Sabtu, 29 November 2008

Pembangunan Berbasis Riset atau Wangsit?


Catatan Pembubaran Balitbang Kota Surabaya -- sub
Pembangunan Berbasis Riset atau Wangsit
Oleh :
Wahyu Kuncoro SN

Pengantar :
Artikel berikut dimuat di Surabaya Post, Jumat (28/11/2008).
Keberadaan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kota Surabaya akhirnya berakhir seiring dengan digedoknya Perda Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemkot Surabaya, Senin (24/11) kemarin. Keberadaan Balitbang Kota Surabaya selama ini memang kerap menjadi sorotan. Dan nampaknya, jalan yang dipilih untuk mengakhiri berbagai tudingan miring tersebut adalah dengan membubarkannya (baca : merger dengan Bappeko).
Bagi penulis, pilihan politik yang diambil tersebut barangkali akan meredakan sorotan dan tudingan miring terhadap peran Balitbang Kota Surabaya, namun langkah membubarkannya bukanlah sebuah penyelesaian yang strategis tetapi justru menjadi langkah konyol dan bisa menjerumuskan bagi arah pembangunan di Kota Surabaya.
Banyak pihak sudah mengingatkan betapa penting dan vitalnya keberadaan riset bagi pembangunan kota. Bahkan secara nasional, pemerintah pusat hari ini juga mendorong perguruan tinggi untuk memperbanyak riset dan penelitian yang berkaitan dengan pembangunan. Selain itu, perhatian pemerintah juga kian membaik dengan munculnya Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2007 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Peneliti sebagai revisi atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Peneliti. Berdasar Perpres baru tersebut mengamanahkan adanya peningkatan tunjangan bagi peneliti yang mencapai 10 kali lipat lebih.
Apa artinya? Tidak lain adalah pemerintah pusat sesungguhnya memandang bahwa riset dan profesi riset merupakan profesi yang harus dihargai secara memadai. Selain itu, sebagai bentuk komitmen pemerintah pusat terhadap fungsi riset utamanya terhadap eksistensi Balitbang juga bisa terbaca dari hadirnya Surat Edaran (SE) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (SE Mendagri) Republik Indonesia Nomor: 061/2721/SJ tertanggal 12 November 2007 yang meminta agar eksistensi balitbangda tetap dipertahankan di provinsi, kabupaten/kota. Provinsi, kabupaten/kota yang belum membentuk balitbangda agar segera membentuk balitbangda. Nah berpijak, pada semangat pemerintah pusat yang ingin lebih memberdayakan peran dan fungsi riset dalam pembangunan, kita dikagetkan oleh langkah Kota Surabaya yang malah membubarkan Balitbang.
Menilik dari logika yang disampaikan eksekutif dan legislatif sungguh pembubaran Balitbang seolah semakin menegaskan kepada kita bagaimana pola pikir birokrasi dan politisi kita yang cenderung tidak mendalam dan kurang bisa berpikir secara strategis dan visioner. Penilaian ini bisa dirunut dari argumentasi yang disodorkan oleh otoritas politik Kota Surabaya untuk membubarkan Balitbang.
Agumentasi tersebut misalnya adalah karena mereka (eksekutif dan legislatif) menganggap bila fungsi dan wilayah kerja Balitbang dianggap sama dengan perencanaan sehingga dianggap cocok bila dimerger dengan Bappeko Kota Surabaya. Sekilas memang wajar bila ada kesan sama antara penelitian dan perencanaan namun bila ditelisik lebih jauh maka jelas sangat berbeda antara peran dan fungsi penelitian dengan perencanaan. Penelitian sesungguhnya harus merupakan institusi yang independen yang bekerja dengan berpijak pada sebuah grand desain pembangunan Kota.
Balitbang nantinya akan menjadi ’penjaga idealisme’ pembangunan. Mengapa ? karena nantinya apa yang direkomendasikan Balitbang adalah sesuatu yang berpijak pada data dan angka-angka yang ilmiah dan bukan angka-angka manipulatif yang kerap direkayasa demi untuk melaksanakan proyek pembangunan. Lantaran itu, ketika akhirnya Pemkot Surabaya memilih untuk melebur Balitbang dalam badan Bappeko Kota Surabaya maka langkah tersebut sejatinya telah menyeret Balitbang –yang berisi insan peneliti yang notabene independen dan hanya takluk pada kaidah ilmiah-- menjadi sekadar tukang stempel birokrasi yang kerja-kerjanya hanya menjadi legitimasi bagi birokrasi untuk membuat proyek yang bernama pembangunan. Peneliti yang merupakan barang langka di negeri ini hanya akan menjadi ’kambing congek’ yang bekerja karena kebutuhan yang bernama proyek pembangunan. Nah dalam logika ini saja sesungguhnya nampak bila pejabat-pejabat birokrasi dan politisi di Surabaya lebih banyak didominasi oleh orang-orang yang berpikir bahwa peneliti hanya sekadar instrumen untuk menunjukkan bahwa sebuah kebijakan yang diambil seolah-olah telah sesuai dengan kaidah ilmiah. Kalau ini yang terjadi maka warga Surabaya harus bersiap-siap bila nantinya mendapati kebijakan dan proyek pembangunan yang dipilih dan dikerjakan karena pertimbangan ’kiro-kiro apik’ dan bukannya kebijakan pembangunan yang merupakan rumusan hasil kajian dan penelitian mendalam. Jadi jangan heran kalau tiba-tiba muncul program pembangunan yang aneh dan nganeh-nganehi. Maklum pejabat kita lebih percaya wangsit dari pada riset dan penelitian.

Bagaimana Selanjutnya?
Berkaca dari itu, tentu kita patut prihatin dengan langkah yang diambil Kota Surabaya yang pola pikirnya justru mundur ke belakang dengan membubarkan Balitbang. Namun demikian harus kita akui bahwa keberadaan Balitbang di beberapa Kota/Kab saat ini harus direvitalisasi agar bisa memenuhi harapan dan kebutuhan. Harus juga kita akui bila hasil-hasil penelitian yang dihasilkan oleh Balitbang belum terlalu bermakna. Karena seringkali suatu penelitian didasarkan lebih pada isu aktual, maka pada saat hasil penelitiannya akan diterapkan dalam konteks perencanaan, isu yang berkembang saat itu sudah berbeda.
Untuk itu, perlu dilakukan perubahan model perencanaan penelitian ke depan. Sifat dari penelitiann-penelitian sudah harus mengacu pada road map hasil penelitian yang sudah ada dan memang sudah sesuai dengan tahapan pembangunan/ RPJMD. Dengan demikian maka tidak akan ada lagi sorotan miring seperti itu. Tentang belum termanfaatkannya hasil-hasil penelitian oleh masyarakat pengguna, sebenarnya dengan adanya database hasil penelitian yang telah dihimpun bisa dipublikasikan melalui website. Masyarakat pengguna sudah dapat mengakses informasi yang ada sesuai dengan keinginannya untuk pemanfaataan lebih lanjut, baik untuk keperluan akademik, perencanaan pembangunan atau untuk tujuan komersial. Masalahnya barangkali tidak semua masyarakat pengguna gemar/ terbiasa dengan internet, sehingga mungkin kedepan Balitbang harus lebih proaktif lagi mempromosikan hasil-hasil penelitiannya lewat jalur konvensional, seperti seminar, pameran atau lokakarya.
Upaya berikutnya adalah perlu kerja keras untuk mengajak SDM yang belum ‘tune in’ dengan suasana penelitian yang ‘abstrak’ apalagi memahami pentingnya model data base hasil penelitian, dan road map hasil penelitian sebagai bahan kebijakan, pengambangan iptek dan bahan perencanaan pembangunan dengan arah dan target tertentu. Pola penelitian berbasis isu aktual yang saat ini lebih mendominasi model penelitian dilembaga litbang pada skala kabupaten-kota, propinsi maupun nasional, tidak terlalu memerlukan energi yang berlebihan dalam pengelolaannya. Namun seperti yang kita sama-sama pahami hasilnya belum optimal sebagai bahan perencanaan pembangunan. Untuk membangun SDM seperti yang diharapkan, barangkali kedepan diperlukan model rekruitmen yang selektif mulai dari awal CPNS untuk menjadi tenaga fungsional peneliti atau seperti persyaratan LIPI saat ini dengan membatasi usia maksimal 45 tahun untuk PNS. Namun tentu saja dengan memberikan perangsang dalam bentuk tunjangan fungsional peneliti yang setara dengan struktural agar minat untuk masuk ke Lembaga Litbang semakin tinggi sehingga ada proses kompetisi, dan hal itu sesuai dengan usulan LIPI untuk mensetarakan tunjangan fungsional dengan struktural. Di sisi lain, model insentif berbasis kinerja mungkin dapat menjadi solusi terbaik dimasa yang akan datang.
Selain itu, agar penelitian yang dilakukan oleh Balitbang tidak bertabrakan dengan penelitian di dinas-dinas maka penelitian yang dilakukan adalah penelitian yang terkait dengan kebijakan, bahan perencanaan pembangunan atau pengembangan iptek. Karena itu, penelitian-penelitiannya lebih ditekankan misalnya, pada kemungkinan potensi dampak negative/ positif dari suatu kebijakan, teknologi yang akan dikembangkan, system yang akan diterapkan, atau model perangkat lunak yang ditemukan agar bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, pembangunan daerah atau pengembangan iptek. Penelitian oleh dinas teknis pada dasarnya adalah penelitian untuk mencari efisiensi suatu teknologi, sistem, model agar lebih berdaya/ berhasil guna dibandingkan dengan konsep yang sudah ada. Namun karena selama ini belum adanya mekanisme filter yang jelas, maka masih sulit untuk menentukan siapa harus mengerjakan apa. Sebenarnya, yang paling penting adalah apakah penelitian-penelitian tersebut masih pada jalur/ trak yang benar, dilihat dari road map hasil penelitian sebagai acuan perencanaan pembangunan yang akan datang, atau justru penelitiannya telah berada di luar jalur. Wallahu’alam Bhis-shawwab.

000

Nasibnya Tak Lagi Seindah Bentuknya

Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Bagian 1 – bersambung) -- sub
Nasibnya Tak Lagi Seindah Bentuknya
Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa


Pengantar :
Naskah berikut merupakan naskah artikel yang berhasil meraih juara pertama dalam ajang Journalist Writing Competition yang diselenggarakan Departemen Perikanan dan Kelautan RI Nopember 2008 - Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) II.
---------------------------------------------------

Keunikan, keindahan serta keanekaragaman kehidupan bawah laut dari kepulauan Indonesia yang membentang luas di cakrawala khatulistiwa masih banyak menyimpan misteri dan menjadi tantangan untuk mengungkap potensinya. Salah satu dari potensi sumberdaya hayati yang tak ternilai harganya dari segi ekonomi dan ekologinya adalah sumberdaya terumbu karang. Bahkan khusus mengenai terumbu karang, Indonesia juga dikenal sebagai pusat distribusi terumbu karang untuk seluruh Indo-Pasifik.
Secara tradisional terumbu karang dimanfaatkan sebagai bahan bangunan karena mengandung kapur. Demikian pula pasir yang diambil dari ekosistem terumbu karang digunakan sebagai bahan campuran semen. Kerang atau tiram raksasa diambil cangkangnya untuk dijadikan bahan pembuat lantai bangunan. Terumbu karang menyediakan sumber pakan yang berlimpah bagi penduduk Indonesia. Banyak sekali ikan-ikan karang, hewan-hewan moluska, ekhinodermata dan krustasea ditangkap, dan dimakan karena mereka memiliki daging yang bergizi tinggi sebagai sumber pakan.
Pada beberapa wilayah tertentu, komunitas lokal sangat bergantung kepada banyak tipe terumbu karang dan hewan laut di terumbu karang, untuk pakan sehari-hari dan untuk diperdagangkan. Termasuk di dalamnya ialah penyu, berbagai jenis ikan, berbagai jenis moluska (hewan bertubuh lunak yakni kerang dan siput laut), krustasea (udang-udangan) dan ekhinodermata (hewan berkulit duri contohnya teripang).
Singkatnya, terumbu karang bagaikan oase di padang pasir untuk lautan. Karenanya banyak hewan dan tanaman yang berkumpul di sini untuk mencari makan, memijah, membesarkan anaknya, dan berlindung. Bagi manusia, ini artinya terumbu karang mempunyai potensial perikanan yang sangat besar.
Keberadaan terumbu karang (coral reef) selain mampu menahan abrasi, juga memiliki keindahan tersendiri, terutama dengan keanekaragaman binatang laut di sekitar terumbu karang. Binatang unik ini dipastikan membentuk sebuah ekosistem yang penting bagi biota laut yang pada akhirnya bisa menentukan hasil tangkapan para nelayan. Namun sayangnya kini nasib terumbu karang ternyata tak lagi seindah bentuknya.
Sekadar ilustrasi, dari hasil penelitian tahun 2001 yang dikeluarkan Badan Riset Kelautan dan Perikanan menyebutkan 70 persen terumbu karang di perairan Indonesia dalam keadaan rusak parah. Luas terumbu ini menghampar sekitar 60.000 - 86.000 kilometer persegi atau seperdelapan dari luas terumbu karang di dunia. Akibat kerusakan itu, Indonesia menderita kerugian se kitar dua juta ton ikan per tahun. Bukti kerugian juga dirasakan para nelayan tradisional yang umumnya tidak bisa melaut melebihi 12 mil dari tepi pantai. Dari waktu ke waktu, hasil tangkapan nelayan terus merosot, mengakibatkan ongkos melaut lebih besar dibandingkan hasil penjualan ikan.
Ironisnya, kerusakan terumbu karang tidak hanya disebabkan ulah kelompok masyarakat miskin yang butuh mencari nafkah keluarga. Tetapi pemerintah baik pusat maupun daerah juga terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam penghancuran binatang kecil tapi indah ini. Kebijakan pemerintah cenderung tidak memihak pelestarian kehidupan laut sehingga proses kerusakan semakin cepat.
Sebagai contoh misalnya terbitnya surat izin yang diberikan Ditjen Perlindungan dan Konservasi Departemen Kehutanan nomor 88/KPTS/DJ-V/2000 tanggal 4 September 2000 yang membolehkan adanya perusahaan yang mengekspor terumbu karang ke Jepang. Hal serupa terjadi ketika pemerintah pusat mengizinkan PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) mengelola Pulau Sanghiang menjadi taman wisata alam, akhir tahun 1993. Status cagar alam pulau itu dicabut. Saat pembangunan berlangsung tahun 2001, terumbu karang di sekitar pulau ini hancur, termasuk laguna-laguna yang indah. Perusahaan tersebut berencana membangun hotel, cottage, vila pribadi, lapangan golf, sarana hiburan dan sebagainya. Namun akibat krisis ekonomi, pembangunan taman wisata alam ini tidak bisa dilanjutkan. PT PKP meninggalkan kawasan ini begitu saja dengan meninggalkan kerusakan ditimbulkan di Pulau Sanghiang seluas 800 hektar. Belum lagi banyak kepala daerah yang mengizinkan adanya penambangan pasir di wilayah pantai yang ujung-ujungnya menghancurkan kehidupan laut utamanya terumbu karang.

Ekosistem Tertua
Terumbu karang di Indonesia merupakan bagian dari corel reef dunia yang menghampar dari Amerika Selatan, Australia, Indonesia, Asia hingga Afrika Selatan. Penelitian dari World Watch Institute menyebutkan terumbu karang merupakan ekosistem tertua di dunia dengan umur sekitar 600 juta tahun. Terumbu karang di Australia yang disebut Great Barier Reef, misalnya, terdiri dari 2.900 satuan terumbu karang yang terbentuk dari evolusi selama itu.
Multi fungsi yang diperankan terumbu karang, menjadi salah satu penyebab banyaknya pihak yang berupaya memburu lokasi terumbu karang. Terumbu karang dengan aneka ragam bentuk dan variasi warna, menjadi salah satu daya tarik, bukan saja disenangi ikan tapi juga manusia. Penyelam baik dalam kapasitasnya pencari ikan maupun wisatawan menempatkan kawasan terumbu karang sebagai salah satu pilihan yang menarik. Fungsi demikian ’bagai dua sisi mata uang logam’. Di satu sisi terumbu karang menjadi penyelamat kekayaan laut, disisi lain menjadi salah satu sumber pendapatan yang menguntungkan. Kedua kepentingan itu kadang kala berseberangan, apalagi jika dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab.
Menurut data Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam, Indonesia pernah menjadi eksportir terumbu karang hidup terbesar di dunia. Tercatat 200 ribu buah selama tahun 1992 dan 800 ribu buah selama tahun 1999. Sumbangan produksi terumbu karang Indonesia di sektor perikanan tercatat 2,7 miliar dolar AS per tahun dan sektor pariwisata sebesar 600 juta dolar AS per tahun.
Meskipun kerusakan oleh perdagangan karang belum diteliti lebih dalam bukan berarti tidak perlu diantisipasi, namun demikian tetap diperlukan upaya pencegahan dengan menerapkan prosedur pemanfaatan yang benar, antara lain dengan menerapkan sertifikasi ekolabel. Sistem sertifikasi ekolabel, yang merupakan mekanisme pasar bersifat sukarela ini berupa sistem informasi atas suatu produk yang dikelola secara ramah lingkungan, yang bertujuan antara lain mengurangi tingkat kematian dan kerusakan sumberdaya, meningkatkan kegiatan pengelolaan, harga jual di pasar dunia dan memberikan kepastian berusaha dalam jangka panjang.
Kenyataan di berbagai kawasan laut telah terjadi kerusakan terumbu karang yang sudah sampai pada tahap yang sangat membahayakan baik kelangsungan hidup biota laut maupun manusia sendiri. Padahal seharusnya pemanfaatan kekayaan laut tidak hanya untuk kepentingan seketika atau jangka pendek saja, tapi lebih mengedepankan kebutuhan masa depan.
Lantaran itu, maka harus dibangun kesadaran bagi segenap komponen terhadap permasalahan ini. Sudah saatnya lebih memperhatikan kekayaan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Cara - cara yang tidak bertanggung jawab dalam mengelola dan mengurus keanekaragaman hayati laut sudah saatnya dihentikan. Saatnya menggalang tekad dan kemauan untuk bersama - sama menyadari akan bahaya kerusakan terumbu karang. (bersambung)

===========================================
Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Bagian 2 – habis) -- sub
Dari Menyadarkan hingga Memberdayakan
Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Pemerintah menyadari bahwa perlu ada tindakan segera dalam menyelamatkan terumbu karang Indonesia dari kepunahan. Dorongan untuk membuat program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang semakin menguat sejalan dengan keprihatinan para peneliti kelautan Indonesia akan nasib terumbu karang yang kondisinya makin memburuk
Pada tahun 1980-an Indonesia ikut terlibat dalam Program ASEAN-Australia, Living Coastal Resources, untuk memantau dan mengevaluasi sumberdaya laut di Asia Tenggara. Survei pendahuluan yang dilakukan oleh para peneliti Indonesia tahun 1984 menghadirkan fakta yang sangat mengkhawatirkan, yang menunjukkan kondisi terumbu karang di Indonesia yang dalam keadaan baik tinggal sekitar 5 %, lumayan 29 %, buruk 25 %, dan sangat buruk 40 %.
Temuan ini mengejutkan banyak orang termasuk para pengambil keputusan di negeri ini, yang kemudian menimbulkan kesadaran akan perlunya diambil tindakan-tindakan untuk melindungi dan melestarikan ekositem yang sangat berharga ini. Panitia Persiapan ditetapkan tahun 1994, dan konsep awal Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) kemudian dirumuskan. Ternyata konsep ini mendapat tanggapan yang sangat positif dari berbagai lembaga internasional, bahkan kesediaan untuk ikut berpartisipasi. Tiga lembaga donor menyatakan kesediaan mereka untuk memberikan bantuan pendanaan untuk program ini yakni World Bank, Asia Development Bank, dan AusAID (Australia Agency for International Development). Tanggal 1 September 1998, Coremap kemudian secara resmi diluncurkan.
Coremap bertujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola terumbu karang secara berkelanjutan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau kecil.
Program ini dilaksanakan dalam rentang waktu tahun 1998 - 2013 melalui tiga tahap. Pertama, Tahap Inisiasi (1998 – 2004); Kedua, Tahap Desentralisasi dan Akselerasi (2004 – 2009), Ketiga, Tahap Pelembagaan (2010 – 2015). Dengan demikian program Coremap saat ini telah memasuki fase kedua yang disebut juga fase akselerasi atau percepatan.
Fokus kegiatan Coremap II adalah Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat dengan kegiatan terkait konservasi, perikanan, pemberdayaan masyarakat, wisata bahari. Program Coremap II ini dilaksanakan di beberapa daerah, seperti; Provinsi Sulawesi Selatan (Kab Pangkep dan Selayar), Provinsi Sulawesi Tenggara (Kab Buton, dan Wakatobi), Provinsi Papua (Kab Biak), Provinsi Irian Jaya Barat (Kab Raja Ampat) serta Provinsi Nusa Tenggara Timur (Kab Sikka).
Dari lokasi Coremap II tersebut setelah dilakukan penelitian menampilkan beberapa profile wilayah yang relatif seragam baik menyangkut kondisi terumbu karang maupun kondisi sosial ekonominya. Sebagian besar lokasi, kondisi terumbu karangnya sudah rusak sementara kondisi sosial ekonominya mayoritas juga terjerat oleh kemiskinan.
Sebagai contoh misalnya desa-desa pesisir yang berada di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Hampir separuh penduduk di desa-desa pesisir tersebut memiliki pendapatan kurang dari Rp500 rubu per bulan. Hal yang lebih parah terjadi di desa-desa lokasi Coremap II yang berada di Kabupaten Pangkep (Pangkajene Kepulauan), Sulawesi Selatan. Di lokasi ini utamanya desa-desa yang berada di kepulauan, pendapatan rumah tangganya kecil. Sebanyak 50 persen rumah tangga di kawasan ini mempunyai pendapatan paling tinggi Rp402 ribu.

Melepas Jebakan Kemiskinan
Bahwa dari hasil penelitian terhadap lokasi Coremap II menunjukkan problem utama yang sering menjadi faktor pendorong nelayan untuk melakukan eksploitasi sumber daya laut secara berlebihan adalah faktor kemiskinan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan harus diakui memang selama ini selalu identik dengan kehidupan masyarakat pesisir. Faktor-faktor yang membuat masyarakat pesisir khususnya di lokasi Coremap II terus terjebak pada lingkaran kemiskinan setidaknya adalah sebagai berikut :
Pertama, faktor pendidikan. Dari survei terhadap wilayah lokasi Coremap II menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakatnya ternyata masih berpendidikan SD ke bawah. Fakta itu bisa dilihat misalnya tingkat pendidikan penduduk di Kabupaten Biak Numfor yang ternyata 60% penduduk hanya pendidikan SD ke bawah. Penduduk yang memiliki ijazah SLTP/ dan SLTA hanya 20 %. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Kabupaten Wakatobi. Bahwa dari rendahnya pendidikan masyarakat setempat jelas akan berimplikasi luas. Minimnya ketrampilan membuat mereka tidak bisa berpikir tentang pekerjaan alternatif bila musim tak memungkinkan lagi mereka ke laut. Imbasnya, kemudian mereka melakukan penangkapan sebanyak-banyak dengan harapan penjualan hasil tangkapnya bisa digunakan untuk menutupi kebutuhan saat mereka tak bisa melaut akibat cuaca/musim. Ironisnya untuk mendapat hasil tangkap yang banyak mereka lantas menggunakan bahan peledak yang berujung pada kerusakan terumbu karang. Efek berikutnya tentu saja akan semakin mengurangi jumlah ikan di laut akibat kerusakan terumbu karang tersebut.
Kedua, minimnya infrastruktur dan akses ekonomi. Bahwa dapat dipastikan bila tak satu pun masyarakat yang ingin hidup miskin termasuk masyarakat pesisir. Keinginan untuk meningkatkan taraf hidupnya jelas ada, namun semua terkendala oleh ketiadaan modal. Misalnya minimnya hasil tangkap adalah karena peralatan tangkapnya yang masih sangat sederhana. Selain itu karena tidak adanya alat dan sarana pendingin maka hasil ikan yang ditangkapnya kerap tidak layak lagi untuk dijual. Problem ini jelas menjadi persoalan serius bagi kalangan nelayan. Situasi akan berbeda ketika insfrastruktur ekonomi seperti transportasi misalnya tersedia relatif baik . Misalnya seperti yang ada di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Akibat penurunan hasil tangkapan, sebagian nelayan di kawasan pulau-pulau beralih usaha dari nelayan tangkap ke nelayan budidaya dan ke sektor lain seperti perdagangan, jasa dan angkutan. Hal tersebut bisa terjadi karena para nelayan setempat memiliki ketrampilan tambahan selain melaut. Selain itu faktor ketersediaan insfrastruktur ekonomi lainnya memungkinkan mereka untuk beralih usaha.
Ketiga, minimnya perhatian pemerintah. Upaya untuk meningkatkan kesejahtaran masyarakat di pesisir hampir mustahil dilakukan tanpa campur tangan negara. Negara dengan otoritas yang dimiliki akan mampu menghadirkan program dan kebijakan yang bisa membuka peluang bagi masyarakat pesisir untuk meningkatkan taraf hidupnya. Peran negara dalam hal pemerintah adalah misalnya dengan membuat peraturan perundangan yang melindungi sumber daya laut dari kerusakan. Larangan mencari ikan dengan menggunakan bom dan obat bius adalah salah satu contohnya. Selain itu pemerintah daerah setempat juga bisa membuat program yang langsung bisa bermanfaat bagi nelayan. Misalnya seperti yang dilakukan Kabupaten Biak Numfor yang membuat program pemasangan rumpon rudal di perairan laut distrik Biak Timur. Terbukti adanya rumpon ini mampu meningkatkan hasil tangkap. Kebijakan tersebut kemudian juga diikuti dengan pemberian bantuan coobox. Sehingga nelayan dapat menyimpan hasil tangkapannya sebelum dipasarkan. Selain itu pemerintah (dengan melibatkan instansi/institusi yang kompeten) juga bisa memberdayakan masyarakat setempat dengan membuat program pemberian ketrampilan untuk menjadi pekerjaan alternatif selama mereka tidak memungkinkan melaut.
Dari eksplanasi di atas terlihat bahwa faktor kemiskinan dan tekanan permintaan dari luar telah mendorong nelayan melakukan segala cara untuk mengekploitasi Sumber Daya Laut (SDL) tanpa peduli keberlajutannya. Sebaliknya tersedianya alternatif mata pencaharian dan akses pasar untuk hasil produksi akan mengurangi over fishing dan mendorong pemanfaatna SDL yang ramah lingkungan. Peran pemerintah daerah sangat diperlukan untuk menyediakan akses untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk baik dalam penyediaan kesempatan kerja alternatif maupun pemasaran. Di samping itu diperlukan kemampuan politik dan aksi yang serius dalam membantu masyarakat mengelola SDL.
Berpijak pada kebutuhan tersebut di atas maka kehadiran program Coremap II menemukan relevansinya. Lantaran itu upaya sosialisasi program Coremap harus terus dilakukan.
Jangan sampai sosialisasai kegiatan ini hanya terbatas pada pimpinan formal dan nonformal saja, namun juga kepada masyarakat luas khususnya masyarakt pesisir yang terlibat langsung dalam kegiatan ini. Masyarakat yang mendengar informasi tidak lengkap akan menjadi mudah curiga dan salah paham. Akibat informasi yang sepotong-potong para nelayan acap menganggap program termasuk Coremap tidak bermanfaat, bahkan sebaliknya mengganggu kehidupan masyarakat, karena melarang kegiatan mereka.
Kesalahpahaman ini harus segera diatasi agar mereka tidak antipati terhadap pelaksanaan program tersebut. Bagaimanapun pengelolaannya harus berbasiskan masyarakat, sehingga penduduk di sepanjang pesisir memiliki pengertian mendalam tentang terumbu karang. Diharapkan, tidak ada lagi pertentangan antara pembangunan dan kebutuhan hidup manusia di satu pihak, dengan upaya melestarikan lingkungan di sisi lain. Dengan kata lain, menyelamatkan terumbu karang, berarti menyelamatkan bumi ini dari kehancuran akibat keserakahan manusia. Wallahu’alam Bhis-shawwab.

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...