Kekuatan seni memang luar biasa.
Sesuatu yang awalnya terasa berat dan serius, menjadi sederhana
dan mudah dipahami ketika seni dilibatkan. Melalui
pentas seni kentrung dengan lakon generasi
prekethek, para mahasiswa UPT Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW)
Surabaya berhasil mengemas sebuah tema berat dan serius tentang bela negara
menjadi pesan yang sederhana dan mudah dicerna.
Wahyu
Kuncoro SN, Surabaya
Sebelum lakon Generasi Prekethek ini dimulai, sang
dalang yang ditemani dua orang pemusik kentrung memasuki panggung. Di
belakangnya menyusul seorang yang seluruh tubuhnya dilumuri cat warna perak
metalik berjalan sambil bambu runcing menuju pojok panggung dengan
wajah dingin. Tokoh aneh yang menyita perhatian penonton ini langsung menaiki
sebuah kotak berbentuk empat yang bagian sisi depannya bertuliskan Oentoek Rakjat Gubernur Prekethek.
Sejurus kemudian
sosok ini mengambil posisi sedikit menunduk sambil memegang bambu runcing. Dari
posisinya baru ketahuan kalau dia sedang memerankan diri sebagai patung. Diam,
pandangan dingin, tanpa ekspresi.
Cerita Generasi Prekethek ini diawali dengan tampilnya lima anak muda dengan beragam dandanan dan gayanya.
Dua orang memakai seragam SMA yang sedang asyik dengan gadget di tangannya. Sementara lainnya menggambarkan seorang
perempuan gaul dengan rambut warna-warni dan dandanan yang serba wow.
Kelima remaja sedang menggambarkan kehidupan
remaja saat ini yang serba fun. Iringan house music yang menghentak semakin menegaskan suasana yang hendak digambarkan oleh lima remaja
tersebut. Sesekali
anak perempuan berseragam SMA meminum minuman keras, sementara lainnya asyik
main game.
Di tengah-tengah para remaja ini
bersenang-senang, mendadak bendera merah putih yang terpasang pada tiang yang
sudah miring tiba-tiba ambruk. Meski ambruknya di hadapan para remaja tersebut, namun tak satupun yang
peduli dengan tiang bendera yang ambruk tersebut. Lantas datanglah seorang
nenek-nenek yang mengingatkan para remaja tadi agar peduli dengan tiang bendara
yang ambruk. Namun justru apa yang dilakukan si nenek jadi
bahan tertawaan para remaja. Si nenek ini
pun hanya bisa menangis dan meratapi
tingkah laku para remaja tersebut. Di tengah tangis dan ratapan sang nenek, tokoh
patung yang semula diam mendadak turun berjalan dengan tanpa ekspresi
menghampiri tiang bendera yang tergeletak di lantai. Diambilnya tiang bendera
tersebut lalu ditegakkan kembali. Sang patung pun mengambil posisi memberi
hormat pada sang saka merah putih dengan diiring musik Indonesia Raya. Satu
persatu remaja yang semua cuek
dengan keberadaan merah putih itu ikut-ikutan memberi hormat kepada merah
putih, sekaligus menandai berakhirnya cerita kentrung Generasi Prekethek.
Para undangan yang hadir mulai dari Direktur
Bina Ideologi dan Wasbang Dirjen Kesbang Kemendagri Didik Suprayitno,
Kepala Bakesbangpol Jatim Zainal Muhtadien, segenap
undangan yang hadir beserta peserta sarasehan berdiri bertepuk tangan
mengapresiasi seni kentrung yang dipentaskan para mahasiswa STKW.
“Sebuah pentas yang sederhana namun memberi pesan yang secara subtansial sangat dalam
dan mengena,” kata Didik Suprayitno saat dimintai komentarnya mengenai pentas
kentrung yang menjadi acara pembuka sarasehan Fasilitasi Peningkatan Kesadaran Bela Negara
bagi Generasi bagi Generasi Muda yang digelar Dirjen Kesbang bekerja sama
dengan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Jatim, Sabtu (9/3)
malam.
Menurut
pejabat yang merangkap sebagai Kepala Staf Pribadi Menteri Dalam Negeri ini,
apa yang dilakukan Bakesbangpol Jatim kemarin sungguh menarik.
“Upaya kreatif yang patut ditiru daerah lain,” katanya.
Menurut Didik, dengan mengemas acara menggunakan seni akan membuat pesan
tersebut mudah diterima oleh siapa saja. Hal senada
juga disampaikan Kepala Bakesbangpol Jatim Zaenal Muhtadien. Menurut Zaenal, seorang
seniman itu adalah seorang yang jenius.
“Mereka bisa menyampaikan pesan yang rumit melalui cara
yang sederhana,” tuturnya.
Sementara itu, dalang Seni Kentrung
yang juga dosen STKW Surabaya Imam mengaku senang diberi kesempatan untuk tampil di hadapan para pelajar dan
mahasiswa. Pihaknya berharap, kelak pemerintah banyak memberi kesempatan pada
seniman untuk ikut terlibat.
“Praktis kami hanya punya waktu latihan seminggu saja.
Syukurlah kalau hasilnya tidak mengecewakan,” tambahnya.
Menurut Imam, kisah tentang Generasi Prekethek sebenarnya ingin
menyentil para remaja untuk tetap memikirkan jati diri dan masa depan bangsa.
“Bolehlah mereka tetap mengikuti perkembangan zaman,
tetapi jangan sampai melupakan nasib bangsanya,” tuturnya. Bagaimanapun
lanjutnya, bangsa ini bisa mencapai kondisi yang saat ini adalah karena jasa-jasa
para pahlawan yang telah mengorbankan jiwanya untuk bangsa. Ketika
ditanyakan soal makna prekethek, Imam
menjelaskan bahwa prekethek merupakan
istilah keseharian yang merujuk pada sesuatu yang tidak bermanfaat.
“Generasi prekethek
bisa berarti generasi yang tidak bermanfaat bagi zamannya alias generasi yang
sia-sia,” jelasnya.
Kabid Integrasi Bangsa Bakesbangpol
Tjahjo Widodo menjelaskan selain menampilkan kreasi dari para mahasiswa STKW,
acara kemarin juga menampilkan kreasi dan prestasi yang ditampilkan para siswa sekolah
lainnya, misal seni paduan suara dari SMA 6 Surabaya.
“Paduan suara ini baru saja memenangkan kejuaraan
paduan suara di China,” jelas Tjahjo. Selain itu juga ditampilkan seni Nasyid
dari SMA Muhammadiyah 2 Surabaya dan juga SMK 2 Surabaya.
Menurut Tjahjo, semangat bela negara
tidak harus ditampilkan atau ditunjukkan ketika bangsa sedang menghadapi
ancaman musuh. Tetapi bisa dilakukan dengan memacu mereka untuk terus
berprestasi.
Para mahasiswa dari Klinik Seni UPT STKW Surabaya
saat mementaskan seni kentrung dengan lakon Generasi
Prekethek, Sabtu (9/3) malam.
|
“Era globalisasi adalah era persaingan yang harus
dihadapi dengan kualitas. Inilah perang generasi muda sekarang,” tegas Tjahjo
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar