Senin, 02 Agustus 2010

Kalau Bisa Murah, Kenapa Dibuat Mahal?

(Catatan Peran Teknologi Informasi dalam Demokratisasi)

Kebuntuan aktualisasi kedaulatan rakyat menjadi terbuka seiring dengan hadirnya reformasi 12 tahun silam. Implikasinya, pintu pelibatan publik dalam menentukan dan menata kehidupan ketatanegaraan terbuka lebar. Namun demikian, dalam fase demokrasi yang tengah beranjak berjalan ini, tentu banyak kelemahan di sana-sini. Perilaku dan praktik politik yang tidak jauh dari orientasi uang menjadi titik terlemah dari tampilan demokrasi kita. Itulah kerawanan paling mengkhawatirkan di tengah euforia demokrasi. Sebuah tabiat yang jauh dari norma dan etika demokrasi, dan berpotensi merusak substansi demokrasi itu sendiri, karena hanya melahirkan pemimpin dengan orientasi mengembalikan investasi politik yang telah dibelanjakan.
Munculnya pemimpin yang berorientasi materi itu, sesungguhnya menemukan pembenarannya dengan menilik bahwa ‘sistem dan prosedur’ demokrasi yang melahirkan sosok pemimpin ternyata membutuhkan biaya/ongkos yang sangat mahal. Dalam Pemilukada misalnya, seorang calon yang ingin maju maka hal pokok yang harus dipersiapkan adalah masalah kekuatan materi. Mengapa? tidak lain karena seluruh proses yang akan dilaluinya hampir pasti tidak ada yang gratis bahkan sangat mahal harganya. Dari mulai pendaftaran ke partai politik, proses seleksi dari mulai tingkat paling bawah sampai pengurus pusat semua ada harganya. Belum lagi dana untuk tim sukses dan kampanye yang luar biasa besarnya. Di luar dana yang harus disiapkan oleh masing-masing kontestan, pemerintah daerah juga harus menganggarkan melalui APBD untuk penyelenggaraannya.
Sementara di wilayah lain, aroma uang juga demikian kuat berhembus di tubuh partai politik. Sebagai pilar utama dalam menopang tegaknya demokrasi, wajah partai politik hari ini juga masih menjelma menjadi institusi yang lebih banyak berperan sebagai ‘broker’ kekuasaan yang ujung-ujungnya selalu mengkonversi setiap transaksi yang dilakukan dengan hitung-hitungan rupiah. Realitas semacam ini kadang bisa ‘dipahami’ mengingat seseorang untuk menjadi pemimpin partai mulai dari tingkat cabang sampai pusat juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kalau jadi ketua partai saja harganya mahal, tentu logikanya parpol akan dijadikan alat untuk bisa mengeruk keuntungan setidaknya agar bisa mengembalikan investasi yang telah dikeluarkan sebelumnya. Apalagi, di tengah tingginya angka pengangguran dan kemiskinan membuat parpol menjadi salah satu pelampiasan mereka yang tidak memiliki pekerjaan untuk terlibat. Imbasnya, partai dihuni oleh orang-orang yang lapar dan tidak punya pekerjaan. Sehingga tidak aneh kalau menjadi politisi ibarat sedang bekerja yang hasil akhirnya adalah seberapa uang yang didapatnya.
Dalam situasi parpol yang sedemikian, nampaknya menjadi tidak berlebihan kalau kemudian semua proses politik dan pemerintahan yang terjadi apalagi melibatkan partai politik maupun politisi (baca : DPRD) hampir pasti menjadi ajang transaksi belaka. Praktik itu bisa disimak dengan telanjang dalam setiap perumusan kebijakan baik berupa pembuatan UU, Perda dan apalagi yang berkaitan dengan penetapan anggaran. Itulah mengapa hampir semua implementasi kehidupan demokrasi di Indonesia teramat mahal, bahkan cenderung tanpa batas. Kita semua barangkali tidak terlalu terkejut mana kala seorang calon bupati menjadi gila karena tak mampu membayar utang miliaran rupiah yang dia gunakan untuk membiayai pencalonannya.
Terkadang ada rasa miris menyaksikan semuanya ini? Di saat negara ini sedang dirundung oleh duka karena kemiskinan dan kemelaratan, kita masih sempat menghabiskan dana miliaran rupiah demi harapan untuk mendapatkan sosok terbaik. Lantaran itu, benar kiranya apa yang disampaikan Mendagri Gamawan Fauzi bahwa ada sesuatu yang paradoks dalam praktik demokrasi kita yaitu untuk menjadi seorang kepala daerah dibutuhkan miliran rupiah, namun setelah menjadi kepala daerah mereka dituntut untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Gamawan mengungkapkan, gaji gubernur hanya Rp8,7 juta per bulan, sedangkan gaji bupati Rp6,2 juta.
“Logikanya, kalau menjadi gubernur membutuhkan Rp20 miliaran dengan gaji sebesar itu butuh waktu berapa lama untuk mengembalikanya,” ungkap Mendagri, Kompas (23/7/2010).
Apa yang disampaikan Mendagri tersebut setidaknya menunjukkan kepada kita betapa pemerintah sendiri masih gamang dalam mewujudkan sebuah pemerintahan yang bersih ketika sistem politik yang masih berjalan tersandera oleh praktik politik yang demikian mahal harganya.

Memangkas Ongkos Politik
Berkaca dari eksplanasi di atas, maka mahalnya biaya politik dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia setidaknya dapat dipilah menjadi dua faktor: pertama karena sistem dan prosedurnya dan yang kedua karena faktor manusianya. Dengan demikian langkah yang bisa diambil untuk memangkas mahalnya ongkos demokrasi tersebut, pertama harus menyentuh wilayah sistem/prosedur demokrasi yang berlangsung dan yang kedua mampu membangun karakter manusianya sehingga menjadikan manusia-manusia yang tidak mendewakan materi. Meskipun terlihat sederhana, tetapi upaya itu bukan hal yang mudah. Mengapa? tidak lain karena semua greget demokrasi yang berjalan selama ini selalu mengatasnamakan untuk memperbaiki keadaan, namun yang terjadi justru malah sebaliknya. Imbasnya, demokrasi yang terbangun jauh dari substansi demokrasi itu sendiri, yaitu yang menempatkan rakyat dan seluruh aspirasinya sebagai pemilik yang sah atas kedaulatan di negeri ini.
Di sinilah dilema dari praktik demokrasi di negara yang para elitenya belum dewasa dalam berdemokrasi. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikannya rendah adalah ladang subur terpeliharanya tradisi itu. Kita bisa melihat negara-negara yang relatif lebih dewasa dalam berdemokrasi dapat menjalankan pemilu langsung secara praktis dan ekonomis. Semua pihak ambil bagian. Menurut pakar ekonomi yang kini jadi politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Drajat Wibowo mahalnya biaya politik dalam penyelenggaraan demokrasi merupakan ekses dari Pemilu yang dilaksananan ditengah-tengah kemiskinan. Di negara-negara maju, rakyat tidak mau menjual suara, malahan rakyat yang membiayai kandidat secara sukarela seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Asutralia.
Realitas tentang demikian mahalnya ongkos politik dalam penyelenggaraan demokrasi sepatutnya bisa mendorong semua pihak untuk mendesain ulang sistem dan prosedur politik agar tidak terlalu mahal. Terlepas dari kontroversi yang terjadi, munculnya keinginan untuk mengembalikan model Pemilihan Gubernur (Pilgub) dari pemilihan langsung ke model pemilihan melalui DPRD setidaknya menunjukkan adanya kegelisahan betapa Pilgub menjadi prosesi politik yang sangat mahal. Sementara pada sisi lain, keberadaan gubernur sesungguhnya merupakan kepanjangtangan presiden yang seharusnya bisa sejalan dengan kebijakan presiden. Di luar wacana tersebut, kita juga patut mengapresiasi langkah kalangan legislatif untuk menaikkan angka ambang batas pemilu (Electoral Threshold) maupun ambang batas parlemen Parliament Threshold) sebagai sebuah upaya melakukan penyederhanaan partai politik. Penyederhanaan partai diharapkan bisa ikut menyederhanan proses politik baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam penyelenggaraan system demokrasi yang selama ini banyak direpotkan akibat demikian banyaknya partai politik yang terlibat.

Peran Teknologi Informasi
Esensi demokrasi adalah persoalan komunikasi. Komunikasi yang efektif memungkinkan perjuangan demokrasi bisa berlangsung secara cepat dan tentu saja murah. Dalam konteks ini, maka kehadiran Teknologi Informasi (TI) untuk ikut serta membangun komunikasi yang efektif menjadi relevan adanya. Karakter TI yang egaliter sangat sesuai dengan sifat demokrasi. Penyebaran informasi berlangsung secara peer to peer, one to one, one to many ataupun broadcast. Tidak ada hirarki penyampaian informasi yang mengarah kepada filterisasi informasi sebagaimana terjadi pada sistem informasi di suatu organisasi tertutup. Ide perjuangan demokrasi dengan mudah mencapai sasaran masyarakat luas tanpa terkendala oleh rejim pengawasan informasi yang dilakukan oleh penguasa.
Adanya TI menjadikan distribusi informasi akan menjadi lebih mudah dan cepat. Imbasnya komunikasi pun menjadi sesuatu yang tidak mahal lagi. Apalagi, beberapa faktor yang membuat demokrasi menjadi mahal harganya adalah karena distorsi informasi yang terjadi baik yang disengaja atau tidak.
Pada wilayah yang lebih luas, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi melalui dunia maya atau internet yang berbentuk jejaring sosial, seperti facebook, twitter, dan blog secara tidak langsung ternyata mampu memengaruhi proses demokratisasi di Indonesia. Gerakan demokrasi rakyat yang riil justru banyak ditemui lewat jejaring sosial, seperti facebook, twitter, dan blog. Hal itu menunjukkan bahwa ada perkembangan yang lebih baik dari masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya secara lebih luas, dibandingkan dengan dulu yang hanya mampu menyuarakannya lewat wakil rakyat di DPR.
Di dunia maya, setiap orang dapat berkomentar atau menyuarakan aspirasi dan dukungannya terkait isu-isu dan persoalan negara, maupun persoalan sosial yang tengah terjadi. Beberapa contoh menarik misalnya ketika kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit-Chandra, perseteruan RS Omni International dengan Prita Mulyasari, Bank Century, dan sebagainya yang menunjukkan antusiasme masyarakat menanggapi lewat jejaring sosial. Hal ini merupakan dampak positif perkembangan proses demokratisasi di Indonesia, terutama perkembangan dalam proses komunikasi politik, meskipun tetap ada dampak negatif yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi itu. Maka disadari atau tidak, kehadiran TI akan membuat demokrasi menjadi lebih mudah dan murah.
Persoalannya kemudian adalah siapkah kita untuk menjadikan demokrasi itu murah? Pertanyaan ini relevan diajukan karena realitas menunjukkan bahwa penikmat ‘mahalnya demokrasi’ adalah para pelaku politik (baca : politisi) yang notabene menjadi pengambil kebijakan-kebijakan dalam pemerintahan. Artinya, relakah para politisi kita untuk tidak lagi menikmati keuntungan yang bisa diraihnya ketika demokrasi itu mahal harganya. Bagi publik tentu berlaku logika, kalau demokrasi bisa dilangsungkan dengan murah dan mudah mengapa harus dibuat mahal dan rumit.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

***

Pendidikan Karakter, Bagaimana Menyemaikannya?

Praktik korup yang terjadi di segala bidang kehidupan dianggap biasa, bahkan seolah menjadi sebuah keniscayaan. Meminjam ilustrasi ‘zaman edan’nya Ranggawarsita, maka kita hari ini tengah mengalami krisis moral dan keteladanan. Buruknya perilaku moral bangsa justru dipertontonkan secara masif oleh mereka yang disebut panutan dan pemimpin bangsa. Melunturnya sikap kepemimpinan di segala lini membuat kita seolah-olah sebuah orkestra kehidupan tanpa konduktor. Karut marutnya moralitas dan budaya yang ditandai terjadinya krisis kejujuran, krisis keberanian untuk mengungkap yang benar dan berujung pada krisis kepercayaan ini membuat kita layak mempertanyakan kembali seperti inikah karakter bangsa ini?
Kian mencemaskannya budaya dan karakter anak negeri ini, menuntut kita untuk lebih peduli dan serius dalam menyemaikan kembali karakter bangsa yang bersendikan pada nilai-nilai luhur bangsa.
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menekankan pentingnya pendidikan karakter. Artinya, sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa maka pendidikan karakter mendesak untuk diterapkan. Pendidikan karakter sangat penting dalam rangka terbentuknya karakter peserta didik yang kuat dan kokoh, menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional tersebut menyiratkan bahwa melalui pendidikan hendak diwujudkan peserta didik yang memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual maupun kecerdasan kinestetika.
Harus diakui, selama ini pendidikan cenderung kepada peningkatan mutu intelektualitas. Porsinya kepada pembentukan nilai, budi pekerti, pendidikan moral masih minim. Orang tua lebih senang kalau anak dapat sepuluh, orientasinya pada pembentukan intelektual, bukan pada pembentukan karakter. Pendidikan karakter adalah mengubah tabiat yang berujung pada membentuk karakter dan sikap bangsa. Pembangunan karakter idealnya dibangun dari pendidikan dalam keluarga. Sayangnya, banyak orangtua yang belum memahami potensinya sebagai pendidik bagi anak-anaknya, padahal orangtua adalah aktor penting dalam pengembangan keterampilan hubungan sosial anak. Ada orangtua yang paham potensinya sebagai pendidik bagi anak-anaknya, namun mereka mengabaikan potensi itu hanya karena ingin memenuhi obsesinya semata yakni beranggapan bahwa mendidik anak pada sebuah institusi lebih baik dari hasil didikan langsung di rumah.

Bagaimana Menyemaikannya?
Bekaca dari paparan di atas, maka mempersiapkan sistem pendidikan yang mampu memberikan pondasi dalam membangun karakter anak didik menjadi semakin relevan untuk dilakukan. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana memulainya
Hemat penulis, ada beberapa catatan penting yang patut disodorkan sebagai bahan diskusi dalam membangun sebuah sistem yang bisa meletakkan dasar-dasar karakter bagi anak didik kita.
Pertama, membangun karakter anak bangsa bukan sebuah persoalan instan yang bisa dicapai dalam sekejap, namun membutuhkan poses panjang, terus menerus dan secara konsisten dilakukan. Lantaran itu, pendidikan yang menanamkan nilai-nilai luhur kemanusiaan (kejujuran, kreativitas moral dan kasih sayang universal) sangatlah perlu diberikan kepada anak-anak sejak usia dini. Dalam usia ini anak masih belum terkontaminasi dengan sifat yang kurang baik sehingga sangat memungkinkan untuk ditanamkan sifat-sifat atau karakter dasar. Penanaman pendidikan karakter pada anak usia dini diharapkan dapat mempersiapkan mereka kelak sebagai manusia-manusia yang mempunyai identitas di dalam masyarakat lokalnya sekaligus mempunyai visi global untuk membangun dunia bersama.
Dalam konteks ini, patut rasanya kita apresisai langkah pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang memiliki greget untuk memperhatikan perkembangan Pendidikan Anak Dini Usia (PAUD). Bergairahnya berbagai pihak untuk menyelenggarakan pendidikan PAUD tentu menjadi angin segar bagi upaya untuk mempersiapkan SDM sejak dini usia. Namun demikian perkembangan tersebut haruslah tetap dipantau agar niat positif untuk menyelenggarakan PAUD tersebut tidak ‘tersesat’ hanya menjadi sekadar gaya hidup belaka yang melupakan orientasi dan visi pendidikan di usia dini sebagai fase dasar dalam menanamkan karakter anak.
Kedua, bahwa pembangunan karakter sangat berkaitan dengan keteladanan. Artinya, pendidikan karakter tidak hanya cukup diajarkan melalui mata pelajaran di dalam kelas saja. Sekolah dapat menerapkannya melalui kegiatan-kegiatan pembiasaan. Pelaksanaannya dapat dilakukan baik secara spontan, terprogram, maupun dengan keteladanan. Kegiatan pembiasaan secara spontan bisa dilakukan dengan saling menyapa, baik antarteman, antarguru, maupun antara guru dengan murid. Guru-guru sebagai teladan harus datang pagi dan tidak terlambat. Begitu datang, guru sudah berdiri di depan pintu sekolah dan menyambut anak-anak yang datang dengan menyalaminya. Keteladanan yang diberikan seorang pendidik (guru) tentu tidak hanya ditampilkan dalam lingkungan sekolah saja. Dalam masyarakat pun seorang guru harus tetap bisa memberikan keteladanan dalam sikap dan perilaku kesehariannya. Dalam falsafah Jawa mengajarkan bahwa guru berarti digugu lan ditiru (jadi panutan dan contoh). Dengan demikian, ketika hari ini kita menyaksikan anak didik tidak mampu menampilkan perilaku dan karakter yang kita harapkan maka bisa jadi karena para pendidik/guru juga tengah mengalami krisis keteladanan.
Ketiga, bahwa merujuk peran guru sebagai pendidik memiliki makna bahwa seorang guru bukan hanya menyampaikan ilmu pengetahuan tetapi juga mendidik anak dalam bersikap dan berperilaku. Pertanyaannya adalah sudahkan para guru kita hari ini memiliki bekal yang memadai untuk menjadi pendidik? Menjadi pendidik bukan hanya membutuhkan kecerdasan dan kemapanan dalam penguasaan ilmu pengetahuan tetapi juga harus memiliki kemapanan dan kematangan dalam sikap dan berperilaku.
Pertanyaan ini layak untuk diajukan mengingat kebijakan pendidikan kita relatif memberikan kelonggaran bagi siapa saja untuk menjadi guru. Kalau dulu untuk menjadi guru, minimal harus lulus Sekolah pendidikan Guru (SPG) ataupun Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) --sebuah institusi yang secara khusus didesain untuk menghasilkan tenaga pendidik dan kini sudah dibubarkan--, namun hari ini semua orang bisa menjadi guru hanya dengan mengikuti semacam pendidikan penyetaraan. Pemerintah sepertinya menganggap bahwa mempersiapkan SDM menjadi tenaga guru sama halnya dengan mempersiapkan SDM pada bidang kerja lainnya sehingga tidak perlu dipersiapkan secara khusus. Imbasnya, siapa saja yang ingin menjadi guru dipersilakan asalkan telah ‘menyesuaikan’ pendidikan dengan pendidikan khusus. Jalur pintas menjadi tenaga didik inilah yang membuat sektor pendidikan khususnya tenaga guru menjadi ‘pelarian’ bagi masyarakat yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor lain. Ironisnya lagi, SDM buangan ini pada akhirnya akan berperan pada sektor yang sesungguhnya sangat strategis bagi bangsa ini. Logikanya, bagaimana kita bisa menghasilkan anak didik yang berkualitas dan memiliki karakter yang mapan kalau tenaga didiknya (guru) saja diproduksi secara instan ditambah lagi dengan bahan baku yang ala kadarnya. Pesan terpentingnya dari realitas tersebut adalah bahwa sungguh menumpuk aspek dan sektor yang perlu dibenahi agar pendidikan bisa menjadi instrumen terpenting dalam membangun karakter anak didik.
Akhirnya, kita sungguh berharap dunia pendidikan menjadi motor penggerak untuk memfasilitasi pembangunan karakter, sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan norma-norma di masyarakat. Pembangunan dan pendidikan karakter menjadi suatu keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas, juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun orang lain.
Wallahu'alam Bhis-shawwab

***

Momentum Mengembalikan Martabat KPK

Menemani KPK Melintasi Masa-masa Kritis (1-bersambung)


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini tengah memasuki fase-fase kritis dalam melintasi sejarahnya. Akumulasi persoalan yang terus menimpa lembaga ini membuat posisi dan perannya semakin mencemaskan. Seleksi calon pimpinan KPK yang sedang berjalan hari ini pun sejatinya juga berpotensi menghadirkan masalah baru yang akan memperumit posisi KPK.
Misalnya polemik menyangkut masa jabatan ketua KPK yang baru nanti. Panitia seleksi mengisyaratkan pimpinan KPK yang baru menjabat selama empat tahun. Itu berarti akan terjadi dualisme masa jabatan pimpinan KPK karena empat unsur pimpinan KPK yang lain—Chandra M Hamzah, Bibit Samad Rianto, Muhammad Jasin, dan Haryono Umar—akan berakhir masa jabatannya pada 18 Desember 2011. Sementara itu, Komisi III DPR menghendaki masa jabatan pimpinan KPK yang mengisi kekosongan hanya satu tahun. Polemik soal itu dan segala komplikasinya hanya akan melemahkan KPK. Selain itu, proses seleksi yang dianggarkan Rp2,5 miliar ini merupakan proses yang tidak mudah, karena berada di bawah kritik masyarakat terhadap KPK dan juga terhadap pemerintah sendiri sebagai penyelenggara seleksi tersebut.
Pemilihan Pimpinan KPK baru ‘terpaksa’ dilakukan menyusul Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memutuskan mantan Ketua KPK Antasari Azhar terbukti terlibat dalam pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen dan divonis 18 tahun penjara. Merujuk pada UU 30/2002 tentang KPK menggariskan bahwa pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan karena menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana. Pasal ini dikoreksi Mahkamah Konstitusi saat Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah menguji pasal tersebut. MK mengoreksi pasal tersebut menjadi pemberhentian tetap baru bisa dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan MK itu tidak berlaku surut sehingga Antasari tidak bisa ikut ‘terselamatkan’ dengan putusan MK tersebut. Antasari diberhentikan tetap karena dia bukan hanya berstatus terdakwa, melainkan telah divonis pengadilan meskipun Antasari sendiri banding. Dengan dalil adanya kekosongan pimpinan KPK, sesuai UU, Presiden mengusulkan calon pengganti kepada DPR. Panitia seleksi pun dibentuk dan bekerja dengan membuka pendaftaran calon pimpinan KPK.
Belajar dari pengalaman, seleksi pimpinan KPK nantinya akan berujung kepada pengajuan nama kepada DPR untuk disetujui. Di DPR nantinya akan ada proses politik untuk melakukan fit and proper test. Seleksi inilah yang menurut kita akan rawan dengan kepentingan politik. Proses pemilihan Antasari Azhar dulunya misalnya diwarnai dengan hal ini. Sosok yang sejak pemilihannya sangat kontroversial itu terbukti akhirnya terlibat di dalam kasus yang sangat mempermalukan lembaga sebesar KPK.

Mengembalikan Martabat KPK
Proses seleksi dan kemudian penentuan dari DPR menyebabkan banyak pihak merasa enggan menempuh proses itu. Korupsi di negeri ini memang sudah sangat luar biasa parah. Karena itu dibutuhkan cara-cara yang sangat luar biasa pula. Dan orang yang harus memberantas korupsi, haruslah sosok yang luar biasa pula. Artinya, mencari pimpinan KPK, bukan perkara mudah. Dicari, manusia setengah dewa!
Kebutuhan akan manusia setengah dewa itu semakin relevan dikemukakan agar bisa mengembalikan pamor KPK. Disadari atau tidak, hari ini pamor KPK mulai meredup akibat tumpukan persoalan yang menghadangnya. Dari vonis 18 tahun untuk mantan ketua KPK Antazari Azhar, kasus dugaan penyuapan terhadap Bibit-Candra M Hamzah, pengakuan Ketua MK Mahfud MD bahwa ada ‘mafia kasus’ yang bergentayangan di sekitar orang-orang KPK hingga sikap KPK dalam menuntaskan skandal bailout Bank Century yang kurang greget membuat sebagian mulai gelisah bahwa KPK mulai kehilangan idealismenya. Dalam bekapan persoalan yang sebanyak itu, maka momentum seleksi pemilihan pimpinan KPK ini menjadi ajang pertaruhan bagi keinginan dan upaya untuk mengembalikan jati diri dan martabat KPK yang sempat terkoyak oleh beberapa kasus di atas.
Lantaran itu untuk mengembalikan kembali martabat KPK, maka Pimpinan KPK tidak saja harus memiliki integritas tinggi dan keberanian dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, tetapi juga harus memiliki moral yang baik. Oleh karena itu, rekam jejak, prestasi, dan latar belakang calon harus menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan pimpinan KPK kali ini. Calon pimpinan KPK mutlak harus bersih dan tidak memiliki cacat hukum di masa lalu. Panitia seleksi tidak boleh memberi toleransi terhadap sekecil apapun rekam jejak buruk calon di masa silam, baik dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan korupsi maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kecacatan sedikit saja akan berdampak pada upaya pemberantasan korupsi yang akan dilakukannya kelak. Sebab, hal itu akan dijadikan koruptor sebagai senjata untuk menghalangi upaya pemberantasan korupsi.
Calon pimpinan KPK juga harus memiliki konsep 'zero tolerance' terhadap korupsi dan antiintervensi politik. Artinya, calon tidak boleh tunduk pada elite negeri ini, termasuk pada pimpinan lembaga tinggi negara. Mereka juga tidak boleh disusupi kepentingan politik atau berafiliasi dengan partai politik. Hal ini penting agar tidak terjadi tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Apalagi salah satu yang harus dibersihkan adalah lembaga pemerintahan. Calon pimpinan KPK harus bisa membuat terobosan saat menangani beragam kasus dan memiliki pemahaman hukum yang kuat. Mereka pun harus memiliki keberanian karena nantinya akan menangani perkara tindak pidana korupsi kelas kakap dan berhadapan dengan pelaku korupsi yang memiliki jaringan mafia hukum.
Muncul kabar yang merisaukan kita bahwa mayoritas pendaftar berlatar belakang pengacara. Di antara mereka adalah figur yang selama ini dikenal sebagai pengacara terdakwa korupsi. Sampai hari ini, publik masih belum menemukan dari para pendaftar itu ''manusia super'' yang diharapkan bisa memimpin lembaga pemberantas korupsi ini. Karena itu, sejumlah gagasan pun bermunculan. Salah satunya, panitia seleksi diminta lebih proaktif dan melakukan pendekatan personal kepada figur-figur yang diharapkan bisa memimpin lembaga super seperti KPK. Sebab, ada kecenderungan, orang-orang yang baik, kredibel, tulus, dan ikhlas dalam hidupnya tidak akan menyodorkan diri untuk menggapai jabatan tertentu. Selain itu, bisa pula, orang yang memiliki ciri-ciri tersebut tidak memiliki nyali yang cukup untuk memimpin KPK. Sebab, seperti diketahui, medan tempur yang akan dilalui sangatlah berat. Hanya orang bernyali super yang akan berani memimpinnya. Selain dengan pendekatan pribadi, jalur lain mungkin bisa ditempuh. Misalnya, seseorang, sekelompok orang, atau organisasi masyarakat yang peduli pada pemberantasan korupsi, mendorong, melakukan pendekatan, dan mendaftarkan seseorang yang diyakini memiliki kriteria memadai menjadi pimpinan KPK. Entah mana yang pas dan realistis untuk ditempuh. Yang kita harapkan, panitia seleksi yang diketuai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar harus mencari terobosan agar persoalan tersebut terpecahkan. Pemimpin KPK yang terpilih nanti benar-benar yang memenuhi kriteria manusia super: berintegritas, kredibel, tulus/ikhlas dalam mengabdi, serta memiliki keberanian di atas rata-rata. Memang, panitia seleksi hanyalah pintu masuk awal bagi seseorang untuk menjadi pimpinan KPK. Pintu berikutnya ada di tangan anggota dewan di Senayan. Namun, pintu awal ini jelas sangat menentukan. Bila panitia seleksi sukses menyeleksi dan memilih orang-orang super, tentu pilihan mana pun yang dijatuhkan anggota dewan nanti, tetaplah manusia super yang layak memimpin KPK. Dengan demikian, hasil kerja panitia seleksi jelas sangat menentukan. Dan, rasanya, harapan layak disandarkan di sana. Sebab, pengalaman selama ini belum cukup untuk mengantarkan kita memiliki harapan banyak kepada anggota dewan. Masih terlalu banyak perilaku anggota dewan yang menjadikan kita sulit menaruh kepercayaan kepada mereka. Apalagi, tidak sedikit dari mereka -baik yang masih aktif maupun yang sudah mantan- tersangkut kasus korupsi dan harus berhadapan dengan KPK.
Kepentingan politik memang tidak mudah dilihat dari awal. Pemerintah yang pasti memiliki kepentingan, parlemen yang juga punya kepentingan, jelas tidak ingin kelihatan terlalu menonjol di dalam hal itu. Persoalan besar adalah ketika seorang pimpinan KPK telah menjabat, maka “pesan-pesan” politik itulah yang akan menonjol. Parahnya, seorang pimpinan KPK yang terpilih tidak akan serta merta disodori sejumlah persoalan-persoalan masa lalu. Hal-hal demikian hanya akan digunakan di masa mendatang, manakala entah itu pemerintah maupun parlemen hendak menggolkan sebuah kepentingan. Tidak heran kemudian, belajar dari kejadian yang menimpa Antasari Azhar dan percobaan kriminalisasi pimpinan KPK serta berbagai keanehan dari kasus-kasus yang disidik oleh KPK, publik meragukan seleksi ini akan berjalan dengan baik.
Keberadaan KPK masih sangat dibutuhkan bangsa ini. Tanda-tanda tindak korupsi akan berkurang masih jauh. Bahkan, ada kecenderungan meningkat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pelakunya juga bukanlah orang-orang sembarangan. Tapi, orang yang memiliki power besar dan kelihaian merekayasa suatu masalah. Sudah menjadi keyakinan kita bersama bahwa tindak korupsi adalah ancaman besar bagi masa depan bangsa. Karena itu, melawan dan mengenyahkan adalah langkah yang mutlak dilakukan. KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, tidak bisa tidak, harus diselamatkan. Salah satunya adalah menciri figur pimpinan yang terbaik. (bersambung).

============================================
Menemani KPK Melintasi Masa-masa Kritis (2-habis) -- sub
Jangan Biarkan KPK Kesepian
Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian

Sejak kelahirannya, KPK terus saja digugat. Uji materi terhadap UU KPK dan UU Tipikor beberapa kali diajukan sampai akhirnya MK memutuskan Pengadilan Tipikor kehilangan konstitusionalitas sampai dengan 19 Desember 2009. Pada tingkat gagasan, ketika KPK mulai menyentuh pusat kekuasaan, muncul keraguan soal pemberantasan korupsi model KPK. Mulai disuarakan isu bahwa pemberantasan korupsi menghambat penyerapan anggaran negara atau ungkapan banyak orang mulai takut menjadi pemimpin proyek karena takut ditangkap KPK.
Permasalahan yang menerpa KPK semakin kronis ketika mantan pucuk pimpinan tertingginya yakni Antasari Azhar menerima vonis hukuman 18 tahun penjara karena khusus keterlibatannya pada pembunuhan. Fakta tersebut bukan hanya berdampak pada berkurangnya personel KPK secara permanen, tetapi yang paling menyedihkan adalah ternodanya kredibilitas KPK di mata publik. Belum lagi rencana pengadilan terhadap Bibit-Candara oleh PN Jaksel pada kasus dugaan penyuapan sebagai imbas pembatalan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Majelis hakim PN Jaksel mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Anggodo Widjojo, tersangka kasus upaya percobaan penyuapan dan upaya menghalang-halangi penyidikan. Anggodo meminta SKPP atas nama Bibit dan Chandra dicabut. Dengan diterimanya gugatan Anggodo, membuat KPK kembali menghadapi masalah.
Melihat masalah yang membelit Bibit dan Chandra, sepertinya ada pihak-pihak tertentu yang ikut bermain dengan memasang perangkap untuk memperlemah KPK. Cara itu mungkin saja untuk menyibukkan KPK agar tidak fokus dalam menjaring para koruptor, termasuk terkait dengan skandal Century yang diduga melibatkan Wapres Boediono dan (mantan) Menkeu Sri Mulyani. Berangkat dari fakta tersebut, tidak berlebihan bila kemudian muncul kecurigaan bila putusan praperadilan terkait Bibit dan Chandra akan menghambat kinerja KPK. Memang masih ada jalan untuk mematahkan keputusan PN Jaksel, yakni melalui Kejaksaan Agung lewat banding. Peran Kejaksaan Agung akan menjadi kunci apakah kasus Bibit dan Chandra ini merupakan permainan untuk mematikan KPK atau benar-benar karena alasan hukum.
Terlepas pada terlibat tidaknya mereka, jelas kasus tersebut mulai menodai kepercayaan publik terhadap KPK. Awalnya publik berharap bahwa anggota apalagi pimpinan KPK adalah benar-benar manusia setengah dewa yang tidak punya cela sedikitpun.
Hingga saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan diri sebagai lembaga andalan memerangi korupsi. Tidak ada seorang pun, termasuk seorang Anggodo Widjojo bisa meloloskan diri dari tangan KPK. Dukungan publik begitu besar saat KPK diterpa oleh masalah. Fenomena itu bisa terjadi karena sampai hari ini, KPK-lah yang dipercayai dan diyakini sebagai lembaga yang mampu dan sungguh-sungguh memberantas korupsi. Namun, di tengah begitu tinggi apresiasi publik terhadap peran KPK, kita pun tidak bisa memungkiri bahwa penyakit mulai menggerogoti tubuh KPK.
Pengakuan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD tentang adanya mafia hukum yang ‘menempel’ pada instansi KPK jelas sebuah persoalan serius bagi KPK. Karena itu, bila tidak disikapi bisa jadi akan merusak citra KPK yang dipandang relatif bersih dibanding institusi hukum lainnya. Terlepas dari sinyalemen yang mengarah ada mafia dalam internalnya, KPK perlu mengambil tindakan nyata untuk membuktikan bahwa lembaga itu bersih dari orang-orang yang bisa mengatur penyelidikan, penyidikan dan penuntutan atas kasus korupsi yang sedang diusutnya.
Dari awal pembentukannya, para perumus UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah mengantisipasi terhadap kemungkinan pimpinan, anggota dan pegawai KPK berbuat kejahatan. Ada sanksi penjara bagi anggota ataupun pegawai KPK yang mengadakan hubu-ngan langsung atau tidak langsung dengan tersangka, atau siapa saja yang ada korelasinya dengan kasus korupsi yang sedang ditangani oleh komisi. Bahkan, sanksi lebih keras dimuat dalam UU tersebut dengan mencantumkan ancaman hukum ditambah sepertiga terhadap anggota dan pegawai KPK yang melakukan tindak pidana korupsi. Jelaslah, berbagai aturan dan rambu-rambu yang amat terang sudah ada untuk membentengi KPK agar tidak dicemari bermacam praktik tercela dan ilegal. Bahkan, kode etik internal pun juga membatasi para petinggi ataupun pegawai KPK. Kalaupun nantinya, dari hasil penyelidikan internal ditemukan bukti awal keterlibatan personel KPK dalam makelar kasus, maka wajib bagi lembaga itu untuk mengungkapkannya secara transparan. KPK pun berkewajiban menerapkan sanksi hukum tanpa sedikit pun membela aparatnya yang terlibat. Dengan demikian, memang KPK layak dipercaya.

Skandal Century
Kasus Century boleh jadi merupakan ‘berkah’ besar bagi upaya pengungkapan kasus korupsi di tanah air. Berkat kasus Century, skandal-skandal korupsi lainnya ikut terbuka. Bergulirnya kasus Century ke pansus ternyata diiringi dengan terbukanya berbagai kasus, semisal pengemplang pajak, kasus L/C fiktif, dan kasus-kasus lainnya. Kasus Century juga merupakan skandal yang banyak ditengarai sebagai pangkal kejadian Cicak versus Buaya yang akhirnya melahirkan tokoh Susno Duaji serta dibuatnya Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum. Belakangan, Susno Duaji dan satgas banyak terlibat di kasus mafia pajak ala Gayus. Tidak hanya sampai di situ. Terjadi pertarungan antarjenderal, semacam 'perang bintang' di kepolisian. Bahkan terungkap makelar-makelar kasus lainnya yang katanya biasanya hingga berkantor di kepolisian. Ada beberapa jaksa yang dihentikan sementara dari jabatan mereka. Di Ditjen Pajak juga demikian. Beberapa mantan petingginya juga mulai dikejar.
Hampir semua sektor telah mulai menjadi sasaran. Hampir semua pihak yang terlibat juga telah mulai memberikan catatan. Pada saat yang sama, pihak-pihak yang terlibat telah melakukan langkah-langkah tertentu dengan tujuan tertentu. Namun, suara kencang itu terkesan riuh, bahkan boleh jadi terlalu bising. Di titik tertentu, mulai ada banyak yang terungkap, tetapi pada saat yang sama ada yang tidak terungkap dan semakin gelap.
Dalam pengungkapan skandal Bank Century, posisi KPK menjadi terjepit di antara beragam kepentingan politik yang mengitarinya. Ibaratnya maju kena mundur pun kena. Kondisi ini secara telanjang terlihat bagaimana respon publik yang telanjur membubung berkat ‘aksi akrobatik’ Pansus DPR dalam mengungkap skandal Bank Century. Aksi heroik bak pahlawan dari para anggota Pansus Century seolah telah menjatuhkan vonis yang dengan sendirinya harus diikuti oleh KPK. Di mata DPR RI dan kemudian diikuti oleh publik yang telanjur gemas dengan pemerintah yang terkesan melindungi Wapres Boediono dan (mantan) Menkeu Sri Mulyani ikut-ikut berharap agar KPK segera mengeksekusi pejabat yang dinilai (secara politik) terlibat di dalamnya. Dan ketika KPK tidak serta merta mengambil sikap sejajar dengan hasil rekomendasi Pansus berimbas KPK giliran menjadi sasaran kekecewaan publik. Sikap KPK yang hati-hati (pada sisi lain dianggap lamban) terhadap kasus Century sesungguhnya menemukan pembenaran ketika ternyata parpol pendukung Pansus pun ternyata hanya ‘main-main’. Artinya, sehebat apapun hasil dan rekomendasi Pansus ternyata tak lebih dari alat transaksi politik semata. Keluarnya Sri Mulyani dari kabinet Indonesia Bersatu II ke Bank Dunia seolah menjadi target utama Pansus. Sehingga nyanyian nyaring Pansus untuk mengusut skandal century pun menjadi nyaris tak terdengar lagi.
Kabar adanya barter kasus antara pemerintah dan sejumlah partai politik yang berhembus kencang belakangan ini tentunya sangat memprihatinkan kita. Tapi, kita berharap KPK tidak sampai terpengaruh. Independensi dan kredibilitas KPK dipertaruhkan, jangan sampai dapat dipengaruhi pihak-pihak yang memiliki ‘’vested interest’’ pribadi maupun kelompok/golongan. Apa jadinya bangsa ini bila hal-hal yang buruk melanggar hukum malah dibarterkan dengan hal-hal yang melanggar hukum pula, sementara KPK malah melemah, membuat kebijakan melawan hati nurani rakyat.
Publik harus terus mengawal proses jalannya tindak lanjut hukum Bank Century setelah melewati ranah politik yang melelahkan agar kasusnya segera ke jalur hukum. Siapa pun yang bersalah harus diperiksa dan dihukum tanpa pilih kasih. Mengingat beban dan tanggung jawab yang dipikulkan kepada KPK amat besar, sekaligus menjadikan KPK sebagai harapan terakhir bangsa Indonesia, seharusnya pimpinan negeri ini segera mengambil langkah. Jangan biarkan masalah ini berlarut-larut, kecuali memang menginginkan KPK lumpuh. Jika benar percaya KPK dapat memberantas "tikus-tikus" yang menggerogoti negara, berilah kesempatan pada KPK seutuhnya. Jangan setengah-setengah, apalagi direcoki dengan rekayasa. Tetapi, jika KPK tak dibutuhkan, karena dianggap mengganggu kinerja pemerintah, ya bubarkan saja.
Terus menerus terpaan yang menempa KPK semakin membuat KPK pada posisi lemah. KPK sedang kesepian. Ia membutuhkan dukungan publik yang kuat. Kita khawatir berbagai skandal korupsi yang terus terjadi, disertai hilangnya komitmen elite memberantas korupsi, membuat rakyat kian frustrasi. Mempertimbangkan itu semua, kita memandang KPK masih dibutuhkan. Meskipun demikian, kita pun harus belajar bahwa pemberian kewenangan luar biasa tetap membutuhkan mekanisme kontrol yang ketat karena pada intinya kekuasaan tetap berpotensi untuk korup. Sekali lagi jangan biarkan KPK kesepian menghadapi ini semua. Dukungan dan control tetap harus diberikan dalam menjalankan tugasnya menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di negeri ini.
Wallahu’alam Bhis-shawwab
(Catatan : Merupakan naskah yang menjadi Juara Pertama Lomba Jurnalistik KPK 2010 Kategori Media Cetak)
***

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...