Senin, 04 Juni 2018

Kewirausahaan, Nasionalisme Baru Generasi Zaman Now


Pengantar :
Esai berjudul “Kewirausahaan, Nasionalisme Baru Generasi Zaman Now” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhasil menjadi Juara 1 (Pertama)  dalam lomba penulisan Esai Kebangsaan kategori ; Wartawan, yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Mei 2018.

Menjadi seorang aparat sipil negara (ASN) sungguh masih menjadi salah satu pilihan pekerjaan yang paling diinginkan oleh para pemuda di negeri ini. Kenyataan ini mungkin membanggakan di satu sisi dan juga menyedihkan di sisi yang lain. Disebut membanggakan karena minat menjadi abdi negara yang cukup tinggi dari para pemuda di negeri ini menandakan besarnya kecintaan terhadap bangsa dan negaranya dengan berpartisipasi aktif dengan terjun menjadi korps birokrasi. Namun sejatinya realitas tersebut juga cukup menyedihkan mengingat tidak akan mungkin semua pencari kerja bisa di terima menjadi PNS mengingat terbatasnya kursi yang ada. Artinya akan ada kebutuhan posisi pekerjaan lain yang harus tersedia untuk menampung tenaga kerja yang nganggur karena tidak mendapatkan posisi di ASN.
Dalam kondisi seperti itulah, maka kelahiran wira usaha diyakini akan menjadi solusi bagi negeri ini dalam menghadapi berbagai persoalan seperti masalah kemiskinan dan pengangguran. Hadirnya wirausaha utamanya  muda akan menunjang Indonesia menjadi negara maju, sekaligus mendorong penciptaan lapangan kerja.  Apalagi, jumlah pengangguran di Indonesia cukup tinggi, terutama dari kalangan generasi muda. Dengan demikian, di tengah himpitan persoalan berupa angka pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi, maka pilihan menjadi wira usaha sesungguhnya merupakan cermin nasionalisme baru di zaman now ini.
Mengapa demikian? Tidak lain karena menjadi wirausahawan sangat membantu negara dalam hal mengurangi angka pengangguran dan menciptakan lapangan pekerjaan baru dan bahkan membuka lapangan kerja bagi saudara saudara kita. Dengan demikian, menjadi seorang wirausahawan, bukan saja akan membuat dirinya mandiri dan tidak menjadi beban bagi masyarakat dan negara, tetapi pada sisi lain menjadi wirausahawan juga berarti ikut serta mengatasi persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Sungguh bangsa ini sangat membutuhkan para nasionalis sejati yang siap membangun negaranya. Nasionalis sejati di era ini bukan hanya mereka yang siap memberikan jiwa dan raganya di medan pertempuran atas nama negara namun sebutan itu juga pantas disematkan bagi mereka yang sanggup memaknai dengan cerdas tujuan terpenting kemerdekaan yakni mencapai tataran bangsa yang ideal yakni bangsa yang adil dan makmur. Tak salah kiranya jika menyebut mereka yang mempunyai kontribusi meningkatkan kemakmuran negeri ini sebagai nasionalis nasionalis modern era ini. Bangsa ini membutuhkan lebih banyak generasi muda dengan mental wirausahawan yang positif dan kreatif. Itu artinya harus ada kesadaran kolektif dari bangsa ini untuk mendorong tumbuhnya kebijakan dan iklim entreprenerial bagi generasi muda negeri ini.
Salah satu negara yang berhasil mendorong pertumbuhan ekonominya lewat wirausaha adalah China. Awalnya wirausaha untuk menyelesaikan masalah pengangguran dan kemiskinan, ternyata negeri tirai bambu ini memberikan  ruang gerak lebih bebas pada wirausaha untuk meningkatkan perekonomian. Hasilnya sangat luar biasa, bahkan saat ini Cina menjadi kekuatan ekonomi baru di dunia.  Selain pertumbuhan ekonominya berkembang pesat, wirausaha juga telah membuat standar kehidupan Cina lebih tinggi. Melihat keberhasilan China dan sejumlah negara lain dalam mengembangkan kewirausahaan, tak salah jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan Indonesia masih membutuhkan jutaan wirausaha baru untuk memiliki dua hingga lima persen wirausaha dari seluruh populasi penduduk.
China telah membuktikan itu dan ini seharusnya menjadi pembelajaran positif bagi generasi muda negeri ini untuk tidak menganggap sepele dan mulai melihat pilihan menjadi wirausahawan sebagai alternatif yang menjanjikan. Dan kita bisa melihat semangat itu mulai tumbuh dengan semakin mewabahnya minat menjadi wirausaha  di kalangan kaum muda negeri ini. Mereka tak lelah terus mencoba melalui berbagai bidang usaha dan tak memedulikan lagi rasa takut gagal. Hingga berujung pada semakin banyaknya wirausahawan muda sukses yang sangat terkenal di negeri ini.

Gaya Hidup Generasi Milenial
Disadari atau tidak telah terjadi perubahan cara pandang masyarakat terhadap kewirausahaan (entrepreunership). Hari ini, kewirausahaan tidak lagi dipahami sebagai pekerjaan kelas dua, karena dilakukan akibat keterpaksaan atau ketidakmampuan  dalam berkompetisi di pasar tenaga kerja.
Kewirausahaan telah menjelma menjadi lahan kerja yang menantang jiwa-jiwa kreatif anak muda. Kalau dulu, umumnya orang akan memilih jalan menjadi wirausahawan atau mendirikan usaha sendiri ketika sudah gagal atau tidak bisa bersaing ketika harus bekerja di sektor formal. Tetapi hari  ini, banyak orang rela meninggalkan pekerjaan formal beralih menjadi seorang wirausaha demi bisa memerdekakan jiwa kreatifnya. 
Siapa tidak kenal  Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep?. Dua nama yang tidak  asing di telinga kita ini tidak lain adalah anak Presiden Joko Widodo. Diluar sebagai anak Presiden, kedua sosok muda ini juga dikenal sebagai wirausahawan muda yang hebat di tanah air.  Banyak bisnis yang mereka jalankan dan menginspirasi banyak orang. Misalnya bisnis kuliner Gibran Rakabuming Martabak Kota Barat (Markobar) yang kini booming di berbagai kota. Markobar ini pertama kali berdiri sejak tahun 1996 menarik perhatian karena menawarkan 8 rasa sebagai topping. Sementara Kaesang Pangarep dikenal sebagai seorang Youtuber, salah satu pekerjaan populer ini memang lagi digandrungi anak muda saat ini.
Bermodal kamera yang bagus dan kreativitas, kamu bisa menciptakan vlogmu sendiri. Kedua sosok muda di atas setidaknya menunjukkan, betapa menjadi wirausahawan bukan lagi sektor usaha pinggiran yang hanya dilakukan oleh mereka yang terpinggirkan. Banyak lagi wirausahawan-wirausahawan yang muncul justru berasal dari mereka yang sebelumnya sudah bekerja pada sektor ekonomi yang mapan.
Berkaca dari itu, maka kian bergairahnya dunia wirausaha di tanah air saat ini bisa  menjadi momentum untuk menjadikan hidup berwirausaha sebagai gaya hidup generasi milenial. Yakni sebuah gaya hidup baru yang menyandarkan pada aspek kemandirian yang bertumpu ada kreativitas dan inovasi. Inilah yang harus terus dikampanyekan dan disosialisakan ke tengah publik untuk menyemaikan kesadaran tentang betapa pentingnya membangun etos kewirausahaan sejak dini ke masyarakat. Sungguh alangkah manisnya, kalau media kita baik media mainstream maupun media sosial beramai-meramaikan menyajikan berita dan informasi yang menginspirasi dari putra putri negeri yang berhasil dalam ber-wirausaha. Publik sungguh lelah kalau media terus menerus dipenuhi oleh drama berita-berita politik yang acap hanya berisi ujaran-ujaran kebencian yang jauh dari edukasi dan inspirasi bagi anak negeri ini. Kita sungguh sangat rindu, suatu saat anak-anak muda kita akan berlomba-lomba menjadi seorang wirausaha.

Selanjutnya Bagaimana?
Menyimak paparan di atas, maka pemerintah perlu pula membuat kebijakan yang mampu mendorong generasi muda menjadi generasi mandiri. Pemuda yang bisa menciptakan lapangan kerja. Tidak lagi mengejar pekerjaan di kantor atau menjadi pegawai pemerintah. Perguruan tinggi harus berupaya untuk mengembangkan semangat dan keterampilan kewirausahaan di kalangan mahasiswa.
Kita meyakini banyak anak-anak muda yang berminat berwirausaha, namun mereka tidak berani melakukannya karena tidak ada yang membimbing, memotivasi, atau ketiadaan modal usaha. Harapan kita tentunya, mencari solusi dari semua persaolan-persoalan ini. Sehingga ke depannya, semakin banyak tampil anak-anak muda yang menjadi wiraswastawan. Tentu untuk memperbanyak jumlah wirausaha bukan hanya tugas pemerintah, juga peran stakeholder, dan masyarakat. Mari bersama-sama menciptakan anak-anak muda cerdas, kreatif, dan mampu menciptakan lapangan kerja dengan menjadi wirausaha. Kita bangga, sebagian besar anak-anak muda kita tampil menjadi pengusaha-pengusaha muda yang sukses di negerinya dan di tingkat global.
Jumlah pengusaha di Indonesia masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pengusaha di negara lain di ASEAN yang rata-rata sudah mencapai empat persen dari total populasi. Jumlah wirausaha di Indonesia baru sekitar 1,6 persen dari jumlah penduduk, belum sebanyak Singapura (tujuh persen), Malaysia (enam persen), Thailand (lima persen), dan Vietnam tiga persen. Sementara Indeks daya saing global di 10 negara ASEAN tertinggi masih Singapura dengan 5,68 persen, kemudian Malaysia 5,23 persen, kemudian Thailand 4,64 persen, baru kemudian Indonesia 4,52 persen. Itu artinya, masih banyak yang harus diperbaiki untuk meningkatkan daya saing global Indonesia.
Kebijakan ekonomi yang diluncurkan harus untuk mendorong pertumbuhan wirausaha, bukan mematikannya. Proses perizinan yang sulit dan berbelit-belit harus dihilangkan. Pokoknya, kita benar-benar memberi kebebasan bagi berkembangnya kewirusahaan. Tak hanya itu, genarasi muda mulai dari pelajar hingga mahasiswa harus sudah diajarkan tentang cara-cara berwirausaha. Pendidikan tinggi juga harus fokus mendidik anak didiknya yang dibutuhkan pasar kerja, dan mendorong anak didiknya untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Kebiasaan mengharapkan menjadi pegawai negeri sipil atau BUMN harus ditinggalkan.
Pertanyaannya kemudian, mampukah pendidikan tinggi membangun kerja sama baik antara pemerintah, swasta, dan komunitas untuk menyiapkan ekosistem yang mendukung? Indra Utoyo (2016) melalui bukunya Silicon Valley Mindset yang menceritakan pembangunan ekosistem wirausaha digital Indonesia. Silicon Valley memanfaatkan inovasi dalam bidang sains, teknologi, dan matematika serta kerja sama triple-helix yang kuat. Disebutkan pula tentang London yang berfokus pada niche gaya hidup (lifestyle) dan memanfaatkan posisinya sebagai hub di Eropa. Israel mengembangkan wirausaha digital di bidang militer dengan anggaran R&D yang besar dan kekuatan paten. Bangalore berfokus pada jasa alih daya (outsourcing) memberdayakan tenaga kerja berbahasa Inggris yang murah. Skolkovo dan Beijing sama-sama mengandalkan dana pemerintah dan fokus pada industri serta militer. Hong Kong fokus pada teknologi mobile phone dan software development
Bagaimana dengan Indonesia? Kajian Mandiri Institute dengan DEQPI Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, merekomendasi peran perguruan tinggi sebaiknya pada tahap wirausaha latent harus sudah memasukkan mata kuliah berbasis kewirausahaan sedini mungkin. Pada tahap nascent, melatih team work melalui kurikulum dan perencanaan bisnis (business plan). Pada tahap wirausaha new, memberikan kurikulum mata kuliah kewirausahaan yang menekankan skill pengelolaan keuangan maupun pengetahuan investasi. Terakhir, pada tahap established lebih menekankan desain sertifikasi coach dan mentor dan melatih para wirausahaan muda untuk mampu menjadi wirausahawan yang andal.

Menciptakan Ekosistem Kondusif
Visi ekonomi digital 2020 sesuatu yang tidak mustahil. Akan tetapi, diperlukan kerja keras dan komitmen para pemangku kepentingan yang kuat untuk membangun suatu ekosistem pendorong tumbuhnya wirausaha-wirausaha digital baru. Fakultas ilmu matematika, psikologi, dan komputer sudah harus bekerja sama dengan sekolah ekonomi dan bisnis dalam mengembangkan kurikulum berbasis teknologi informasi. Maka, perguruan tinggi menjadi garda depan yang harus mampu mengakselerasi perubahan. 
Pada era persaingan ekonomi global, industri berbasis tekonologi informasi digital telah mengubah model, strategi, dan penciptaan nilai bisnis barunya. Dari sisi pengembangan SDM, pendidikan tinggi memegang peranan penting dalam mendorong pertumbuhan dan inovasi wirausaha ekonomi digital. Namun, pendidikan tinggi saat ini juga menghadapi tantangan tak bisa dipandang sebelah mata. Untuk itu, yang penting dilakukan memperbaiki kurikulum dengan lebih mendekatkan diri pada muatan teknologi informasi dan inovasi.
Implikasinya, mahasiswa perlu diajarkan cara kerja teknologi digital dan masalah yang mampu ditangani. Hanya mengajari mahasiswa pemprograman (coding) akan membuat perguruan tinggi tak beda dengan lembaga kursus keterampilan. Namun, lebih dari itu, mahasiswa perlu diajarkan logika berpikir (computational thinking) yang komprehensif, termasuk cara melakukan pemodelan, menganalisis data, dan mengekstrak informasi. Selain itu, terkait sistem yang kompleks dan mempertajam sense of business dengan praktik langsung berwirausaha.
Tantangan besar lain, datang dari mahasiswa. Mereka yang kini duduk di perguruan tinggi dapat dipastikan lahir di era digital (digital native). Masalah muncul karena di sisi lain pengelola dan pendidik lahir di era industrial (digital immigrant). Perbedaan latar belakang ini membuat gap yang cukup besar dalam proses belajar mengajar. Contoh mahasiswa sekarang menyukai metode belajar yang interaktif dan dengan multimedia. Sebaliknya, para pengajar berdalih mata kuliah tidak bisa diajarkan dengan metode digital. Para pengajar lebih menyukai diskusi tatap muka. Sementara mahasiswa lebih memilih pola komunikasi menggunakan suat elektronik atau grup jejaring sosial.
Sementara itu, tantangan besar berikutnya peran pendidikan tinggi harus optimal dalam membangun ekosistem. Para pelaku di dalam ekosistem tersebut pemerintah, akademisi, komunitas ekonomi digital, dan lembaga keuangan swasta. Ekosistem memegang peranan penting dalam menyapih dan membesarkan wirausaha-wirausaha digital baru. Bangsa ini sedang membutuhkan wirausaha digital baru seperti Google yang besar, menguntungkan, menyerap banyak tenaga kerja, serta meluncurkan inovasi baru.
Wallahualam bhis-shawwab

***

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...