Tahun 2018 ini banyak
yang menyebutnya sebagai tahun politik. Selain karena ada Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) yang serentak diselenggarakan di 171 daerah yang terdiri dari 17 provinsi, 115 kabupaten,
dan 39 kota, tahun ini juga tahun
terakhir menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 tahun depan.
Kita tentu berharap
dalam tahun politik ini, tidak semua energi dihabiskan untuk ngurusi politik,
karena ajang Pilkada dan Pilpres sesungguhnya hanya bunga-bunga perjalanan
demokrasi sesaat. Bahwa yang justru harus diperhatikan karena lebih menentukan
dalam perjalanan bangsa ini ke depan adalah bagaimana pemerintah mampu
meyakinkan kepada pasar dan masyarakat bagaimana meraih target pertumbuhan
ekonomi 2018 sebesar 5,4% yang diwarnai sejumlah tantangan eksternal maupun
internal. Bagaimana pula komitmen pemerintah dalam menjadikan Indonesia sebagai
macan ekonomi Asia pada 2020 dengan laju ekonomi di atas 6%?
Pertanyaan berikutnya
adalah bagaimana keseriusan pemerintah menempatkan Indonesia sebagai Negara
Ekonomi Digital terbesar di Asia Tenggara pada 2020 dan menciptakan 1.000
technopreneurs baru pada 2020 dengan valuasi bisnis US$10 miliar? Jawabnya, tentu tak bisa tidak, tahun 2018 ini
adalah saat yang tepat untuk menyiapkan jalan agar target-target tersebut
terealisasi.
Indonesia tahun ini
sedang mengalami pertumbuhan ekonomi paling lambat dalam lima tahun terakhir.
Tetapi pertumbuhan industri e-commerce
justru semakin pesat di tengah perlambatan laju ekonomi tanah air. Bukan tak mungkin nantinya industri e-commerce dapat menjadi salah satu
tulang punggung perekonomian nasional. Terlebih, kebanyakan pelaku bisnis e-commerce di tanah air berskala kecil
dan menengah (UKM). Seperti yang kita ketahui, bisnis UKM menjadi usaha yang
paling tahan banting di saat krisis ekonomi sekalipun.
Peluang
Ekonomi Digital
Potensi industri
e-commerce di Indonesia memang tidak dapat dipandang sebelah mata. Dari data
analisis Ernst & Young, dapat dilihat pertumbuhan nilai penjualan bisnis
online di tanah air setiap tahun meningkat 40 persen. Ada sekitar 93,4 juta
pengguna internet dan 71 juta pengguna perangkat telepon pintar di Indonesia.
Tak hanya sekadar untuk mencari informasi dan chatting, masyarakat di kota-kota besar kini menjadikan internet
terlebih lagi e-commerce sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Perilaku
konsumtif dari puluhan juta orang kelas menengah di Indonesia menjadi alasan
mengapa e-commerce di Indonesia akan terus berkembang.
Berbicara mengenai
industri ini memang tidak semata membicarakan jual beli barang dan jasa via
internet. Tetapi ada industri lain yang terhubung di dalamnya. Seperti
penyediaan jasa layanan antar atau logistik, provider telekomunikasi, produsen
perangkat pintar, dan lain-lain. Hal inilah yang membuat industri e-commerce harus dikawal agar mampu
mendorong laju perekonomian nasional. Bisnis ini memiliki nilai bisnis yang
sangat besar, tetapi sayangnya sampai saat ini belum ada regulasi khusus yang secara
komprehensif bisa mengatur bisnis online ini. Lihat saja bagaimana gugup dan
gagapnya pemerintah kita menyikapinya tren layanan transportasi berbasis online
semacam Gojek, Grab, Uber dan sebagainya.
Oleh karena itu, Pemerintah bersama para pemangku kepentingan dari
kalangan asosiasi dan pelaku usaha e-commerce
bekerja bersama-sama dalam menyiapkan
ekosistem yang baik untuk mengembangkan industri e-commerce.
Proyeksi IMF terhadap
pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,7% pada 2018 mengindikasikan masih
memberikan kewaspadaan terhadap datangnya risiko. Proyeksi perekonomian global
tersebut memang sudah lebih positif dari yang diperkirakan karena saat ini
terjadi momentum pertumbuhan yang cukup kuat dari perbaikan kinerja investasi
dan perdagangan internasional. Namun, IMF juga mengingatkan adanya risiko yang
bisa mengganggu terjadinya pemulihan dan untuk itu setiap negara diharapkan
bisa membuat kebijakan yang bisa memperkuat fundamental, pada saat penguatan
ekonomi sedang terjadi. Untuk itu, IMF menyarankan negara-negara untuk
melakukan kebijakan dalam rangka memperkuat reformasi fiskal terkait dengan
penerimaan dan belanja, kebijakan moneter serta structural.
Pada saat bersamaan,
sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia, sedang menghadapi fenomena
disrupsi (disruption) dalam era
ekonomi digital, situasi di mana pergerakan ekonomi sejumlah negara tidak lagi
linear. Perubahannya sangat cepat dan fundamental, yang mengacak-acak pola
tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru. Disrupsi menginisiasi lahirnya
model bisnis baru dengan strategi lebih inovatif dan disruptif. Cakupan
perubahannya luas, mulai dari dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial
masyarakat, hingga pendidikan. Era ini akan menuntut Indonesia, salah satunya,
untuk berubah atau punah. Disrupsi hadir karena adanya inefisiensi.
Ketidakefisienan ini yang kemudian dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan
rintisan yang digagas anak muda. Generasi baru ini lahir untuk mendisrupsi
ketidakefisienan. Sayangnya, pemerintah belum cukup tanggap menghadapi
perubahan yang terjadi dan terkesan masih dalam tahap mencermati disrupsi yang
mulai menyebar ke berbagai sendi-sendi perekonomian.
Sejauh ini, pemerintah
memang menjanjikan akan memperbaiki birokrasi dan regulasi guna memacu
efisiensi dan produktivitas, tetapi tidak spesifik mengacu pada disrupsi yang
terjadi. Padahal, perbaikan juga diperlukan agar seluruh potensi inovasi dan
kreativitas yang muncul sejalan dengan booming
ekonomi digital bisa teraktualisasi dengan baik. Kebijakan terkait dengan
ekonomi digital yang terlalu ketat dikhawatirkan malah menghambat atau
menghilangkan inovasi. Sebaliknya, tanpa pengaturan yang memadai, pemerintah
bakal kehilangan sejumlah potensi penerimaan. Perkembangan ekonomi digital
berpotensi meningkat seiring dengan porsi struktur demografis Indonesia yang
kondusif terhadap penetrasi dan adaptasi teknologi.
Ekonomi
Digital Masuk Desa
Hadirnya Undang Undang
(UU) Nomor 6 tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa membuka sejarah baru
bagi Pemerintahan desa. Undang-Undang
ini menempatkan desa sebagai ujung
tombak pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Desa diberikan
kewenangan dan sumber dana yang memadai yang kemudian disebut sebagai dana desa
agar dapat mengelola potensi yang dimilikinya guna meningkatkan ekonomi dan
kesejahtaraan masyarakat. Sekadar catatan, mulai tahun 2015, pemerintah
mengalokasikan anggaran untuk dana desa sebesar Rp 20,8 triliun. Jumlah itu
naik menjadi Rp 46,9 triliun pada 2016, Rp 60 triliun pada 2017, dan tahun 2018
juga Rp60 Triliun.
Dana besar yang
berputar di desa tersebut tentu juga akan semakin bermakna ketika nyambung
dengan tren ekonomi digital yang sekarang sedang booming. Artinya, dana desa bisa dikelola dan diarahkan agar
masyarakat desa bisa ikut menjadi pemain penting dalam tumbuh kembangnya
ekonomi digital. Artinya, di era ekonomi digital hari ini, keuntungan bisnis
berbasis digital (e-commerce), harus
ikut dirasakan masyarakat perdesaan. Dengan cara itu, masyarakat perdesaan
memiliki peluang besar memperluas pemasaran produk pertanian atau kerajinan.
Dengan bisnis berbasis digital mereka dapat memasarkan berbagai hasil pertanian
dan potensi ekonomi perdesaan lainnya ke kota secara langsung.
Peluang untuk
menghidupkan ekonomi digital di perdesaan semakin menemukan momentumnya dengan akan
selesainya proyek Palapa Ring di tahun 2018 ini. Pemerintah melalui proyek Palapa
Ring akan membangun infrastruktur
jaringan tulang punggung serat optik nasional di daerah-daerah non-commercial
demi pemerataan akses pita lebar (broadband)
di Indonesia. Broadband adalah sebuah
istilah dalam internet untuk menggambarkan koneksi internet transmisi data
kecepatan tinggi. Selesainya proyek palapa ring ini akan jadi jalan bagi
pemerintah untuk memberikan akses kepada daerah-daerah yang terhalang
finansial. Harapan besarnya tentu,
selesainya proyek palapa ring ini akan kian memudahkan impian menjadikan
desa-desa di seluruh pelosok tanah air menjadi melek digital. Keberadaan desa melek
digital ini akan mendukung pemerataan gerakan ekonomi digital.
Ketika seluruh desa
sudah tersambung dan terlayani koneksi internet, maka Indonesia akan semakin
memiliki bekal luar biasa untuk menjadi
negara dengan industri e-commerce
terkemuka di masa depan. Selain memiliki sumber daya manusia yang tak kalah
bagus, pasar lokal juga menjadi potensi besar untuk mengembangkan e-commerce.
Dalam pengembangan e-commerce Indonesia harus belajar dari Cina.
Di Cina, e-commerce bukan lagi sebuah
fenomena yang secara eksklusif dinikmati oleh masyarakat kota. Masyarakat desa
juga mulai ikut dalam tren teknologi ini. Sejak tahun 2012, Alibaba Group
memanfaatkan platform e-commerce raksasa mereka, Taobao, sudah mulai masuk
desa. Program ini dilakukan untuk mentransformasi aktivitas ekonomi pedesaan
yang tadinya bergantung kepada peran distributor dan terbatas dalam hal
pemasaran menjadi lebih mudah dan cepat melalui fitur Taobao Marketplace.
Di platform ini, petani dan pemilik
Usaha Kecil Menengah (UKM) bisa langsung mendirikan toko online dan menjual
produk mereka baik itu hasil pertanian, kerajinan tangan, aksesoris ke
masyarakat kota. Untuk ambisi ini, Alibaba tak main-main. Alibaba telah
berkomitmen untuk berinvestasi sebesar 10 miliar yuan untuk mengembangkan e-commerce
di 1000 kota kecil dan 100.000 pedesaan, Kompas
(12/2).
Belajar dari Cina, ada dua strategi yang dilakukan untuk
memperluas adaptasi teknologi perdagangan digital dalam aktivitas ekonomi
masyarakat desa. Strategi pertama adalah Rural Taobao. Strategi ini fokus dalam
mendirikan pusat layanan (termasuk infrastruktur internet) dan mengidentifikasi
pengusaha muda kota yang dapat kembali ke desa untuk memulai bisnis e-commerce. Selain itu, mereka juga dipekerjakan sebagai
tenaga ahli yang mengajarkan masyarakat lokal untuk melakukan jual-beli melalui
e-commerce.
Strategi kedua adalah Taobao Village.
Berbeda dengan Rural Taobao yang dimulai oleh Alibaba, Alibaba Village
merupakan inisiatif mandiri masyarakat desa untuk menggunakan platform
e-commerce Taobao dalam menjual atau membeli berbagai produk.
Singkatnya, dengan memacu
pertumbuhan bisnis online, masyarakat Indonesia akan mendapatkan manfaat
positif dalam perekonomian seperti pertumbuhan kesejahteraan, pertumbuhan
lapangan kerja baru dan lain-lain. Dengan demikian Indonesia tidak lagi sekadar
menjadi target pasar bisnis internasional, tetapi sebaliknya dapat menjadi
pengusaha e-commerce yang mumpuni
hingga menjangkau pasar luar negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar