Sabtu, 29 November 2008

Pembangunan Berbasis Riset atau Wangsit?


Catatan Pembubaran Balitbang Kota Surabaya -- sub
Pembangunan Berbasis Riset atau Wangsit
Oleh :
Wahyu Kuncoro SN

Pengantar :
Artikel berikut dimuat di Surabaya Post, Jumat (28/11/2008).
Keberadaan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kota Surabaya akhirnya berakhir seiring dengan digedoknya Perda Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemkot Surabaya, Senin (24/11) kemarin. Keberadaan Balitbang Kota Surabaya selama ini memang kerap menjadi sorotan. Dan nampaknya, jalan yang dipilih untuk mengakhiri berbagai tudingan miring tersebut adalah dengan membubarkannya (baca : merger dengan Bappeko).
Bagi penulis, pilihan politik yang diambil tersebut barangkali akan meredakan sorotan dan tudingan miring terhadap peran Balitbang Kota Surabaya, namun langkah membubarkannya bukanlah sebuah penyelesaian yang strategis tetapi justru menjadi langkah konyol dan bisa menjerumuskan bagi arah pembangunan di Kota Surabaya.
Banyak pihak sudah mengingatkan betapa penting dan vitalnya keberadaan riset bagi pembangunan kota. Bahkan secara nasional, pemerintah pusat hari ini juga mendorong perguruan tinggi untuk memperbanyak riset dan penelitian yang berkaitan dengan pembangunan. Selain itu, perhatian pemerintah juga kian membaik dengan munculnya Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2007 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Peneliti sebagai revisi atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Peneliti. Berdasar Perpres baru tersebut mengamanahkan adanya peningkatan tunjangan bagi peneliti yang mencapai 10 kali lipat lebih.
Apa artinya? Tidak lain adalah pemerintah pusat sesungguhnya memandang bahwa riset dan profesi riset merupakan profesi yang harus dihargai secara memadai. Selain itu, sebagai bentuk komitmen pemerintah pusat terhadap fungsi riset utamanya terhadap eksistensi Balitbang juga bisa terbaca dari hadirnya Surat Edaran (SE) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (SE Mendagri) Republik Indonesia Nomor: 061/2721/SJ tertanggal 12 November 2007 yang meminta agar eksistensi balitbangda tetap dipertahankan di provinsi, kabupaten/kota. Provinsi, kabupaten/kota yang belum membentuk balitbangda agar segera membentuk balitbangda. Nah berpijak, pada semangat pemerintah pusat yang ingin lebih memberdayakan peran dan fungsi riset dalam pembangunan, kita dikagetkan oleh langkah Kota Surabaya yang malah membubarkan Balitbang.
Menilik dari logika yang disampaikan eksekutif dan legislatif sungguh pembubaran Balitbang seolah semakin menegaskan kepada kita bagaimana pola pikir birokrasi dan politisi kita yang cenderung tidak mendalam dan kurang bisa berpikir secara strategis dan visioner. Penilaian ini bisa dirunut dari argumentasi yang disodorkan oleh otoritas politik Kota Surabaya untuk membubarkan Balitbang.
Agumentasi tersebut misalnya adalah karena mereka (eksekutif dan legislatif) menganggap bila fungsi dan wilayah kerja Balitbang dianggap sama dengan perencanaan sehingga dianggap cocok bila dimerger dengan Bappeko Kota Surabaya. Sekilas memang wajar bila ada kesan sama antara penelitian dan perencanaan namun bila ditelisik lebih jauh maka jelas sangat berbeda antara peran dan fungsi penelitian dengan perencanaan. Penelitian sesungguhnya harus merupakan institusi yang independen yang bekerja dengan berpijak pada sebuah grand desain pembangunan Kota.
Balitbang nantinya akan menjadi ’penjaga idealisme’ pembangunan. Mengapa ? karena nantinya apa yang direkomendasikan Balitbang adalah sesuatu yang berpijak pada data dan angka-angka yang ilmiah dan bukan angka-angka manipulatif yang kerap direkayasa demi untuk melaksanakan proyek pembangunan. Lantaran itu, ketika akhirnya Pemkot Surabaya memilih untuk melebur Balitbang dalam badan Bappeko Kota Surabaya maka langkah tersebut sejatinya telah menyeret Balitbang –yang berisi insan peneliti yang notabene independen dan hanya takluk pada kaidah ilmiah-- menjadi sekadar tukang stempel birokrasi yang kerja-kerjanya hanya menjadi legitimasi bagi birokrasi untuk membuat proyek yang bernama pembangunan. Peneliti yang merupakan barang langka di negeri ini hanya akan menjadi ’kambing congek’ yang bekerja karena kebutuhan yang bernama proyek pembangunan. Nah dalam logika ini saja sesungguhnya nampak bila pejabat-pejabat birokrasi dan politisi di Surabaya lebih banyak didominasi oleh orang-orang yang berpikir bahwa peneliti hanya sekadar instrumen untuk menunjukkan bahwa sebuah kebijakan yang diambil seolah-olah telah sesuai dengan kaidah ilmiah. Kalau ini yang terjadi maka warga Surabaya harus bersiap-siap bila nantinya mendapati kebijakan dan proyek pembangunan yang dipilih dan dikerjakan karena pertimbangan ’kiro-kiro apik’ dan bukannya kebijakan pembangunan yang merupakan rumusan hasil kajian dan penelitian mendalam. Jadi jangan heran kalau tiba-tiba muncul program pembangunan yang aneh dan nganeh-nganehi. Maklum pejabat kita lebih percaya wangsit dari pada riset dan penelitian.

Bagaimana Selanjutnya?
Berkaca dari itu, tentu kita patut prihatin dengan langkah yang diambil Kota Surabaya yang pola pikirnya justru mundur ke belakang dengan membubarkan Balitbang. Namun demikian harus kita akui bahwa keberadaan Balitbang di beberapa Kota/Kab saat ini harus direvitalisasi agar bisa memenuhi harapan dan kebutuhan. Harus juga kita akui bila hasil-hasil penelitian yang dihasilkan oleh Balitbang belum terlalu bermakna. Karena seringkali suatu penelitian didasarkan lebih pada isu aktual, maka pada saat hasil penelitiannya akan diterapkan dalam konteks perencanaan, isu yang berkembang saat itu sudah berbeda.
Untuk itu, perlu dilakukan perubahan model perencanaan penelitian ke depan. Sifat dari penelitiann-penelitian sudah harus mengacu pada road map hasil penelitian yang sudah ada dan memang sudah sesuai dengan tahapan pembangunan/ RPJMD. Dengan demikian maka tidak akan ada lagi sorotan miring seperti itu. Tentang belum termanfaatkannya hasil-hasil penelitian oleh masyarakat pengguna, sebenarnya dengan adanya database hasil penelitian yang telah dihimpun bisa dipublikasikan melalui website. Masyarakat pengguna sudah dapat mengakses informasi yang ada sesuai dengan keinginannya untuk pemanfaataan lebih lanjut, baik untuk keperluan akademik, perencanaan pembangunan atau untuk tujuan komersial. Masalahnya barangkali tidak semua masyarakat pengguna gemar/ terbiasa dengan internet, sehingga mungkin kedepan Balitbang harus lebih proaktif lagi mempromosikan hasil-hasil penelitiannya lewat jalur konvensional, seperti seminar, pameran atau lokakarya.
Upaya berikutnya adalah perlu kerja keras untuk mengajak SDM yang belum ‘tune in’ dengan suasana penelitian yang ‘abstrak’ apalagi memahami pentingnya model data base hasil penelitian, dan road map hasil penelitian sebagai bahan kebijakan, pengambangan iptek dan bahan perencanaan pembangunan dengan arah dan target tertentu. Pola penelitian berbasis isu aktual yang saat ini lebih mendominasi model penelitian dilembaga litbang pada skala kabupaten-kota, propinsi maupun nasional, tidak terlalu memerlukan energi yang berlebihan dalam pengelolaannya. Namun seperti yang kita sama-sama pahami hasilnya belum optimal sebagai bahan perencanaan pembangunan. Untuk membangun SDM seperti yang diharapkan, barangkali kedepan diperlukan model rekruitmen yang selektif mulai dari awal CPNS untuk menjadi tenaga fungsional peneliti atau seperti persyaratan LIPI saat ini dengan membatasi usia maksimal 45 tahun untuk PNS. Namun tentu saja dengan memberikan perangsang dalam bentuk tunjangan fungsional peneliti yang setara dengan struktural agar minat untuk masuk ke Lembaga Litbang semakin tinggi sehingga ada proses kompetisi, dan hal itu sesuai dengan usulan LIPI untuk mensetarakan tunjangan fungsional dengan struktural. Di sisi lain, model insentif berbasis kinerja mungkin dapat menjadi solusi terbaik dimasa yang akan datang.
Selain itu, agar penelitian yang dilakukan oleh Balitbang tidak bertabrakan dengan penelitian di dinas-dinas maka penelitian yang dilakukan adalah penelitian yang terkait dengan kebijakan, bahan perencanaan pembangunan atau pengembangan iptek. Karena itu, penelitian-penelitiannya lebih ditekankan misalnya, pada kemungkinan potensi dampak negative/ positif dari suatu kebijakan, teknologi yang akan dikembangkan, system yang akan diterapkan, atau model perangkat lunak yang ditemukan agar bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, pembangunan daerah atau pengembangan iptek. Penelitian oleh dinas teknis pada dasarnya adalah penelitian untuk mencari efisiensi suatu teknologi, sistem, model agar lebih berdaya/ berhasil guna dibandingkan dengan konsep yang sudah ada. Namun karena selama ini belum adanya mekanisme filter yang jelas, maka masih sulit untuk menentukan siapa harus mengerjakan apa. Sebenarnya, yang paling penting adalah apakah penelitian-penelitian tersebut masih pada jalur/ trak yang benar, dilihat dari road map hasil penelitian sebagai acuan perencanaan pembangunan yang akan datang, atau justru penelitiannya telah berada di luar jalur. Wallahu’alam Bhis-shawwab.

000

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...