Minggu, 29 Juni 2008

Mengitung Potensi Politik Lansia dalam Pilgub Jatim

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Jurnalis;
Peneliti Public Sphere Center (PuSpec), Surabaya


Keberadaan masyarakat lanjut usia (lansia) nampaknya belum mendapatkan perhatian cukup dalam masyarakat kita. Pencitraan yang cenderung meletakkan lansia sebagai kelompok masyarakat yang tidak produktif bahkan dianggap beban masyarakat semakin memperparah kondisi tersebut. Sehingga sering ditemukan cara pandang yang meletakkan lansia sebagai komunitas masyarakat yang hanya butuh belas kasihan belaka.
Dalam kerangka pemahaman yang semacam itu maka keinginan untuk memberdayakan potensi yang dimiliki lansia menjadi butuh energi ekstra. Ada problem menyangkut cara pandang masyarakat yang perlu dibongkar terlebih dahulu untuk memperjuangkan agar lansia mendapatkan ruang dan tempat yang layak dalam pembangunan ini. Dengan kata lain, prosesi pembangunan yang tengah berjalan hari ini nampaknya belum meletakkan lansia sebagai salah satu aktor penting yang harus dihitung dan dipertimbangkan keberadaannya.
Bahwa peminggiran terhadap peran dan potensi lansia ternyata bukan saja pada ranah sosial kemasyarakatan kita saja, tetapi pada wilayah politik pun kita menyaksikan bahwa lansia belum menjadi ‘komoditas’ yang menarik perhatian mereka. Buktinya, partai politik berikut insfrastruktur politiknya cenderung mengabaikan potensi lansia dalam misi-misi politiknya.
Bagi Jawa Timur, contoh yang paling mudah disodorkan untuk menyimpulkan bahwa belum ada kepedulian yang layak terhadap keberadaan lansia adalah ‘sepinya’ suara partai politik –termasuk birokratnya-- dalam menuarakan kepentingan lansia di Jatim. Kenyataan tersebut semakin membuktikan betapa para penyelenggara negara kita tidak memiliki sensitivitas yang cukup untuk sedikit memikirkan nasib dan ksejahteraan lansia.
Lemahnya posisi tawar lansia dalam politik secara terang benderang juga terlihat dalam pemilihan kepala daerah selama ini. Pun demikian kiranya dalam menghadapi Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2008 nanti. Posisi dan peran lansia juga nyaris tidak diperbincangkan dalam forum-forum politik.
Setidaknya ada dua tema penting yang layak didiskusikan menyangkut keberadaan lansia dalam relasinya dengan politik (baca Pilgub). Pertama, adalah seberapa signifikan jumlah lansia sehingga pantas untuk dijadikan target dalam meraup dukungan politik atau menjadi wilayah yang potensial digarap. Kedua adalah seberapa besar komitmen politik yang ada untuk memperhatikan nasib dan kesejahteraan lansia.

Potensi ‘Politik’ Lansia
Berdasar data dari Badan Pusat Statistik (BPS), terlihat ada laju pertumbuhan persentase jumlah lansia di Jatim. Data BPS tahun 1990 menunjukkan dari jumlah penduduk 32,5 juta jumlah lansianya mencapai 2,5 juta (4,48%). Pada tahun 2000 jumlah penduduk menjadi 35,5 juta sementara jumlah lansianya mencapai 3,7 juta (10,54%) dan pada tahun 2006 dari jumlah penduduk Jatim yang 37.478.737 jiwa, lansianya mencapai 3.942.419 (11%). Dan persentase jumlah lansia tersebut akan semakin besar bila dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebagai jumlah real yang memiliki hak pilih.
Sekedar ilustrasi, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2004 lalu, Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Jawa Timur berdasar data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim mencapai 27.120.974 orang, sementara jumlah lansia pada tahun yang sama (2004) mencapai 3.741.811. Dengan demikian potensi suara yang bisa disumbangkan lansia mencapai 13,797 %. Distribusi suara lansia ini tentu untuk masing-masing daerah tidak sama. Misalnya untuk Kabupaten Banyuwangi dengan lansia sebanyak tahun 2005 yang mencapai 188.307 orang sementara DPT Pilkada tahun yang sama yang mencapai 1.201.733 maka persentase lansianya mencapai 15,67 %. Dengan demikian tentu merupakan sebuah kesalahan bila para elit politik tidak melirik potensi yang dimiliki lansia ini.
Apalagi, kalangan lansia ini pun memiliki ‘mesin politik’ yang relatif kuat dengan keberadaan Karang Werda. Merujuk pada Keputusan Gubernur Jatim 65/1996 tentang Pembentukan Karang Werda di Propinsi Jatim. Karang Werda adalah lembaga kemasyarakatan desa/kelurahan bagi lanjut usia. Sekedar catatan hingga saat ini sudah 4.895 desa/kelurahan yang memiliki Karang werda atau 57,81 % dari total 8467 desa/kelurahan yang ada di Jatim. Artinya, potensi massa lansia sesungguhnya menggiurkan untuk disimak bagi yang ingin memanfaatkannya dalam kepentingan politik.
Selain faktor jumlah yang cukup signifikan, pentingnya memperhitungkan potensi politik lansia adalah menyangkut multiflier effect (dampak ikutan) yang mungkin ditimbulkannya. Gambaran mudahnya, seorang lansia biasanya --meski tidak semuanya-- adalah sosok yang punya pengaruh kuat di lingkungannya apalagi bila lansia tersebut adalah mantan pejabat atau tokoh masyarakat. Sehingga bisa saja nantinya, seorang lansia akan mampu menggandneg suara laian baik anak, cucu dan sebagainya.
Di atas itu semua, tentu kita berharap agar kepedulian dan perhatian terhadap keberadaan lansia tidak an sich karena misi dan kepentingan politik saja. Namun harus dicamkan bahwa persoalan lansia adalah persoalan kita bersama tanpa harus ada embel-embel kepentingan politik.

Nasib Lansia
Terlepas dari faktor dan kepentingan politik, perlunya perhatian terhadap lansia juga dilandasi oleh kenyataan dalam tradisi sosial kita dimana masyarakat lanjut usia cenderung tidak diberi kesempatan secara memadai untuk berperan dan dianggap sebagai kelompok masyarakat yang tidak produktif. Meski juga harus dicatat tidak semua lansia dapat dikategorikan sebagai tak produktif dan menjadi beban masyarakat. Masih banyak lansia yang menyimpan potensi baik dari segi keilmuan dan ketrampilan yang bila diberdayakan akan menjadi kelompok masyarakat yang produktif.
Ketika seseorang sudah menjadi lansia dan tidak bisa melakukan apapun maka dengan sendirinya akan menjadi beban masyarakat lainnya. Masih beruntung bila para lansia tersebut adalah mantan pejabat atau birokrat barangkali masih memiliki dana pensiunan untuk menghidupi sisa hidupnya. Atau mungkin para lansia tersebut kebetulan berasal dari keluarga yang mapan sehingga masih ada keluarga yang akan memperhatikannya. Namun akan menjadi persoalan bila para lansia tersebut berasal dari masyarakat kebanyakan yang kondisi ekonominya biasa-biasanya saja. Maka keberadaan menjadi beban bagi keluarganya. Lantas bagaimana bila mereka kebetulan berada dalam kondisi keluarga yang miskin, maka hampir dapat ditebak mereka (para lansia) akan menyandarkan hidupnya dari belas kasihan dan kehidupan di jalanan (baca : menjadi gelandangan).
Bahwa kepedulian terhadap keberadaan lansia sejatinya tidak diterjemahkan hanya sejauh kita mau memberi bantuan kepada lansia atau seberapa besar angka-angka anggaran yang bisa dialokasikan bagi lansia. Namun kepedulian terhadap lansia juga dapat diukur dari terciptanya ruang bagi lansia untuk dapat menampilkan peran-peran dan mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Untuk itu perlu dibangun kembali cara pandang masyarakat utamanya para penyelenggara negara bahwa lansia tidak hanya cukup diberi bantuan saja namun juga harus dibukakan ruang yang memadai untuk menampilkan potensi yang dimilikinya.

Mendialogkan Paradigma Penataan PKL Surabaya

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Pemerhati Birokrasi – Pemerintahan
Peneliti Public Sphere Center (PuSpeC)
Alumnus ITS - Surabaya



Persoalan Pedagang Kaki Lima (PKL) memang merupakan hal klasik bagi kota besar seperti Surabaya. Dari tahun ke tahun masalah PKL selalu menjadi pemberitaan media. Dan ironisnya, persoalan dari tahun ke tahun tentang PKL hanya itu-itu saja. Kalau tidak menyangkut proyek penertiban bagi PKL yang menempati lahan-lahan terlarang ya masalah keinginan Pemkot Surabaya yang ingin melokalisasi PKL dalam kawasan tertentu.
Dan kembali, hari ini Pemkot Surabaya mempertontonkan kekuatan nyalinya untuk kembali menertibkan keberadaan PKL di beberapa ruas jalan dan lokasi yang dianggap mengganggu kenyamanan publik. Dibandingkan proyek-proyek penertiban sebelumnya, upaya Pemkot kali ini sepertinya cukup serius. Setelah beberapa waktu lalu sukses menggusur PKL di kawasan legendaris Gembong, Pemkot mulai berancang-ancang untuk menata PKL yang ada di kawasan Ampel dan PKL yang berada di sekitar Tugu Pahlawan, Jawa Pos (11/3).
Keberanian Pemkot Surabaya untuk menertibkan (baca : menggusur) pasar Gembong sesungguhnya merupakan langkah maju yang diambil oleh Pemkot Surabaya. Bagaimanapun awalnya publik pesimis bila Pemkot akan berani untuk menggusur para pedagang yang sudah puluhan tahun berdagang di Gembong. Namun ternyata keraguan masyarakat terhadap keseriusan Pemkot dalam menertibkan kawasan Gembong tidak terbukti. Pemkot ternyata berani dan serius, sehingga akhirnya Gembong pun mulai berubah wajah. Kalau sebelumnya khususnya pagi hari dan sore hari selalu macet dan sekarang jalannya mulai terlihat lapang dan tidak semrawut lagi. Pesan yang bisa kita petik adalah bahwa kalau Pemkot serius maka sesungguhnya persoalan apapun akan bisa diselesaikan.
Berbekal cerita sukses saat menggusur PKL di Gembong, Pemkot nampak kian percaya diri untuk melakukan langkah serupa untuk PKL dilokasi-lokasi yang selama ini nyaris tidak tersentuh. Yakni PKL yang berada di kawasan Ampel Surabaya, Kompas (8/3).
Bahwa apa yang dialami para PKL di Gembong atau nasib yang bakal menimpa PKL di Kawasan Ampel bukan barang baru bagi kota ini. Bahkan model kebijakan yang diambil Pemkot dalam menata (baca : menggusur) PKL pun juga bukan cerita asing bagi kita. Singkatnya, membincangkan tentang pedagang Kaki Lima (PKL) dalam konteks penataan kota selalu relevan untuk dilakukan. Hampir mustahil kita membahas dan mendiskusikan masalah perkotaan tanpa mempertimbangkan variabel PKL. Namun ironisnya, kebijakan –kebijakan pembangunan dan perkotaan hampir pasti tidak pernah menempatkan PKL sebagai pihak yang diakui keberadaannya.
Contoh sederhana misalnya kita ingin membangun pusat-pusat perbelanjaan ataupun perkantoran, maka sudah bisa ditebak bahwa tidak pernah akan ada desain/rencana dan pemetaan bangunan yang memberikan ruang bagi keberadaan PKL. Padahal secara faktual keberadaan PKL nantinya akan dibutuhkan sebagai penopang ekonomi komunitas baru tersebut.
Kita kerap berdebat soal bagaimana mengatur jalur hijau, lokasi-lokasi bisnis, namun kita enggan untuk mewujudkan lokasi dan tempat yang memadai bagi keberadaan PKL. Kalau pun toh kita merencanakan lokasi tertentu untuk PKL pastilah kebijakan itu tidak pernah melibatkan PKL untuk memutuskanya. Sehingga aroma kepentingan Pemerintah lebih terasa dibanding memihak kepentingan PKL. Dengan model kebijakan yang seperti itu maka yang terjadi kemudian adalah PKL selalu hadir di luar antisipasi dan bisa jadi juga di luar skenario penataan kota kita. Dampaknya keberadaan PKL dan kehadirannya selalu identik dengan melanggar penataan perkotaan.
Logikanya, bagaimana tidak melanggar kalau desain awalnya tidak pernah mengatur masalah PKL. Salahnya PKL ataukah salah pengambil keputusan yang tidak pernah memperhitungkan keberadaan PKL ?.

Menetapkan Paradigma
Paradigma yang digunakan dalam mengelola dan mengatur keberadaan PKL nampaknya yang harus disepakati terlebih dahulu. Kesepakatan ini menjadi penting mengingat dengan menyimak model kebijakan yang diterapkan selama ini khususnya dalam menyikapi keberadan PKL, publik kerap dibingungkan atas desain kebijakan yang diambil Pemkot Surabaya. Aroma yang selama ini tercium dari model penataan PKL adalah menempatkan PKL sebagai masalah atau bahkan proyek dan belum sekali pun menempatkan PKL sebagai solusi. Pertanyaannya, tidak mungkinkah kita membuat PKL sebagai solusi atas berbagai persoalan perkotaan yang ada ?
Melalui pengertian dan ciri-ciri sektor informal (baca : PKL) yang dikemukakan Lubell (1991), Rachbini dan Hamid (1994), dan Hans-Dieter Evers (1991) terlihat bahwa posisi sektor informal dalam struktur ekonomi terkesan : (a). Tidak diakui, posisi mereka diletakkan dalam struktur yang tidak jelas, (b) mereka sama sekali tidak mendpat proteksi atau perlindungan secara hukum, (c) usaha sektor ini sering dinilai secara negatif, bahkan (d) dianggap kegiatan perekonomian yang bertentangan dengan praktik ekonomi legal.
Berpijak pada logika inilah yang mungkin membuat para pengambil kebijakan di kota ini selalu menempatkan PKL sebagai salah satu masalah dalam pengelolaan perkotaan. Sehingga kebijakan penataan terhadap PKL pun lebih kental suasana penggusuran, peminggiran dan sebagainya yang dikonsepkan untuk seolah ‘menghilangkan’ keberadaan PKL dari kota Surabaya. Pun demikian, upaya untuk menata dan menggusur PKL selama ini pun tidak terlalu menunjukkan hasil yang signifikan. Terbukti dari tahun ke tahun masalah PKL tidak juga mereda tetapi justru semakin meluas lokasi dan volumenya. Setidaknya ada 2 (dua) hal yang membuat kebijakan penataan PKL tidak membuahkan hasil yang nyata :
Pertama, Pemerintah kota terlihat tidak memiliki konsistensi dalam melakukan kebijakan penataan. Melihat begitu banyaknya jumlah PKL yang tersebar di berbagai lokasi dibutuhkan konsistensi Pemkot dalam melakukan penertiban. Namun yang terlihat adalah Pemkot selalu terlambat dalam mengambil tindakan. Contoh mudah, Pemkot bersemangat melakukan penertiban ketika volume PKL yang ada di suatu tempat sudah melimpah. Sehingga bukan saja membutuhkan energi dan anggaran yang besar tetapi pada sisi lain juga menimbulkan perlawanan yang lebih besar dari PKL. Kondisi akan berbeda dan mungkin lebih mudah bila Pemkot secara dini mendeteksi lokasi-lokasi yang potensial untuk tumbuhnya PKL. Ini artinya, Pemkot Surabaya tidak memiliki konsistensi dalam melakukan penataan.
Kedua, pemerintah kota terlalu memaksa diri untuk mengambil alih kebijakan penataan PKL ini. Sementara energi dan kekuatan yang dimiliki Pemkot tidak sebanding dengan jumlah PKL yang harus ditangani. Jalan keluarnya tentu dengan menggunakan aparat birokrasi di bawahnya yakni kecamatan dan kelurahan. Kalau pendelegasian kewenangan ini berjalan, Pemkot tidak perlu terjun langsung menata PKL tetapi cukup menggerakan aparatnya untuk mengawasi, mengatur sekaligus mengeksekusi PKL yang membangkang. Namun yang lebih penting lagi tentu adalah bahwa pendelegasian kewenangan ini juga harus disertai topangan dana yang memadai.
Demikian berliku dan berputarnya kebijakan penataan PKL di kota ini nampaknya membuat ada pergeseran paradigma dalam penertiban PKL. Kalau sebelumnya menempatkan PKL sebagai masalah yang harus diselesaikan kini ada paradigam baru yang tidak lagi menganggap PKL sebagai sekedar masalah tetapi justru menempatkan PKL sebagai ‘proyek’.
Munculnya penilaian ini tidak boleh dianggap mendramatisir persoalan tetapi sesungguhnya merupakan pantulan dari realitas yang terbaca dari praktik kebijakan dan penataan PKL Pemkot Surabaya. Hari ini kita menyaksikan seolah-olah Pemkot berikut jajarannya melihat PKL sebagai proyek yang bisa dikonversikan untuk menyedot anggaran. Sebagai proyek tentu orientasinya bukan untuk diselesaikan tetapi keberadaan PKL an sich menjadi lahan untuk menghasilkan anggaran.
Di balik kefrustasian kita melihat kebijakan untuk menyikapi keberadaan PKL, perlu kiranya cara pandang kita diubah secara radikal. Yakni tidak lagi menempatkan PKL sebagai masalah atau bahkan proyek, tetapi menempatkan PKL sebagai solusi. Paradigma semacam ini pun sesungguhnya bukan hal yang mengada-ada tetapi mencoba memetakan dari pengalaman yang ada. Yakni, sebenarnya PKL itu tidak harus diletakkan dan dipandang dari sisi gelapnya saja, tetapi juga harus kita lihat dari sisi terang keberadaan PKL. Sisi terang keberadaan PKL ini patut dikemukakan agar kita tidak serta merta memberi stempel PKL sebagai sumber masalah.
Sisi-sisi terang keberadaan PKL tersebut sesungguhnya sudah banyak disajikan. Misalnya dari paparan Ismail (1991) yang menyimpulkan bahwa keberadaan sektor informal merupakan realitas sosial ekonomi masyarakat urban. Kesempatan kerja yang terbatas, minimnya sumber daya alam, kesenjangan tenaga kerja terampil dan tidak terampil pada akhirnya akan mendorong lahirnya sektor informal.
Dalam konteks tersebut sektor informal telah memainkan peran penting dalam menyerap tenaga kerja miskin di perkotaaan. Wajah terang inilah yang seharusnya dipertimbangkan agar kebijakan-kebijakan yang dikenakan terhadap PKL tidak selalu dilatari oleh pencitraan PKL sebagai sumber masalah, lahan proyek tetapi juga dipandang bahwa PKL pun memiliki peluang untuk menjadi solusi bagi kota ini.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

Di Mana Wajah Kultural NU Itu Sekarang?

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Penulis adalah seorang jurnalis
Peneliti senior Public Sphere Center (PuSpeC), Surabaya


Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Tanah Air, bahkan ada yang mengklaim terbesar di dunia. Di masa lalu, banyak momen ketika NU tampil begitu anggun dengan mengambil sikap kritis terhadap pemerintah, dan selalu berada di depan untuk menjaga keseimbangan dalam berbagai isu kebangsaan.
Sejarah emas yang ditorehkan NU patut menjadi acuan untuk mempertahankan dan mengembangkan eksistensi NU di masa depan.
Sayangnya, sejarah emas NU di bidang keumatan dan kerakyatan mulai memudar. Hampir seluruh pengurus NU (dari pusat sampai ranting) kembali berkubang ke ranah politik praktis, politik kekuasaan (power politics). Persoalan pendidikan, ekonomi, sosial, moral, kesejahteraan, dan sebagainya, tertelantarkan.
Secara linguistik, NU berarti kebangkitan ulama (nahdhatul ulama). Kebangkitan ulama tidak merujuk pada individu dan institusi ulama, tapi kepada sistem dan orientasi keulamaan. Artinya, kebangkitan ulama harus sejalan kebangkitan masyarakat (nahdhatul ummah). Secara simplistik, NU didirikan untuk memberdayakan umat melalui tangan-tangan arif dan bijak para ulama.
Corak keagamaan dan watak kebangsaan NU belakangan ini mulai terganggu dengan banyaknya ulama NU terlibat dalam politik praktis, di tingkat nasional maupun regional. Padahal, peran ulama sebagai faqih fi mashalihil khalqi seharusnya menjadi pendorong dan pemberi arah dinamika politik, ekonomi, sosial dan budaya. Ulama semestinya menjadi sumber inspirasi dalam menjawab tantangan dan menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Itulah sesungguhnya peran kultural yang mesti dilakoni oleh NU hari ini.
Melihat fakta yang terjadi sekarang ini, wajah dan peran kultural yang selama ini menjadi trade mark NU nampaknya relevan untuk dipertanyakan kembali. Gugatan tersebut pantas hadir dengan menyimak langgam dan gerak dinamika organisasi NU khususnya di Jatim dalam menghadapi Pilgub Jatim 23 Juli mendatang.
Publik Jatim hari ini barangkali lebih melihat sisi politik NU dibandingkan sisi kultural yang sesungguhnya menjadi garapan utama NU. Amatan ini bisa mudah didapati dengan menangkap geliat organisasi dari tingkat ranting hingga pengurus wilayah bahkan hingga pengurus besar yang lebih sibuk merespon dan asyik terseret dalam hiruk pikuk politik khususnya menyangkut pemilihan kepala.
Fenomena tersebut sesungguhnya tidak terlalu mencemaskan ketika secara organisasi NU tetap menjaga tradisi organisasi yang dimilikinya dalam merespon persoalan yang masuk dalam ranah politik. Namun akan menimbul problem ketika NU mulai menanggalkan tradisi organisasi ketika mencoba merespon persoalan yang kental nuansa politiknya.
Indikator paling mutakhir untuk menyimpulkan bahwa ada yang berbeda dari penampilan kultural NU adalah terjadinya ‘konflik’ antara pengurus Tanfidyah yang direpresentasikan oleh Ketua PW NU Jatim Ali Maschan Moesa dan segenap jajaran pengurus syuriah (dewan Syura) PW NU Jatim. Yakni menyangkut status apakah Ali Maschan Moesa harus mundur dari Ketua PW NU Jatim atau sekedar non aktif.
Kenekatan Ali Maschan Moesa untuk tetap maju Pilgub sesungguhnya merupakan cermin perlawanan terhadap tradisi NU. Sebagai ketua Tanfidiah, seharusnya tunduk dan patuh terhadap keputusan Syuriah yang menginginkan tetap memimpin NU Jatim.
Lantaran itu, keputusan syuriah yang menganggap Ali Maschan Moesa berhalangan tetap karena menjadi bacawagub hemat penulis sudah tepat. Dan sudah seharusnya Ali Maschan Moesa tunduk kepada keputusan Syuriah. Apalagi dalam AD/ART dijelaskan bahwa syuriah NU adalah pemimpin tertinggi di organisasi. Tanfidziah adalah pelaksana. Sehingga, kebijaksanaan itu harus dari syuriah. Ini sesuai khitah untuk mengembalikan NU seperti dulu, bahwa syuriah adalah pengendali dan pengarah organisasi. Sehingga ketika Ali Maschan Moesa memilih menunjuk Pelaksana Harian (Plh) untuk menjalankan tugas sebagai ketua PW NU, lagi-lagi menunjukkan sikap melawan tradisi NU yang mengharuskan patuh dan taat pada Syuriah.
Dalam perspektif lebih luas langkah Syuriah sesungguhnya juga ingin menyelamatkan organisasi agar NU tidak sekedar dijadikan batu loncatan ke dunia politik. Sebab bila kondisi tersebut dibiarkan maka nantinya orang mau jadi ketua PC NU atau PW NU ujung-ujungnya mengincar jadi bupati atau gubernur. Sekedar contoh kasus di Nganjuk, pengurus syuriah dan tanfidziah sama-sama maju Pilbup. Itu jauh dari etika NU yakni keikhlasan, melayani umat, dan memiliki kepedulian terhadap masyarakat.
Bagi masyarakat di luar NU, perbedaan orientasi politik tersebut setidaknya menggambarkan bahwa benih-benih pragmatisme di tubuh organisasi NU terus menguat. Sikap Ketua Ali Maschan Moesa yang lebih memilih menjadi Wagub dibandingkan menjalankan amanah memimpin NU Jatim sejatinya menggambarkan bagaimana orientasi politik menjadi godaan paling nyata dalam menata organisasi NU.
Bakal terseretnya wajah NU dalam ranah politik sebenarnya sudah terbaca sebelumnya. Bahkan saking khawatirnya PW NU Jatim akan terjebak pada politik Pilgub, para kiai menawarkan kontrak jamiyah kepada calon ketua PW NU saat Muswil kemarin. Awalnya publik memahami bahwa kontrak jamiyah menjadi janji dan komitmen bagi ketua PW NU untuk tidak ikut dalam Pilgub Jatim mendatang. Namun sayangnya akibat syahwat politik yang tak tertahan lagi tafsir terhadap kontrak jamiyah seolah menjadi bebas untuk ditafsirkan sesuai kepentingan masing-masing.
Pilihan melakukan kontrak jamiyah tersebut sesungguhnya merupakan keputusan yang tepat demi untuk menyelamatkan wajah dan organisasi NU. Bagaimanapun NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar sudah selayaknya dikembalikan pada maqam-nya sebagai organisasi yng berada di atas semua kepentingan partai politik. NU sepatutnya tidak dibawa dan dipersepsikan sebagai representasi kepentingan politik tertentu. Namun nampaknya, kelezatan politik menjadi mengedepan dan seolah menjadi prestasi tertinggi yang akan dicapai oleh pengurus PW NU. Sehingga mungkin berangkat dari logika seperti itulah akhirnya ketua PW NU Jatim Ali Maschan Moesa merelakan jabatan sebagai ketua PW NU Jatim untuk mencalonkan ‘hanya’ sebagai wakil gubernur.
Dalam situasi seperti itu, sebagai pimpinan tertinggi PW NU Jatim, Ali Maschan Moesa seolah telah mengajari jamiyahnya bahwa politik seolah lebih mulia dibandingkan dengan mengurusi NU. Jabatan wakil gubernur lebih prestise dan membanggakan dibandingkan dengan jabatan sebagai ketua PW NU Jatim.
Bahwa apa yang ditampilkan Ketua PW NU Jatim tersebut sesungguhnya menegaskan adanya kecenderungan bila jabatan di struktural NU hanya sebagai batu loncatan untuk menduduki jabatan politik. Terbukti, di beberapa daerah para pengurus NU beramai-ramai melirik jabatan politik dalam pemilihan kepala daerah.
Sungguh memprihatinkan, jika NU terus memilih berkutat di mazhab politik dan menomersekiankan mazhab kultural, tidak mustahil agenda pemberdayaan civil society akan patah di tengah jalan. Persoalan umat yang paling findamental dan substansial semisal peningkatan kualitas pendidikan, kesejahteraan, kenyamanan hidup yang penuh kerukunan, dan sebagainya, hanya akan menjadi wacana.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

000

Selasa, 24 Juni 2008

Risyad dan Leo


Awalnya diluar perkiraan kami... Ketika ulang tahun yang ke 2 tahun lalu, Matahariku dapat kado boneka dari temannya di Playgroup.. Yach sebuah boneka yang kemudian dinamakan Bundanya sebagai Leo... Semula kita menduga Risyad tak akan suka boneka, maklum laki-laki... Biasanya yang seneng boneka kan perempuan ..

Namun ternyata dugaan kami salah... Risyad bener-benar cinta mati sama Leo..

Dari mulai mau mandi,.. main, makan ... sampai mau bobok selalu minta ditemani Leo..

Bahkan dulu.. ketika Leo masih baru dimiliki,.. tiap mandi minta ditunggui leo.. Jadi boneka ditaruh di depan pintu kamar mandi dan Risyad baru mau dimandikan.. Kadang lebih parahnyanya lagi, Leo juga minta dimandikan.. Jadi yang bonekanya basah kuyup kena air..

Makan pun demikian, baru mau disuapin kalau Leonya juga disuapin terlebih dahulu...

Dari sekian properti milik Risyad hanya leo yang barangkali awet rasa cintanya.. Semua mainan yang pernah dibelikan hancur dilempar sana-sini.. Kadang-kadang juga hancur karena dibongkar dan tidak bisa mengembalikan lagi...

Bermain dengan Risyad


Penatnya beban kerja akibat himpitan deadline berita yang membuat hidupku bagai robot yang bisa bernafas... Berangkat kantor jam 07.30 WIB dan pulang kantor jam 22.00 WIB. Waktu yang lebih banyak harus berkutat dengan urusan berita membuat tidak banyak punya waktu untuk Matahariku Risyad Nazhir Aqila yang tak lain adalah buah hati permata jiwaku...

Saat kusampai rumah yang kudapati matahariku yang sudah terlelap tidur dengan memeluk Leo boneka kesayangannya...

Praktis waktu yang kupunya untuk bermain dengan Matahariku hanya Sabtu saja atau Minggu... Hari Minggu pun hanya sampai siang bisa bermain dengan Risyadku..

Itupun kadang harus tersita oleh kegiatan yang membuatku harus hadir...

Oleh karenanya ketika ada waktu longgar, pasti akan kugunakan untuk bermain-main dengan matahari kecil..

Seperti misalnya Minggu (8/6) aku bersama dengan Risyad dan bundanya pergi bermain-main di Taman Kebun Bibit Surabaya... Meski hanya sekadar jalan-jalan dan main air mancur sudah bahagia,.. apalagi bisa membuat Risyadku tertawa lepas....

Ketika Pemimpin Tak Punya Sensitivitas


Ketika Pemimpin Tak Punya Sensitivitas
Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Direktur Bidang Media dan Penerbitan
Public Policy Institute (PPI)- Surabaya
Telp. 081 2320 8565


Sensitivitas para pemimpin kita di Jakarta nampaknya kalah dengan para pemimpin-pemimpin kita yang berada di desa-desa, kelurahan-kelurahan bahkan dengan para ketua RT/RW sekalipun. Ketika para pemimpin Jakarta memutuskan bahwa BLT akan bisa menjadi obat atas gejolak masyarakat akibat kenaikan BBM nanti, justru para Kepala Desa, Lurah dan ketua RT/RW mampu menunjukkan fakta lain kepada kita. Yakni penyaluran BLT tidak akan mampu meredam gejolak kenaikan BBM, tetapi justru penyaluran BLT hanya akan menimbulkan gejolak di tingkat bawah. Berpijak pada kondisi tersebut, hari-hari ini kita saksikan para lurah dan kades di berbagai daerah seperti Blitar, Jember, Tulungaung, Gresik dan Surabaya melakukan aksi menolak menyalurkan BLT (Kompas, 21/5).
Realitas di atas jelas menunjukkan kepada kita betapa kebijakan yang diambil pusat untuk menerapkan kembali BLT tidak mencoba berangkat dan belajar dari kebijakan BLT di tahun 2005 lalu. Bahkan apa yang dilakukan hari ini lebih parah dari yang terjadi di tahun 2005 lalu. Yakni menyangkut proses persiapan yang relatif mepet. Beberapa daerah mengaku akan menggunakan data BLT tahun 2005 lalu. Langkah untuk tidak melakukan verifikasi data BLT tersebut terpaksa dilakukan akibat mempetnya waktu dan juga ketiadaan anggaran untuk memverifikasi data BLT kembali. Fakta tersebut jelas semakin meyakinkan kita betapa ancaman konflik ditingkat bawah pasti akan terjadi.
Sungguh ironis bila pemerintah pusat tidak menyadari akan kemungkinan konflik tersebut. Dalam konteks ini maka langkah pusat dalam menyalurkan BLT ini sesungguhnya juga mencerminkan betapa sensitivitas pemerintah terhadap kemungkin gejolak sosial akibat penyaluran BLT sangat menyedihkan.
Lantaran itu, para pemimpin pusat nampaknya perlu mengkaji ulang rencana pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) plus yang akan dicairkan sebagai kompensasi kenaikan harga BBM Juni nanti. Selain dipandang dari sisi kemanfaatan yang masih meragukan juga melihat respon masyarakat yang cenderung negatif terhadap kebijakan tersebut.
Memang sempat ada yang menuding aksi penolakan terhadap penyaluran BLT tersebut dikaitkan dengan agenda politik tertentu yakni upaya untuk merusak citra politik pemerintahan SBY-JK. Namun nampaknya, kita juga harus lebih jeli dan fair bahwa apa yang dilakukan oleh para pejabat di bawah (Kades, Lurah, RT/RW dll) tersebut lebih merupakan ekspreasi nyata akan kecemasan dan kekhawatiran terkait imbas yang mungkin terjadi bila BLT benar-benar akan dicairkan.
Kalau saja yang menolak BLT adalah dari kalangan anggota dewan atau partai politik tentu kita tak kan kaget. Karena memang, apapun yang akan dilakukan dewan sepatutnya kita tak perlu kaget karena memang begitulah tabiat politik para politisi kita yang lebih banyak bermain kata-kata dibanding memperjuangkan subtansinya. Kalaupun ada anggota dewan yang menolak BLT, percayalah penolakan itu lebih didasarkan pada upaya mencari popularitas dan membangun citra politik saja.
Kita mungkin juga tidak perlu kaget kalau penolakan BLT ini dilakukan oleh para pakar ekonomi atau praktisi pemberdayaan yang memang dari dulu menilai bahwa BLT bukan pilihan yang tepat untuk memberdayakan masyarakat. Namun kita patut mengernyitkan dahi ketika ternyata yang melakukan aksi penolakan BLT ini adalah para kepala desa (Kades) dan lurah yang akan menjadi ujung tombak dalam kebijakan pemberian BLT nantinya.
Dalam pandangan mereka, BLT tak lebih hanya merupakan politik uang pemerintah untuk meredam gejolak masyarakat lapis bawah. Namun sayangnya, alih-alih mendongkrak ekonomi masyarakat, BLT justru berpotensi untuk memicu munculnya konflik antara rakyat dengan aparatur pedesaan.
Konflik di antara rakyat akibat dari kebijakan BLT dipastikan akan terjadi karena BLT pada praktiknya bukan hanya menjadi milik rakyat miskin tetapi juga diperebutkan oleh masyarakat kelas menengah. Kelompok menengah ini juga terkena imbas dari kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM bisa menimbulkan sikap apatis dan distrust dari masyarakat. Harga jadi naik, sedangkan harga bahan pokok tidak terjangkau. Lurah yang harus membagikan BLT sekarang ini ketakutan karena pasti terjadi manipulasi data. BLT akan jadi perebutan antara yang berhak dan tidak berhak. Ini akan memunculkan anarki.

Kebijakan Tak Inovatif
Salah satu tugas pemerintah adalah membuat dan menjalankan kebijakan untuk menyejahterakan rakyat. Dalam menjalankan tugas tersebut, pemerintah dituntut kreatif dan inovatif membuat kebijakan yang aplikatif. Sayangnya, kreativitas dan inovasi itu nyaris tidak tampak. Bukti paling mutakhir adalah masih dipakainya program bantuan langsung tunai (BLT), ditambah kata plus, seperti saat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Oktober 2005. BLT plus merupakan program pemerintah untuk mengompensasi kenaikan harga BBM yang dijadwalkan pada 1 Juni 2008. Kecuali sasaran dan bantuan pangan, program BLT plus sama dengan BLT sebelumnya, seperti nilainya sebesar Rp100.000/kepala keluarga/bulan dan diberikan sekitar setahun. BLT plus ditujukan bagi keluarga sangat miskin berupa dana tunai dan pangan, terdiri dari minyak goreng dan gula.
Program ini diharapkan dapat membantu masyarakat miskin yang paling terkena dampak kenaikan harga BBM. Oleh karena itu, BLT plus tetap didampingi oleh program penghapusan kemiskinan yang sudah berjalan, yakni beras untuk rakyat miskin, asuransi kesehatan, dan bantuan operasional sekolah. Namun, manfaat bantuan langsung itu, apalagi berupa uang dan barang, kurang maksimal bagi rakyat miskin. Akan jauh lebih bermanfaat bila dana itu diberikan dalam bentuk upah yang mereka terima, misalnya? setelah bekerja dalam suatu proyek padat karya. Upah merupakan kompensasi dari prestasi yang telah mereka berikan dalam bentuk hasil kerja?
Cara ini, dengan demikian, dapat menciptakan lapangan kerja baru di tengah tingginya angka pengangguran. Dengan bekerja, rakyat miskin merasa lebih dihargai sebagai manusia daripada hanya menerima belas kasihan, meski hal itu datang dari negara.
Upah hasil kerja biasanya dipergunakan secara lebih bertanggung jawab dibandingkan dengan bantuan. Sikap ini diharapkan akan menumbuhkan etos kerja bagi rakyat, bukan mengharapkan bantuan tanpa bekerja, apalagi kebiasaan meminta-minta. Di lain pihak, cara tersebut akan menghasilkan output berupa rampungnya suatu proyek padat karya. Apalagi bila proyek tersebut merupakan kebutuhan vital, seperti infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan udara, dan bendungan.
Sekali lagi, daripada menolong dengan uang tunai yang bermanfaat sesaat, lebih baik menolong sekaligus membangun motivasi bekerja dan disiplin. Atau memberi kail, bukan ikan. Sebab, miskin terjadi karena tidak bekerja. Membagi-bagi rupiah dalam jangka pendek terlihat populer di kalangan orang miskin. Seakan-akan menyelesaikan kemiskinan. Padahal, itu cuma penyelesaian sesaat. Itulah sesungguhnya yang menjadi alasan mengapa banyak pihak menentang mengatasi kemiskinan dengan uang tunai.
Inti solusi terhadap kemiskinan adalah bekerja. Orang-orang harus bekerja dan mempunyai pekerjaan agar dia mengatasi kemiskinan. Dengan demikian, membagi-bagi uang tunai begitu saja atas nama apa pun kontraproduktif terhadap upaya memerangi kemiskinan.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

Senin, 23 Juni 2008

Catatan Tragedi Kecelakaan Bus Wisata di Kota Batu

Wahyu Kuncoro SN
Pemerhati masalah birokrasi – pemerintahan
Peneliti Public Sphere Center (PuSpeC)
Alumnus ITS - Surabaya


Tragedi memilukan baru saja terjadi. Keceriaan dan kegembiraan yang menghiasi wajah murid Taman Kanak-Kanak (TK) Dharma Wanita Karangdieng, Mojokerto yang sedang menikmati indahnya perjalanan mengisi liburan akhir sekolah sontak harus berakhir tragis dan memilukan. Ya, ledakan bus yang membawa rombongan anak-anak tersebut Senin (9/6) lalu masih mengguratkan kepedihan dan kedukaan mendalam bagi keluarganya. Bahkan masyarakat luas pun ikut berempati karena korban yang masih kanak-kanak.
Bahwa disamping menyisakan duka mendalam bagi teman-teman khususnya anggota keluarga korban, musibah tersebut juga telah membuka tabir gelap yang selama ini tersimpan rapi, yakni praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh oknum petugas yang kebetulan bertugas di Pos Jaga DLLAJ di lokasi kejadian.
Pos jaga yang dibangun pada 2002 lalu itu ternyata sudah lama dikeluhkan. Selain lokasinya berada pada kemiringan hampir 30 derajat, tempat ini, menurut pengakuan para sopir, juga menjadi ajang pungutan liar (pungli) kepada angkutan yang lewat. Bahkan, banyak pihak menduga praktik pungli inilah yang mungkin jadi salah satu pemicu musibah besar yang menyebabkan bus Sidomulyo dan penumpangnya hangus terbakar. Sebab, bus Sidomulyo tiba-tiba jalan mundur setelah sopirnya terpaksa menghentikan bus di tanjakan usai dikejar oleh petugas DLLAJ di pos jaga tersebut. Padahal, beberapa saat sebelumnya, sopir sebetulnya telah membayar retribusi jalan sebesar Rp 2 ribu. (Kompas, 11/6).
Berkaca dari kasus kecelakaan tersebut setidaknya telah membukakan kesadaran kita bahwa :
Pertama, keberadaan pos-pos semacam pos DLLAJ, jembatan timbang atau sejenisnya masih kerap menjadi lahan pungli. Fakta tersebut sesungguhnya sudah terlalu sering terungkap di media. Namun nampaknya banyak faktor dan kendala yang membuat praktik semacam itu terus terawat secara baik. Sehingga praktis keberadaan pos yang sejatinya untuk memantau pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para pengendara angkutan umum berubah menjadi ajang konversi kesalahan/pelanggaran menjadi segebok uang (baca : pungli). Artinya, institusi yang awalnya dibangun untuk membenahi kualitas pelayanan khususnya angkutan menjadi baik justru menjadi ’penyakit’ bagi perbaikan pelayanan tersebut.
Kedua, musibah kecelakaan tersebut juga menunjukkan masih terlalu longgarnya kontrol terhadap pelaksanaan Perda khususnya yang mengatur tentang kelaikan kendaraan/angkutan umum. Imbasnya, masyarakatlah yang akhirnya harus menjadi korban. Contoh sederhana adalah ketika angkutan umum yang berdasar Standar Operasionalnya sebenarnya tidak laik beroperasi namun karena ada praktik ’main mata’ antara pemilik angkutan umum dengan petugas menyebabkan kendaraan tetap diperbolehkan beroperasi. Sehingga ketika terjadi kecelakaan, lagi-lagi masyarakat yang harus menjadi korban. Fakta tersebut barangkali juga menjadi koreksi bagi anggota dewan agar tidak saja sibuk mereproduksi Perda dan aturan lainnya tetapi juga mengawasi dan mengevaluasi sejauh mana efektivitas produk hukum yang dibuatnya. Kita tentu tidak ingin kalangan eksekutif dan legislatif hanya sekadar membuat aturan namun lupa melihat implementasinya di lapangan.
Ketiga, menilik kasus kecelakaan yang terjadi menunjukkan bila Pemkot Batu cenderung mementingkan bagaimana mendapatkan retribusi sebanyak- banyaknya dibandingkan memperhitungkan resiko kecelakaan yang bakal terjadi. Fakta bila di lokasi tersebut sudah sering terjadi kecelakaan semakin menegaskan bila Pendapatan Asli daerah (PAD) lebih dipentingkan dibandingkan keselamatan dan kenyamanan masyarakat. Apa yang terjadi di Kota Batu bisa jadi juga menjadi potret bagi Kab/Kota lain yang hari ini lebih sibuk memikirkan bagaimana meningkatkan nilai PADnya dibandingkan bagaimana memberi kesejahteraan dankenyamanan bagi masyarakatnya.
Keempat, berpijak pada kondisi tersebut maka sesungguhnya yang akan tetap menjadi kunci terpenting untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya korban lain ataupun peristiwa sejenis adalah bahwa aturan harus ditegakkan. Dalam hal kelaikan angkutan misalnya, maka semua pihak baik petugas DLLAJ ataupun pemilik kendaraan tersebut harus menghormati aturan yang ada. Jangan sampai demi memburu rupiah resiko kecelakaan harus dipilih.

Praktik Buruk Layanan Publik
Penyelenggaraan otonomi daerah sekarang ini sesungguhnya juga dimaksudkan agar pelayanan publik dapat lebih ditingkatkan. Namun, apa yang terjadi? Berdasarkan temuan Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara (LAN), banyak pelayanan publik terbengkalai akibat pemerintah daerah hanya mementingkan kenaikan pendapatan asli daerah (PAD).
Peningkatan PAD sering meningkatkan beban masyarakat. Terungkap, lembaga pemerintah yang bergerak dalam bidang pelayanan kesehatan pun, dibebani tugas untuk mengeruk PAD dari pasien atau keluarganya. Namun, evaluasi Pusat Kajian LAN tersebut juga mencatat adanya pelayanan publik yang telah menunjukkan kecenderungan positif meskipun belum dapat disebut memuaskan. Pelayanan publik yang dinilai paling baik ialah penyediaan fasilitas sosial dan pelayanan akte kelahiran. Yang paling buruk adalah pelayanan sertifikat tanah. Disebutkan pula bahwa pelayanan yang dinilai kurang memuaskan, selain pelayanan sertifikat tanah, masih dirasakan di beberapa sektor lainnya, misalnya pelayanan izin mendirikan bangunan, fasilitas umum, dan air bersih.
Praktik suap dan (pungli) masih menggejala di masyarakat kita. Terlepas siapa yang memulai, fenomena suap, pungli, pemerasan dan sejenisnya ternyata masih menjadi bagian buruk dari kehidupan bangsa kita. Biasanya, praktik semacam itu tumbuh di lembaga-lembaga pelayanan publik atau institusi yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak. Maka yang namanya pungutan liar atau suap adalah bagian dari prosedur yang telah tersistematika sedemikian rupa, dan seolah-olah kemudian dianggap sebagai hal yang lumrah.
Masyarakat diajak membiasakan diri untuk taat pada proses pelayanan yang wajar. Praktik pungli yang merupakan wajah lain dari korupsi di sektor pelayanan publik ini, bukan hanya terkait aspek finansial, tetapi juga aspek lain, misalnya aspek waktu dan tenaga. Jika warga masyarakat yang memerlukan pelayanan harus mengeluarkan uang sesuai dengan tarif resmi yang jelas dasar hukumnya dan uang itu memang disalurkan ke kas pemerintah, hal tersebut masih dapat dipahami. Jika pengelolaan pelayanan itu memerlukan waktu tertentu, relatif lebih lama misalnya, juga masih dapat dimengerti asalkan dalam batas-batas kewajaran dan dapat diterima secara logika. Yang tidak dapat dipahami publik, jika ada pungutan tambahan yang dipaksakan dan hasil pungutan tambahan itu tidak masuk kas pemerintah. Juga tidak dapat dipahami, jika pengelolaan pelayanan itu sengaja diulur-ulur waktunya hanya karena pihak yang meminta pelayanan tidak atau belum memenuhi pembayaran pungutan tambahan yang dipaksakan itu atau terulur-ulur waktunya oleh alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

Ingat Bupati Banyuwangi

Menimbang (Kembali) Aksi Pelengseran Bupati Banyuwangi
Monday, 29 January 2007


Kursi Bupati Banyuwangi kembali 'digoyang'. Kali ini bergoyangnya kursi Bupati Ratna Ani Lestari akibat demonstrasi yang dilakukan PNS Pemkab Banyuwangi yang dipimpin oleh Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Sudjiharto. Gerakan perlawanan tersebut berawal kebijakan Bupati Ani yang memberhentikan sekkab dan membatalkan kenaikan pangkat beberapa PNS yang dianggap bermasalah. Menurut bupati, Sekkab telah melakukan tindak pidana karena menaikkan pangkat PNS tanpa prosedur dan persyaratan yang benar. Sementara sekda beranggapan bahwa sebagai ketua Baperjakat ia berhak untuk mempromosikan pejabat yang diangap berprestasi. (Kompas, 23/1).Konflik yang dipicu oleh kebijakan mutasi memang tidak hanya terjadi di Banyuwangi saja. Di Temanggung, Bupati Totok Arie Prabowo (waktu itu) tidak bisa menjalankan pemerintahan dengan efektif karena kantornya diduduki para pegawai yang menentangnya. Pemicunya, sama, yaitu kebijakan mutasi pejabat yang dilakukan Totok Arie Prabowo. Para pegawai merasa dirugikan oleh pengangkatan dan pemindahan pegawai yang diambil bupati. Demikian pula Bupati Bolaang Mongondow Marlina Moha Siahaan didemo pegawainya pada April 2005 lalu. Di Kabupaten Kampar, demonstrasi guru berminggu-minggu mampu menggulung bupati dari kursinya. (Media Indonesia, 24/1).Adalah hak semua orang di negara demokratis untuk berdemonstrasi dan menyatakan pendapat. Juga pegawai negeri. Namun persoalannya tentu bukan pada aspek boleh dan tidak boleh, namun juga harus mempertimbangkan aspek pelayanan masyarakat. Artinya, sungguh tidak bijaksana kalau aksi tersebut justru malah mengorbankan aspek pelayanan kepada masyarakat. Jadi, dari sisi kepatutan, PNS tidak patut mogok kerja dan bupati tidak patut berbuat seenaknya dalam soal kepegawaian. Seorang bupati yang tidak mampu meyakinkan pegawainya untuk tidak mogok dan berdemonstrasi, dia harus dinilai gagal. Walaupun tidak patut juga bupati semacam itu dipecat, apalagi dipecat hanya karena demonstrasi. Persoalan KlasikPermasalahan di Banyuwangi sebenarnya juga menjadi permasalahan di berbagai daerah. Mengatur hubungan sekda dan kepala daerah seringkali menemui kendala apalagi kalau terjadi ketidakcocokan di antara pribadi sekda dan bupatinya. Masing-masing pihak tidak memiliki otoritas yang kuat sehingga akhirnya terjadi hubungan semu yang dampaknya merugikan banyak pihak. Problem ini pernah terjadi di Surabaya dan banyak daerah, meski sebagian berhasil mengatasinya. Salah satu harus mengalah. Biasanya sekda yang 'baik' cenderung membiarkan dan mengamini saja keinginan kepala daerah meski itu sebenarnya merampas otoritasnya.Hal-hal kecil dan dapat menuai konflik adalah apabila muncul kepentingan pribadi di sana. Misalnya sekda ingin menempatkan seseorang pada posisi tertentu sambil menaikkan pangkatnya, namun di saat yang sama bupati juga berminat memosisikan orang lain pada tempat yang sama. Meski dalam hal ini kekuasaan itu ada pada sekda, namun sekda juga harus mempertimbangkan hubungannya dengan bupati. Apabila ia bersikeras menolak, maka posisi sekda sendiri akan terancam. Bupati bisa saja kemudian mencari alasan lain untuk menyingkirkan sekda. Sebaliknya ada juga sekda yang sok kuasa dan mengambil kesempatan itu untuk 'memperdagangkan' pangkat dan jabatan. Adalah wajar pula kalau kepala daerah segera memperingatkannnya dan mengambil tindakan. Tetapi yang banyak terjadi adalah sekda dan bupati membagi tugas; untuk jabatan eselon III dan II menjadi 'wilayah' bupati, sementara di bawahnya menjadi 'wilayah' sekda. Namun tidak jarang sang kepala daerah ingin menguasai semua untuk mengatur dan menentukan pangkat mulai dari yang paling atas sampai ke tukang sapu. Kesekarahan seperti inilah yang dapat memicu pertikaian. Memahami peraturan yang ada seringkali tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Meski sekda mendapat otoritas penuh dalam mengendalikan anggaran dan promosi PNS, ia tidak bisa leluasa. Di atasnya masih ada kepala daerah yang terus mengevaluasi kinerja dan kesetiaannya. Apabila diketahui bahwa sekda bermain sendiri apalagi dengan tujuan memperkaya diri maka kepala daerah sebagai pejabat politik wajib memberi peringatan atau mengusulkan kepada gubernur agar sekda diganti. Sayangnya sistem pengawasan melekat yang diatur oleh undang-udang ini tidak berlaku lagi apabila masing-masing pihak punya kepentingan sendiri. Masing-masing berupaya untuk mengintervensi kekuasaan orang lain sehingga ada pihak yang merasa dilecehkan.Andaikan saja bahwa sekda bisa bekerja profesional. Ia melakukan evaluasi terhadap kinerja pejabat di bawahnya dengan adil barulah kemudian melakukan mutasi atau promosi. Sepanjang itu dilakukan secara transparan maka kepala dearah yang bijak pasti akan mendukungnya. Ada banyak faktor yang bisa membuat sebuah tim kuat, antara lain adalah kesetiaan dan loyalitas yang ukurannya tidak lagi objektif. Seorang kepala daerah merasa tidak mungkin mempromosikan seorang pejabat yang cerdas dan rajin apabila ia seringkali menerobos wilayah kekuasaan atasannya. Pada akhirnya konflik antara sekda dan kepala daerah sangat bergantung dari banyak hal. Konflik kepentingan ini bisa ditipiskan apabila kedua belah pihak mau bertindak transparan, jujur, dan adil. Bisakah?
Menebak Arah BolaHampir bisa dipastikan, gejolak di Pemkab Banyuwangi tersebut akan merembet pada persoalan yang lebih besar yakni persolan politik. Terbukti setelah aksi demonstrasi PNS, segera disusul aksi demonstrasi masyarakat yang melibatkan ulama yang meminta Bupati Ratna Ani Lestari untuk mundur (Surya, 25/1).Minimnya modal politik Bupati Ani Lestari saat merengkuh kekuasan di Banyuwangi --karena diberangkatkan dari partai gurem/non parlemen-- membuat secara formal posisi politik bupati sangat lemah. Imbasnya, isu apa pun yang bergulir bisa dimanfaatkan menjadi amunisi bagi lawan-lawan politiknya.Perlawanan terhadap kepemimpinan Bupati Ani ini memang mengingatkan kembali pada perlawanan politik yang dilakukan DPRD setempat. Sebelumnya istri Bupati Jembrana ini terlibat sengketa panjang dengan DPRD, tahun lalu, karena kebijakannya yang dinilai tidak bisa diterima akal sehat. Salah satu kebijakan yang dianggap bernuansa SARA adalah 'pelarangan' terhadap kegiatan istigotsah. Kebijakan kontroversi tersebut selanjutnya dijadikan modal oleh DPRD Banyuwangi untuk melengserkan Bupati Ani. Namuan langkah DPRD untuk menjatuhkan Ratna Ani kandas di Depdagri yang memegang teguh amanat UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Yakni menolak argumentasi penolakan laporan menolak pertanggungjawaban bupati sebagai alasan pelengseran. Dan tampaknya para musuh politik Bupati Ratna kembali menemukan dalih baru untuk menggoyang kepemimpinannya.Dalam kondisi seperti itu, maka kita tentu berharap agar semua pihak bisa menahan diri untuk tidak menyeret kasus ini pada ranah politik. Biarlah persoalan tersebut diselesaikan pada wilayahnya sendiri. Kalau memang benar sekkab dan kawan-kawannya melakukan pelanggaran dalam proses pengangkatan jabatan, maka biarlah itu yang menentukan adalah instasnui yang berwenang dalam hal ini adalah Badan Kepegawaian Nasional (BKN). Pengembalian pada porsinya ini diharapkan agar tidak muncul opini bahwa kasus tersebut merupakan limbah politik dari perseteruan latens eksekutif dan legislatif di Banyuwangi. Sebab kalau itu dibiarkan sejatinya yang dirugikan adalah masyarakat Banyuwangi. Singkatnya, marilah semua pihak terus berupaya untuk melakukan langkah-langkah yang kondusif untuk membangun Banyuwangi. Janganlah karena faktor kepentingan politik, justru malah mengorbankan kepentingan rakyatnya. Bagi kalangan tokoh masyarkat dan ulama hendaknya tidak mudah terseret oleh kepentingan politik yang ada. Wallahu'alam Bhis-shawwab
Wahyu Kuncoro SNKolumnis dan Praktisi Media

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...