Rabu, 26 Mei 2010

Pesan Politik Kemenangan Anas

Sepekan sudah kongres II Partai Demokrat selesai digelar. Namun demikian, perbincangan tentang apa yang terjadi berikut figure yang terpilih menahkodai Partai Demokrat untuk periode 2010-2015 masih ramai terdengar. Melalui pertarungan ketat hingga harus dua putaran, Anas Urbaningrum (AU) mampu meraih kursi ketua Umum Partai Demokrat setelah mengalahkan kandidat lain yakni Andi Malarangeng (AM) dan Marzukie Ali (MA). Dalam putaran kedua, AU mampu meraih dukungan 280 suara (53 %) dan MA meraih 248 suara (47%). Sementara calon kuat yang banyak dijagokan yakni AM malah sudah harus terpental di putaran pertama, Kompas (24/5).
Sebagai perhelatan terakbar partai penguasa, tentu apa yang terjadi selama kongres menjadi menarik untuk disimak. Sebagai partai terbesar, maka yang terjadi di dalamnya juga merepresentasikan bagaimana wajah dan dapur partai politik kita. Dengan demikian, bagaimana prospek demokrasi ke depan seharusnya juga dapat dibaca dari apa yang terjadi selama kongres berlangsung.
Kemenangan AU yang juga Ketua Fraksi Demokrat DPR RI ini memang cukup mengejutkan banyak kalangan. Mengingat sebelumnya, prediksi lebih banyak mengunggulkan Menpora Andi Malarangeng yang akan menang. Klaim dapat dukungan dari Cikeas menjadi faktor penyebab mengapa AM lebih diunggulkan. Terlepas dari kejutan tersebut, hemat penulis setidaknya ada 5 (lima) ‘pesan politik’ yang bisa dipetik dari kemenangan Anas Urbaningrum dalam perhelatan kongres II Partai Demokrat khususnya bila direlasikan dengan masa depan dan perkembangan demokrasi di tanah air.
Pertama, kekhawatiran intervensi SBY dalam menentukan ketua umum nyaris tidak terlihat. Klaim bahwa SBY lebih memihak calon AM yang dimanifestasikan dari dukungan putra bungsu SBY Edi Bhaskoro alias Ibas tidak terbukti. Bahkan bisa jadi klaim tersebut menjadi bumerang bagi AM, ketika secara terbuka di depan peserta kongres SBY menegaskan agar peserta memilih ketua umum berdasarkan hati nuraninya. Artinya, klaim tim sukses AM yang dalam berbagai kesempatan terkesan ‘mengeksploitasi’ Cikeas menimbulkan sikap kurang simpati peserta kongres. Sikap SBY yang membiarkan para kader partai demokrat bertarung secara fair dan terbuka akan menjadi garansi bagi kader-kadernya untuk berbuat yang terbaik. Sikap SBY tersebut juga akan mengurangi tingkat ketergantungan partai terhadap SBY. Dengan demikian, melalui kongres SBY telah ‘berhasil’ mendidik kader-kadernya untuk secara perlahan menentukan nasib dan masa depan partai sendirinya.
Kedua, bahwa terpilihnya Anas Urbaningrum dalam kongres juga mencerminkan kemenangan demokrasi yang berpijak pada akar rumput. Artinya, dukungan arus bawah terhadap sosok AU, terbukti tidak tergoyahkan oleh AM yang lebih banyak didukung oleh elit politik. Realitas ini tentu menjadi kabar baik bagi dunia politik kita yang lebih banyak mempertontonkan panggung politik yang lebih banyak bersikap ‘minta petunjuk’ dibanding dengan mendengarkan apa yang terjadi di tingkatan arus bawah. Artinya, pelajaran terpentingnya adalah bahwa para politisi mestinya harus lebih banyak bergaul dengan masyarakat bawah dibandingkan dengan ‘bermanis muka’ dengan elit politiknya saja.
Ketiga, realitas lain yang menggembirakan adalah bahwa ternyata peserta kongres benar-benar mengapresiasi kinerja nyata dari para calon. Terbukti dalam putaran pertama AU dan MA lebih banyak mendapatkan dukungan dibandingkan dengan AM. Fakta ini bisa jadi menunjukkan bahwa kader-kader Demokrat menyadari betul siapa yang telah berkeringat dalam membesarkan partai. Hal ini penting dicatat, karena banyak partai yang acap dalam memilih pengurus lebih memilih kader ‘kutu loncat’ baik karena pertimbangan popularitas maupun materi dibandingkan kader-kader mereka sendiri yang telah merintis karier politik dari bawah.
Keempat, gagalnya AM lebih dini, yakni sudah tersungkur sejak putaran pertama juga menandakan bahwa popularitas bukan lagi segala-galanya. Tidak ada pihak manapun yang menyangkal popularitas AM. Bahklan dari segi publikasi dan kampanye di media-media, AM jauh lehih agresif dibandingkan calon lain. Namun ternyata popularitas tidak serta merta menjamin elektabilitas yang tinggi pula. Pengalaman ini sesungguhnya sangat relevan bila dikontekstualisasikan dengan hajatan Pemilukada di berbagai daerah yang lebih menyandarkan popularitas dibanding kualitas dan kapasitas kader. Sempat hebohnya publik karena beberapa artis ibukota yang ikut Pemilukada di daerah seharusnya mulai tercerahkan dengan fenomena yang terjadi di Partai Demokrat. Artinya, para elit parpol tidak seharusnya terlalu ‘silau’ dengan popularitas seseorang, sehingga kadang harus mengorbankan proses perkaderan yang telah berjalan. Dengan demikian, harus diakui bahwa Partai Demokrat melalui kongresnya telah mengajarkan dan membutikan bahwa popularitas bukan segala-galanya dalam melakukan kompetisi politik.
Kelima, bahwa kemenangan AU juga diharapkan bisa menjadi momentum terjadinya alih generasi di parpol dan khususnya lagi di negeri ini. Dengan usianya yang masih 41 tahun telah menjadikan AU sebagai ketua partai termuda. Apa yang terjadi di Demokrat tersebut seharusnya membuat malu para elit politik partai lain yang masih sangat bergantung pada generasi tua. Bandingkan saja dengan usia Ketua Umum PDIP Megawati yang sudah 64 tahun, Ketum Golkar Aburizal Bakri (63 tahun), Ketua Partai Hanura Wiranto (63 tahun) dan sebagainya. Dari fakta tersebut kita berharap partai-partai lain tidak terus-menerus bergantung pada figur-figur yang sudah tidak up to date lagi alias kedaluwarsa.

Menakar Prospek 2014
Bahwa hasil Kongres II Partai Demokrat juga harus dibaca sebagai langkah Demokrat menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 mendatang. Artinya, siapapun Ketua Umumnya yang terpilih jelas tidak bisa dilepaskan dari figur calon presiden yang akan diusung oleh Demokrat nanti. Mengingat pada Pilpres 2014 nanti Demokrat sudah tidak bisa mencalonkan lagi SBY untuk ketiga kalinya sehingga harus dicarikan figure penggantinya. Dengan kata lain, Demokrat telah memilih AU untuk menjadi figur yang bisa jadi akan dimajukan dalam Pilpres nanti.
Meski masih relatif muda, banyak pihak memang menilai bahwa AU memiliki potensi dan kemampuan untuk menjadi pemimpin puncak negeri ini di masa mendatang. Sikap cerdas, yang dibalut dengan penyampaian yang santun baik dalam sikap dan tutur kata akan menjadi modal penting untuk merebut hati pemilih nanti. Kemampuan AU merebut kursi ketua umum Demokrat melalui proses yang demokratis sejatinya telah menunjukkan kematangan dan kepiawaiannya dalam politik. Jika potensi dan konsistensi itu terus terjaga maka bukan tidak mungkin AU nanti akan menjadi generasi penerus SBY memimpin negeri ini.
Pada tahun 2014 nanti, AU akan genap berusia 46 tahun yang hanya selisih satu tahun lebih muda dari Barack Obama yang menjadi presiden Amerika Serikat (AS) ketika berusia 47 tahun. Artinya, kalau negara sebesar AS saja bisa memberi kesempatan orang muda semacam Barack Obama untuk memimpin, tentu Indonesia juga bisa, mengapa tidak?
Wallahu’alam Bhis-shawwab

Kisah Relokasi Pasar Keputran

Kebijakan relokasi pasar selalu menarik untuk disimak. Bukan saja karena kebijakan ini selalu menghadirkan ‘perlawanan’ dari para pedagang, tetapi juga karena selalu dikaitkan dengan adanya ‘kepentingan’ yang ikut menumpang di balik kebijakan tersebut.
Analisis cukup menarik disampaikan oleh Yunan Syaifulah dalam artikelnya yang berjudul “Memaknai Relokasi Pasar” yang dimuat Surya (17/5). Namun, sayangnya Yunan lebih banyak memaparkan penilaiannya menyangkut keberadaan pasar tradisional dan pasar modern, sehingga tidak secara jelas mengupas makna lebih dalam dalam penertiban Pasar Keputran.
Awalnya, publik di Surabaya sempat pesimistis, bahkan cenderung apatis ketika mendengar Pemkot Surabaya berniat menertibkan para pedagang kaki lima di Pasar Keputran yang menempati ruas jalan. Sikap semacam itu wajar, mengingat problem kesemrawutan Pasar Keputran sudah berlangsung bertahun-tahun dan desakan publik untuk menertibkannya juga sudah berulang-ulang terjadi. Namun, apatisme dan sinisme publik tersebut tidak menyurutkan langkah Pemkot Surabaya untuk mengembalikan Keputran pada fungsi semula.
Sebelum benar-benar ingin mengeksekusi Pasar Keputran, wacana relokasi terlebih dulu dilontarkan. Beragam reaksi bermunculan. Kalangan legislatif pun beragam menyikapinya. Ada yang positif mendukung dan ada pula yang malah mencurigai ada agenda terselubung di balik rencana untuk menertibkannya.
Mendekati saat-saat eksekusi, publik benar-benar diliputi kecemasan. Kecemasan itu muncul bukan saja dipicu oleh tradisi penertiban yang identik dengan praktik kekerasan yang acap berujung pada jatuhnya korban, tetapi juga karena di berbagai media baik cetak maupun elektronik menyuguhkan bentrok kekerasan antara warga dengan Satpol PP DKI Jakarta yang ingin menertibkan kawasan di Makam Mbah Priok.
Kekerasan berdarah tersebut seolah mengingatkan bahwa kebijakan penertiban menjadi ajang praktik kekerasan kepada warga. Aparat kepolisian dan Satpol PP seolah menjadi aktor utamanya. Tragedi makam Mbak Priok seolah menjadi penegas bahwa dalam setiap kegiatan penertiban selalu identik dengan ajang kekerasan terhadap warga, sehingga layak untuk dilawan.
Fakta tersebut disadari atau tidak telah ikut ‘memprovokasi’ untuk melawan apa saja yang berbau penertiban, termasuk pedagang di Keputran. Terbukti begitu mendengar bahwa Pemkot Surabaya akan menertibkan keberadaan mereka, para pedagang mengonsolidasi diri dan bersiap-siap seolah akan memasuki medan perang melawan siapa saja yang ingin mengusik kenyamanan mereka berdagang. Bagi mereka tampaknya berlaku kamus tak peduli siapa yang salah dan benar, pokoknya penertiban harus dilawan. Dan tanda-tanda akan terjadi perang demikian terasa.
Di hari yang ditetapkan untuk eksekusi, kita disuguhi saat-saat mendebarkan ketika para PKL dan pedagang Keputran sudah siaga dengan beragam senjata di genggaman berdiri membentuk barisan siap menghadang dan melawan penertiban.
Ketika eksekusi ditunda, ada yang berpikir bahwa Pemkot Surabaya memilih kalah. Namun, ternyata tidak. Pemkot dengan dibantu Polwil Surabaya dan Satpol PP memilih strategi lain yakni melakukan blokade ke semua akses menuju Pasar Keputran. Semua pedagang dilarang berjualan. Akibat aktivitas pedagang pun berhenti. Selain itu, perlahan para aparat kepolisian secara persuasif mendekati para pedagang dan memberi tekanan-tekanan secara psikologis. Perlahan-lahan akhirnya Keputran ditaklukkan.
Memetik Pesan
Tidak berlebihan kiranya bila penertiban Pasar Keputran adalah sebuah kisah sukses (success story) yang patut menjadi pilihan sebagai cara baru dalam melakukan penertiban. Meski penertiban tersebut belum tuntas benar, terbukti para pedagang tidak sepenuhnya rela pindah ke tempat yang telah disediakan seperti Pasar Induk Osowilangun atau Pasar Induk Agrobisnis dan ada yang bertahan di setren kali, namun keberhasilan membebaskan lahan publik di Pasar Keputran patutlah diapresiasi secara positif.
Ini pelajaran menarik. Pertama, agenda pembangunan yang berwajahkan penertiban sesungguhnya tidak harus berujung pada kekerasan dan jatuhnya korban. Budaya tersebut harus ditiadakan dalam praktik kehidupan yang akan mengedepankan aspek partisipasi publik. Artinya, publik bisa mengambil peran positif. Bila kesadaran ini terus-menerus disampaikan maka budaya tertib akan menjadi salah satu gaya hidup di kota tercinta ini. Membiarkan pelanggaran sekecil apa pun tentu akan jadi preseden bagi pelanggaran yang lebih besar.
Kedua, bahwa keberhasilan membersihkan Keputran dan mengembalikan ruas jalan ke fungsi semula menunjukkan bahwa pemkot bisa melakukan dan menertibkan ‘ketidakteraturan’ yang selama ini nyaris tak tersentuh. Keberhasilan tersebut harus jadi modal penting untuk melakukan penertiban-penertiban lainnya. Artinya, Pemkot tidak perlu ragu-ragu untuk menegakkan aturan demi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Keberhasilan tersebut juga diharapkan dapat menginspirasi semua kalangan bahwa budaya tertib dan taat aturan lebih akan memberikan kenyamanan dalam berusaha.
Hal ini perlu ditegaskan, mengingatkan Pemkot Surabaya meski punya keberanian untuk menertibkan, namun acap tidak disertai konsistensi dalam menegakkan aturan. Pengalaman dalam penertiban Pasar Gembong bisa jadi pembandingnya. Ternyata Pemkot relatif tidak peduli ketika secara perlahan-lahan para pedagang barang bekas tersebut mulai menempati lahan itu lagi. Kondisi itu bila tidak segera disikapi, maka bukan tidak mungkin pemkot akan butuh energi dan ongkos yang lebih mahal lagi untuk menertibkan.
Maka pertanyaan serupa tentu juga layak diajukan pada proyek penertiban Pasar Keputran yakni apakah kebijakan untuk mengembalikan fungsi jalan adalah kebijakan yang memang ‘tulus’ untuk kepentingan publik ataukah sekadar proyek yang ujung-ujungnya mengarah pada keinginan untuk meraup sejumlah rupiah.(Dimuat di Harian SUrya 19 Mei 2010, Ditulis Wahyu Kuncoro SNPeneliti Public Sphere Center (Puspec) - Surabaya)

Mengurai Kesemrawutan DPT PIlwali Surabaya

TINGGAL tiga pekan lagi, Pemilihan Wa­li Kota-Wakil Wali Kota (Pilwali) Surabaya 2009 akan segera digelar. Sayang, bukan kabar menggembirakan yang diharapkan bisa memantik rasa optimisme dan gai­rah untuk menyambutnya. Namun, kabar mencemaskan yang justru kita dapat. Selain belum optimalnya fungsi-fungsi pengawasan, ada temuan kasus-kasus baru yang boleh jadi menambah keraguan kita bahwa pilwali yang akan dihelat pada 2 Juni 2010 tersebut akan berlangsung secara fair. Salah satu masalah pelik yang kini membutuhkan penyelesaian serius adalah temuan adanya daftar pemilih tetap (DPT) berma­salah di beberapa kecamatan di Surabaya. Menurut tim sukses pasangan Risma-Bambang D.H., di beberapa kecamatan pihaknya menemukan nama-nama "aneh" yang masuk DPT. Disebut aneh karena nama itu ternyata merujuk pada orang yang sudah meninggal atau anak-anak yang masih di bawah umur, yang notabene tidak masuk dalam DPT. Bahkan, dari hasil verifikasi Panwas Ko­ta Surabaya, ditemukan selisih 702 pemilih. Berdasar hasil pengawasan panwas ter­ha­dap validasi DPT di 163 panitia pemungut­an suara (PPS), ada selisih 702 pemilih. Berdasar rekap DPT versi panwas, ada 2.143.403 pemilih. Sementara itu, DPT ver­si KPU yang ditetapkan PPS pada 18 April lalu memastikan ada 2.144.105 pemilih. Artinya, jumlah pemilih dalam DPT versi panwas lebih sedikit jika dibandingkan de­ngan versi KPU (Jawa Pos, 11/5).Persoalan tersebut tak urung menimbulkan kecemasan dan pesimisme bahwa pilwali nanti bisa menjadi ajang pesta demokrasi yang benar-benar demokratis. Bahkan, bisa jadi realitas itu akan menyuburkan kecuriga­an bahwa pilwali yang akan digelar nanti hanya akal-akalan segelintir orang yang memiliki modal besar sehingga bisa merekayasa hasilnya. Kecemasan tersebut tentu saja beralasan. Sebab, bila angka DPT yang bermasalah itu signifikan, jelas legitimasi hasilnya nanti akan terpengaruh. Dan, penga­laman dalam pilgub Jatim kemarin juga mengajarkan kepada kita bahwa pro­sesi pemilu lokal bisa "diutak-atik" untuk bisa memenangkan calon tertentu. Baik dimulai saat penyusunan DPT, tahap pemilihan, hing­ga tahap penghitungan hasilnya.Karena itu, semua pihak, khususnya KPU Kota Surabaya berikut aparat di bawahnya, yakni panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan PPS di tingkat kelurahan, seharusnya lebih mem­buka diri terhadap data DPT yang mereka punya. Sebab, kalau masih ada pihak-pihak yang mencoba menutup-nutupi masalah tersebut, akan muncul bumerang. Biarkan semua pihak bisa mengakses DPT sehingga nanti dapat dilakukan koreksi atau setidaknya bisa diantisipasi melalui langkah-langkah yang bisa disepakati bersama. Menutup diri dan mengklaim bahwa DPT "baik-baik saja" tentu sudah bukan zamannya lagi.Problem DPT memang menjadi masalah yang pelik dan cenderung bersifat laten dalam setiap penyelenggaraan pemilu, sebagai­mana yang terjadi saat pilpres maupun pileg lalu. Artinya, hampir dalam setiap pe­nye­lenggaraan pemilu dan pilkada, dari waktu ke waktu selalu hadir masalah, khususnya dalam penyusunan DPT. Persoalan tersebut akan menjadi problem serius atau setidaknya akan jadi bahan yang berpotensi "bermasalah" ketika hasil pemilu menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan. Namun, masalah DPT akan dianggap angin lalu bila perbedaan hasil pemilu terlalu jauh. Artinya, DPT akan jadi masalah panjang bila selisihnya bisa memengaruhi hasil. Harus diakui, munculnya masalah dalam penyusunan DPT mencerminkan betapa buruknya sistem administrasi kependudukan kita. Logikanya, kalau dalam pembuatan KTP saja bisa muncul ganda, bukan hal aneh bila dalam penyusunan DPT pun hal yang sama bisa terjadi. Sebab, dalam penyusunan DPT, memang modal dasarnya adalah data kependudukan yang notabene juga "bermasalah" validitasnya. Terlepas dari masih buruknya sistem administrasi kependudukan kita, munculnya kekacauan DPT tersebut juga mengindikasikan masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam penyusunan DPT. Satu-satunya harapan agar DPT tidak ber­ma­salah adalah KPU -melalui petugas di kecamatan dan kelurahan- secara sungguh-sunguh memverifikasi DPT itu. Sayang, harapan tersebut rasanya juga terlalu berlebihan bila disematkan dalam pundak KPU dan jajarannya. Ketidakjelasan anggaran bagi PPK dan PPS yang sempat terjadi bisa jadi ikut memengaruhi kesungguhan mereka untuk bekerja. Tentu saja masalah anggaran tidak bisa dijadikan dalih untuk menghindar dari tanggung jawab tersebut. Artinya, kasus DPT bermasalah menunjukkan bahwa kinerja KPU dan aparat di bawahnya tidak optimal. Mereka ten­tu tidak boleh berkilah bahwa tidak ada warga yang memprotes sebelumnya. Sebab, bagaimanapun mereka memiliki tugas untuk memverifikasi data yang berasal dari dinas kependudukan tersebut. Ruwetnya DPT ber­arti sama dengan verifikasi yang dilakukan KPU beserta jajarannya tidak maksimal. Se­mentara verifikasi data menjadi ranah KPU. Dalam konteks ini, KPU tidak patut lepas tangan dalam menyikapinya.Hemat penulis, catatan terpentingnya ialah bukan mencari siapa yang paling bertanggung jawab dalam masalah DPT tersebut, tetapi tugas lebih penting lagi adalah bagaimana menyikapi DPT bermasalah itu. Ini penting untuk dilakukan agar kita tidak berlarut-larut dalam berdebat tentang siapa yang salah dan harus bertanggung jawab. Selain itu, kesigapan dalam mengurai masalah DPT tersebut diperlukan agar jangan sampai masalah DPT ini menjadi konsumsi politik untuk menyerang atau membangun citra politik pasangan tertentu. Sebab, kalau itu yang terjadi, bukan tidak mungkin masalah tersebut hanya akan ramai dalam wacana tanpa ada penyelesaian yang tuntas.Tidak banyak pilihan ideal yang bisa diambil dalam menyikapi masalah DPT. Mem­verifikasi ulang dan membuat DPT baru, misalnya, jelas tidak mungkin karena berarti juga akan menunda tahap pilwali yang telah ditetapkan. Satu-satunya langkah ia­lah membuat kompromi semua pihak dengan tetap merujuk pada keputusan formal yang telah dibuat. Misalnya, KPU mem­­beri tanda nama mana yang bermasalah dalam DPT sehingga tidak boleh meng­gu­nakan hak pilihnya dalam pilwali nanti. Selain itu, bagi yang belum masuk DPT, mereka boleh menggunakan hak pilihnya, asal bisa menunjukkan identitas diri yang sah sesuai dengan domisilinya. Namun, ini tentu harus dikonsultasikan bersama agar tidak menyalahi hukum formal yang ada. Arti­nya, diperlukan kesepakatan-kesepakat­an bahwa penyelesaian yang diambil adalah bersifat darurat sehingga tidak sampai membuyarkan tahap yang telah disusunnya.Di atas itu semua, munculnya temuan DPT bermasalah tersebut haruslah disyukuri. Sebab, itu berarti kita telah menemukan salah satu potensi yang bisa saja akan jadi masalah saat penetapan hasil nanti. Kita berharap kasus tersebut segera diselesaikan agar nanti tidak menjadi pintu masuk bagi pihak-pihak yang tidak diuntungkan oleh hasil pilwali Surabaya mendatang. (Artikel ini dimuat di Jawa Pos edisi 12 Mei 2010. Penulis : Wahyu Kuncoro SN, adalah jurnalis, peneliti pada Public Sphere Center (Puspec) Surabaya

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...