mulai memudar. Hampir seluruh pengurus NU (dari pusat sampai ranting) kembali berkubang ke ranah politik praktis, politik kekuasaan (power politics). Persoalan pendidikan, ekonomi, sosial, moral, kesejahteraan, dan sebagainya, tertelantarkan.
Secara linguistik, NU berarti kebangkitan ulama (nahdhatul ulama). Kebangkitan ulama tidak merujuk pada individu dan institusi ulama, tapi kepada sistem dan orientasi keulamaan. Artinya, kebangkitan ulama harus sejalan kebangkitan masyarakat (nahdhatul ummah). Secara simplistik, NU didirikan untuk memberdayakan umat melalui tangan-tangan arif dan bijak para ulama.
Corak keagamaan dan watak kebangsaan NU belakangan ini mulai terganggu dengan banyaknya ulama NU terlibat dalam politik praktis, di tingkat nasional maupun regional. Padahal, peran ulama sebagai faqih fi mashalihil khalqi seharusnya menjadi pendorong dan pemberi arah dinamika politik, ekonomi, sosial dan budaya. Ulama semestinya menjadi sumber inspirasi dalam menjawab tantangan dan menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Itulah sesungguhnya peran kultural yang mesti dilakoni oleh NU hari ini.
Melihat fakta yang terjadi sekarang ini, wajah dan peran kultural yang selama ini menjadi trade mark NU nampaknya relevan untuk dipertanyakan kembali. Gugatan tersebut pantas hadir dengan menyimak langgam dan gerak dinamika organisasi NU khususnya di Jatim dalam menghadapi Pilgub Jatim 23 Juli mendatang.
Publik Jatim hari ini barangkali lebih melihat sisi politik NU dibandingkan sisi kultural yang sesungguhnya menjadi garapan utama NU. Amatan ini bisa mudah didapati dengan menangkap geliat organisasi dari tingkat ranting hingga pengurus wilayah bahkan hingga pengurus besar yang lebih sibuk merespon dan asyik terseret dalam hiruk pikuk politik khususnya menyangkut pemilihan kepala.
Fenomena tersebut sesungguhnya tidak terlalu mencemaskan ketika secara organisasi NU tetap menjaga tradisi organisasi yang dimilikinya dalam merespon persoalan yang masuk dalam ranah politik. Namun akan menimbul problem ketika NU mulai menanggalkan tradisi organisasi ketika mencoba merespon persoalan yang kental nuansa politiknya.
Indikator paling mutakhir untuk menyimpulkan bahwa ada yang berbeda dari penampilan kultural NU adalah terjadinya ‘konflik’ antara pengurus Tanfidyah yang direpresentasikan oleh Ketua PW NU Jatim Ali Maschan Moesa dan segenap jajaran pengurus syuriah (dewan Syura) PW NU Jatim. Yakni menyangkut status apakah Ali Maschan Moesa harus mundur dari Ketua PW NU Jatim atau sekedar non aktif.
Kenekatan Ali Maschan Moesa untuk tetap maju Pilgub sesungguhnya merupakan cermin perlawanan terhadap tradisi NU. Sebagai ketua Tanfidiah, seharusnya tunduk dan patuh terhadap keputusan Syuriah yang menginginkan tetap memimpin NU Jatim.
Lantaran itu, keputusan syuriah yang menganggap Ali Maschan Moesa berhalangan tetap karena menjadi bacawagub hemat penulis sudah tepat. Dan sudah seharusnya Ali Maschan Moesa tunduk kepada keputusan Syuriah. Apalagi dalam AD/ART dijelaskan bahwa syuriah NU adalah pemimpin tertinggi di organisasi. Tanfidziah adalah pelaksana. Sehingga, kebijaksanaan itu harus dari syuriah. Ini sesuai khitah untuk mengembalikan NU seperti dulu, bahwa syuriah adalah pengendali dan pengarah organisasi. Sehingga ketika Ali Maschan Moesa memilih menunjuk Pelaksana Harian (Plh) untuk menjalankan tugas sebagai ketua PW NU, lagi-lagi menunjukkan sikap melawan tradisi NU yang mengharuskan patuh dan taat pada Syuriah.
Dalam perspektif lebih luas langkah Syuriah sesungguhnya juga ingin menyelamatkan organisasi agar NU tidak sekedar dijadikan batu loncatan ke dunia politik. Sebab bila kondisi tersebut dibiarkan maka nantinya orang mau jadi ketua PC NU atau PW NU ujung-ujungnya mengincar jadi bupati atau gubernur. Sekedar contoh kasus di Nganjuk, pengurus syuriah dan tanfidziah sama-sama maju Pilbup. Itu jauh dari etika NU yakni keikhlasan, melayani umat, dan memiliki kepedulian terhadap masyarakat.
Bagi masyarakat di luar NU, perbedaan orientasi politik tersebut setidaknya menggambarkan bahwa benih-benih pragmatisme di tubuh organisasi NU terus menguat. Sikap Ketua Ali Maschan Moesa yang lebih memilih menjadi Wagub dibandingkan menjalankan amanah memimpin NU Jatim sejatinya menggambarkan bagaimana orientasi politik menjadi godaan paling nyata dalam menata organisasi NU.
Bakal terseretnya wajah NU dalam ranah politik sebenarnya sudah terbaca sebelumnya. Bahkan saking khawatirnya PW NU Jatim akan terjebak pada politik Pilgub, para kiai menawarkan kontrak jamiyah kepada calon ketua PW NU saat Muswil kemarin. Awalnya publik memahami bahwa kontrak jamiyah menjadi janji dan komitmen bagi ketua PW NU untuk tidak ikut dalam Pilgub Jatim mendatang. Namun sayangnya akibat syahwat politik yang tak tertahan lagi tafsir terhadap kontrak jamiyah seolah menjadi bebas untuk ditafsirkan sesuai kepentingan masing-masing.
Pilihan melakukan kontrak jamiyah tersebut sesungguhnya merupakan keputusan yang tepat demi untuk menyelamatkan wajah dan organisasi NU. Bagaimanapun NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar sudah selayaknya dikembalikan pada maqam-nya sebagai organisasi yng berada di atas semua kepentingan partai politik. NU sepatutnya tidak dibawa dan dipersepsikan sebagai representasi kepentingan politik tertentu. Namun nampaknya, kelezatan politik menjadi mengedepan dan seolah menjadi prestasi tertinggi yang akan dicapai oleh pengurus PW NU. Sehingga mungkin berangkat dari logika seperti itulah akhirnya ketua PW NU Jatim Ali Maschan Moesa merelakan jabatan sebagai ketua PW NU Jatim untuk mencalonkan ‘hanya’ sebagai wakil gubernur.
Dalam situasi seperti itu, sebagai pimpinan tertinggi PW NU Jatim, Ali Maschan Moesa seolah telah mengajari jamiyahnya bahwa politik seolah lebih mulia dibandingkan dengan mengurusi NU. Jabatan wakil gubernur lebih prestise dan membanggakan dibandingkan dengan jabatan sebagai ketua PW NU Jatim.
Bahwa apa yang ditampilkan Ketua PW NU Jatim tersebut sesungguhnya menegaskan adanya kecenderungan bila jabatan di struktural NU hanya sebagai batu loncatan untuk menduduki jabatan politik. Terbukti, di beberapa daerah para pengurus NU beramai-ramai melirik jabatan politik dalam pemilihan kepala daerah.
Sungguh memprihatinkan, jika NU terus memilih berkutat di mazhab politik dan menomersekiankan mazhab kultural, tidak mustahil agenda pemberdayaan civil society akan patah di tengah jalan. Persoalan umat yang paling findamental dan substansial semisal peningkatan kualitas pendidikan, kesejahteraan, kenyamanan hidup yang penuh kerukunan, dan sebagainya, hanya akan menjadi wacana.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

000

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...