Kamis, 14 Desember 2017

Kawal Harta Negara, BPK Harus Berdaya



Penggunaan uang negara harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan. Pertanggungjawaban atas uang negara itu pun harus dilakukan secara transparan. Setiap rupiah dana negara yang keluar dari kas negara harus benar-benar dibelanjakan untuk kepentingan rakyat. Bukan untuk kepentingan lainnya, apalagi dikorupsi. Demikian pesan yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam acara Persiapan Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2017 dan Institusi Pengelola Keuangan Negara Lainnya Dalam Rangka Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik di Istana Kepresidenan Bogor, Kompas (6/12/2017).
Substansi dari pesan itu pada dasarnya sangat dipahami dan memang bernuansa normatif. Namun pesan tersebut menjadi menarik ketika disampaikan bersamaan waktunya dengan pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan pemerintah. Opini itu merupakan yang pertama diraih pemerintah pusat dalam 12 tahun terakhir. Karena itu, kita sepakat dengan pesan Presiden Jokowi tersebut.
Sekali lagi yang perlu kita garisbawahi adalah bahwa setiap laporan keuangan pemerintah mencerminkan di dalamnya seberapa besar kepercayaan rakyat dijaga dan dirawat. Dalam setiap rupiah yang dibelanjakan tecermin bagaimana upaya pemerintahan dalam menjaga kepercayaan rakyat. Artinya laporan keuangan pemerintah mencerminkan bagaimana setiap rupiah uang rakyat digunakan. Di sana tecermin pula seberapa tanggung jawab pemerintah atas amanat yang diberikan rakyat. Karena itu, kita sependapat dengan Presiden agar opini wajar tanpa pengecualian ini tidak saja harus dipertahankan, tetapi juga menjadi standar laporan keuangan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Bukan hanya dalam administrasi keuangan, kita pun ingin agar standar yang sama juga diimplementasikan dalam menjaga semangat untuk mempertanggungjawabkan setiap rupiah penggunaan uang rakyat.

BPK Kawal Harta Negara
Kita berharap peningkatan kualitas laporan keuangan yang ditandai dengan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) ini tidak berhenti sebatas di atas kertas. Kita ingin ia hidup sebagai semangat untuk mengawal setiap rupiah penggunaan uang rakyat. Jika ia hidup dalam setiap aparatur negara baik di pusat maupun daerah, niscaya korupsi dapat dibasmi dan rakyat menjadi sejahtera. Dalam bahasa yang berbeda, produk opini yang dikeluarkan  BPK sesungguhnya sebagai manifestasi dari misi BPK Kawal Harta Negara.
Terkait adanya hasil opini BPK terhadap pengelolaan keuangan Negara/ daerah acap masih muncul pertanyaan yang cukup menggelitik yakni  mengapa kasus korupsi masih terjadi di lembaga-lembaga yang laporan pengelolaan anggarannya dinilai baik oleh BPK? Misalnya, ada daerah yang dalam beberapa tahun belakangan selalu memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tapi kepala daerah dan birokrasinya juga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Bahkan, dalam kasus terakhir yang terjadi di Kementerian Desa, diduga terjadi praktik suap dalam pemeriksaan laporan keuangan yang dilakukan auditor BPK.
Menjawab pertanyaan tersebut bisa saja didekati dari dua kemungkinan, yakni pertama, opini WTP bisa saja berkaitan langsung dengan tindak pidana korupsi yang sedang terjadi. Ini bisa dicontohkan dari kasus yang terjadi di Kementerian Desa, ketika ada upaya untuk memperoleh opini WTP dengan melakukan suap. Publik tentu dengan mudah menyimpulkan bahwa proses pemberian opini di BPK memang rentan praktik suap. Kedua, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, pemimpin lembaga, atau birokrasi tidak berkaitan langsung dengan kinerja pengelolaan keuangan negara. Sebagai contoh, kepala daerah menerima suap dari perusahaan swasta karena pengurusan izin tertentu.
BPK harus dilihat sebagai salah satu aktor yang berfungsi dalam mitigasi praktik korupsi. BPK adalah satu-satunya lembaga tinggi negara yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sesuai dengan Pasal 23E UUD 1945. Dengan demikian, peran BPK sangat penting untuk memastikan tidak terjadinya penyimpangan dan praktik korupsi dalam pengelolaan keuangan negara.
Jika membaca beberapa laporan tentang kecenderungan korupsi yang terjadi di lembaga-lembaga negara, harus diakui bahwa BPK termasuk lembaga yang tidak dikategorikan korup. Misalnya, dalam hasil riset Global Corruption Barometer (GCB) 2017, yang dirilis Transparency International (TI), lembaga yang dikategorikan korup adalah lembaga-lembaga politik (DPR/DPRD, partai politik), kementerian, birokrasi, penegak hukum (polisi, pengadilan), pengusaha, dan seterusnya.

Menjadikan BPK Lebih Berdaya
Kerja-kerja BPK Kawal Harta Negara seharusnya diarahkan dan dipastikan memiliki dampak positif dalam penggunaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK harus dipastikan ditindaklanjuti oleh setiap lembaga yang mengelola keuangan negara. Namun ada beberapa catatan yang perlu dicermati oleh BPK agar fungsinya sebagai salah satu instrumen pemberantasan korupsi bisa dijalankan. Pertama, BPK tidak memiliki kewenangan untuk memastikan hasil audit, pemeriksaan, atau rekomendasi dijalankan oleh lembaga, kementerian, atau pemerintah daerah. (http://www.bpk.go.id/news/opini-wtp-dan-korupsi)
Menurut undang-undang, kewenangan BPK hanya berhenti pada penyerahan hasil pemeriksaan tersebut kepada legislatif, pemerintah, dan lembaga yang diaudit. Walaupun BPK memiliki kewenangan untuk memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan, hasil pemantauan tersebut diserahkan kembali kepada legislatif dan pemerintah.
Dari sudut hukum, hampir tidak ada mekanisme yang bisa digunakan BPK untuk memaksa suatu lembaga untuk melaksanakan hasil pemeriksaannya. Undang-undang juga tidak memuat sanksi apa pun ketika hasil pemeriksaan BPK tidak ditindaklanjuti. Salah satu cara yang bisa digunakan BPK adalah melalui publikasi hasil pemeriksaan/rekomendasi secara detail kepada publik. Menurut undang-undang, hasil pemeriksaan yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum. Terhadap hasil pemeriksaan yang terindikasi pidana memang hanya disampaikan kepada penegak hukum.
Pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran menunjukkan peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. BPK akan meningkatkan pemeriksaan untuk menilai pengelolaan keuangan negara dalam mencapai tujuan negara, yaitu kemampuan entitas dalam melaksanakan program-program pembangunan, utamanya yang langsung berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, ke depan masyarakat selain melihat dari perolehan opini atas laporan keuangan, juga harus melihat kepada hasil pemeriksaan kinerja BPK untuk menilai prestasi kerja suatu entitas pemerintah daerah. (http://www.bpk.go.id/news/bpk-wujudkan-kesejahteraan-rakyat-melalui-pemeriksaan-keuangan-negara)
Ada dua peran BPK dalam pemberantasan korupsi. Pertama, menemukan penyalahgunaan atau penyelewengan. Ini merupakan tindakan represifatau bersifat korektif. Jika pada hasil pemeriksaan ditemukan perbuatan berindikasi tindak pidana korupsi, BPK melaporkan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti. BPK terus berkoordinasi dengan penegak hukum terkait dengan tindak lanjut hasil pemeriksaannya.
Peran kedua, mencegah penyalahgunaan dan penyelewengan. Ini tindakan pencegahan (represif). Pencegahan dilakukan BPK melalui pemeriksaan terhadap sistem pengendalian intern entitas yang diperiksa atau audit. Kedua, BPK merancang pemeriksaan atas sistem kendali korupsi (fraud control system) pada entitas pemerintah. Jika selama ini pemeriksaan BPK untuk mendeteksi indikasi korupsi, maka pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai keberadaan, implementasi dan efektivitas sistem kendali korupsi di lingkungan entitas. Ini sesuai dengan Inpres No. 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Gerakan Sosial Melawan Korupsi
Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), maka salah satu tolok ukur kinerja pemerintah daerah dapat dilihat dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), yang tentu saja harus terlebih dahulu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Informasi dalam LKPD harus dapat memenuhi kebutuhan para penggunanya, yang menurut SAP dinyatakan bahwa kelompok utama pengguna laporan keuangan pemerintah adalah masyarakat, wakil rakyat, lembaga pengawas, lembaga pemeriksa, donatur, investor, pemberi pinjaman, pemerintah, dan pihak lain yang berkepentingan.
Jika kita beranalogi dengan kegiatan ekonomi, maka terdapat kemiripan dengan kegiatan perdagangan saham di pasar modal. Di pasar modal, perusahaan-perusahaan akan belomba menarik hati investor agar mau berinvestasi pada saham yang diterbitkannya. Salah satu perhatian utama investor di pasar modal sebelum berinvestasi adalah laporan keuangan perusahaan yang sudah diaudit dan diterbitkan opini audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP).
Investor sangat tergantung pada opini audit dalam pengambilan keputusan investasi, karena itu peranan KAP di pasar modal sangat strategis dan dapat berkontribusi menentukan nasib ribuan investor dan calon investor. Begitu juga dengan pemerintah daerah, setiap tahun LKPD diaudit oleh BPK yang kemudian juga diterbitkan opini auditnya. Dengan demikian, ibaratnya seorang investor di pasar modal, sebenarnya rakyatpun bisa saja menentukan keputusan politiknya dengan dasar opini audit yang diterbitkan oleh BPK.
Agar bangsa ini bisa hidup mulia tanpa korupsi, kesadaran masyarakat harus ditransformasikan menjadi gerakan sosial yang bisa menangkal dan melawan korupsi. Melalui gerakan sosial menangkal korupsi itu, public akan terlibat dalam pengawasan praktik korupsi yang dilakukan penyelenggara negara yang mempunyai kekayaan tidak sebanding dengan penghasilannya. Dengan demikian, sistem whisle blower harus lebih dioptimalkan. Di sinilah perlunya kita semua secara bergandengan tangan masuk dalam area perang semesta melawan korupsi, dengan niat kuat memberantasnya sampai tuntas sekaligus mengawal negeri ini.
Korupsi di manapun di dunia termasuk di Indonesia, berkembang, berevolusi sampai pada tahan dimana korupsi itu dilakukan secara sistematis dan bahkan sudah berjejaring. Kerena sudah masuk sampai masa berjejaring, maka untuk melawan korupsi itu hanya perlu keberanian untuk menjalankan dua langkah aksi pencegahan yang betul-betul nyata, serta tindakan penegakan hukum yang betul-betul tegas.  (Wahyu Kuncoro, ST. M.Medkom - Dosen Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Sunan Giri (Unsuri) Surabaya)

***

Selasa, 12 Desember 2017

Indonesia Bersama Palestina



       Indonesia tetap bersama bangsa Palestina. Begitu tekad presiden Jokowi, yang akan dibawa pemerintah Indonesia pada forum OKI (Organisasi Konferensi Islam). Turki yang mendukung Palestina, akan menjadi tuan rumah sidang OKI di Istanbul. Indonesia dan OKI menentang klaim sepihak Amerika Serikat untuk menjadikan Yerussalem sebagai ibukota negara Israel. Padahal sejak tahun 1971 (ketika Israel menang perang), Yerussalem dinyatakan status-quo.
       Tetapi sekutu terdekat Amerika Serikat, Uni Eropa, tidak mengikuti klaim Donald Trump. Bahkan di-warning, bahwa klaim Trump, akan memicu ketegangan baru di jazirah Arab. Ketegangan patut dicemaskan, karena perekonomian Eropa saat ini bergantung pada konglomerasi Arab. Amerika Serikat, sejatinya juga sangat bergantung pada negara-negara serumpun Arab. Terutama Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Qatar.
       Negara serumpun Arab itu, seharusnya dipelihara oleh Trump, sebagai majikan yang dermawan. Tetapi realitanya, Trump, sering membuat gaduh. Misalnya, ketika berkunjung ke Arab Saudi. Trump, meminta negara jazirah Arab meng-isolir Iran. Pernyataan Trump, itu menimbulkan kegaduhan ketika berkunjung ke Qatar (Juni 2017). Sebab Qatar, juga berkawan baik dengan Iran. Terasa benar, Trump coba memainkan modus baru (memecah belah) memicu sengketa lama.
       Qatar, negeri kaya-raya di Arab, tergolong cerdas melaksanakan peran politik internasional. Amerika tetap meng-anggapnya sebagai sahabat. Walau televisi khas Arab, Al-Jazeera, bermarkas di Qatar. Amerika juga meng-anggap Al-Jazeera sebagai pro-teroris. Pada paradigma Amerika, label sebagai teroris dikonotasi dengan etnis Arab, dan muslim. Sedangkan pembunuhan masal oleh kulit putih (non-muslim) dianggap bukan teroris. Hal itu terbukti dengan pembunuhan (58 orang) oleh Stephen Paddock, bukan dianggap terorisme.
Label sebagai teroris, bukan hanya dituduhkan kepada Al-Qaeda, dan kelompok pecahannya. Melainkan juga kepada negara timur tengah lawan politik Amerika. Antaralain Iran. Negeri kaum Mullah ini tidak bisa ditundukkan, dan tetap gigih melontarkan ujaran permusuhan terhadap Amerika. Sedangkan musuh Amerika yang lain (Irak dan Libya) sudah ditundukkan melalui aneksasi militer.
Maka klaim sepihak Yerussalem sebagai ibukota negara Israel, dapat di-analisis sebagai modus Trump. Seperti dahulu bangsa-bangsa Eropa memecah belah bangsa Arab melalui kolonialisme. Bahkan munculnya wilayah Israel, merupakan permainan diplomat Eropa. Yakni, Sir Mark Sykes (Inggris) dengan Francois Georges-Picot (Perancis). Tujuannya, untuk meng-kapling negara-negara Arab yang saat itu dibawahkan Kekaisaran Ottoman.
Peta jazirah Arab berdasar kesepakatan Sykes-Picot (9 Mei 1916), terdapat perbatasan yang sangat luas diantara Suriah dengan Irak. Menurut analisis sumber Sputnik, Kelak kawasan perbatasan ini menjadi cikal bakal negara Israel. Sejak lama kawasan longgar itu disebut sebagai zona internasional. Semula sebagai kawasan (demarkasi) mencegahperebutan antara Inggris dengan Perancis. Kapling kolonialisme di jazirah Arab, ter-peta-kan menjadi utara (milik Perancis) dan selatan (milik Inggris.
Sebagai kawasan demarkasi perang, kawasan yang longgar itu dijaga benar oleh kekuatan bersama Inggris, dan Perancis. Sampai sekarang, kawasan longgar tetap dilindungi. Terbukti, menjadi satu-satunya kawasan yang bebas dari gangguan teroris ISIS. Tiada milisi ISIS yang berani memasuki wilayah Israel! Namun sejak lama pula diyakini kawasan demarkasi yang longgaritu akan menjadi pusat pergolakan timur tengah.
Anehnya, negara-negara yang disatroni teroris, adalah mayoritas berpenduduk muslim. Sehingga negara-negara muslim (yang tergabung dalam OKI)segera wajib menumpas teroris. Terutama teroris sesungguhnya di Palestina. Indonesia, akan selalu bersama rakyat Palestina. Hal itu sudah dibuktikan sejak tahun 1939. Nahdliyin (NU) seluruh Indonesia mengumpulkan derma harta benda, serta melakukan qunut nazilah untuk rakyat Palestina. (Editorial Harian Bhirawa)

Mengelola Dana Desa di Jalan yang Benar



Mendengar dana desa, bisa jadi yang terpikirkan bukan lagi harapan akan semakin sejahteranya masyarakat desa, tetapi mungkin rasa nyinyir, kecewa bahkan mungkin marah akibat demikian menyengatnya aroma tidak sedap terkait pengelolaan dana desa tercium. Banyaknya kasus yang mempertontonkan betapa dana desa hanya dijadikan "bancakan" oleh oknum-oknum mulai dari aparat desa hingga kepala daerah sungguh membuat kita semua prihatin. Sungguh perlu langkah efektif untuk mencegah agar tidak semakin meluas dan jadi preseden.
Sejak awal, sejatinya sudah memunculkan kekhawatiran tentang pengelolaan dana desa tersebut. Muncul kecemasan bahwa dana besar yang mengalir ke desa, tanpa persiapan sistem, sumber daya manusia dan budaya kerja akan sangat  berpotensi disalahgunakan. Penangkapan Bupati Pamekasan Achmad Syafii Yasin, Kepala Inspektorat Pamekasan Sutjipto Utomo, Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Indra, dan Kepala Desa Dasok Agus Mulyadi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa waktu lalu semakin menegaskan bahwa kekhawatiran tersebut tidak berlebihan.
Persoalan lain berkaitan dana desa adalah minimnya serapan atau pemanfaatannya. Beberapa daerah, kepala desanya  enggan mengelola dana desa karena takut terseret kasus hukum. Persoalan lain, kualitas aparatur di perdesaan belum merata dalam hal visi membangun desa. Kemampuan mereka untuk menyusun anggaran desa serta menyusun program pembangunan desa jangka menengah dan panjang, belum merata. Persoalan ini perlu dikelola secepatnya sehingga dana desa yang didengung-dengungkan tidak berakhir hanya sebatas program. Rakyat berharap banyak, program dana desa ini benar-benar dapat membangun perdesaan.
Kondisi seperti ini hanya dapat diatasi oleh pemahaman yang benar mengenai dana desa. Mereka yang duduk di pemerintahan kabupaten maupun kota serta di perangkat desa harus sudah paham benar adanya dasar pelaksanaan berupa peraturan bupati/wali kota. Di tingkat desa harus ada anggaran pendapatan dan belanja desa, rencana kerja pembangunan desa, dan rencana pembangunan jangka menengah desa.
Pemahaman yang komprehensif mengenai aturan niscaya membuat perangkat desa bertanggung jawab dan tidak semena-mena memanfaatkan dana desa. Mereka juga tidak akan takut dikriminalisasi karena tahu dasar hukum pelaksanaan. Pengertian akan aturan ini semakin lengkap bila program pendampingan seperti yang sudah dipatronkan sejak awal, berjalan baik. Selain mengerti aturan, syarat lain adalah para aparatur pemerintahan daerah memiliki visi membangun daerahnya. Tanpa visi pembangunan desa yang jelas membuat dana besar yang digelontorkan dari pusat tak akan tepat sasaran. Kualitas para pemimpin di desa-desa berkaitan dengan pemilihan oleh masyarakat desa.
Harus diakui, bahwa saat ini program pendampingan belum terlaksana dengan sempurna. Para pendamping belum selesai direkrut. Pendaftaran pendamping sudah dibuka namun keputusan soal pengangkatan mereka belum dikeluarkan. Kesiapan aparat desa adalah syarat mutlak keberhasilan program dana desa. Pemerintah harus memastikan sampai ke daerah paling luar Indonesia bahwa aparat desa sudah siap. Harus ada standar untuk mengukur kesiapan para aparatur desa. Selain itu sosialisasi dan bimbingan teknis harus dipastikan sudah sampai semua wilayah administrasi desa.

Menutup Ruang Korupsi
Korupsi merupakan fungsi dari keinginan aparat untuk mengambil uang negara dan terbukanya peluang untuk melakukan korupsi. Ruang pengawasan harus dibuka seluas mungkin. Ruang terjadinya korupsi haruslah ditutup dengan sistem yang transparan dan akuntabel. Pendampingan terhadap aparat di desa diperlukan agar birokrat/aparat desa bisa memanfaatkan dana desa untuk kepentingan yang bisa menggerakkan ekonomi pedesaan dan bukan untuk kepentingan pribadi kepala desa. Tanpa ada pendampingan, mengalirnya dana desa bisa salah sasaran.
Kebijakan yang baik harus dilakukan dengan cara yang baik pula, agar hasilnya sempurna. Membangun kapasitas kelembagaan itu sudah mendesak dilakukan. Aspek-aspek pengembangan kapasitas dan tata kelola, seperti responsif, partisipatif, transparansi, akuntabilitas, konsensus, efektif dan efisien harus dijabarkan secara rinci dan aplikatif. Indikator kemampuan pun harus jelas, dan itu menentukan realisasi dan jumlah alokasi dana. Tanpa itu, pemerintah hanya seperti membuang garam ke laut. Sebelum pemerintah benar-benar bisa memastikan kemampuan kapasitas kelembagaan desa, tak ada salahnya melakukan moratorium pencairan dana desa.
Kunci keberhasilan dana desa adalah perencanaan yang baik dan keterlibatan warga dalam dalam perencanaan dan pengawasan. Yang paling krusial adalah banyak desa belum paham ketika mereka dikasih uang, dikasih dana untuk membangun desa, kadang-kadang mereka tidak tahu harus diapain. Ini yang penting aparat desa diberikan pemahaman-pemahaman. Termasuk warganya diberi pemahaman bahwa mereka punya hak untuk juga terlibat dalam rencana pembangunan desa. (Wahyu Kuncoro SN/Wartawan Harian Bhirawa)

Penjaminan UMKM Sebuah Keniscayaan



Tidak berimbangnya jumlah penduduk usia produktif dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia, di satu sisi akan melahirkan pengangguran. Namun di sisi lain, kondisi ini juga akan memacu khususnya para pemuda untuk menciptakan peluangnya sendiri dengan membuka usaha. Sebagian besar tergolong sebagai pelaku usaha sektor industri Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Implikasinya, jumlah pelaku usaha industri UMKM Indonesia terus mengalami peningkatan. Jumlah UMKM di Indonesia terus mengalami perkembangan dari tahun 2015, 2016 hingga tahun 2017 jumlah pelaku UMKM di Indonesia akan terus mengalami pertumbuhan. Data dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (2014), terdapat sekitar 57,8 juta pelaku UMKM di Indonesia.
UMKM mempunyai peran penting dan strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Selain berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, UMKM juga berperan dalam mendistribusikan hasil-hasil pembangunan. Dengan demikian, peran pelaku UMKM  dalam pembangunan ekonomi nasional tiada terbantahkan lagi.
Berdasar catatan Bank Indonesia (BI), selama ini UMKM memiliki andil besar dalam menyelamatkan Indonesia dari ancaman krisis perekonomian global. Selama tahun 2016 kemarin, UMKM mampu memberikan kontribusi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar 61 persen. Namun ironisnya, pada sisi lain ternyata baru 22 persen dari total 57,8 juta UMKM di Indonesia yang  memiliki akses kredit ke perbankan. Harus diakui, bank-bank selama ini memang kurang ramah kepada UMKM, terutama usaha mikro dan kecil. Pelaku usaha mikro dan usaha kecil umumnya dianggap tidak layak memperoleh pembiayaan dari perbankan (tidak bankable) karena mereka tak punya agunan dan masih menerapkan manajemen  tradisional, sehingga berisiko tinggi mengalami kredit macet.
Perbankan lebih bernafsu menyalurkan kredit kepada usaha menengah dan usaha besar yang risikonya dianggap jauh lebih kecil, lebih terukur, lebih simpel, dan tak butuh biaya besar. Indikasi perbankan lebih berpihak kepada pengusaha besar ketimbang pengusaha mikro dan pengusaha kecil tampak jelas pada komposisi penyaluran kredit.
Berkaca pada fakta-fakta tersebut, sulit untuk tidak mengatakan bahwa para pelaku UMKM harus didukung secara total. Mereka bukan hanya perlu dukungan akses kredit, tapi juga dukungan fiskal. Di sinilah perlunya kita menggugah  pemerintah untuk mengikuti langkah-langkah yang akan, sedang, dan telah digulirkan BI. Dengan begitu, kebijakan BI dan pemerintah akan seirama, terutama dalam mendorong perluasan akses keuangan untuk segenap lapisan masyarakat (financial inclusion). Pemerintah  seharusnya  memberikan  insentif, bukan disinsentif. Jika pemerintah tetap tidak ramah kepada UMKM, kita khawatir upaya menjadikan UMKM sebagai fondasi perekonomian nasional - sebagaimana sering didengungkan selama ini - bakal kandas.
Sikap pemerintah yang kurang bersahabat kepada pelaku UMKM juga kontraproduktif dengan  program financial inclusion. Padahal, perluasan akses keuangan untuk segenap lapisan masyarakat melalui pemberdayaan UMKM adalah cara paling efektif menyejahterakan  rakyat di akar rumput.

Urgensi Jaminan Kredit UMKM
Salah satu masalah yang sering dialami oleh beberapa UMKM di Indonesia adalah akses terhadap permodalan. Sering kali beberapa UMKM yang usahanya feasible namun tidak bisa mendapatkan pembiayaan/modal karena beberapa hal seperti kurangnya jaminan/agunan, laporan keuangan yang masih belum jelas, usaha yang masih kecil, hingga beberapa faktor yang menyebabkan kreditur tidak bisa memberikan pembiayaan.
Menghadapi persoalan seperti itu, kehadiran perusahaan penjamin untuk membantu pengusaha UMKM mengakses sumber pembiayaan atau pinjaman kepada institusi keuangan menemukan relevansinya. Harus diakui, dalam hal pemberian jaminan maka yang paling terdepan dalam memperjuangkan UMKM ini adalah Perum Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo). Sebagai badan usaha milik negara (BUMN), Jamkrindo adalah perusahaan penjamin kredit, yang membantu mengembangkan UMKM yang layak usahanya (feasible) untuk mendapatkan modal atau pembiayaan meskipun kurang memiliki jaminan atau agunan yang cukup.
Jamkrindo memang tidak menyalurkan kredit secara langsung untuk UMKM, tapi membantu pengusaha UMKM dengan memberikan penjaminan kepada calon debitur agar lebih layak untuk mendapatkan modal atau pembiayaan dari institusi keuangan. Pengusaha UMKM dapat mengajukan permohonan untuk penjaminan kepada Jamkrindo lantas kemudian Jamkrindo akan menganalisa kelayakan usaha calon debitur dan apabila menurut kami layak, maka Jamkrindo akan menyampaikan jaminan kepada institusi keuangan sebagai salah satu persyaratan agunan atau jaminan yang dibutuhkan dalam penyaluran kredit. Prinsipnya Jamkrindo membantu debitur atau nasabah yang kurang dalam hal agunan atau jaminan agar bisa disetujui oleh institusi keuangan.
Harapan ke depan, dengan adanya Jamkrindo ini para pengusaha UKM tidak lagi kesulitan dalam hal peminjaman untuk modal usaha, sehingga lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kualitas produksi. Hadirnya Undang Undang No 1/2016 tentang Penjaminan menjadi payung hukum kepastian kepada lembaga pembiayaan bila terjadi risiko.
Menurut UU ini, usaha penjaminan di antaranya bertujuan untuk menunjang kebijakan pemerintah, terutama dalam rangka mendorong kemandirian usaha dan pemberdayaan dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi dalam perekonomian nasional. Selain itu, penjamian bertujuan  meningkatkan akses bagi dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi dan usaha prospektif lainnya kepada sumber pembiayaan. Muara dari usaha penjaminan adalah untuk mendukung pertumbuhan perekonomian nasional dan meningkatkan tingkat inklusivitas keuangan nasional.        
UU ini mengatur perizinan lembaga penjaminan, mekanisme penjaminan, hingga penyelesaian sengketa melalui lembaga alternatif. Perum Jamkrindo memiliki peranan penting dalam membantu usaha mikro, kecil, dan menengah UMKM, untuk mengakses permodalan kepada lembaga keuangan, baik bank umum maupun nonbank. Jadi, UMKM dapat secara maksimal memanfaatkan sumber daya dan infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah, guna meningkatkan dan mengembangkan usaha UMKM.

Mengelola Database UMKM
UMKM Indonesia saat ini berjumlah sekitar 56,7 Juta unit usaha, yang dibina oleh sekitar 23 kementerian dan lembaga. Data dan informasi yang tersedia saat ini sangat beragam, tersebar dan kurang terkoordinasi dengan baik. Hal ini memerlukan upaya yang fokus untuk menghimpun database UMKM dengan lingkup nasional, dan dikelola dengan baik.
Sejalan dengan keluarnya UU No.1/2016 tentang Penjaminan Kredit UMKM sebagai payung hukum pemberian kredit penjaminan, Jamkrindo sebagai satu-satunya BUMN penjaminan kredit mendapat tugas melakukan pemeringkatan, yang dimulai dari peningkatan database UMKM yang ada di Indonesia. Dari 57,8 juta UMKM yang ada di Indonesia saat ini, ternyata baru ada 5 juta yang telah masuk ke dalam database UMKM Jamkrindo, yang kemudian akan dilakukan pemeringkatan, sehingga nantinya bisa mendapatkan akses pembiayaan ke perbankan lebih baik lagi. Dengan demikian untuk menjadikan UMKM agar bankable, maka salah satu jalan yang harus dilakukan adalah pemeringkatan UMKM.
Jamkrindo diharapkan lebih fokus dalam melakukan pengelolaan database UMKM sebagai langkah awal pemeringkatan UMKM. Selain itu, Jamkrindo tentu juga harus didorong untuk memberikan konsultasi manajemen kepada UMKM dengan melibatkan berbagai Perguruan Tinggi dan pihak lain yang kompeten. Hal ini penting dilakukan mengingat bahwa UMKM harus terus didampingi. Karena problem mereka tidak hanya di kolateral dan pembiayaan, tapi juga manajemen keuangan, kemasan hingga pemasaran. (Wahyu Kuncoro SN/Wartawan Harian Bhirawa)

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...