Rabu, 13 Maret 2013

Peluang dan Tantangan Pasar OGB di Indonesia



Pemakaian obat generik di Indonesia tidak rasional. Di saat kondisi masyarakat  yang kemapanan ekonominya rentan (baca : miskin) masih tinggi, ternyata tingkat pemakaian obat generik sangat rendah. Sementara di Negara-negara maju yang masyarakatnya cenderung mapan secara ekonomi, justru pemakaian obat generiknya lebih tinggi.


Wahyu Kuncoro SN, Surabaya
(Dosen Komunikasi Universitas Widya Mandala (UWM) Surabaya)

Masyarakat masih menganggap obat generik merupakan obat kelas dua, alias diragukan khasiatnya. Persepsi keliru ini menjadi salah satu faktor penyebab masih rendahnya penggunaan obat generik. Persepsi keliru masyarakat terhadap obat generik menandakan masih minimnya upaya sosialisasi terhadap keberadaan obat generik. Sosialisasi obat generik tidak bisa jor-joran seperti obat non generik. Pasalnya untuk promosi terbentur dengan biaya yang tinggi, sementara margin-nya tidak sebesar obat non generik.
Ada tiga jenis obat yang beredar di Indonesia, yakni obat paten, obat generik berlogo (OGB), dan obat generik bermerek. Obat paten adalah obat yang baru ditemukan dan memiliki masa paten tertentu tergantung jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001, masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun. Obat paten kebanyakan digunakan dalam pengobatan kanker, AIDS, dan flu burung. Jumlahnya tidak banyak, hanya 7%-8% dari obat-obatan yang beredar di Indonesia. Selebihnya ialah obat generik alias tiruan dari obat paten yang sudah habis masa patennya. Obat generik sendiri dibagi dua, yakni: Obat Generik Berlogo (OGB) dan Obat Generik Bermerek Dagang (OBM/branded generic). OGB umumnya disebut obat generik saja, sedangkan obat generik bermerek biasanya tergantung pada perusahaan farmasi yang memproduksinya. OGB pada Tahun 1989, diluncurkan oleh pemerintah melalui SK Menkes No 085/Menkes/Per/I/1989 dengan tujuan memberikan alternatif obat bagi masyarakat dengan kualitas terjamin, harga terjangkau dan ketersediaan obat yang cukup. Selanjutnya, pada Tahun 1991 OGB diluncurkan untuk memenuhi kebutuhan obat masyarakat menengah ke bawah.
Dalam obat generik bermerek, kandungan zat aktif itu diberi nama (merek). Zat aktif amoxicillin misalnya, oleh pabrik "A" diberi merek "inemicillin", sedangkan pabrik "B" memberi nama "gatoticilin" dan seterusnya, sesuai keinginan pabrik obat. Dari berbagai merek tersebut, bahannya sama: amoxicillin.
Mutu obat generik tidak berbeda dengan obat bermerk  karena bahan bakunya sama. Ibarat sebuah baju, fungsi dasarnya untuk melindungi tubuh dari sengatan matahari dan udara dingin. Hanya saja, modelnya beraneka ragam. Begitu pula dengan obat. Generik kemasannya dibuat biasa, karena yang terpenting bisa melindungi produk yang ada di dalamnya. Namun, yang bermerek dagang kemasannya dibuat lebih menarik dengan berbagai warna. Kemasan itulah yang membuat obat bermerek lebih mahal.

Mengapa Obat Generik
Murah?
Alasan utama obat generik murah adalah karena mengenai harganya diatur oleh pemerintah, dengan harapan agar harga obat dapat terjangkau oleh masyarakat luas. Jadi produsen obat generik tidak dapat menentukan harga obatnya sendiri. Sedangkan obat bermerek, harganya tidak ditekan oleh pemerintah, sehingga produsen obat lebih leluasa menetapkan harga.
Secara garis besar, ada beberapa faktor  yang menyebabkan harga obat generik lebih murah ketimbang obat branded. Pertama, OGB diproduksi dalam jumlah yang besar sehingga skala produksinya efisien. Skala produksi yang besar tentu akan menekan biaya produksi. Bahan baku dan kemasan yang digunakan juga dalam jumlah besar sehingga harga pembeliannya lebih rendah, bila dibandingkan dengan pembelian dalam jumlah kecil. Kedua, OGB selalu dibuat sederhana, tetapi memiliki daya kemas yang baik (sesuai ketentuan BPOM, untuk menjamin kualitas obat), sehingga menurunkan biaya kemasan. Kemasan OGB sangat sederhana dan tidak berwarna warni tetapi tetap berkualitas. Ketiga, obat generik hanya meng-copy obat paten yang sudah berakhir masa patennya sehingga untuk menilai khasiat, keamanan, dan kualitas obat generik tidak diperlukan lagi uji klinis yang mahal. Sayangnya, masih banyak pasien yang berpikir bahwa obat generik tidak manjur karena harganya murah. Sebaliknya, yang berharga mahal dianggap lebih cespleng.
Obat generik memang harganya murah, tapi bukan berarti murahan. Artinya, harganya memang dimurahkan sesuai dengan ketetapan pemerintah. Namun, mulai dari bahan pengadaan baku awal, produksi, hingga finish product, dilakukan quality control sebagaimana dilakukan jika memproduksi obat paten. Dengan demikian, kualitas dan keamanan obat generik dan obat paten relatif sama. Untuk itulah, masyarakat tidak perlu khawatir jika minum obat generic karena kualitasnya terjamin.

Sosialisasi dan Edukasi
Masyarakat Indonesia memang menganggap bahwa obat bermerek adalah obat nomor satu, yang cepat dapat menyembuhkan penyakit. Maka, bila dokter meresepkan obat generik berlogo (OGB), pasien protes. Pasien dan keluarganya beranggapan, OGB tidak manjur dan hanya pantas dikonsumsi oleh kalangan menengah bawah. Dibanding obat bermerek, harga OGB memang lebih murah.
Berbeda dengan di negara maju seperti
Amerika Serikat atau Eropa, yang jauh lebih sejahtera. Di sana, bila pasien datang berobat maka dokter, klinik atau rumah sakit otomatis akan memberikan obat generik. Itu karena masyarakat di negara maju sudah teredukasi. Mereka tahu persis bahwa zat berkhasiat yang terkandung dalam OGB dan obat bermerek sama persis.
Kesadaran dan pengetahuan masyarakat negara maju demikian tinggi. Mereka sedikit banyak tahu akan manfaat obat-obatan yang diberikan oleh dokter atau institusi kesehatan. Di negara maju, obat generik sangat popular karena ditopang oleh sistim pelayanan kesehatan, yang sudah dicover asuransi. Pihak asuransi akan "menekan" institusi kesehatan, agar mereka memberikan OGB kepada pasien yang datang berobat. Masyarakat Indonesia masih belum teredukasi secara baik.
Pengetahuan masyarakat sangat minim, sehingga cenderung percaya dan menerima begitu saja apa pun obat yang diberikan oleh dokter atau rumah sakit. Yang memprihatinkan, banyak oknum dokter yang lebih suka meresepkan obat generik bermerek daripada generik berlogo. Karena, oknum dokter itu mengincar komisi dari perusahaan farmasi produsen obat bermerek itu. Yang lebih parah, dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien, ada oknum dokter yang menyebut-nyebut obat generik bermerek sebagai obat paten. Harga mahal pun jadi terkesan wajar. Karena itu, pasien harus lebih berdaya. Ingat, beli obatnya, bukan mereknya. Solusi yang bisa dilakukan, pemerintah membatasi harga obat generik bermerek maksimal tiga kali harga obat generik berlogo. Penyebabnya, di pasaran harga obat generik bermerek 30-40 kali lipat lebih mahal daripada generik berlogo. Bahkan ada yang sampai 200 kali lipat. Sementara di luar negeri, harga obat generik bermerek hanya 1,2-2 kali harga obat generik berlogo. Memang, harga obat generik bermerek memang diserahkan ke pasar. Meski demikian, pemerintah setidaknya memberikan edukasi kepada msayarakat dan menekan Pengusaha Farmasi agar harga branded generic (obat generik bermerek) tidak terlalu berbeda dengan harga  OGB.

Peluang dan Tantangan
Pasar OGB di Indonesia terus membesar dan semakin dinamis seiring semakin berperannya asuransi kesehatan, serta persepsi masyarakat terhadap OGB yang terus meningkat, baik di kalangan medis maupun masyarakat luas. Adanya kebijakan pemerintah mengenai penggunaan OGB dalam program Jamkesmas dan program peningkatan kesehatan masyarakat lain, menjadi sebuah langkah tepat karena OGB saat ini telah menawarkan produk yang lengkap, kualitas yang dijamin, serta harga yang terjangkau karena ditetapkan oleh pemerintah.
Hal ini bisa dilihat dari semakin meningkatnya permintaan terhadap OGB, terutama di rumah sakit pemerintah. Semakin meningkatnya resep OGB tak hanya berkat semakin baiknya persepsi dan kesadaran tenaga medis dan para pasien terhadap kualitas OGB, tapi juga berkat penerapan Peraturan Menteri Kesehatan No.HK.02.02/MENKES/068/2010 tentang kewajiban menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah.
Edukasi dan sosialisai OGB salah satu cara yang terus dilakukan untuk meningkatkan penggunaan OGB di rumah sakit adalah dengan terus diadakannya edukasi dan sosialisasi mengenai keunggulan obat generik. Selama ini beberapa golongan masyarakat masih memandang remeh obat generik, padahal obat generik sama ampuhnya dengan obat paten. Karenanya pengenalan mengenai keunggulan obat generik harus terus dilakukan.
Ditetapkannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2014, maka diprediksi permintaan OGB akan semakin meningkat. Hal ini karena untuk peserta SJSN obat yang digunakan adalah Obat Generik Berlogo (OGB). Selain itu, dengan total penduduk Indonesia yang diperkirakan berjumlah 257 juta jiwa, baru 137,8 juta jiwa saja yang tercover asuransi pada 2014 mendatang, sementara masih ada 119,2 juta jiwa yang belum tercover asuransi. Ini menjadi tantangan dan peluang bagi pasar OGM yakni bagaimana bisa mendapatkan atau mengcover obat yang dibutuhkan oleh orang-orang yang belum tercover asuransi. 

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...