Rabu, 26 Mei 2010

Mengurai Kesemrawutan DPT PIlwali Surabaya

TINGGAL tiga pekan lagi, Pemilihan Wa­li Kota-Wakil Wali Kota (Pilwali) Surabaya 2009 akan segera digelar. Sayang, bukan kabar menggembirakan yang diharapkan bisa memantik rasa optimisme dan gai­rah untuk menyambutnya. Namun, kabar mencemaskan yang justru kita dapat. Selain belum optimalnya fungsi-fungsi pengawasan, ada temuan kasus-kasus baru yang boleh jadi menambah keraguan kita bahwa pilwali yang akan dihelat pada 2 Juni 2010 tersebut akan berlangsung secara fair. Salah satu masalah pelik yang kini membutuhkan penyelesaian serius adalah temuan adanya daftar pemilih tetap (DPT) berma­salah di beberapa kecamatan di Surabaya. Menurut tim sukses pasangan Risma-Bambang D.H., di beberapa kecamatan pihaknya menemukan nama-nama "aneh" yang masuk DPT. Disebut aneh karena nama itu ternyata merujuk pada orang yang sudah meninggal atau anak-anak yang masih di bawah umur, yang notabene tidak masuk dalam DPT. Bahkan, dari hasil verifikasi Panwas Ko­ta Surabaya, ditemukan selisih 702 pemilih. Berdasar hasil pengawasan panwas ter­ha­dap validasi DPT di 163 panitia pemungut­an suara (PPS), ada selisih 702 pemilih. Berdasar rekap DPT versi panwas, ada 2.143.403 pemilih. Sementara itu, DPT ver­si KPU yang ditetapkan PPS pada 18 April lalu memastikan ada 2.144.105 pemilih. Artinya, jumlah pemilih dalam DPT versi panwas lebih sedikit jika dibandingkan de­ngan versi KPU (Jawa Pos, 11/5).Persoalan tersebut tak urung menimbulkan kecemasan dan pesimisme bahwa pilwali nanti bisa menjadi ajang pesta demokrasi yang benar-benar demokratis. Bahkan, bisa jadi realitas itu akan menyuburkan kecuriga­an bahwa pilwali yang akan digelar nanti hanya akal-akalan segelintir orang yang memiliki modal besar sehingga bisa merekayasa hasilnya. Kecemasan tersebut tentu saja beralasan. Sebab, bila angka DPT yang bermasalah itu signifikan, jelas legitimasi hasilnya nanti akan terpengaruh. Dan, penga­laman dalam pilgub Jatim kemarin juga mengajarkan kepada kita bahwa pro­sesi pemilu lokal bisa "diutak-atik" untuk bisa memenangkan calon tertentu. Baik dimulai saat penyusunan DPT, tahap pemilihan, hing­ga tahap penghitungan hasilnya.Karena itu, semua pihak, khususnya KPU Kota Surabaya berikut aparat di bawahnya, yakni panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan PPS di tingkat kelurahan, seharusnya lebih mem­buka diri terhadap data DPT yang mereka punya. Sebab, kalau masih ada pihak-pihak yang mencoba menutup-nutupi masalah tersebut, akan muncul bumerang. Biarkan semua pihak bisa mengakses DPT sehingga nanti dapat dilakukan koreksi atau setidaknya bisa diantisipasi melalui langkah-langkah yang bisa disepakati bersama. Menutup diri dan mengklaim bahwa DPT "baik-baik saja" tentu sudah bukan zamannya lagi.Problem DPT memang menjadi masalah yang pelik dan cenderung bersifat laten dalam setiap penyelenggaraan pemilu, sebagai­mana yang terjadi saat pilpres maupun pileg lalu. Artinya, hampir dalam setiap pe­nye­lenggaraan pemilu dan pilkada, dari waktu ke waktu selalu hadir masalah, khususnya dalam penyusunan DPT. Persoalan tersebut akan menjadi problem serius atau setidaknya akan jadi bahan yang berpotensi "bermasalah" ketika hasil pemilu menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan. Namun, masalah DPT akan dianggap angin lalu bila perbedaan hasil pemilu terlalu jauh. Artinya, DPT akan jadi masalah panjang bila selisihnya bisa memengaruhi hasil. Harus diakui, munculnya masalah dalam penyusunan DPT mencerminkan betapa buruknya sistem administrasi kependudukan kita. Logikanya, kalau dalam pembuatan KTP saja bisa muncul ganda, bukan hal aneh bila dalam penyusunan DPT pun hal yang sama bisa terjadi. Sebab, dalam penyusunan DPT, memang modal dasarnya adalah data kependudukan yang notabene juga "bermasalah" validitasnya. Terlepas dari masih buruknya sistem administrasi kependudukan kita, munculnya kekacauan DPT tersebut juga mengindikasikan masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam penyusunan DPT. Satu-satunya harapan agar DPT tidak ber­ma­salah adalah KPU -melalui petugas di kecamatan dan kelurahan- secara sungguh-sunguh memverifikasi DPT itu. Sayang, harapan tersebut rasanya juga terlalu berlebihan bila disematkan dalam pundak KPU dan jajarannya. Ketidakjelasan anggaran bagi PPK dan PPS yang sempat terjadi bisa jadi ikut memengaruhi kesungguhan mereka untuk bekerja. Tentu saja masalah anggaran tidak bisa dijadikan dalih untuk menghindar dari tanggung jawab tersebut. Artinya, kasus DPT bermasalah menunjukkan bahwa kinerja KPU dan aparat di bawahnya tidak optimal. Mereka ten­tu tidak boleh berkilah bahwa tidak ada warga yang memprotes sebelumnya. Sebab, bagaimanapun mereka memiliki tugas untuk memverifikasi data yang berasal dari dinas kependudukan tersebut. Ruwetnya DPT ber­arti sama dengan verifikasi yang dilakukan KPU beserta jajarannya tidak maksimal. Se­mentara verifikasi data menjadi ranah KPU. Dalam konteks ini, KPU tidak patut lepas tangan dalam menyikapinya.Hemat penulis, catatan terpentingnya ialah bukan mencari siapa yang paling bertanggung jawab dalam masalah DPT tersebut, tetapi tugas lebih penting lagi adalah bagaimana menyikapi DPT bermasalah itu. Ini penting untuk dilakukan agar kita tidak berlarut-larut dalam berdebat tentang siapa yang salah dan harus bertanggung jawab. Selain itu, kesigapan dalam mengurai masalah DPT tersebut diperlukan agar jangan sampai masalah DPT ini menjadi konsumsi politik untuk menyerang atau membangun citra politik pasangan tertentu. Sebab, kalau itu yang terjadi, bukan tidak mungkin masalah tersebut hanya akan ramai dalam wacana tanpa ada penyelesaian yang tuntas.Tidak banyak pilihan ideal yang bisa diambil dalam menyikapi masalah DPT. Mem­verifikasi ulang dan membuat DPT baru, misalnya, jelas tidak mungkin karena berarti juga akan menunda tahap pilwali yang telah ditetapkan. Satu-satunya langkah ia­lah membuat kompromi semua pihak dengan tetap merujuk pada keputusan formal yang telah dibuat. Misalnya, KPU mem­­beri tanda nama mana yang bermasalah dalam DPT sehingga tidak boleh meng­gu­nakan hak pilihnya dalam pilwali nanti. Selain itu, bagi yang belum masuk DPT, mereka boleh menggunakan hak pilihnya, asal bisa menunjukkan identitas diri yang sah sesuai dengan domisilinya. Namun, ini tentu harus dikonsultasikan bersama agar tidak menyalahi hukum formal yang ada. Arti­nya, diperlukan kesepakatan-kesepakat­an bahwa penyelesaian yang diambil adalah bersifat darurat sehingga tidak sampai membuyarkan tahap yang telah disusunnya.Di atas itu semua, munculnya temuan DPT bermasalah tersebut haruslah disyukuri. Sebab, itu berarti kita telah menemukan salah satu potensi yang bisa saja akan jadi masalah saat penetapan hasil nanti. Kita berharap kasus tersebut segera diselesaikan agar nanti tidak menjadi pintu masuk bagi pihak-pihak yang tidak diuntungkan oleh hasil pilwali Surabaya mendatang. (Artikel ini dimuat di Jawa Pos edisi 12 Mei 2010. Penulis : Wahyu Kuncoro SN, adalah jurnalis, peneliti pada Public Sphere Center (Puspec) Surabaya

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...