Minggu, 27 Januari 2013

Memulai Nge-blog Lagi.......


Gambar diambil dari : http://www.thecrowdvoice.com

Empat tahun lalu, dilatari oleh keinginan untuk mengkompilasi tulisan dan apa saja yang terlintas di kepala plus agar dilihat sedikit gaya aku lantas membuat blog. Namanya narsis abis, yakni www.wahyukuncorosn.blogspot.com. Sudah narsis pakai yang gratisan lagi. Bukan hanya nama yang sungguh agak ‘kampungan’ tetapi isinya juga dipenuhi oleh foto-foto diri yang saat itu mungkin agak merasa cakep.
          Saat aku coba buka lagi rasanya ingin menghapus foto-foto diri yang terlalu lebay tersebut. Namun lantas aku pikir lagi, kenapa harus malu dengan masa lalu. Biarlah itu menjadi catatan perjalanan kedewasaanku. Akhirnya aku batalkan keinginan untuk menghapus postingan yang narsis abis tersebut.
Hari ini hasrat untuk kembali menulis kembali menggelegak, melebihi keinginan untuk menulis di media tempatku kerja sekalipun. Bahkan melebihi keinginan untuk menulis demi ikut lomba…
          Salah satu alasan untuk kembali menulis adalah karena tanggung jawab moral sebagai penulis. Masak mengaku menulis kok nggak pernah menulis. Masak sering ceramah soal tulis menulis kok nggak rajin menulis? Dimana nanti wajah ini saat ditanya peerta pelatihan, apa tulisan Mas Wahyu yang terbaru?
          Nah, sekarang saya sudah menemukan jawaban, seandainya nanti ada peserta pelatihan atau mahasiswaku yang menanyakan apa tulisan terbaruku.
          Maka inilah tulisan terbaruku….
Judulnya “Memulai Nge-blog Lagi….”
          Menulis di blog memang nggak ada yang bayar sich, tetapi ternyata sensasinya melebih mendapat hadiah Rp100 juta. Untuk ini jangan percaya, jelas ini lebay dan pastinya bohong. Iya sich, bohong kok, tapi bukan itu point pentingnya. Pointnya adalah bahwa tidak semua kepuasan dan kesenangan bisa dikonversi dalam sejumlah nilai tertentu.

Industri Gula Nasional, Masihkah Punya Masa Depan?



Terpuruknya industri gula dalam negeri, menjadi pekerjaan rumah yang hingga kini belum terpecahkan. Diskusi panjang nan melelahkan yang bertujuan mengurai persoalan yang melilit industri pergulaan sudah sering dilakukan. Namun sayangnya masih belum mampu menemukan jalan pasti yang akan memandu langkah menuju kebangkitan industri gula nasional. Situasi semacam ini lantas memantik pertanyaan, masih punya masa depankah industri gula nasional kita?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu kiranya kita mendiagnosa faktor apa saja yang telah menyebabkan industri gula nasional enggan untuk bangkit kembali. Ada beberapa faktor yang menyebabkan industri gula di tanah air masih belum bisa bangkit. Di antaranya faktor kondisi pabrik yang relatif sudah tua peralatannya, tata tanam tebu yang kian sembarangan, terlalu murahnya harga gula sehingga petani tebu kurang tertarik untuk menanam. Di masa lalu harga gula itu selalu tiga kali lipat lebih mahal dari harga beras. Sekarang harganya hampir sama, padahal menanam padi hanya perlu waktu tiga bulan, sedang menanam tebu memerlukan masa 16 bulan. Selain itu, inefisiensi merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi industri gula nasional, sehingga mengakibatkan produktivitas menjadi tidak maksimal. Inefisiensi industri gula tidak hanya terjadi pada sisi budi daya (on farm), tetapi juga saat proses pengolahan di pabrik (off farm). Banyak bagian dari tebu yang terbuang saat proses pengolahan di pabrik gula sehingga membuat rendemen menjadi rendah dan produktivitas juga menurun.
Penerapan strategi yang terintegrasi dari hulu ke hilir yang dilakukan PTPN X telah mampu untuk menciptakan pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan. Bila kinerja ini diikuti yang lain, maka bukan tidak mungkin industri gula nasional akan bangkit kembali.Add caption
         Hemat penulis  sebaik apapun kualitas tebu hasil budidaya, jika proses pengolahan di pabrik gula tidak efisien, produksi juga tidak akan maksimal. Inefisiensi lainnya juga terjadi pada penggunaan bahan bakar yang masih tinggi. Padahal, tebu termasuk tanaman yang punya karakteristik sebagai sumber energi. Seharusnya pabrik gula bisa hemat bahan bakar minyak, karena pada saat giling mengeluarkan ampas tebu yang bisa digunakan untuk bahan bakar alternatif. Di luar faktor tersebut, terpuruknya industri pergulaan nasional –yang berstatus BUMN--  ditengarai juga karena budaya korupsi yang sudah mengakar dan menggurita di lingkungan BUMN pabrik gula.

Masih Ada Harapan
         Secara faktual, Indonesia saat ini adalah negara importir gula yang amat besar, namun Indonesia masih memiliki harapan untuk menjadi negara produsen dan eksportir gula. Iklim di Indonesia sangat sesuai untuk tebu. Indonesia juga merupakan negara terkaya sumber daya genetik tebu dan diyakini sebagai daerah asal tebu dunia.
         Tersedianya jutaan hektar lahan yang sesuai untuk tanaman tebu di Kalimantan, Maluku, dan Papua, menunjukkan bahwa Indonesia, dengan perencanaan, kebijakan, dan pengembangan yang tepat, akan dapat kembali menjadi negara eksportir gula. Selain itu, dengan kebutuhan gula  saat ini yang mencapai 5,10 juta ton tiap tahunnya, sementara produksi gula rata-rata  masih di kisaran 2,26 juta ton pertahunnya menunjukkan bahwa pasar gula dalam negeri masih  amat besar, dan  itu selama ini belum dimanfaatkan oleh kebijakan negara untuk mengembangkan industri gula dalam negeri. Sayangnya, justru yang terjadi adalah yang sebaliknya, yakni pasar gula Indonesia dimanfaatkan oleh produsen gula luar negeri dan sekaligus kondisi harga gula dunia telah berperan memerosotkan industri gula nasional. Menariknya lagi, bahwa negara-negara Amerika Serikat, Jepang, Australia, negara-negara Eropa, India, Filipina, dan Thailand, yang harga gula di pasar domestiknya lebih tinggi dari Indonesia, tidak dibanjiri gula impor dan industri gulanya bahkan meningkat. Bahkan, Uni Eropa menjadi negara pengekspor gula utama di dunia, padahal Uni Eropa menghasilkan gula dari beet yang biaya produksinya 70 persen lebih mahal daripada gula tebu.
         Negara-negara eksportir gula itu (Australia, India, Thailand, Amerika, dan Brasil)  mampu mengekspor gulanya dengan harga di bawah biaya produksinya. Jawaban atas semua keanehan itu adalah karena negara-negara yang bersangkutan melindungi potensi industri gulanya dan memanfaatkan pasar di dalam negerinya untuk memperkuat industrinya.

Belajar dari PTPN X
Bahwa untuk memacu produksi gula nasional sesungguhnya bukan sebuah mimpi, namun bisa dilakukan bila semua pihak sungguh-sungguh melakukannya. Sebagai contoh adalah kinerja positif telah ditunjukkan oleh PT Pekerbunan Nusantara X (Persero). Perusahaan gula pelat merah ini tetap mempertahankan posisi sebagai market leader di dunia pergulaan nasional.
Kinerja positif itu misalnya ditunjukkan pada 2012, PTPN X membukukan produksi gula sebanyak 494.443 ton. Jumlah tersebut meningkat sebesar 10 persen dibanding 2011 yang mencapai 446.493,57 ton. Peningkatan itu juga diiringi jumlah tebu yang digiling. Pada 2011 total tebu yang digiling mencapai 5,616 juta ton dan pada 2012 meningkat menjadi 6,072 juta ton. Sedangkan tingkat rendemen jeuga meningkat. Pada 2011 rata-rata di level 7,95 persen menjadi 8,14 persen di tahun ini. kemudian, produktivitas lahan petani di lingkungan PTPN X juga yang terbesar di antara BUMN lainnya, yaitu 84,2 ton per hektare (ha).
Penerapan strategi yang terintegrasi dari hulu ke hilir yang dilakukan PTPN X telah mampu untuk menciptakan pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan. Sustainable growth ini penting tidak hanya untuk menjaga kinerja perseroan, tapi juga menjalankan peran penting industri pergulaan nasional sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi, terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan petani.
Sinergisitas dari hulu ke hilir adalah komitmen tinggi pada praktik agrikultur terbaik (best agricultural practices) dengan memadukan peningkatan kualitas budidaya tebu (on-farm) dan pengolahan di pabrik gula (off-farm). Terkait diversifikasi, PTPN X juga bertekad untuk beyond sugar dan benar-benar bertransformasi menjadi industri berbasis tebu (sugarcane based industry) terintegrasi dari hulu ke hilir. Sebagai salah satu BUMN perkebunan yang mengelola 11 pabrik gula, PTPN X kini mulai fokus dan serius menggarap diversifikasi produk. Program diversifikasi yang sudah dilakukan PTPN X adalah pengolahan ampas tebu untuk menghasilkan listrik yang dikerjakan di Pabrik Gula Ngadiredjo, Kediri. Proyek 'co-generation' ini mampu menghasilkan listrik sebesar dua megawatt dan bisa dijual kepada PLN. Proyek serupa akan dikerjakan di beberapa pabrik gula lainnya, salah satunya PG Pesantren Baru, Kediri. Program diversifikasi lainnya yang sedang dirampungkan PTPN X adalah pembangunan pabrik bioetanol di PG Gempolkrep, Mojokerto, yang ditargetkan selesai pada Juni 2013.
Di Indonesia, sebenarnya ada sekitar 45 industri dari turunan produk tebu yang kini beroperasi dan menghasilkan sebanyak 14 jenis produk. Ini sebenarnya hal yang bagus. Sayangnya, mayoritas industri itu dimiliki perusahaan yang sama sekali tidak bergerak di bisnis pengolahan tebu. Pabrik gula hanya menyetor bahan baku ke pabrik-pabrik tersebut, tanpa mendapatkan nilai tambah.
Industri gula dalam negeri belum serius menggarap diversifikasi produk turunan tebu nongula untuk memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Saat ini masih banyak produk turunan tebu yang sebenarnya sangat berpotensi untuk dikembangkan secara komersial oleh industri gula, selain hanya memproduksi gula. Upaya diversifikasi sangat mendesak dilakukan karena bisa mengurangi risiko produksi di bisnis tebu, seiring biaya produksi yang terus meningkat dan fluktuasi harga gula dunia. Sudah banyak perusahaan gula dunia yang secara serius menggarap diversifikasi produk dan berhasil, seperti di Brazil, Kuba, India, dan Thailand.

Industri Berbasis Riset
         Berkaca pada persoalan-persoalan di atas, maka sudah waktunya kalau pengembangan industri gula berbasiskan riset. Dengan bertumpu pada riset maka diharapkan akan mampu untuk menghasilkan budidaya serta pengolahan gula yang tepat guna dan tepat hasil. Tanpa perhatian serius ke riset, pengembangan industri berbasis tebu hanya akan berjalan setengah hati.
         Hulu dari semua langkah untuk mengembalikan kejayaan industri gula adalah riset terpadu. Sejarah menunjukkan bahwa risetlah yang menyelamatkan industri gula Jawa dari keterpurukan.  Riset yang unggul akan sangat menentukan masa depan industri gula nasional. Sebagaimana karakteristik industri primer, industri gula membutuhkan riset sebagai penyangga. Dengan basis tanaman yang sangat mudah dipengaruhi iklim, tanpa riset yang unggul, produksi tebu akan sulit mencapai optimal. Sebagai contoh dari sisi budidaya, diperlukan bibit unggul eks kultur jaringan dengan produktivitas tinggi untuk menyiasati sulitnya penambahan lahan tebu, terutama di Pulau Jawa. Melalui riset juga bisa berinovasi menghasilkan varietas unggul yang mampu meningkatkan produktivitas gula dan sebagainya.
         Dalam perspektif jangka panjang, upaya meningkatkan produksi gula dalam negeri merupakan upaya strategis yang paling tepat untuk memecahkan persoalan pergulaan Indonesia. Upaya peningkatan produksi dalam negeri, betapapun pentingnya, harus senantiasa memperhatikan pertimbangan-pertimbangan efisiensi.
Besarnya pasar gula Indonesia merupakan peluang bisnis yang akan mendorong tumbuh berkembangnya pabrik-pabrik baru dan peluang peningkatan penghasilan petani serta penyediaan lapangan kerja baru.  
Pasar pangan yang amat besar yang kita miliki selayaknya dimanfaatkan untuk juga memperkuat perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan melihat masalah-masalah yang ada, serta potensi yang tersedia, membangun kembali kejayaan industri gula di Indonesia, dan menjadikan Indonesia negara eksportir gula, bukanlah suatu utopia, tetapi suatu hal yang dapat dan sepatutnya diusahakan dalam tahun-tahun yang akan datang ini. Artinya, industri gula di tanah air sejatinya masih punya masa depan kalau kita semua secara sungguh-sungguh mewujudkannya.
          Wallahu’alam Bhis-shawwab

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...