Minggu, 29 Juni 2008

Mendialogkan Paradigma Penataan PKL Surabaya

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Pemerhati Birokrasi – Pemerintahan
Peneliti Public Sphere Center (PuSpeC)
Alumnus ITS - Surabaya



Persoalan Pedagang Kaki Lima (PKL) memang merupakan hal klasik bagi kota besar seperti Surabaya. Dari tahun ke tahun masalah PKL selalu menjadi pemberitaan media. Dan ironisnya, persoalan dari tahun ke tahun tentang PKL hanya itu-itu saja. Kalau tidak menyangkut proyek penertiban bagi PKL yang menempati lahan-lahan terlarang ya masalah keinginan Pemkot Surabaya yang ingin melokalisasi PKL dalam kawasan tertentu.
Dan kembali, hari ini Pemkot Surabaya mempertontonkan kekuatan nyalinya untuk kembali menertibkan keberadaan PKL di beberapa ruas jalan dan lokasi yang dianggap mengganggu kenyamanan publik. Dibandingkan proyek-proyek penertiban sebelumnya, upaya Pemkot kali ini sepertinya cukup serius. Setelah beberapa waktu lalu sukses menggusur PKL di kawasan legendaris Gembong, Pemkot mulai berancang-ancang untuk menata PKL yang ada di kawasan Ampel dan PKL yang berada di sekitar Tugu Pahlawan, Jawa Pos (11/3).
Keberanian Pemkot Surabaya untuk menertibkan (baca : menggusur) pasar Gembong sesungguhnya merupakan langkah maju yang diambil oleh Pemkot Surabaya. Bagaimanapun awalnya publik pesimis bila Pemkot akan berani untuk menggusur para pedagang yang sudah puluhan tahun berdagang di Gembong. Namun ternyata keraguan masyarakat terhadap keseriusan Pemkot dalam menertibkan kawasan Gembong tidak terbukti. Pemkot ternyata berani dan serius, sehingga akhirnya Gembong pun mulai berubah wajah. Kalau sebelumnya khususnya pagi hari dan sore hari selalu macet dan sekarang jalannya mulai terlihat lapang dan tidak semrawut lagi. Pesan yang bisa kita petik adalah bahwa kalau Pemkot serius maka sesungguhnya persoalan apapun akan bisa diselesaikan.
Berbekal cerita sukses saat menggusur PKL di Gembong, Pemkot nampak kian percaya diri untuk melakukan langkah serupa untuk PKL dilokasi-lokasi yang selama ini nyaris tidak tersentuh. Yakni PKL yang berada di kawasan Ampel Surabaya, Kompas (8/3).
Bahwa apa yang dialami para PKL di Gembong atau nasib yang bakal menimpa PKL di Kawasan Ampel bukan barang baru bagi kota ini. Bahkan model kebijakan yang diambil Pemkot dalam menata (baca : menggusur) PKL pun juga bukan cerita asing bagi kita. Singkatnya, membincangkan tentang pedagang Kaki Lima (PKL) dalam konteks penataan kota selalu relevan untuk dilakukan. Hampir mustahil kita membahas dan mendiskusikan masalah perkotaan tanpa mempertimbangkan variabel PKL. Namun ironisnya, kebijakan –kebijakan pembangunan dan perkotaan hampir pasti tidak pernah menempatkan PKL sebagai pihak yang diakui keberadaannya.
Contoh sederhana misalnya kita ingin membangun pusat-pusat perbelanjaan ataupun perkantoran, maka sudah bisa ditebak bahwa tidak pernah akan ada desain/rencana dan pemetaan bangunan yang memberikan ruang bagi keberadaan PKL. Padahal secara faktual keberadaan PKL nantinya akan dibutuhkan sebagai penopang ekonomi komunitas baru tersebut.
Kita kerap berdebat soal bagaimana mengatur jalur hijau, lokasi-lokasi bisnis, namun kita enggan untuk mewujudkan lokasi dan tempat yang memadai bagi keberadaan PKL. Kalau pun toh kita merencanakan lokasi tertentu untuk PKL pastilah kebijakan itu tidak pernah melibatkan PKL untuk memutuskanya. Sehingga aroma kepentingan Pemerintah lebih terasa dibanding memihak kepentingan PKL. Dengan model kebijakan yang seperti itu maka yang terjadi kemudian adalah PKL selalu hadir di luar antisipasi dan bisa jadi juga di luar skenario penataan kota kita. Dampaknya keberadaan PKL dan kehadirannya selalu identik dengan melanggar penataan perkotaan.
Logikanya, bagaimana tidak melanggar kalau desain awalnya tidak pernah mengatur masalah PKL. Salahnya PKL ataukah salah pengambil keputusan yang tidak pernah memperhitungkan keberadaan PKL ?.

Menetapkan Paradigma
Paradigma yang digunakan dalam mengelola dan mengatur keberadaan PKL nampaknya yang harus disepakati terlebih dahulu. Kesepakatan ini menjadi penting mengingat dengan menyimak model kebijakan yang diterapkan selama ini khususnya dalam menyikapi keberadan PKL, publik kerap dibingungkan atas desain kebijakan yang diambil Pemkot Surabaya. Aroma yang selama ini tercium dari model penataan PKL adalah menempatkan PKL sebagai masalah atau bahkan proyek dan belum sekali pun menempatkan PKL sebagai solusi. Pertanyaannya, tidak mungkinkah kita membuat PKL sebagai solusi atas berbagai persoalan perkotaan yang ada ?
Melalui pengertian dan ciri-ciri sektor informal (baca : PKL) yang dikemukakan Lubell (1991), Rachbini dan Hamid (1994), dan Hans-Dieter Evers (1991) terlihat bahwa posisi sektor informal dalam struktur ekonomi terkesan : (a). Tidak diakui, posisi mereka diletakkan dalam struktur yang tidak jelas, (b) mereka sama sekali tidak mendpat proteksi atau perlindungan secara hukum, (c) usaha sektor ini sering dinilai secara negatif, bahkan (d) dianggap kegiatan perekonomian yang bertentangan dengan praktik ekonomi legal.
Berpijak pada logika inilah yang mungkin membuat para pengambil kebijakan di kota ini selalu menempatkan PKL sebagai salah satu masalah dalam pengelolaan perkotaan. Sehingga kebijakan penataan terhadap PKL pun lebih kental suasana penggusuran, peminggiran dan sebagainya yang dikonsepkan untuk seolah ‘menghilangkan’ keberadaan PKL dari kota Surabaya. Pun demikian, upaya untuk menata dan menggusur PKL selama ini pun tidak terlalu menunjukkan hasil yang signifikan. Terbukti dari tahun ke tahun masalah PKL tidak juga mereda tetapi justru semakin meluas lokasi dan volumenya. Setidaknya ada 2 (dua) hal yang membuat kebijakan penataan PKL tidak membuahkan hasil yang nyata :
Pertama, Pemerintah kota terlihat tidak memiliki konsistensi dalam melakukan kebijakan penataan. Melihat begitu banyaknya jumlah PKL yang tersebar di berbagai lokasi dibutuhkan konsistensi Pemkot dalam melakukan penertiban. Namun yang terlihat adalah Pemkot selalu terlambat dalam mengambil tindakan. Contoh mudah, Pemkot bersemangat melakukan penertiban ketika volume PKL yang ada di suatu tempat sudah melimpah. Sehingga bukan saja membutuhkan energi dan anggaran yang besar tetapi pada sisi lain juga menimbulkan perlawanan yang lebih besar dari PKL. Kondisi akan berbeda dan mungkin lebih mudah bila Pemkot secara dini mendeteksi lokasi-lokasi yang potensial untuk tumbuhnya PKL. Ini artinya, Pemkot Surabaya tidak memiliki konsistensi dalam melakukan penataan.
Kedua, pemerintah kota terlalu memaksa diri untuk mengambil alih kebijakan penataan PKL ini. Sementara energi dan kekuatan yang dimiliki Pemkot tidak sebanding dengan jumlah PKL yang harus ditangani. Jalan keluarnya tentu dengan menggunakan aparat birokrasi di bawahnya yakni kecamatan dan kelurahan. Kalau pendelegasian kewenangan ini berjalan, Pemkot tidak perlu terjun langsung menata PKL tetapi cukup menggerakan aparatnya untuk mengawasi, mengatur sekaligus mengeksekusi PKL yang membangkang. Namun yang lebih penting lagi tentu adalah bahwa pendelegasian kewenangan ini juga harus disertai topangan dana yang memadai.
Demikian berliku dan berputarnya kebijakan penataan PKL di kota ini nampaknya membuat ada pergeseran paradigma dalam penertiban PKL. Kalau sebelumnya menempatkan PKL sebagai masalah yang harus diselesaikan kini ada paradigam baru yang tidak lagi menganggap PKL sebagai sekedar masalah tetapi justru menempatkan PKL sebagai ‘proyek’.
Munculnya penilaian ini tidak boleh dianggap mendramatisir persoalan tetapi sesungguhnya merupakan pantulan dari realitas yang terbaca dari praktik kebijakan dan penataan PKL Pemkot Surabaya. Hari ini kita menyaksikan seolah-olah Pemkot berikut jajarannya melihat PKL sebagai proyek yang bisa dikonversikan untuk menyedot anggaran. Sebagai proyek tentu orientasinya bukan untuk diselesaikan tetapi keberadaan PKL an sich menjadi lahan untuk menghasilkan anggaran.
Di balik kefrustasian kita melihat kebijakan untuk menyikapi keberadaan PKL, perlu kiranya cara pandang kita diubah secara radikal. Yakni tidak lagi menempatkan PKL sebagai masalah atau bahkan proyek, tetapi menempatkan PKL sebagai solusi. Paradigma semacam ini pun sesungguhnya bukan hal yang mengada-ada tetapi mencoba memetakan dari pengalaman yang ada. Yakni, sebenarnya PKL itu tidak harus diletakkan dan dipandang dari sisi gelapnya saja, tetapi juga harus kita lihat dari sisi terang keberadaan PKL. Sisi terang keberadaan PKL ini patut dikemukakan agar kita tidak serta merta memberi stempel PKL sebagai sumber masalah.
Sisi-sisi terang keberadaan PKL tersebut sesungguhnya sudah banyak disajikan. Misalnya dari paparan Ismail (1991) yang menyimpulkan bahwa keberadaan sektor informal merupakan realitas sosial ekonomi masyarakat urban. Kesempatan kerja yang terbatas, minimnya sumber daya alam, kesenjangan tenaga kerja terampil dan tidak terampil pada akhirnya akan mendorong lahirnya sektor informal.
Dalam konteks tersebut sektor informal telah memainkan peran penting dalam menyerap tenaga kerja miskin di perkotaaan. Wajah terang inilah yang seharusnya dipertimbangkan agar kebijakan-kebijakan yang dikenakan terhadap PKL tidak selalu dilatari oleh pencitraan PKL sebagai sumber masalah, lahan proyek tetapi juga dipandang bahwa PKL pun memiliki peluang untuk menjadi solusi bagi kota ini.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...