Penggunaan uang negara harus
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan.
Pertanggungjawaban atas uang negara itu pun harus dilakukan secara transparan. Setiap
rupiah dana negara yang keluar dari kas negara harus benar-benar dibelanjakan
untuk kepentingan rakyat. Bukan untuk kepentingan lainnya, apalagi dikorupsi.
Demikian pesan yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam acara Persiapan
Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2017 dan Institusi Pengelola
Keuangan Negara Lainnya Dalam Rangka Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang
Baik di Istana Kepresidenan Bogor, Kompas
(6/12/2017).
Substansi dari pesan itu pada dasarnya sangat
dipahami dan memang bernuansa normatif. Namun pesan tersebut menjadi menarik
ketika disampaikan bersamaan waktunya dengan pemberian opini wajar tanpa
pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan
pemerintah. Opini itu merupakan yang pertama diraih pemerintah pusat dalam 12
tahun terakhir. Karena itu, kita sepakat dengan pesan Presiden Jokowi tersebut.
Sekali lagi yang perlu kita garisbawahi
adalah bahwa setiap laporan keuangan pemerintah mencerminkan di dalamnya
seberapa besar kepercayaan rakyat dijaga dan dirawat. Dalam setiap rupiah yang
dibelanjakan tecermin bagaimana upaya pemerintahan dalam menjaga kepercayaan
rakyat. Artinya laporan keuangan pemerintah mencerminkan bagaimana setiap
rupiah uang rakyat digunakan. Di sana tecermin pula seberapa tanggung jawab
pemerintah atas amanat yang diberikan rakyat. Karena itu, kita sependapat
dengan Presiden agar opini wajar tanpa pengecualian ini tidak saja harus
dipertahankan, tetapi juga menjadi standar laporan keuangan pemerintah, baik
pusat maupun daerah. Bukan hanya dalam administrasi keuangan, kita pun ingin
agar standar yang sama juga diimplementasikan dalam menjaga semangat untuk
mempertanggungjawabkan setiap rupiah penggunaan uang rakyat.
BPK Kawal Harta
Negara
Kita berharap peningkatan kualitas laporan
keuangan yang ditandai dengan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) ini tidak
berhenti sebatas di atas kertas. Kita ingin ia hidup sebagai semangat untuk
mengawal setiap rupiah penggunaan uang rakyat. Jika ia hidup dalam setiap
aparatur negara baik di pusat maupun daerah, niscaya korupsi dapat dibasmi dan
rakyat menjadi sejahtera. Dalam bahasa yang berbeda, produk opini yang
dikeluarkan BPK sesungguhnya sebagai
manifestasi dari misi BPK Kawal Harta
Negara.
Terkait adanya hasil opini BPK terhadap
pengelolaan keuangan Negara/ daerah acap masih muncul pertanyaan yang cukup menggelitik
yakni mengapa kasus korupsi masih
terjadi di lembaga-lembaga yang laporan pengelolaan anggarannya dinilai baik
oleh BPK? Misalnya, ada daerah yang dalam beberapa tahun belakangan selalu
memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tapi kepala daerah dan birokrasinya
juga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Bahkan, dalam kasus terakhir yang
terjadi di Kementerian Desa, diduga terjadi praktik suap dalam pemeriksaan
laporan keuangan yang dilakukan auditor BPK.
Menjawab pertanyaan tersebut bisa saja
didekati dari dua kemungkinan, yakni pertama, opini WTP bisa saja berkaitan
langsung dengan tindak pidana korupsi yang sedang terjadi. Ini bisa dicontohkan
dari kasus yang terjadi di Kementerian Desa, ketika ada upaya untuk memperoleh
opini WTP dengan melakukan suap. Publik tentu dengan mudah menyimpulkan bahwa
proses pemberian opini di BPK memang rentan praktik suap. Kedua, tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, pemimpin lembaga, atau birokrasi
tidak berkaitan langsung dengan kinerja pengelolaan keuangan negara. Sebagai
contoh, kepala daerah menerima suap dari perusahaan swasta karena pengurusan
izin tertentu.
BPK harus dilihat sebagai salah satu aktor
yang berfungsi dalam mitigasi praktik korupsi. BPK adalah satu-satunya lembaga
tinggi negara yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
sesuai dengan Pasal 23E UUD 1945. Dengan demikian, peran BPK sangat penting
untuk memastikan tidak terjadinya penyimpangan dan praktik korupsi dalam
pengelolaan keuangan negara.
Jika membaca beberapa laporan tentang
kecenderungan korupsi yang terjadi di lembaga-lembaga negara, harus diakui
bahwa BPK termasuk lembaga yang tidak dikategorikan korup. Misalnya, dalam hasil
riset Global Corruption Barometer (GCB) 2017, yang dirilis Transparency
International (TI), lembaga yang dikategorikan korup adalah lembaga-lembaga
politik (DPR/DPRD, partai politik), kementerian, birokrasi, penegak hukum
(polisi, pengadilan), pengusaha, dan seterusnya.
Menjadikan BPK Lebih
Berdaya
Kerja-kerja BPK Kawal Harta Negara seharusnya diarahkan dan dipastikan memiliki
dampak positif dalam penggunaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK harus
dipastikan ditindaklanjuti oleh setiap lembaga yang mengelola keuangan negara. Namun
ada beberapa catatan yang perlu dicermati oleh BPK agar fungsinya sebagai salah
satu instrumen pemberantasan korupsi bisa dijalankan. Pertama, BPK tidak
memiliki kewenangan untuk memastikan hasil audit, pemeriksaan, atau rekomendasi
dijalankan oleh lembaga, kementerian, atau pemerintah daerah. (http://www.bpk.go.id/news/opini-wtp-dan-korupsi)
Menurut undang-undang, kewenangan BPK hanya
berhenti pada penyerahan hasil pemeriksaan tersebut kepada legislatif,
pemerintah, dan lembaga yang diaudit. Walaupun BPK memiliki kewenangan untuk
memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan, hasil pemantauan tersebut
diserahkan kembali kepada legislatif dan pemerintah.
Dari sudut hukum, hampir tidak ada mekanisme
yang bisa digunakan BPK untuk memaksa suatu lembaga untuk melaksanakan hasil
pemeriksaannya. Undang-undang juga tidak memuat sanksi apa pun ketika hasil
pemeriksaan BPK tidak ditindaklanjuti. Salah satu cara yang bisa digunakan BPK
adalah melalui publikasi hasil pemeriksaan/rekomendasi secara detail kepada
publik. Menurut undang-undang, hasil pemeriksaan yang telah diserahkan kepada
DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum. Terhadap hasil pemeriksaan
yang terindikasi pidana memang hanya disampaikan kepada penegak hukum.
Pemeriksaan BPK atas laporan keuangan
pemerintah sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran menunjukkan peningkatan
transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. BPK akan meningkatkan
pemeriksaan untuk menilai pengelolaan keuangan negara dalam mencapai tujuan
negara, yaitu kemampuan entitas dalam melaksanakan program-program pembangunan,
utamanya yang langsung berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, ke depan masyarakat selain melihat dari perolehan opini atas
laporan keuangan, juga harus melihat kepada hasil pemeriksaan kinerja BPK untuk
menilai prestasi kerja suatu entitas pemerintah daerah. (http://www.bpk.go.id/news/bpk-wujudkan-kesejahteraan-rakyat-melalui-pemeriksaan-keuangan-negara)
Ada dua peran BPK dalam pemberantasan
korupsi. Pertama, menemukan penyalahgunaan atau penyelewengan. Ini merupakan
tindakan represifatau bersifat korektif. Jika pada hasil pemeriksaan ditemukan
perbuatan berindikasi tindak pidana korupsi, BPK melaporkan kepada aparat
penegak hukum untuk ditindaklanjuti. BPK terus berkoordinasi dengan penegak
hukum terkait dengan tindak lanjut hasil pemeriksaannya.
Peran kedua, mencegah penyalahgunaan dan
penyelewengan. Ini tindakan pencegahan (represif). Pencegahan dilakukan BPK
melalui pemeriksaan terhadap sistem pengendalian intern entitas yang diperiksa
atau audit. Kedua, BPK merancang pemeriksaan atas sistem kendali korupsi (fraud control system) pada entitas
pemerintah. Jika selama ini pemeriksaan BPK untuk mendeteksi indikasi korupsi,
maka pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai keberadaan, implementasi dan
efektivitas sistem kendali korupsi di lingkungan entitas. Ini sesuai dengan
Inpres No. 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi.
Gerakan Sosial
Melawan Korupsi
Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), maka salah
satu tolok ukur kinerja pemerintah daerah dapat dilihat dari Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD), yang tentu saja harus terlebih dahulu diaudit oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Informasi dalam LKPD harus dapat memenuhi
kebutuhan para penggunanya, yang menurut SAP dinyatakan bahwa kelompok utama
pengguna laporan keuangan pemerintah adalah masyarakat, wakil rakyat, lembaga
pengawas, lembaga pemeriksa, donatur, investor, pemberi pinjaman, pemerintah,
dan pihak lain yang berkepentingan.
Jika kita beranalogi dengan kegiatan ekonomi,
maka terdapat kemiripan dengan kegiatan perdagangan saham di pasar modal. Di
pasar modal, perusahaan-perusahaan akan belomba menarik hati investor agar mau
berinvestasi pada saham yang diterbitkannya. Salah satu perhatian utama
investor di pasar modal sebelum berinvestasi adalah laporan keuangan perusahaan
yang sudah diaudit dan diterbitkan opini audit oleh Kantor Akuntan Publik
(KAP).
Investor sangat tergantung pada opini audit
dalam pengambilan keputusan investasi, karena itu peranan KAP di pasar modal
sangat strategis dan dapat berkontribusi menentukan nasib ribuan investor dan
calon investor. Begitu juga dengan pemerintah daerah, setiap tahun LKPD diaudit
oleh BPK yang kemudian juga diterbitkan opini auditnya. Dengan demikian,
ibaratnya seorang investor di pasar modal, sebenarnya rakyatpun bisa saja
menentukan keputusan politiknya dengan dasar opini audit yang diterbitkan oleh
BPK.
Agar bangsa ini bisa hidup mulia tanpa
korupsi, kesadaran masyarakat harus ditransformasikan menjadi gerakan sosial
yang bisa menangkal dan melawan korupsi. Melalui gerakan sosial menangkal
korupsi itu, public akan terlibat dalam pengawasan praktik korupsi yang
dilakukan penyelenggara negara yang mempunyai kekayaan tidak sebanding dengan
penghasilannya. Dengan demikian, sistem whisle blower harus lebih dioptimalkan.
Di sinilah perlunya kita semua secara bergandengan tangan masuk dalam area
perang semesta melawan korupsi, dengan niat kuat memberantasnya sampai tuntas
sekaligus mengawal negeri ini.
Korupsi di manapun di dunia termasuk di
Indonesia, berkembang, berevolusi sampai pada tahan dimana korupsi itu
dilakukan secara sistematis dan bahkan sudah berjejaring. Kerena sudah masuk
sampai masa berjejaring, maka untuk melawan korupsi itu hanya perlu keberanian
untuk menjalankan dua langkah aksi pencegahan yang betul-betul nyata, serta
tindakan penegakan hukum yang betul-betul tegas. (Wahyu Kuncoro, ST. M.Medkom - Dosen
Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Sunan Giri (Unsuri) Surabaya)
***