Minggu, 08 September 2013

Elektabilitas Jokowi dan Dosa Kolektif Media

Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDIP baru saja selesai digelar. Momentum yang banyak pihak diharapkan akan jadi ajang pendeklarasian Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menjadi calon presiden (Capres) ternyata tidak terjadi. Alih-alih mencapreskan Jokowi, Ketua Umum DPP PDIP Megawati dalam pidato politik saat Rakernas, justru meminta para kader untuk lebih berkonsentrasi dalam mendulang suara dalam Pemilu Legislatif (Pileg) agar PDIP bisa mengusung kader sendiri, Jawa Pos (9/9). Meski demikian, walau tidak secara khusus mencapreskan Jokowi, sejatinya Megawati sudah memberi panggung bagi Jokowi dalam Rakernas. Panggung yang disediakan itu bisa terlihat baik saat Megawati menyampaikan pidato politiknya maupun peran yang diberikan kepada Jokowi untuk membacakan dedication of life-nya Soekarno. Meskipun publik sudah bisa membaca kemana dukungan itu akan mengarah, namun toh Megawati lebih memilih menyimpan nama Jokowi dan tidak terburu-buru mencapreskannya sebagaimana ditunggu-tunggu banyak orang. Sikap Megawati yang meminta agar kader PDIP lebih konsentrasi dalam mendulang suara untuk Pileg sesungguhnya juga memberi pesan ke masyarakat bahwa kalau masyarakat ingin PDIP bisa mengusung Jokowi sebagai presiden maka masyarakat harus ikut memilih caleg-caleg PDIP agar perolehan suara PDIP memungkinkan untuk mengajukan Capres sendiri. Sikap Megawati untuk lebih fokus pada Pileg tentu bukan saja dilandasi oleh logika, bahwa untuk menghadapi Pilpres sangat ditentukan oleh hasil Pileg, tetapi nampaknya Megawati juga ingin mengambil untung dari popularitas dan elektabilitas Jokowi yang sedang membubung. Megawati tidak ingin, dukungan yang besar terhadap Jokowi tidak memiliki imbas signifikan kepada nasib partai politiknya. Sejumlah survei mengajari bahwa popularitas dan elektabilitas figur tertentu tidak selalu linear dengan dukungan terhadap partai asal figur tersebut. Simak saja hasil survei Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih Pra-Pemilu 2014 yang dilakukan yang dilakukan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) beberapa waktu lalu. Menurut Survei LIPI, rakyat ternyata lebih melirik figur potensial daripada partai politik pada Pemilu 2014. Partai tak memengaruhi keputusan rakyat untuk memilih. Hal itu tecermin dari hasil survei bahwa 6 dari 10 reponden akan memilih caleg dibanding parpol. Ini tentu berbeda dengan pengalaman Pemilu 2009. Dalam survei empat lembaga, satu bulan menjelang pemungutan suara pada Pemilu 2009, ditemukan mayoritas pemilih masih memilih partai. Selain itu, survei juga menunjukkan sebanyak 58 persen responden memilih berdasarkan potensi calon legislatif jika pemilu legislatif diadakan saat ini. Adapun yang memilih berdasarkan parpol ialah 30 persen dan yang menyatakan tidak memilih sebanyak 12 persen , Jawa Pos (27/6). Realitas tersebut nampaknya dipahami betul oleh para elit PDIP sehingga memutuskan untuk tidak begitu saja melepas nama Jokowi ke pasaran. Karena bila dilakukan, maka PDIP tidak akan terlalu banyak mengambil untung dari popularitas Jokowi. Logikanya, meski orang mendukung Jokowi sebagai capres belum tentu ia akan memilih Caleg dari PDIP dalam pileg mendatang. Selain itu, kalau nama Jokowi dilepas ke bursa Capres sejak sekarang sangat mungkin akan muncul kekuatan-kekuatan non PDIP yang akan bermunculan. Baik kekuatan itu berasal dari partai politik non PDIP maupun berasal dari kalangan relawan atau kekuatan lain yang akan ramai-ramai mendukung Jokowi capres. Nah, bila itu yang terjadi maka PDIP tidak lagi menjadi pemegang ‘saham’ terbesar dalam mendukung pencapresan Jokowi. Dalam konteks inilah, maka sungguh bisa dipahami mengapa PDIP cenderung ingin mengambil untung dari popularitas dan elektabilitas yang dimiliki Jokowi untuk juga bisa mendongkrak suara PDIP dalam Pileg. Dosa Media Menguatnya harapan publik untuk mengusung Jokowi menjadi Capres pada 2014 mendatang sesungguhnya juga menimbulkan dilematika bagi para pendukung dan penggemar Jokowi sendiri. Mengapa ? Karena para pendukung Jokowi sebagian berpandangan bahwa Jokowi sebaiknya harus menyelesaikan tugasnya memimpin Jakarta. Bagi mereka, Jokowi harus diberi kesempatan untuk membenahi Jakarta yang juga butuh sentuhan humanis ala Jokowi. Memimpin Jakarta sesungguhnya bisa menjadi ujian bagi Jokowi sebelum nantinya menjadi presiden. Namun sebagian lain berpandangan, bahwa inilah momentumnya Jokowi untuk menuju pemimpin nasional. Meski belum genap 2 tahun memimpin Jakarta, komitmen dan kesungguhan Jokowi dalam membangun wilayahnya sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa Jokowi layak diusung menjadi presiden. Di atas itu semua, munculnya dilematika semacam ini sesungguhnya menunjukkan betapa bangsa ini sedang krisis pemimpin. Rasanya bangsa ini hanya sangat tergantung pada sosok seorang Jokowi. Menguatnya demam terhadap sosok Jokowi pada level tertentu sesungguhnya juga akibat peran media yang terlalu lebay (berlebihan) dalam mengekspos sepak terjang Jokowi. Artinya, media utamanya media massa punya ‘dosa’ dalam mengarahkan opini publik untuk mengelu-elukan sosok dan sepak terjang Jokowi. Terlepas dari realitas bahwa sosok Jokowi adalah sosok yang tengah digandrungi publik saat ini, publikasi media yang berlebihan dalam mengekspos Jokowi, maka pada wilayah lain juga berarti media tidak membuka peluang munculnya figur lain yang bisa jadi lebih baik dari Jokowi. Memang, dalam konteks nilai berita (news value) tidak dipungkiri bahwa sosok Jokowi merupakan objek berita yang seksi untuk diberitakan. Sehingga meski tanpa diminta pun media akan dengan senang hati meliput apapun yang dilakukan dan dikerjakan Jokowi. Selain itu, publik pun sangat menyenangi pemberitaan soal Jokowi. Dengan demikian, pemberitaan soal Jokowi bukan saja memenuhi aspek news value, tetapi juga memiliki aspek bisnis media yakni media akan memberitakan hal-hal yang diinginkan para pembaca dan pendengar/pemirsanya. Namun pertanyaannya, apakah media tidak punya jiwa lain, selain hanya bekerja memenuhi ‘hukum pasar’ seperti itu. Dalam konteks demokrasi, media juga dipahami memiliki peran luhur sebagai pilar keempat demokrasi. Lantaran itu, media sepatutnya juga harus memiliki agenda setting untuk ikut serta berkontribusi dalam melahirkan tokoh dan figur baru selain Jokowi. Media juga harus kreatif dan mencari dan menemukan figur lain yang bisa menjadi figur alternatif. Bangsa ini sesungguhnya harus menyadari bahwa banyak figur lain yang muda dan progresif yang layak dimunculkan untuk memimpin bangsa ini. Bangsa ini tentu tidak boleh kalau hanya bergantung pada sosok Jokowi. Oleh karena itu, media sejatinya juga harus bisa memberi kontribusi dalam menemukan figur-figur pemimpin bangsa yang layak jual. Hampir mustahil kalau bangsa yang memiliki penduduk lebih dari 260 juta ini hanya memiliki seorang Jokowi yang dianggap bisa menyelesaikan masalah bangsa ini. Ingat, bangsa ini tidak mungkin hanya diselesaikan oleh satu dua orang, tetapi harus secara kolektif diselesaikan secara bersama-sama. Dalam konteks inilah, media juga harus membuka mata lebar-lebar agar tidak terlalu terpukau oleh pesona seorang Jokowi. Wallahu’alam Bhis-shawwab

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...