Pemakaian obat generik di Indonesia
tidak rasional. Di saat kondisi masyarakat yang
kemapanan ekonominya rentan (baca : miskin) masih tinggi, ternyata tingkat
pemakaian obat generik sangat rendah. Sementara di Negara-negara maju yang
masyarakatnya cenderung mapan secara ekonomi, justru pemakaian obat generiknya
lebih tinggi.
Wahyu Kuncoro SN, Surabaya
(Dosen Komunikasi Universitas Widya Mandala (UWM)
Surabaya)
Masyarakat masih menganggap obat generik merupakan obat kelas dua, alias diragukan khasiatnya. Persepsi keliru ini menjadi salah satu faktor penyebab masih rendahnya penggunaan obat generik. Persepsi keliru masyarakat terhadap obat generik menandakan masih minimnya upaya sosialisasi terhadap keberadaan obat generik. Sosialisasi obat generik tidak bisa jor-joran seperti obat non generik. Pasalnya untuk promosi terbentur dengan biaya yang tinggi, sementara margin-nya tidak sebesar obat non generik.
Ada tiga jenis obat
yang beredar di Indonesia, yakni obat paten, obat generik berlogo (OGB), dan
obat generik bermerek. Obat paten adalah obat yang baru ditemukan dan memiliki
masa paten tertentu tergantung jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001, masa
berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun. Obat paten kebanyakan digunakan
dalam pengobatan kanker, AIDS, dan flu burung. Jumlahnya tidak banyak, hanya
7%-8% dari
obat-obatan yang beredar di Indonesia. Selebihnya ialah obat generik alias
tiruan dari obat paten yang sudah habis masa patennya. Obat generik sendiri
dibagi dua, yakni: Obat Generik Berlogo (OGB) dan Obat Generik Bermerek Dagang
(OBM/branded generic). OGB umumnya disebut obat generik saja, sedangkan obat
generik bermerek biasanya tergantung pada perusahaan farmasi yang
memproduksinya. OGB pada Tahun 1989, diluncurkan oleh pemerintah melalui SK
Menkes No 085/Menkes/Per/I/1989 dengan tujuan memberikan alternatif obat bagi
masyarakat dengan kualitas terjamin, harga terjangkau dan ketersediaan obat
yang cukup. Selanjutnya, pada Tahun 1991 OGB diluncurkan untuk memenuhi
kebutuhan obat masyarakat menengah ke bawah.
Dalam obat generik
bermerek, kandungan zat aktif itu diberi nama (merek). Zat aktif amoxicillin
misalnya, oleh pabrik "A" diberi merek "inemicillin",
sedangkan pabrik "B" memberi nama "gatoticilin" dan
seterusnya, sesuai keinginan pabrik obat. Dari berbagai merek tersebut,
bahannya sama: amoxicillin.
Mutu obat generik tidak berbeda dengan obat bermerk karena bahan bakunya sama. Ibarat sebuah baju, fungsi dasarnya untuk melindungi tubuh dari sengatan matahari dan udara dingin. Hanya saja, modelnya beraneka ragam. Begitu pula dengan obat. Generik kemasannya dibuat biasa, karena yang terpenting bisa melindungi produk yang ada di dalamnya. Namun, yang bermerek dagang kemasannya dibuat lebih menarik dengan berbagai warna. Kemasan itulah yang membuat obat bermerek lebih mahal.
Mutu obat generik tidak berbeda dengan obat bermerk karena bahan bakunya sama. Ibarat sebuah baju, fungsi dasarnya untuk melindungi tubuh dari sengatan matahari dan udara dingin. Hanya saja, modelnya beraneka ragam. Begitu pula dengan obat. Generik kemasannya dibuat biasa, karena yang terpenting bisa melindungi produk yang ada di dalamnya. Namun, yang bermerek dagang kemasannya dibuat lebih menarik dengan berbagai warna. Kemasan itulah yang membuat obat bermerek lebih mahal.
Alasan utama obat
generik murah adalah karena mengenai harganya diatur oleh pemerintah, dengan
harapan agar harga obat dapat terjangkau oleh masyarakat luas. Jadi produsen
obat generik tidak dapat menentukan harga obatnya sendiri. Sedangkan obat
bermerek, harganya tidak ditekan oleh pemerintah, sehingga produsen obat lebih
leluasa menetapkan harga.
Secara garis besar, ada beberapa faktor yang menyebabkan harga obat generik lebih murah ketimbang obat branded. Pertama, OGB diproduksi dalam jumlah yang besar sehingga skala produksinya efisien. Skala produksi yang besar tentu akan menekan biaya produksi. Bahan baku dan kemasan yang digunakan juga dalam jumlah besar sehingga harga pembeliannya lebih rendah, bila dibandingkan dengan pembelian dalam jumlah kecil. Kedua, OGB selalu dibuat sederhana, tetapi memiliki daya kemas yang baik (sesuai ketentuan BPOM, untuk menjamin kualitas obat), sehingga menurunkan biaya kemasan. Kemasan OGB sangat sederhana dan tidak berwarna warni tetapi tetap berkualitas. Ketiga, obat generik hanya meng-copy obat paten yang sudah berakhir masa patennya sehingga untuk menilai khasiat, keamanan, dan kualitas obat generik tidak diperlukan lagi uji klinis yang mahal. Sayangnya, masih banyak pasien yang berpikir bahwa obat generik tidak manjur karena harganya murah. Sebaliknya, yang berharga mahal dianggap lebih cespleng.
Secara garis besar, ada beberapa faktor yang menyebabkan harga obat generik lebih murah ketimbang obat branded. Pertama, OGB diproduksi dalam jumlah yang besar sehingga skala produksinya efisien. Skala produksi yang besar tentu akan menekan biaya produksi. Bahan baku dan kemasan yang digunakan juga dalam jumlah besar sehingga harga pembeliannya lebih rendah, bila dibandingkan dengan pembelian dalam jumlah kecil. Kedua, OGB selalu dibuat sederhana, tetapi memiliki daya kemas yang baik (sesuai ketentuan BPOM, untuk menjamin kualitas obat), sehingga menurunkan biaya kemasan. Kemasan OGB sangat sederhana dan tidak berwarna warni tetapi tetap berkualitas. Ketiga, obat generik hanya meng-copy obat paten yang sudah berakhir masa patennya sehingga untuk menilai khasiat, keamanan, dan kualitas obat generik tidak diperlukan lagi uji klinis yang mahal. Sayangnya, masih banyak pasien yang berpikir bahwa obat generik tidak manjur karena harganya murah. Sebaliknya, yang berharga mahal dianggap lebih cespleng.
Obat generik memang
harganya murah, tapi bukan berarti murahan. Artinya, harganya memang dimurahkan
sesuai dengan ketetapan pemerintah. Namun, mulai dari bahan pengadaan baku
awal, produksi, hingga finish product, dilakukan quality control sebagaimana
dilakukan jika memproduksi obat paten. Dengan demikian, kualitas dan keamanan
obat generik dan obat paten relatif sama. Untuk itulah, masyarakat tidak perlu
khawatir jika minum obat generic karena kualitasnya terjamin.
Sosialisasi dan Edukasi
Masyarakat Indonesia
memang menganggap bahwa obat bermerek adalah obat nomor satu, yang cepat dapat
menyembuhkan penyakit. Maka, bila dokter meresepkan obat generik berlogo (OGB),
pasien protes. Pasien dan keluarganya beranggapan, OGB tidak manjur dan hanya
pantas dikonsumsi oleh kalangan menengah bawah. Dibanding obat bermerek, harga
OGB memang lebih murah.
Berbeda dengan di negara maju seperti Amerika Serikat atau Eropa, yang jauh lebih sejahtera. Di sana, bila pasien datang berobat maka dokter, klinik atau rumah sakit otomatis akan memberikan obat generik. Itu karena masyarakat di negara maju sudah teredukasi. Mereka tahu persis bahwa zat berkhasiat yang terkandung dalam OGB dan obat bermerek sama persis.
Berbeda dengan di negara maju seperti Amerika Serikat atau Eropa, yang jauh lebih sejahtera. Di sana, bila pasien datang berobat maka dokter, klinik atau rumah sakit otomatis akan memberikan obat generik. Itu karena masyarakat di negara maju sudah teredukasi. Mereka tahu persis bahwa zat berkhasiat yang terkandung dalam OGB dan obat bermerek sama persis.
Kesadaran dan
pengetahuan masyarakat negara maju demikian tinggi. Mereka sedikit banyak tahu
akan manfaat obat-obatan yang diberikan oleh dokter atau institusi kesehatan.
Di negara maju, obat generik sangat popular karena ditopang oleh sistim
pelayanan kesehatan, yang sudah dicover asuransi. Pihak asuransi akan
"menekan" institusi kesehatan, agar mereka memberikan OGB kepada
pasien yang datang berobat. Masyarakat
Indonesia masih belum teredukasi secara baik.
Pengetahuan
masyarakat sangat minim, sehingga cenderung percaya dan menerima begitu saja
apa pun obat yang diberikan oleh dokter atau rumah sakit. Yang memprihatinkan,
banyak oknum dokter yang lebih suka meresepkan obat generik bermerek daripada
generik berlogo. Karena, oknum dokter itu mengincar komisi dari perusahaan
farmasi produsen obat bermerek itu. Yang lebih parah, dengan memanfaatkan
ketidaktahuan pasien, ada oknum dokter yang menyebut-nyebut obat generik
bermerek sebagai obat paten. Harga mahal pun jadi terkesan wajar. Karena itu,
pasien harus lebih berdaya. Ingat, beli obatnya, bukan mereknya. Solusi yang
bisa dilakukan, pemerintah membatasi harga obat generik bermerek maksimal tiga kali
harga obat generik berlogo. Penyebabnya, di pasaran harga obat generik bermerek
30-40 kali lipat lebih mahal daripada generik berlogo. Bahkan ada yang sampai
200 kali lipat. Sementara di luar negeri, harga obat generik bermerek hanya 1,2-2
kali harga obat generik berlogo. Memang, harga obat generik bermerek memang
diserahkan ke pasar. Meski demikian, pemerintah setidaknya memberikan edukasi
kepada msayarakat dan menekan Pengusaha Farmasi agar harga branded generic
(obat generik bermerek) tidak terlalu berbeda dengan harga OGB.
Peluang dan Tantangan
Pasar OGB di
Indonesia terus membesar dan semakin dinamis seiring semakin berperannya
asuransi kesehatan, serta persepsi masyarakat terhadap OGB yang terus
meningkat, baik di kalangan medis maupun masyarakat luas. Adanya kebijakan
pemerintah mengenai penggunaan OGB dalam program Jamkesmas dan program
peningkatan kesehatan masyarakat lain, menjadi sebuah langkah tepat karena OGB
saat ini telah menawarkan produk yang lengkap, kualitas yang dijamin, serta
harga yang terjangkau karena ditetapkan oleh pemerintah.
Hal ini bisa dilihat
dari semakin meningkatnya permintaan terhadap OGB, terutama di rumah sakit
pemerintah. Semakin meningkatnya resep OGB tak hanya berkat semakin baiknya
persepsi dan kesadaran tenaga medis dan para pasien terhadap kualitas OGB, tapi
juga berkat penerapan Peraturan Menteri Kesehatan No.HK.02.02/MENKES/068/2010
tentang kewajiban menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah.
Edukasi dan sosialisai OGB salah satu cara yang terus dilakukan untuk meningkatkan penggunaan OGB di rumah sakit adalah dengan terus diadakannya edukasi dan sosialisasi mengenai keunggulan obat generik. Selama ini beberapa golongan masyarakat masih memandang remeh obat generik, padahal obat generik sama ampuhnya dengan obat paten. Karenanya pengenalan mengenai keunggulan obat generik harus terus dilakukan.
Edukasi dan sosialisai OGB salah satu cara yang terus dilakukan untuk meningkatkan penggunaan OGB di rumah sakit adalah dengan terus diadakannya edukasi dan sosialisasi mengenai keunggulan obat generik. Selama ini beberapa golongan masyarakat masih memandang remeh obat generik, padahal obat generik sama ampuhnya dengan obat paten. Karenanya pengenalan mengenai keunggulan obat generik harus terus dilakukan.
Ditetapkannya Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2014,
maka diprediksi permintaan OGB akan semakin meningkat. Hal ini karena untuk
peserta SJSN obat yang digunakan adalah Obat Generik Berlogo (OGB). Selain itu,
dengan total penduduk Indonesia yang diperkirakan berjumlah 257 juta jiwa, baru
137,8 juta jiwa saja yang tercover asuransi pada 2014 mendatang, sementara
masih ada 119,2 juta jiwa yang belum tercover asuransi. Ini menjadi tantangan
dan peluang bagi pasar OGM yakni bagaimana bisa mendapatkan atau mengcover obat
yang dibutuhkan oleh orang-orang yang belum tercover asuransi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar