Sabtu, 16 Agustus 2008

Berkunjung ke PT KEM Kaltim


Studi Banding DLH-Bapedal Jatim ke PT KEM Kaltim


Bagi sebagian masyarakat, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi alam melalui kegiatan tambang dianggap selalu menghasilkan kerusakan lingkungan dan menebar ancaman melalui limbah yang dihasilkannya. Namun anggapan tersebut tidak berlaku dengan penambangan emas yang dilakukan PT Kelian Equatorial Mining (KEM). Lantas apa yang dilakukan perusahaan milik Rio Tinto (Inggris) ini sehingga lingkungan yang berada di areal pertambangan bisa dikembalikan seperti sediakala?
Berikut laporan wartawan Bhirawa Wahyu Kuncoro SN yang berkesempatan melakukan studi banding ke lokasi bekas penambangan emas milik PT KEM yang berlokasi di Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur.
Dipimpin langsung Plt Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Jatim Ir Dewi J Putriatni, MSc rombongan yang terdiri dari Ketua Dewan Lingkungan Hidup (DLH) Jatim Drs Abdul Latief Burhan, Ir Henny Sutji T, MSi Sekretaris DLH, Drs Antoro Hendra S (anggota DLH), Dra Endang Mei, Apt Kasubbid Pengkajian, Ir Diah Susilowatie, MT Kasubbid Amdal, Agnes Tuti Rumiati dosen ITS Surabaya dan Bhirawa yang menjadi satu-satunya media yang diajak meninggalkan Surabaya menggunakan Pesawat Lion Air pukul 06.30 WIB.
”Studi banding ini dilakukan untuk melihat langsung bagaimana rehabilitasi lingkungan pascapenambangan yang dilakukan PT KEM,” jelas Plt Kepala Bapedal Jatim Ir Dewi J Putriatni MSc sesaat sebelum pesawat take off di Bandara Juanda Surabaya. Pilihan studi banding ke PT KEM lanjut Dewi, karena rehabilitasi lahan yang dilakukan perusahaan milik Rio Tinto (Inggris) tersebut terbaik di Indoensia
Selama kurang lebih 1 jam 15 menit mengudara, pesawat landing dengan selamat di Bandara Sepinggan Balikpapan. Berbeda dengan di Surabaya yang cerah, ketika sampai di Balikpapan hujan rintik-rintik menyambut kedatangan rombongan. Rombongan disambut Manajer Administrasi dan Hubungan Eksternal PT KEM Yudi Nurcahyana.
Rencana semula, perjalanan dari Balikpapan menuju Sendawar (Ibukota Kab Kutai Barat) akan ditempuh dengan menggunakan pesawat kecil Twin Otter pukul 14.00 WITA. Pesawat dengan 16 seat ini melayani penerbangan seminggu 3 kali yakni Senin, Rabu dan Kamis. Namun karena cuaca yang kurang mengizinkan, pesawat ditunda hingga pukul 16.00 WIB. Setelah beberapa saat menanti, muncul kabar bahwa pesawat batal berangkat karena cuaca yang tidak mengizinkan. Jalan darat akhirnya menjadi satu-satunya pilihan yang harus diambil untuk menuju lokasi. Rombongan akhirnya menyewa tiga mobil (baca : taksi plat hitam) untuk mengantarkan rombongan menuju lokasi PT KEM yang berada di Kec Melak, Kutai Barat.
Perjalanan darat selama lebih dari 10 jam itu terasa berat dan melelahkan. Jalan yang berkelok-kelok dan fisik jalan yang tidak layak plus hujan turun semakin membuat perjalanan kian berat. Perut terasa diaduk-aduk. Bhirawa yang tidak terbiasa menempuh perjalan seberat itu akhirnya menjadi satu-satunya anggota rombongan yang mabuk darat.
”Masak penumpang yang paling muda kok malah yang mabuk,” canda sekretaris DLH Jatim Ir Henny Sutji T, Msi ketika tahu Bhirawa mabuk darat.
Tepat pukul 04.00 waktu setempat, rombongan tiba dipintu masuk lokasi pertambangan. Setelah semua anggota diperiksa dan diberi tanda pengenal, akhirnya rombongan masuk lokasi bekas pertambangan yang berada di tengah hutan.
Suasana yang masih gelap gelita membuat anggota rombongan tidak bisa melihat kondisi di dalam hutan tersebut. Sekitar lima belas menit kemudian rombongan pun tiba di mess milik PT KEM yang akan menjadi tempat beristirahat sebelum melakukan tinjauan lapangan keesokan harinya.
Usai sarapan pagi pukul 09.00 WIB, rombongan didampingi Manajer Administrasi dan Hubungan Eksternal PT KEM Yudi Nurcahyana dan Manajer PT Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL) David Roberto melakukan peninjaun langsung ke lapangan. Sepanjang perjalanan, yang terlihat bukit-bukit yang telah menghijau, jauh dari kesan bahwa dulunya bekas lahan pertambangan emas. Meski demikian sisa-sisa bekas pabrik itu tetap ada.
Sambil sesekali berhenti dan turun dari bis Yudi dan David silih berganti memberi penjelasan kepada anggota rombongan. Tak kenal lelah keduanya melayani pertanyaan anggota rombongan yang silih berganti mencecarnya.
Dari penjelasan keduanya, diketahui bahwa PT KEM beroperasi di Kelian sejak 1992. Kontrak karya perusahaan itu ditandatangani pada 1985, yang kemudian ditingkatkan menjadi hak pinjam pakai. Produksi rata-rata KEM per tahun sebanyak 14 ton emas dan 10 ton perak sejak 1992 hingga 2004. KEM beroperasi berdasarkan kontrak karya 1985, mulai berproduksi 1992. Kegiatan penambangan di lubang tambang terbuka dihentikan pada Mei 2003 karena kandungan bijih emas di lokasi tersebut telah habis. Pengolahan bijih timbunan yang tersisa dilaksanakan sampai KEM mengakhiri produksinya pada Februari 2005.
Menurut Yudi, pengakhiran tambang dilakukan dengan mengacu pada rekomendasi Komite Pengarah Pengakhiran Tambang (KPPT). Dokumen itu telah disetujui pemerintah dan dijadikan acuan dalam pelaksanaan pengakhiran tambang. Komite ini dibentuk pada 1999 dan mulai bekerja pada 2001, menyelesaikan tugasnya Juni 2003. KPPT diketuai secara bersama oleh Presiden Direktur KEM dan Bupati Kutai Barat. Anggota KPPT pemangku kepentingan (stakeholders) melalui pihak pemerintah (pusat, provinsi, dan kabupaten), DPRD, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat adat, akademisi, serta perusahaan.
Pola pengakhiran tambang yang dilakukan oleh KEM merupakan benchmark di Indonesia ataupun pada tingkat internasional. Pengakhiran tambang yang dilakukan KEM dijadikan salah satu proyek percontohan program kemitraan pembangunan atau BPD (Business Partnership for Development) oleh Bank Dunia.
Dalam melakukan aktivitas penambangan, PT KEM menggunakan area seluas 1.192 hektare dari 6.670 hektare areal pinjam pakai. Selama beroperasi, PT KEM telah membayar pajak kepada pemerintah lebih dari Rp 1 Triliun.
Dari 1.192 hektare yang digunakan dalam penambangan diperkirakan akhir tahun 2008 ini akan direhabilitasi seluruhnya. PT KEM masih akan melakukan pemantauan pascatambang (periode 2008-2013). Proses rehabilitasi lahan dimulai dengan melakukan penggenangan terhadap areal seluas 800 hektar dengan air.
"Kita menggenangi tiga areal yang selama ini dipakai untuk penambangan emas dalam upaya mensterilisasikan dari limbah-limbah berbahaya," jelas Manajer PT Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL) David Roberto. Tiga kawasan yang digenangi merupakan areal yang selama ini merupakan bekas tambang (pit) serta dua lainnya merupakan areal eks pembuangan limbah tambang emas (tailing) yakni Dam Namuk dan satu lagi sudah merupakan kolam yang selama ini digunakan untuk pembilasan (Dam Nakan). Lahan yang dibutuhkan untuk ketiganya 801,45 hektar. Menurut David tiga kolam tersebut akan terus dikontrol tingkat keasamannya sehingga nantinya dapat dimanfaatkan untuk mengairi areal yang selama ini menjadi tempat bangunan untuk karyawan yang nantinya akan dijadikan kawasan basah (wet land) seluas 20 hektar. Lahan basah mirip dengan sawah yang ditanami rerumputan.
”Itu berfungsi untuk mengolah air secara alami dari pit sebelum dialirkan ke Sungai Kelian,” jelas David lagi.
Pada areal tambang setelah digenangi kemudian akan direhabilitasi untuk menjadikan sebagai kawasan hutan lindung seperti sediakala sebelum dijadikan areal penambangan. Dalam rangka menyiapkan program hutan lindung, telah dibentuk perusahaan bernama Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL) yang bertugas membantu pemerintah melakukan pengawasan.
Saat ini KEM telah mengerjakan reklamasi dan rehabilitasi yang diharapkan selesai akhir 2008 ini. Selanjutnya mulai 2008 hingga 2013 akan memasuki masa pasca tambang. Sedangkan pada 2013 pemantauan selanjutnya akan dilaksanakan oleh PT HLKL.
Dalam sebuah paparan, Manajer PT Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL) David Roberto menjelaskan bila perubahan fisik bentang alam pasti terjadi. Dulunya, areal tambang adalah hutan produksi terbatas. Waktu itu, hanya pohon-pohon tertentu yang bisa ditebang untuk dijual oleh suatu perusahaan. Dengan berakhirnya tambang, jelas terdapat pengurangan lahan hampir 1.000 hektar. Suatu konsekuensi logis jika bentang alam permukaan bumi dikupas untuk kepentingan pertambangan.Konsekuensi logis lainnya, kondisi hutan sebelum ditambang tidak akan bisa kembali seratus 100 persen. Maksimal 70 persen. Itupun butuh waktu minimal 20 tahun.
“Yang bisa dilakukan adalah menanam sebanyak mungkin jenis tumbuhan lokal di lahan yang akan direhabilitasi,” kata David Roberto lagi.
Rio Tinto melalui PT KEM menyiapkan dana 11 juta dollar untuk dana abadi operasional PT HLKL. Kemudian, secara politis, perusahaan dan pemerintah setempat menggodok rancangan peraturan daerah untuk menjadikan lahan areal bekas PT KEM sebagai hutan lindung. Harapannya memang setelah dikembalikan pada 2013, kawasan bekas tambang ditetapkan sebagai hutan lindung dan dikelola oleh PT HLKL.Bagaimana kalau sebaliknya?
Yudhi Nurcahyana mengemukakan bahwa semua keputusan berada di pemerintah dan masyarakat. Rekomendasi yang telah diusulkan KPPT sebaiknya ditaati. Dana besar yang disiapkan tadi hanya bisa digunakan kalau kawasan bekas tambang berstatus hutan lindung.
“Rio Tinto tidak akan menarik dana itu kembali. Kalau tidak hutan lindung, dana juga tidak bisa digunakan,” kata Yudhi Nurcahyana. Pemerintah setempat sampai saat ini sepertinya memilih agar kawasan bekas tambang itu menjadi hutan lindung. Jika dijadikan kawasan produktif sepertinya tidak menguntungkan.
Selain itu, sejak tahun 2003, kegiatan pengembangan kemasyarakatan PT KEM disalurkan melalui Yayasan Rio Tinto yang kini menjadi yayasan lokal Yayasan Anum Lio (YAL). YAL berperanan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat Kutai Barat melalui program-program pertanian, kesehatan, dan kebudayaan. Program itu dilaksanakan dalam bentuk pendampingan. Beberapa keberhasilan program YAL, antara lain, peningkatan Ketahanan Pangan di sekitar lokasi PT KEM, pemberantasan TBC, sosialisasi adat dan budaya Dayak. KEM menempatkan dana abadi (US$ 2,4 juta) guna mendukung kegiatan YAL.
Kepala Bapedal Jatim mengaku hasil kunjungan tersebut akan menjadi referensi bagi Jatim bila nantinya akan membuka lahan tambang khususnya di kawasan hutan.
”Dari pengalaman PT KEM, setidaknya membuktikan bahwa bila dikelola secara baik, aktivitas penambangan tidak selalu merusak lingkungan,” tegas penggemar pop mie yang selalu terlihat energik ini. Selain itu, lanjut Dewi, diharapkan dengan pengalaman ini masyarakat bisa lebih terbuka menerima investor yang ingin melakukan penambangan di Jatim. (wahyu kuncoro sn)

Rabu, 06 Agustus 2008

Bersama bunda dan Risyad




Himpitan beban hidup dan beratnya ayunan langkah terasa ringan dan indah saat bunda dan risyad bersamaku. Tiada kebahagiaan dan keindahaan selain bisa menyaksikan bunda dan Risyad tertawa bahagia... Semoga aku bisa membahagiakan keduanya...

Selasa, 05 Agustus 2008

Bersatu Melawan Kunker


Wahyu Kuncoro SN
Peneliti Senior pada Public Sphere Center (PuSpeC)
Surabaya


Berbagai media, hari-hari ini mengekspos sikap berbagai elemen dalam masyarakat dari LSM, kalangan kampus, advokat, hingga politisi yang tengah menggalang kekuatan untuk menolak rencana kunjungan kerja yang akan dilakukan oleh DPRD Jatim.
Aksi penolakan ini demikian hebatnya sehingga sampai mengancam untuk melakukan sweeping terhadap anggota dewan. Melihat begitu dahsyatnya reaksi masyarakat terhadap rencana kunker tersebut mengindikasikan memang ada persoalan dengan rencana kunker tersebut.
Penolakan beberapa elemen dalam masyarakat terhadap kegiatan kunjungan kerja (kunker) baik yang dilakukan oleh kalangan eksekutif maupun legislatif sesungguhnya sudah menjadi hal yang lumrah terjadi. Reaksi tersebut sesungguhnya harus dibaca sebagai indikasi masih relatif berjalannya mekanisme kontrol dari masyarakat.
Lantaran itu, maraknya aksi mobilisasi massa untuk menentang kunker hendaknya dibaca secara wajar-wajar saja. Pun demikian pula dengan aksi penolakan yang dilakukan oleh kelompok yang menyebut sebagai 19 elemen masyarakat yang menuntut pembatalan rencana kunker DPRD Jatim 9 - 20 Mei mendatang.
Sebagai bagian dari masyarakat, memang sah-sah saja bila kelompok kritis masyarakat tersebut melakukan peran tersebut. Yang dibutuhkan kemudian adalah bahwa anggota DPRD harus secara elegan menjelaskan program tersebut.
Kunjungan kerja dianggap sebagai salah satu mekanisme untuk melakukan pembelajaran. Dalam kerangka pemahaman seperti ini maka dengan sendirinya siapa saja termasuk anggota DPRD Jatim boleh menjadikan kegiatan kunjungan kerja sebagai bagian dari pembelajaran diri.
Persoalan menjadi demikian rumit karena ternyata anggota DPRD tidak cerdas dalam menyikapi penolakan tersebut. Argumentasi bahwa program tersebut telah lama ditetapkan menjadi cermin betapa anggota DPRD tidak membiasakan diri untuk membuat program kerja (baca: kunker) yang memiliki basis argumentasi memadai.
Kunker yang sesungguhnya merupakan istilah yang positif telah berubah menjadi bermakna negatif. Bahkan kunker sudah dianggap dan disamakan dengan ngelencer. Terjadinya distorsi makna tersebut jelas tidak terjadi dengan serta merta. Namun merupakan akumulasi pemahaman dan buah dari perilaku dari para pejabat kita dalam meletakkan fungsi kunker.
Melakukan kunker itu positif-positif saja. Tetapi baru akan menimbulkan persoalan ketika maksud, tujuan, dan target yang diinginkan tidak terukur dan tidak jelas. Bahkan lebih ironis lagi karena kunker acap hanya untuk melegitimasi sikap DPRD yang ingin jalan-jalan atau sekadar untuk menambah 'pendapatan' mereka.
Imbasnya, ketika muncul berita anggota dewan akan kunker yang terlebih dulu terbangun di benak masyarakat adalah membuang-buang anggaran saja. Meski terlihat tidak bijak, namun cara pandang masyarakat yang sudah telanjur seperti ini semestinya harus diletakkan sebagai sebuah warning agar anggota DPRD kita lebih hati-hati sebelum memutuskan untuk melakukan kunker.

Masyarakat sesungguhnya juga memang harus bersikap fair, yakni tidak semua hasil kunjungan kerja itu tidak bermakna sama sekali. Beberapa hasil kunker tersebut terbukti memang memiliki dampak positif bagi Jatim khususnya dalam membuat produk kebijakan maupun pembuatan regulasi di Jatim.
Yang menjadi pertanyaan barangkali berapa persentase hasil kunker yang dianggap bermakna dibandingkan dengan kunker yang hanya sebatas ngelencer. Inilah yang selama ini tidak pernah dipublikasikan dan didiskusikan secara terbuka dengan masyarakat.
Sebagai sekedar catatan, beberapa hasil kunker yang terbukti membawa hasil misalnya Rencana Pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) merupakan salah satu keberhasilan kunker dewan ke Jerman beberapa waktu lalu. Imbasnya dewan berhasil menarik investor masuk ke Jatim untuk menginvestasikan dananya.
Penyusuan rancangan perda lanjut usia dan raperda stren kali. Selain itu, beberapa investasi di Jatim diklaim sebagai salah satu hasil kunker. Misalnya, investasi proyek air bersih Umbulan, Pasuruan, investasi Tiongkok pada usaha produksi sepatu (Tanggulangin, Magetan, dan Mojokerto), dan pertambangan minyak di Situbondo yang saat ini masih terbentur peraturan pemerintah tentang investasi asing dan sebagainya.

Peran Partai Politik
Kalau kita berdebat soal bermanfaat dan tidaknya kunker dengan berangkat dari cara pandang dan kepentingan masing-masing jelas hanya akan membuang energi saja. Upaya yang paling fair adalah dengan melihat aturan main yang ada.

Ketentuan untuk bisa melakukan kunker ke luar negeri sesungguhnya cukup baik untuk bisa menekan kemungkinan anggota dewan melakukan kunker seenaknya. Beberapa ketentuan yang digariskan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20/2005, misalnya mengisyaratkan rencana perjalanan dinas para anggota DPRD harus dilengkapi proposal yang berisi tujuan serta program kerja yang ingin dicapai.
Dewan harus mengirim berkas ke gubernur yang berisi nama, negara yang dituju, serta tujuan keberangkatan. Seluruh berkas, baik proposal maupun data pendukung, lantas dikirim ke Depdagri untuk dimintakan persetujuan. Peserta kunker dibatasi maksimal lima orang dalam satu kelompok. Pembatasan jumlah rombongan dimaksudkan supaya kunker lebih efektif dan efisien.
Namun, meski aturannya cukup baik, toh di lapangan aturan tinggal aturan dan dengan mudahnya bisa dilewati.
Aturan yang seharusnya menjadikan kunker lebih efisien tanpa menghamburkan uang rakyat itu ternyata masih bisa 'disiasati'. Salah satu modus dewan menyiasati aturan tersebut misalnya dengan membagi seluruh anggota komisi yang berjumlah 19-20 orang menjadi empat pokja (kelompok kerja). Aggotanya 4-5 orang. Setiap pokja diminta mengusulkan negara tujuan yang berbeda. Jadwal kunjungan pun diatur bergantian untuk menghindari tudingan kunker beramai-ramai.
Selain itu, keinginan untuk mendorong pihak eksekutif ikut mengoreksi anggaran untuk kunker legislatif sesungguhnya sudah menimbulkan keraguan. Logikanya, pihak eksekutif dalam hal ini gubernur tentu tidak akan 'tega' untuk tegas dalam memangkas anggaran kunker, karena pihak eksekutif pun tidak ingin agenda kunkernya nanti pun bakal diganggu dewan. Sehingga praktis harapan agar pihak eksketif mau mengoreksi rencana kunjungan legislatif adalah sesutu yang sulit dilakukan.
Selain masyarakat dan elemen kritis di dalamnya, maka kekuatan yang semestinya mampu berfungsi mengontrol perilaku politik DPRD adalah partai politik induk. Namun fungsi itu menjadi tidak berjalan karena secara faktual menunjukkan anggota DPRD ternyata juga merupakan elite/pimpinan partai politik.
Bila ini yang terjadi maka menjadi tidak relevan lagi kalau kita berharap partai politik bisa mengendalikan anggota DPRD. Yang terjadi justru partai politik menjadi humas bagi DPRD. Inilah amburadulnya sistem politik kita. Parpol yang sesungguhnya menjadi dapur dalam pengambilan politik tetapi justru menjadi alat pembenar bagi kinerja DPRD yang keliru.
Melihat tradisi kunker yang demikian menggelisahkan ini sudah sepatutnya ada shock therapy khususnya dari jajaran aparat hukum kita untuk bisa menyeret anggota DPRD yang melakukan kunker seenaknya. Kalau kejaksaan dan KPK bisa menyeret para anggota dewan dan pejabat yang korupsi, tentunya mereka juga bisa menjerat anggota DPRD yang menggunakan anggaran seenaknya.
Artinya, pada derajat tertentu penggunaan dana APBD yang seenaknya, termasuk misalnya untuk kunker yang tidak jelas adalah juga melakukan korupsi dalam wajah yang berbeda. Lantaran itu pekerjaan besar yang harus kita lakukan adalah mendorong aparat hukum kita baik kejaksaan, kepolisian, maupun KPK mampu mengontrol kinerja dewan dalam penggunaan anggaran.
Singkatnya perlu ada kebersamaan baik dari elemen kritis dalam masyarakat berikut dari aparat hukumnya untuk meneguhkan tekad menghentikan kunker yang tidak memiliki makna apapun bagi masyarakat.


Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...