Pengantar
:
Esai
berjudul “Kewirausahaan, Nasionalisme Baru Generasi Zaman Now” karya Wahyu Kuncoro
SN ini merupakan naskah yang berhasil menjadi Juara 1 (Pertama) dalam lomba penulisan Esai Kebangsaan kategori
; Wartawan, yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) RI Mei 2018.
Menjadi seorang aparat
sipil negara (ASN) sungguh masih menjadi salah satu pilihan pekerjaan yang
paling diinginkan oleh para pemuda di negeri ini. Kenyataan ini mungkin
membanggakan di satu sisi dan juga menyedihkan di sisi yang lain. Disebut
membanggakan karena minat menjadi abdi negara yang cukup tinggi dari para
pemuda di negeri ini menandakan besarnya kecintaan terhadap bangsa dan negaranya
dengan berpartisipasi aktif dengan terjun menjadi korps birokrasi. Namun
sejatinya realitas tersebut juga cukup menyedihkan mengingat tidak akan mungkin
semua pencari kerja bisa di terima menjadi PNS mengingat terbatasnya kursi yang
ada. Artinya akan ada kebutuhan posisi pekerjaan lain yang harus tersedia untuk
menampung tenaga kerja yang nganggur karena tidak mendapatkan posisi di ASN.
Dalam kondisi seperti
itulah, maka kelahiran wira usaha diyakini akan menjadi solusi bagi negeri ini
dalam menghadapi berbagai persoalan seperti masalah kemiskinan dan
pengangguran. Hadirnya wirausaha utamanya
muda akan menunjang Indonesia menjadi negara maju, sekaligus mendorong
penciptaan lapangan kerja. Apalagi, jumlah pengangguran di Indonesia
cukup tinggi, terutama dari kalangan generasi muda. Dengan demikian, di tengah himpitan
persoalan berupa angka pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi, maka
pilihan menjadi wira usaha sesungguhnya merupakan cermin nasionalisme baru di zaman now ini.
Mengapa demikian? Tidak
lain karena menjadi wirausahawan sangat membantu negara dalam hal mengurangi
angka pengangguran dan menciptakan lapangan pekerjaan baru dan bahkan membuka
lapangan kerja bagi saudara saudara kita. Dengan demikian, menjadi seorang
wirausahawan, bukan saja akan membuat dirinya mandiri dan tidak menjadi beban
bagi masyarakat dan negara, tetapi pada sisi lain menjadi wirausahawan juga
berarti ikut serta mengatasi persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Sungguh bangsa ini sangat
membutuhkan para nasionalis sejati yang siap membangun negaranya. Nasionalis
sejati di era ini bukan hanya mereka yang siap memberikan jiwa dan raganya di
medan pertempuran atas nama negara namun sebutan itu juga pantas disematkan bagi
mereka yang sanggup memaknai dengan cerdas tujuan terpenting kemerdekaan yakni
mencapai tataran bangsa yang ideal yakni bangsa yang adil dan makmur. Tak salah
kiranya jika menyebut mereka yang mempunyai kontribusi meningkatkan kemakmuran
negeri ini sebagai nasionalis nasionalis modern era ini. Bangsa ini membutuhkan
lebih banyak generasi muda dengan mental wirausahawan yang positif dan kreatif.
Itu artinya harus ada kesadaran kolektif dari bangsa ini untuk mendorong
tumbuhnya kebijakan dan iklim entreprenerial bagi generasi muda negeri ini.
Salah satu negara yang
berhasil mendorong pertumbuhan ekonominya lewat wirausaha adalah China. Awalnya
wirausaha untuk menyelesaikan masalah pengangguran dan kemiskinan, ternyata
negeri tirai bambu ini memberikan ruang gerak lebih bebas pada wirausaha
untuk meningkatkan perekonomian. Hasilnya sangat luar biasa, bahkan saat ini
Cina menjadi kekuatan ekonomi baru di dunia. Selain pertumbuhan
ekonominya berkembang pesat, wirausaha juga telah membuat standar kehidupan Cina
lebih tinggi. Melihat keberhasilan China dan sejumlah negara lain dalam
mengembangkan kewirausahaan, tak salah jika Presiden Joko Widodo (Jokowi)
menyatakan Indonesia masih membutuhkan jutaan wirausaha baru untuk memiliki dua
hingga lima persen wirausaha dari seluruh populasi penduduk.
China telah membuktikan itu
dan ini seharusnya menjadi pembelajaran positif bagi generasi muda negeri ini
untuk tidak menganggap sepele dan mulai melihat pilihan menjadi wirausahawan
sebagai alternatif yang menjanjikan. Dan kita bisa melihat semangat itu mulai
tumbuh dengan semakin mewabahnya minat menjadi wirausaha di kalangan kaum
muda negeri ini. Mereka tak lelah terus mencoba melalui berbagai bidang usaha
dan tak memedulikan lagi rasa takut gagal. Hingga berujung pada semakin
banyaknya wirausahawan muda sukses yang sangat terkenal di negeri ini.
Gaya
Hidup Generasi Milenial
Disadari atau tidak telah
terjadi perubahan cara pandang masyarakat terhadap kewirausahaan (entrepreunership). Hari ini,
kewirausahaan tidak lagi dipahami sebagai pekerjaan kelas dua, karena dilakukan
akibat keterpaksaan atau ketidakmampuan
dalam berkompetisi di pasar tenaga kerja.
Kewirausahaan telah
menjelma menjadi lahan kerja yang menantang jiwa-jiwa kreatif anak muda. Kalau
dulu, umumnya orang akan memilih jalan menjadi wirausahawan atau mendirikan
usaha sendiri ketika sudah gagal atau tidak bisa bersaing ketika harus bekerja
di sektor formal. Tetapi hari ini,
banyak orang rela meninggalkan pekerjaan formal beralih menjadi seorang
wirausaha demi bisa memerdekakan jiwa kreatifnya.
Siapa
tidak kenal Gibran
Rakabuming dan Kaesang Pangarep?. Dua nama yang tidak asing di telinga kita ini tidak lain adalah
anak Presiden Joko Widodo. Diluar sebagai anak Presiden, kedua sosok muda ini
juga dikenal sebagai wirausahawan muda yang hebat di tanah air. Banyak bisnis yang mereka jalankan dan
menginspirasi banyak orang. Misalnya bisnis kuliner Gibran Rakabuming Martabak Kota Barat (Markobar) yang kini
booming di berbagai kota. Markobar ini pertama kali berdiri sejak
tahun 1996 menarik perhatian karena menawarkan 8 rasa sebagai topping.
Sementara Kaesang Pangarep dikenal sebagai seorang Youtuber, salah
satu pekerjaan populer ini memang lagi digandrungi anak muda saat ini.
Bermodal
kamera yang bagus dan kreativitas, kamu bisa menciptakan vlogmu sendiri. Kedua
sosok muda di atas setidaknya menunjukkan, betapa menjadi wirausahawan bukan
lagi sektor usaha pinggiran yang hanya dilakukan oleh mereka yang
terpinggirkan. Banyak lagi wirausahawan-wirausahawan yang muncul justru berasal
dari mereka yang sebelumnya sudah bekerja pada sektor ekonomi yang mapan.
Berkaca
dari itu, maka kian bergairahnya dunia wirausaha di tanah air saat ini bisa menjadi momentum untuk menjadikan hidup
berwirausaha sebagai gaya hidup generasi milenial. Yakni sebuah gaya hidup baru
yang menyandarkan pada aspek kemandirian yang bertumpu ada kreativitas dan
inovasi. Inilah yang harus terus dikampanyekan dan disosialisakan ke tengah
publik untuk menyemaikan kesadaran tentang betapa pentingnya membangun etos
kewirausahaan sejak dini ke masyarakat. Sungguh alangkah manisnya, kalau media
kita baik media mainstream maupun media sosial beramai-meramaikan menyajikan
berita dan informasi yang menginspirasi dari putra putri negeri yang berhasil
dalam ber-wirausaha. Publik sungguh lelah kalau media terus menerus dipenuhi
oleh drama berita-berita politik yang acap hanya berisi ujaran-ujaran kebencian
yang jauh dari edukasi dan inspirasi bagi anak negeri ini. Kita sungguh sangat
rindu, suatu saat anak-anak muda kita akan berlomba-lomba menjadi seorang
wirausaha.
Selanjutnya
Bagaimana?
Menyimak paparan di atas,
maka pemerintah perlu pula membuat kebijakan yang mampu mendorong generasi muda
menjadi generasi mandiri. Pemuda yang bisa menciptakan lapangan kerja. Tidak
lagi mengejar pekerjaan di kantor atau menjadi pegawai pemerintah. Perguruan
tinggi harus berupaya untuk mengembangkan semangat dan keterampilan
kewirausahaan di kalangan mahasiswa.
Kita meyakini banyak
anak-anak muda yang berminat berwirausaha, namun mereka tidak berani
melakukannya karena tidak ada yang membimbing, memotivasi, atau ketiadaan modal
usaha. Harapan kita tentunya, mencari solusi dari semua persaolan-persoalan
ini. Sehingga ke depannya, semakin banyak tampil anak-anak muda yang menjadi
wiraswastawan. Tentu untuk memperbanyak jumlah wirausaha bukan hanya tugas
pemerintah, juga peran stakeholder, dan masyarakat. Mari bersama-sama
menciptakan anak-anak muda cerdas, kreatif, dan mampu menciptakan lapangan
kerja dengan menjadi wirausaha. Kita bangga, sebagian besar anak-anak muda kita
tampil menjadi pengusaha-pengusaha muda yang sukses di negerinya dan di tingkat
global.
Jumlah pengusaha di
Indonesia masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pengusaha di
negara lain di ASEAN yang rata-rata sudah mencapai empat persen dari total
populasi. Jumlah wirausaha di Indonesia baru sekitar 1,6 persen dari jumlah
penduduk, belum sebanyak Singapura (tujuh persen), Malaysia (enam persen),
Thailand (lima persen), dan Vietnam tiga persen. Sementara Indeks daya saing
global di 10 negara ASEAN tertinggi masih Singapura dengan 5,68 persen,
kemudian Malaysia 5,23 persen, kemudian Thailand 4,64 persen, baru kemudian
Indonesia 4,52 persen. Itu artinya, masih banyak yang harus diperbaiki untuk
meningkatkan daya saing global Indonesia.
Kebijakan ekonomi yang diluncurkan
harus untuk mendorong pertumbuhan wirausaha, bukan mematikannya. Proses
perizinan yang sulit dan berbelit-belit harus dihilangkan. Pokoknya, kita
benar-benar memberi kebebasan bagi berkembangnya kewirusahaan. Tak hanya itu,
genarasi muda mulai dari pelajar hingga mahasiswa harus sudah diajarkan tentang
cara-cara berwirausaha. Pendidikan tinggi juga harus fokus mendidik anak
didiknya yang dibutuhkan pasar kerja, dan mendorong anak didiknya untuk
menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Kebiasaan mengharapkan menjadi pegawai
negeri sipil atau BUMN harus ditinggalkan.
Pertanyaannya kemudian,
mampukah pendidikan tinggi membangun kerja sama baik antara pemerintah, swasta,
dan komunitas untuk menyiapkan ekosistem yang mendukung? Indra Utoyo (2016)
melalui bukunya Silicon Valley Mindset yang menceritakan pembangunan
ekosistem wirausaha digital Indonesia. Silicon Valley memanfaatkan inovasi
dalam bidang sains, teknologi, dan matematika serta kerja sama triple-helix yang
kuat. Disebutkan pula tentang London yang berfokus pada niche gaya hidup
(lifestyle) dan memanfaatkan posisinya sebagai hub di
Eropa. Israel mengembangkan wirausaha digital di bidang militer dengan
anggaran R&D yang besar dan kekuatan paten. Bangalore berfokus pada
jasa alih daya (outsourcing) memberdayakan tenaga kerja berbahasa
Inggris yang murah. Skolkovo dan Beijing sama-sama mengandalkan dana pemerintah
dan fokus pada industri serta militer. Hong Kong fokus pada teknologi mobile
phone dan software development.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kajian Mandiri Institute dengan DEQPI Fakultas Ekonomika dan Bisnis,
Universitas Gadjah Mada, merekomendasi peran perguruan tinggi sebaiknya pada
tahap wirausaha latent harus sudah memasukkan mata kuliah berbasis kewirausahaan
sedini mungkin. Pada tahap nascent, melatih team work melalui
kurikulum dan perencanaan bisnis (business plan). Pada tahap wirausaha new,
memberikan kurikulum mata kuliah kewirausahaan yang menekankan skill
pengelolaan keuangan maupun pengetahuan investasi. Terakhir, pada tahap established
lebih menekankan desain sertifikasi coach dan mentor dan melatih
para wirausahaan muda untuk mampu menjadi wirausahawan yang andal.
Menciptakan
Ekosistem Kondusif
Visi ekonomi digital 2020
sesuatu yang tidak mustahil. Akan tetapi, diperlukan kerja keras dan komitmen
para pemangku kepentingan yang kuat untuk membangun suatu ekosistem pendorong
tumbuhnya wirausaha-wirausaha digital baru. Fakultas ilmu matematika,
psikologi, dan komputer sudah harus bekerja sama dengan sekolah ekonomi dan
bisnis dalam mengembangkan kurikulum berbasis teknologi informasi. Maka,
perguruan tinggi menjadi garda depan yang harus mampu mengakselerasi
perubahan.
Pada era persaingan ekonomi
global, industri berbasis tekonologi informasi digital telah mengubah model,
strategi, dan penciptaan nilai bisnis barunya. Dari sisi pengembangan SDM,
pendidikan tinggi memegang peranan penting dalam mendorong pertumbuhan dan
inovasi wirausaha ekonomi digital. Namun, pendidikan tinggi saat ini juga
menghadapi tantangan tak bisa dipandang sebelah mata. Untuk itu, yang
penting dilakukan memperbaiki kurikulum dengan lebih mendekatkan diri pada
muatan teknologi informasi dan inovasi.
Implikasinya, mahasiswa
perlu diajarkan cara kerja teknologi digital dan masalah yang mampu ditangani.
Hanya mengajari mahasiswa pemprograman (coding) akan membuat perguruan
tinggi tak beda dengan lembaga kursus keterampilan. Namun, lebih dari itu,
mahasiswa perlu diajarkan logika berpikir (computational thinking) yang
komprehensif, termasuk cara melakukan pemodelan, menganalisis data, dan
mengekstrak informasi. Selain itu, terkait sistem yang kompleks dan mempertajam
sense of business dengan praktik langsung berwirausaha.
Tantangan besar lain,
datang dari mahasiswa. Mereka yang kini duduk di perguruan tinggi dapat
dipastikan lahir di era digital (digital native). Masalah muncul karena
di sisi lain pengelola dan pendidik lahir di era industrial (digital
immigrant). Perbedaan latar belakang ini membuat gap yang cukup
besar dalam proses belajar mengajar. Contoh mahasiswa sekarang menyukai
metode belajar yang interaktif dan dengan multimedia. Sebaliknya, para pengajar
berdalih mata kuliah tidak bisa diajarkan dengan metode digital. Para pengajar
lebih menyukai diskusi tatap muka. Sementara mahasiswa lebih memilih pola
komunikasi menggunakan suat elektronik atau grup jejaring sosial.
Sementara itu, tantangan
besar berikutnya peran pendidikan tinggi harus optimal dalam membangun
ekosistem. Para pelaku di dalam ekosistem tersebut pemerintah, akademisi,
komunitas ekonomi digital, dan lembaga keuangan swasta. Ekosistem memegang
peranan penting dalam menyapih dan membesarkan wirausaha-wirausaha digital
baru. Bangsa ini sedang membutuhkan wirausaha digital baru seperti Google yang
besar, menguntungkan, menyerap banyak tenaga kerja, serta meluncurkan inovasi
baru.
Wallahualam bhis-shawwab
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar