Minggu, 08 September 2013

Elektabilitas Jokowi dan Dosa Kolektif Media

Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDIP baru saja selesai digelar. Momentum yang banyak pihak diharapkan akan jadi ajang pendeklarasian Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menjadi calon presiden (Capres) ternyata tidak terjadi. Alih-alih mencapreskan Jokowi, Ketua Umum DPP PDIP Megawati dalam pidato politik saat Rakernas, justru meminta para kader untuk lebih berkonsentrasi dalam mendulang suara dalam Pemilu Legislatif (Pileg) agar PDIP bisa mengusung kader sendiri, Jawa Pos (9/9). Meski demikian, walau tidak secara khusus mencapreskan Jokowi, sejatinya Megawati sudah memberi panggung bagi Jokowi dalam Rakernas. Panggung yang disediakan itu bisa terlihat baik saat Megawati menyampaikan pidato politiknya maupun peran yang diberikan kepada Jokowi untuk membacakan dedication of life-nya Soekarno. Meskipun publik sudah bisa membaca kemana dukungan itu akan mengarah, namun toh Megawati lebih memilih menyimpan nama Jokowi dan tidak terburu-buru mencapreskannya sebagaimana ditunggu-tunggu banyak orang. Sikap Megawati yang meminta agar kader PDIP lebih konsentrasi dalam mendulang suara untuk Pileg sesungguhnya juga memberi pesan ke masyarakat bahwa kalau masyarakat ingin PDIP bisa mengusung Jokowi sebagai presiden maka masyarakat harus ikut memilih caleg-caleg PDIP agar perolehan suara PDIP memungkinkan untuk mengajukan Capres sendiri. Sikap Megawati untuk lebih fokus pada Pileg tentu bukan saja dilandasi oleh logika, bahwa untuk menghadapi Pilpres sangat ditentukan oleh hasil Pileg, tetapi nampaknya Megawati juga ingin mengambil untung dari popularitas dan elektabilitas Jokowi yang sedang membubung. Megawati tidak ingin, dukungan yang besar terhadap Jokowi tidak memiliki imbas signifikan kepada nasib partai politiknya. Sejumlah survei mengajari bahwa popularitas dan elektabilitas figur tertentu tidak selalu linear dengan dukungan terhadap partai asal figur tersebut. Simak saja hasil survei Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih Pra-Pemilu 2014 yang dilakukan yang dilakukan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) beberapa waktu lalu. Menurut Survei LIPI, rakyat ternyata lebih melirik figur potensial daripada partai politik pada Pemilu 2014. Partai tak memengaruhi keputusan rakyat untuk memilih. Hal itu tecermin dari hasil survei bahwa 6 dari 10 reponden akan memilih caleg dibanding parpol. Ini tentu berbeda dengan pengalaman Pemilu 2009. Dalam survei empat lembaga, satu bulan menjelang pemungutan suara pada Pemilu 2009, ditemukan mayoritas pemilih masih memilih partai. Selain itu, survei juga menunjukkan sebanyak 58 persen responden memilih berdasarkan potensi calon legislatif jika pemilu legislatif diadakan saat ini. Adapun yang memilih berdasarkan parpol ialah 30 persen dan yang menyatakan tidak memilih sebanyak 12 persen , Jawa Pos (27/6). Realitas tersebut nampaknya dipahami betul oleh para elit PDIP sehingga memutuskan untuk tidak begitu saja melepas nama Jokowi ke pasaran. Karena bila dilakukan, maka PDIP tidak akan terlalu banyak mengambil untung dari popularitas Jokowi. Logikanya, meski orang mendukung Jokowi sebagai capres belum tentu ia akan memilih Caleg dari PDIP dalam pileg mendatang. Selain itu, kalau nama Jokowi dilepas ke bursa Capres sejak sekarang sangat mungkin akan muncul kekuatan-kekuatan non PDIP yang akan bermunculan. Baik kekuatan itu berasal dari partai politik non PDIP maupun berasal dari kalangan relawan atau kekuatan lain yang akan ramai-ramai mendukung Jokowi capres. Nah, bila itu yang terjadi maka PDIP tidak lagi menjadi pemegang ‘saham’ terbesar dalam mendukung pencapresan Jokowi. Dalam konteks inilah, maka sungguh bisa dipahami mengapa PDIP cenderung ingin mengambil untung dari popularitas dan elektabilitas yang dimiliki Jokowi untuk juga bisa mendongkrak suara PDIP dalam Pileg. Dosa Media Menguatnya harapan publik untuk mengusung Jokowi menjadi Capres pada 2014 mendatang sesungguhnya juga menimbulkan dilematika bagi para pendukung dan penggemar Jokowi sendiri. Mengapa ? Karena para pendukung Jokowi sebagian berpandangan bahwa Jokowi sebaiknya harus menyelesaikan tugasnya memimpin Jakarta. Bagi mereka, Jokowi harus diberi kesempatan untuk membenahi Jakarta yang juga butuh sentuhan humanis ala Jokowi. Memimpin Jakarta sesungguhnya bisa menjadi ujian bagi Jokowi sebelum nantinya menjadi presiden. Namun sebagian lain berpandangan, bahwa inilah momentumnya Jokowi untuk menuju pemimpin nasional. Meski belum genap 2 tahun memimpin Jakarta, komitmen dan kesungguhan Jokowi dalam membangun wilayahnya sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa Jokowi layak diusung menjadi presiden. Di atas itu semua, munculnya dilematika semacam ini sesungguhnya menunjukkan betapa bangsa ini sedang krisis pemimpin. Rasanya bangsa ini hanya sangat tergantung pada sosok seorang Jokowi. Menguatnya demam terhadap sosok Jokowi pada level tertentu sesungguhnya juga akibat peran media yang terlalu lebay (berlebihan) dalam mengekspos sepak terjang Jokowi. Artinya, media utamanya media massa punya ‘dosa’ dalam mengarahkan opini publik untuk mengelu-elukan sosok dan sepak terjang Jokowi. Terlepas dari realitas bahwa sosok Jokowi adalah sosok yang tengah digandrungi publik saat ini, publikasi media yang berlebihan dalam mengekspos Jokowi, maka pada wilayah lain juga berarti media tidak membuka peluang munculnya figur lain yang bisa jadi lebih baik dari Jokowi. Memang, dalam konteks nilai berita (news value) tidak dipungkiri bahwa sosok Jokowi merupakan objek berita yang seksi untuk diberitakan. Sehingga meski tanpa diminta pun media akan dengan senang hati meliput apapun yang dilakukan dan dikerjakan Jokowi. Selain itu, publik pun sangat menyenangi pemberitaan soal Jokowi. Dengan demikian, pemberitaan soal Jokowi bukan saja memenuhi aspek news value, tetapi juga memiliki aspek bisnis media yakni media akan memberitakan hal-hal yang diinginkan para pembaca dan pendengar/pemirsanya. Namun pertanyaannya, apakah media tidak punya jiwa lain, selain hanya bekerja memenuhi ‘hukum pasar’ seperti itu. Dalam konteks demokrasi, media juga dipahami memiliki peran luhur sebagai pilar keempat demokrasi. Lantaran itu, media sepatutnya juga harus memiliki agenda setting untuk ikut serta berkontribusi dalam melahirkan tokoh dan figur baru selain Jokowi. Media juga harus kreatif dan mencari dan menemukan figur lain yang bisa menjadi figur alternatif. Bangsa ini sesungguhnya harus menyadari bahwa banyak figur lain yang muda dan progresif yang layak dimunculkan untuk memimpin bangsa ini. Bangsa ini tentu tidak boleh kalau hanya bergantung pada sosok Jokowi. Oleh karena itu, media sejatinya juga harus bisa memberi kontribusi dalam menemukan figur-figur pemimpin bangsa yang layak jual. Hampir mustahil kalau bangsa yang memiliki penduduk lebih dari 260 juta ini hanya memiliki seorang Jokowi yang dianggap bisa menyelesaikan masalah bangsa ini. Ingat, bangsa ini tidak mungkin hanya diselesaikan oleh satu dua orang, tetapi harus secara kolektif diselesaikan secara bersama-sama. Dalam konteks inilah, media juga harus membuka mata lebar-lebar agar tidak terlalu terpukau oleh pesona seorang Jokowi. Wallahu’alam Bhis-shawwab

Rabu, 13 Maret 2013

Menyemai Kurikulum, Menggapai Masa Depan

Kurikulum pendidikan baru atau kurikulum 2013 akan diberlakukan pada tahun ajaran baru 2013/2014 untuk seluruh sekolah di tingkat SD, SMP dan SMA atau sederajat. Pelaksanaan kurikulum baru ini direncanakan secara bertahap. Sebagai tahapan menuju pemberlakuan kurikulum baru, pemerintah melakukan uji publik yang akan berlangsung hingga 23 Desember 2013 mendatang. Tujuannya, mendapatkan masukan dan saran dari berbagai lapisan masyarakat secara terbuka dan transparan. Selain itu, uji publik dimaksudkan untuk memberikan rasa saling memiliki dari masyarakat tentang kurikulum baru nanti. Perubahan kurikulum pendidikan sejatinya merupakan hal yang wajar, bahkan sudah menjadi sebuah keniscayaan sebagai implikasi perubahan zaman. Perubahan kurikulum pada wilayah lain juga bisa dibaca sebagai bagian dari responsi pemerintah terhadap harapan, masukan, kritik dan saran dari masyarakat yang menghendaki adanya penyesuaian atas kurikulum lama yang berlaku hingga saat ini. Artinya, perubahan kurikulum merupakan konsekuensi logis dari perubahan sistem politik, sosial-budaya, ekonomi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Perubahan kurikulum dikonsepsikan agar pendidikan mampu mencetak SDM yang beriman, bertaqwa, cerdas, terampil, berani berkompetisi dan bertanggung jawab terhadap bangsa dan negara. Ikhtiar ini diyakini dapat mencetak peserta didik yang kelak di usia 40-50 tahun atau di masa emas 100 tahun kemerdekaan Indonesia tahun 2045, dapat menjadi pemimpin di segala sektor. Terlepas dari kontroversi yang terjadi, perubahan kurikulum yang dirancang oleh Mendikbud M. Nuh tentu sudah berdasarkan hasil evaluasi yang matang dan tidak hanya untuk kepentingan sesaat, sehingga perubahan kurikulum tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia secara menyeluruh. Investasi Masa Depan Semangat kurikulum baru yang, - antara lain - hendak lebih menyederhanakan (jumlah) mata pelajaran, dianggap memenuhi harapan para orang tua siswa yang selama ini ikut merasakan anaknya menanggung beban pelajaran yang terlampau banyak atau berat. Berdasar kurikulum baru ini, jumlah mata pelajaran di tingkat SD dan SMP bakal banyak dikurangi. Kalau sebelumnya 10 mata pelajaran, nanti hanya ada enam mata pelajaran. Di tingkat SMP, 12 mata pelajaran diringkas menjadi 10 mata pelajaran. Namun, jam pelajaran akan ditambah. Misalnya, untuk kelas 4–6 SD, 32 jam pelajaran per minggu akan ditambah menjadi 36 jam per minggu. Untuk siswa SMP, pelajaran ditambah enam jam per minggu dan SMA ditambah dua jam per minggu. Selain itu, muatan kurikulum baru yang akan lebih berbasis pada pendidikan karakter, juga dianggap selaras dengan tuntutan masyarakat mengenai kian perlunya penguatan kembali pada pengembangan kepribadian siswa yang unggul dan luhur. Dengan kurikulum yang memberi penekanan dalam hal moralitas dan pendidikan karakter ini diharapkan anak didik bisa lebih toleran lagi dalam pergaulan di masyarakat. Singkatnya, kurikulum baru itu bertujuan menyeimbangkan aspek akademis dan karakter anak-anak Indonesia. Dengan demikian, nantinya sistem pembelajaran adalah berbasis penguatan penalaran, bukan sekadar hafalan. Secara faktual, setidaknya merujuk pada hasil sejumlah survei internasional menunjukkan bahwa siswa Indonesia jauh tertinggal dibanding negara-lain. Pada 2007, survei Trends in International Math and Science yang diadakan Global Institute mencatat, hanya 5 persen siswa Indonesia yang bisa mengerjakan soal berkategori tinggi. Padahal, di Korea, ada 71 persen siswa yang mampu menyelesaikan soal tersebut. Untuk soal berkategori rendah, ada 78 persen siswa Indonesia yang mampu mengerjakan, sedangkan siswa Korea hanya 10 persen. Programme of International Student Assessment (PISA) pada 2009 menempatkan Indonesia di peringkat 10 besar terbawah dari 65 persen negara peserta PISA. Gambaran ini tentu tidak boleh dibiarkan. Harus ada upaya mendasar untuk mendongkrak kualitas pendidikan nasional. Karena itu, dengan risiko apa pun, perubahan kurikulum yang dilandasi oleh semangat perbaikan tersebut harus didukung semua pihak. Investasi di bidang pendidikan tidak boleh ditunda dengan dalih apapun. Meminjam istilah Mendikbud M Nuh bangsa ini harus membeli masa depan dengan harga sekarang, yaitu dengan melakukan pembenahan secara sistematis terhadap konsep pendidikan maka harapannya bangsa ini akan menuju masa depan yang lebih gemilang. Salah satu jembatan emas menuju pendidikan berkualitas adalah dengan memperbaiki kurikulum yang ada. Di atas semua, hiruk pikuk bahkan mungkin kegaduhan yang terjadi mengiringi rencana pemberlakuan kurikulum pendidikan baru ini pastilah masih lebih murah social cost-nya dibandingkan kalau bangsa ini menunda-nunda pelaksanaan kurikulum. Artinya, akan terlalu mahal harga yang harus dibayar bangsa ini di masa mendatang kalau perubahan dan pembenahan system pendidikan nasional melalui perubahan kurikulum tidak segera dilakukan. Guru Ujung Tombak Meski sempat terjadi pro dan kontra ketika menyikapi perubahan kurikulum pendidikan nasional, namun ikhtiar pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan patutlah diberi apresiasi. Harapannya, perubahan kurikulum baru ini benar-benar mampu meningkatkan mutu pendidikan sesuai harapan masyarakat. Kita tentu tidak ingin kalau perubahan kurikulum itu hanya sekadar lagu lama yang mewakili ungkapan "Ganti Menteri, Ganti Kebijakan, dan Ganti Kurikulum". Dan jangan pula prasangka bahwa kurikulum baru nantinya akan lebih dirasakan oleh masyarakat sebagai sebuah aksi pencitraan atau sebagai sebuah proyek semata. Kalau hal itu yang terjadi tentu masyarakat akan kecewa. Apalagi adanya perubahan kurikulum itu akan mengorbankan anak didik serta membuat repot guru dan tenaga pendidik. Pada wilayah lain, perubahan kurikulum tersebut tidak akan ada artinya tanpa pembenahan guru dan sarana pendidikan, karena itu pemerintah juga menata guru melalui uji kompetensi guru (UKG) yang bertujuan untuk memetakan guru yang mumpuni dan perbaikan sarana pendidikan harus mendapat prioritas. Guru dan sekolah yang menjadi perantara dalam setiap perubahan kurikulum pendidikan harus memahami konsep kurikulum 2013, sehingga dapat mentransformasikan kebijakan yang digagas Mendikbud kepada pelajar dengan baik. Kalau semua pihak yang berkompeten dalam perubahan kurikulum pendidikan itu dapat melaksanakan dengan baik, maka harapan Kemendikbud untuk memperbaiki kualitas pendidikan dengan mencetak generasi berkarakter dapat terwujud. Maknanya, hal penting yang harus disiapkan Kemendikbud adalah peningkatan kualitas guru. Sebab, sebagus apa pun kurikulum 2013, kalau tidak didukung peningkatan kemampuan guru, tentu akan sia-sia. Karena itu, sembari mematangkan kurikulum, kualitas guru, terutama di daerah, perlu di-upgrade. Sebab, guru merupakan ujung tombak pelaksanaan kurikulum baru tersebut. Karena itu, peningkatan kualitas guru menjadi instrumen yang wajib dilakukan bersamaan dengan berlakunya Kurikulum Pendidikan Nasional 2013. Adanya kurikulum baru tentunya diperlukan waktu bagi guru untuk menyesuaikan dengan kurikulum baru, terutama bagi guru yang beralih mata pelajaran karena terkena penghapusan. Perubahan kurikulum juga harus disertai peningkatan mutu pembelajaran yang terus-menerus dan berkelanjutan. Perubahan kurikulum baru adalah penting, namun mempersiapkan guru agar lebih mampu mengoperasionalkan kehendak dari kurikulum baru adalah jauh lebih penting lagi. Sebab, betapapun idealnya kurikulum baru yang berhasil disusun, pada akhirnya, kunci penentu tetaplah berada di tangan para guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan kurikulum. Artinya, perubahan kurikulum bukanlah jaminan terjadinya peningkatan mutu pendidikan. Secara praktis di lapangan, kunci mutu pendidikan pada dasarnya berada di tangan guru, sebagai pelaksana kurikulum yang sehari-hari berinteraksi secara langsung dengan peserta didik. Kinerja guru, jelas akan sangat menentukan atas mutu pendidikan. Guru juga diharapkan tidak hanya mentransfer pengetahuan, tapi juga harus berperan sebagai pendidik. Jadi teladan dan mengerti psikologi perkembangan anak. Maknanya, pemberlakuan kurikulum ini tentu dengan harapan ke depan, cara berpikir murid akan berubah, yakni selalu mencari tahu dan melakukan observasi. Siswa diarahkan untuk merumuskan masalah, tidak hanya menyelesaikan masalah. Murid dilatih untuk berpikir analitis, bukan mekanistis. Di atas itu semua, harus dipahami bahwa hasil pembangunan karakter dalam kurikulum baru tersebut tidak bisa terlihat dalam jangka pendek. Mungkin butuh bertahun-tahun untuk menikmati hasil perubahan kurikulum tersebut. Masalahnya, masa jabatan Nuh tinggal dua tahun lagi. Belum tentu Mendikbud baru nanti mau meneruskan kurikulum baru itu. Jadi, Mendikbud harus bisa menjamin bahwa kurikulum baru tersebut akan berlaku dalam jangka panjang. Wallahu’alam bhis-shawwab ***

Peluang dan Tantangan Pasar OGB di Indonesia



Pemakaian obat generik di Indonesia tidak rasional. Di saat kondisi masyarakat  yang kemapanan ekonominya rentan (baca : miskin) masih tinggi, ternyata tingkat pemakaian obat generik sangat rendah. Sementara di Negara-negara maju yang masyarakatnya cenderung mapan secara ekonomi, justru pemakaian obat generiknya lebih tinggi.


Wahyu Kuncoro SN, Surabaya
(Dosen Komunikasi Universitas Widya Mandala (UWM) Surabaya)

Masyarakat masih menganggap obat generik merupakan obat kelas dua, alias diragukan khasiatnya. Persepsi keliru ini menjadi salah satu faktor penyebab masih rendahnya penggunaan obat generik. Persepsi keliru masyarakat terhadap obat generik menandakan masih minimnya upaya sosialisasi terhadap keberadaan obat generik. Sosialisasi obat generik tidak bisa jor-joran seperti obat non generik. Pasalnya untuk promosi terbentur dengan biaya yang tinggi, sementara margin-nya tidak sebesar obat non generik.
Ada tiga jenis obat yang beredar di Indonesia, yakni obat paten, obat generik berlogo (OGB), dan obat generik bermerek. Obat paten adalah obat yang baru ditemukan dan memiliki masa paten tertentu tergantung jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001, masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun. Obat paten kebanyakan digunakan dalam pengobatan kanker, AIDS, dan flu burung. Jumlahnya tidak banyak, hanya 7%-8% dari obat-obatan yang beredar di Indonesia. Selebihnya ialah obat generik alias tiruan dari obat paten yang sudah habis masa patennya. Obat generik sendiri dibagi dua, yakni: Obat Generik Berlogo (OGB) dan Obat Generik Bermerek Dagang (OBM/branded generic). OGB umumnya disebut obat generik saja, sedangkan obat generik bermerek biasanya tergantung pada perusahaan farmasi yang memproduksinya. OGB pada Tahun 1989, diluncurkan oleh pemerintah melalui SK Menkes No 085/Menkes/Per/I/1989 dengan tujuan memberikan alternatif obat bagi masyarakat dengan kualitas terjamin, harga terjangkau dan ketersediaan obat yang cukup. Selanjutnya, pada Tahun 1991 OGB diluncurkan untuk memenuhi kebutuhan obat masyarakat menengah ke bawah.
Dalam obat generik bermerek, kandungan zat aktif itu diberi nama (merek). Zat aktif amoxicillin misalnya, oleh pabrik "A" diberi merek "inemicillin", sedangkan pabrik "B" memberi nama "gatoticilin" dan seterusnya, sesuai keinginan pabrik obat. Dari berbagai merek tersebut, bahannya sama: amoxicillin.
Mutu obat generik tidak berbeda dengan obat bermerk  karena bahan bakunya sama. Ibarat sebuah baju, fungsi dasarnya untuk melindungi tubuh dari sengatan matahari dan udara dingin. Hanya saja, modelnya beraneka ragam. Begitu pula dengan obat. Generik kemasannya dibuat biasa, karena yang terpenting bisa melindungi produk yang ada di dalamnya. Namun, yang bermerek dagang kemasannya dibuat lebih menarik dengan berbagai warna. Kemasan itulah yang membuat obat bermerek lebih mahal.

Mengapa Obat Generik
Murah?
Alasan utama obat generik murah adalah karena mengenai harganya diatur oleh pemerintah, dengan harapan agar harga obat dapat terjangkau oleh masyarakat luas. Jadi produsen obat generik tidak dapat menentukan harga obatnya sendiri. Sedangkan obat bermerek, harganya tidak ditekan oleh pemerintah, sehingga produsen obat lebih leluasa menetapkan harga.
Secara garis besar, ada beberapa faktor  yang menyebabkan harga obat generik lebih murah ketimbang obat branded. Pertama, OGB diproduksi dalam jumlah yang besar sehingga skala produksinya efisien. Skala produksi yang besar tentu akan menekan biaya produksi. Bahan baku dan kemasan yang digunakan juga dalam jumlah besar sehingga harga pembeliannya lebih rendah, bila dibandingkan dengan pembelian dalam jumlah kecil. Kedua, OGB selalu dibuat sederhana, tetapi memiliki daya kemas yang baik (sesuai ketentuan BPOM, untuk menjamin kualitas obat), sehingga menurunkan biaya kemasan. Kemasan OGB sangat sederhana dan tidak berwarna warni tetapi tetap berkualitas. Ketiga, obat generik hanya meng-copy obat paten yang sudah berakhir masa patennya sehingga untuk menilai khasiat, keamanan, dan kualitas obat generik tidak diperlukan lagi uji klinis yang mahal. Sayangnya, masih banyak pasien yang berpikir bahwa obat generik tidak manjur karena harganya murah. Sebaliknya, yang berharga mahal dianggap lebih cespleng.
Obat generik memang harganya murah, tapi bukan berarti murahan. Artinya, harganya memang dimurahkan sesuai dengan ketetapan pemerintah. Namun, mulai dari bahan pengadaan baku awal, produksi, hingga finish product, dilakukan quality control sebagaimana dilakukan jika memproduksi obat paten. Dengan demikian, kualitas dan keamanan obat generik dan obat paten relatif sama. Untuk itulah, masyarakat tidak perlu khawatir jika minum obat generic karena kualitasnya terjamin.

Sosialisasi dan Edukasi
Masyarakat Indonesia memang menganggap bahwa obat bermerek adalah obat nomor satu, yang cepat dapat menyembuhkan penyakit. Maka, bila dokter meresepkan obat generik berlogo (OGB), pasien protes. Pasien dan keluarganya beranggapan, OGB tidak manjur dan hanya pantas dikonsumsi oleh kalangan menengah bawah. Dibanding obat bermerek, harga OGB memang lebih murah.
Berbeda dengan di negara maju seperti
Amerika Serikat atau Eropa, yang jauh lebih sejahtera. Di sana, bila pasien datang berobat maka dokter, klinik atau rumah sakit otomatis akan memberikan obat generik. Itu karena masyarakat di negara maju sudah teredukasi. Mereka tahu persis bahwa zat berkhasiat yang terkandung dalam OGB dan obat bermerek sama persis.
Kesadaran dan pengetahuan masyarakat negara maju demikian tinggi. Mereka sedikit banyak tahu akan manfaat obat-obatan yang diberikan oleh dokter atau institusi kesehatan. Di negara maju, obat generik sangat popular karena ditopang oleh sistim pelayanan kesehatan, yang sudah dicover asuransi. Pihak asuransi akan "menekan" institusi kesehatan, agar mereka memberikan OGB kepada pasien yang datang berobat. Masyarakat Indonesia masih belum teredukasi secara baik.
Pengetahuan masyarakat sangat minim, sehingga cenderung percaya dan menerima begitu saja apa pun obat yang diberikan oleh dokter atau rumah sakit. Yang memprihatinkan, banyak oknum dokter yang lebih suka meresepkan obat generik bermerek daripada generik berlogo. Karena, oknum dokter itu mengincar komisi dari perusahaan farmasi produsen obat bermerek itu. Yang lebih parah, dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien, ada oknum dokter yang menyebut-nyebut obat generik bermerek sebagai obat paten. Harga mahal pun jadi terkesan wajar. Karena itu, pasien harus lebih berdaya. Ingat, beli obatnya, bukan mereknya. Solusi yang bisa dilakukan, pemerintah membatasi harga obat generik bermerek maksimal tiga kali harga obat generik berlogo. Penyebabnya, di pasaran harga obat generik bermerek 30-40 kali lipat lebih mahal daripada generik berlogo. Bahkan ada yang sampai 200 kali lipat. Sementara di luar negeri, harga obat generik bermerek hanya 1,2-2 kali harga obat generik berlogo. Memang, harga obat generik bermerek memang diserahkan ke pasar. Meski demikian, pemerintah setidaknya memberikan edukasi kepada msayarakat dan menekan Pengusaha Farmasi agar harga branded generic (obat generik bermerek) tidak terlalu berbeda dengan harga  OGB.

Peluang dan Tantangan
Pasar OGB di Indonesia terus membesar dan semakin dinamis seiring semakin berperannya asuransi kesehatan, serta persepsi masyarakat terhadap OGB yang terus meningkat, baik di kalangan medis maupun masyarakat luas. Adanya kebijakan pemerintah mengenai penggunaan OGB dalam program Jamkesmas dan program peningkatan kesehatan masyarakat lain, menjadi sebuah langkah tepat karena OGB saat ini telah menawarkan produk yang lengkap, kualitas yang dijamin, serta harga yang terjangkau karena ditetapkan oleh pemerintah.
Hal ini bisa dilihat dari semakin meningkatnya permintaan terhadap OGB, terutama di rumah sakit pemerintah. Semakin meningkatnya resep OGB tak hanya berkat semakin baiknya persepsi dan kesadaran tenaga medis dan para pasien terhadap kualitas OGB, tapi juga berkat penerapan Peraturan Menteri Kesehatan No.HK.02.02/MENKES/068/2010 tentang kewajiban menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah.
Edukasi dan sosialisai OGB salah satu cara yang terus dilakukan untuk meningkatkan penggunaan OGB di rumah sakit adalah dengan terus diadakannya edukasi dan sosialisasi mengenai keunggulan obat generik. Selama ini beberapa golongan masyarakat masih memandang remeh obat generik, padahal obat generik sama ampuhnya dengan obat paten. Karenanya pengenalan mengenai keunggulan obat generik harus terus dilakukan.
Ditetapkannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2014, maka diprediksi permintaan OGB akan semakin meningkat. Hal ini karena untuk peserta SJSN obat yang digunakan adalah Obat Generik Berlogo (OGB). Selain itu, dengan total penduduk Indonesia yang diperkirakan berjumlah 257 juta jiwa, baru 137,8 juta jiwa saja yang tercover asuransi pada 2014 mendatang, sementara masih ada 119,2 juta jiwa yang belum tercover asuransi. Ini menjadi tantangan dan peluang bagi pasar OGM yakni bagaimana bisa mendapatkan atau mengcover obat yang dibutuhkan oleh orang-orang yang belum tercover asuransi. 

Minggu, 10 Maret 2013

Sentil Generasi Muda, Pentaskan ‘Generasi Prekethek’



Kekuatan seni memang luar biasa. Sesuatu yang awalnya terasa berat dan serius, menjadi sederhana dan mudah dipahami ketika seni dilibatkan. Melalui pentas seni kentrung dengan lakon generasi prekethek, para mahasiswa UPT Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya berhasil mengemas sebuah tema berat dan serius tentang bela negara menjadi pesan yang sederhana dan mudah dicerna.

Wahyu Kuncoro SN, Surabaya

Sebelum lakon Generasi Prekethek ini dimulai, sang dalang yang ditemani dua orang pemusik kentrung memasuki panggung. Di belakangnya menyusul seorang yang seluruh tubuhnya dilumuri cat warna perak metalik berjalan sambil  bambu runcing menuju pojok panggung dengan wajah dingin. Tokoh aneh yang menyita perhatian penonton ini langsung menaiki sebuah kotak berbentuk empat yang bagian sisi depannya bertuliskan Oentoek Rakjat Gubernur Prekethek.
 Sejurus kemudian sosok ini mengambil posisi sedikit menunduk sambil memegang bambu runcing. Dari posisinya baru ketahuan kalau dia sedang memerankan diri sebagai patung. Diam, pandangan dingin, tanpa ekspresi.
Cerita Generasi Prekethek ini diawali dengan tampilnya lima  anak muda dengan beragam dandanan dan gayanya. Dua orang memakai seragam SMA yang sedang asyik dengan gadget di tangannya. Sementara lainnya menggambarkan seorang perempuan gaul dengan rambut warna-warni dan dandanan yang serba wow.
 Kelima remaja sedang menggambarkan kehidupan remaja saat ini yang serba fun. Iringan house music yang menghentak semakin menegaskan suasana yang hendak digambarkan oleh lima remaja tersebut. Sesekali anak perempuan berseragam SMA meminum minuman keras, sementara lainnya asyik main game.
Di tengah-tengah para remaja ini bersenang-senang, mendadak bendera merah putih yang terpasang pada tiang yang sudah miring tiba-tiba  ambruk. Meski ambruknya di hadapan para remaja tersebut, namun tak satupun yang peduli dengan tiang bendera yang ambruk tersebut. Lantas datanglah seorang nenek-nenek yang mengingatkan para remaja tadi agar peduli dengan tiang bendara yang ambruk. Namun justru apa yang dilakukan si nenek jadi bahan tertawaan para remaja. Si  nenek ini pun hanya bisa menangis dan  meratapi tingkah laku para remaja tersebut. Di tengah tangis dan ratapan sang nenek, tokoh patung yang semula diam mendadak turun berjalan dengan tanpa ekspresi menghampiri tiang bendera yang tergeletak di lantai. Diambilnya tiang bendera tersebut lalu ditegakkan kembali. Sang patung pun mengambil posisi memberi hormat pada sang saka merah putih dengan diiring musik Indonesia Raya. Satu persatu remaja yang semua cuek dengan keberadaan merah putih itu ikut-ikutan memberi hormat kepada merah putih, sekaligus menandai berakhirnya cerita kentrung Generasi Prekethek.
Para undangan yang hadir mulai dari Direktur Bina Ideologi dan Wasbang Dirjen Kesbang Kemendagri Didik Suprayitno, Kepala Bakesbangpol Jatim Zainal Muhtadien, segenap undangan yang hadir beserta peserta sarasehan berdiri bertepuk tangan mengapresiasi seni kentrung yang dipentaskan para mahasiswa STKW.
“Sebuah pentas yang sederhana namun  memberi pesan yang secara subtansial sangat dalam dan mengena,” kata Didik Suprayitno saat dimintai komentarnya mengenai pentas kentrung yang menjadi acara pembuka sarasehan Fasilitasi Peningkatan Kesadaran Bela Negara bagi Generasi bagi Generasi Muda yang digelar Dirjen Kesbang bekerja sama dengan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Jatim, Sabtu (9/3) malam.
 Menurut pejabat yang merangkap sebagai Kepala Staf Pribadi Menteri Dalam Negeri ini, apa yang dilakukan Bakesbangpol Jatim kemarin sungguh menarik.
“Upaya kreatif yang patut ditiru daerah lain,” katanya. Menurut Didik, dengan mengemas acara menggunakan seni akan membuat pesan tersebut mudah diterima oleh siapa saja. Hal senada juga disampaikan Kepala Bakesbangpol Jatim Zaenal Muhtadien. Menurut Zaenal, seorang seniman itu adalah seorang yang jenius.
“Mereka bisa menyampaikan pesan yang rumit melalui cara yang sederhana,” tuturnya.
Sementara itu, dalang Seni Kentrung yang juga dosen STKW Surabaya Imam mengaku senang diberi kesempatan  untuk tampil di hadapan para pelajar dan mahasiswa. Pihaknya berharap, kelak pemerintah banyak memberi kesempatan pada seniman untuk ikut terlibat.
“Praktis kami hanya punya waktu latihan seminggu saja. Syukurlah kalau hasilnya tidak mengecewakan,” tambahnya.
Menurut Imam, kisah tentang Generasi Prekethek sebenarnya ingin menyentil para remaja untuk tetap memikirkan jati diri dan masa depan bangsa.
“Bolehlah mereka tetap mengikuti perkembangan zaman, tetapi jangan sampai melupakan nasib bangsanya,” tuturnya. Bagaimanapun lanjutnya, bangsa ini bisa mencapai kondisi yang saat ini adalah karena jasa-jasa para pahlawan yang telah mengorbankan jiwanya untuk bangsa. Ketika ditanyakan soal makna prekethek, Imam menjelaskan bahwa prekethek merupakan istilah keseharian yang merujuk pada sesuatu yang tidak bermanfaat.
“Generasi prekethek bisa berarti generasi yang tidak bermanfaat bagi zamannya alias generasi yang sia-sia,” jelasnya.
Kabid Integrasi Bangsa Bakesbangpol Tjahjo Widodo menjelaskan selain menampilkan kreasi dari para mahasiswa STKW, acara kemarin juga menampilkan kreasi dan prestasi yang ditampilkan para siswa sekolah lainnya, misal seni paduan suara dari SMA 6 Surabaya.
“Paduan suara ini baru saja memenangkan kejuaraan paduan suara di China,” jelas Tjahjo. Selain itu juga ditampilkan seni Nasyid dari SMA Muhammadiyah 2 Surabaya dan juga SMK 2 Surabaya.
Menurut Tjahjo, semangat bela negara tidak harus ditampilkan atau ditunjukkan ketika bangsa sedang menghadapi ancaman musuh. Tetapi bisa dilakukan dengan memacu mereka untuk terus berprestasi.



Para mahasiswa dari Klinik Seni UPT STKW Surabaya saat mementaskan seni kentrung dengan lakon Generasi Prekethek, Sabtu (9/3) malam.
“Era globalisasi adalah era persaingan yang harus dihadapi dengan kualitas. Inilah perang generasi muda sekarang,” tegas Tjahjo lagi. 


Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...