Jumat, 10 Oktober 2008

Momentum Bangkitkan Emosi Ke-Jawa Timur-an




Setahun lalu, kemeriahan dan gegap gempita perdebatan publik menyangkut penetapan Hari Ulang Tahun (HUT) Provinsi Jatim melalui perda demikian terasakan. Meski, memantik sedikit kontroversi dalam masyarakat, akhirnya DPRD Jatim tahun kemarin menetapkan HUT Provinsi Jatim menjadi tanggal 12 Oktober.
Dan hari ini, ketika Jatim bersiap memperingati HUT-nya pada tanggal 12 Oktober nanti nampaknya publik sudah melupakan kontroversi atas penetapan tanggal tersebut. Terbukti, sepi-sepi saja respon masyarakat terhadap rencana resepsi HUT Jatim tersebut.
Keputusan politik memang sudah dilakukan oleh eksekutif dan legislatif dengan menetapkan Perda Hari Jadi Jatim tersebut. Meski banyak yang mengganjal terkait keputusan menetapkan tanggal 12 Oktober sebagai Hari Ulang Provinsi Jatim, namun langkah bijak yang sebaiknya diambil adalah melihat bahwa penetapan Hari Jadi Jatim tersebut sebagai bagian dari proses pencarian kebenaran yang memang selalu bersifat dinamis. Artinya, kebenaran bukan merupakan harga mati dan bersifat statis. Sehingga bukan tidak mungkin bila Hari Jadi Jatim pun kelak akan dilakukan perubahan bila memang ada data dan argumentasi yang memadai untuk melakukan perubahan tersebut.
Munculnya perdebatan dan ketidakpuasan atas penetapan tanggal 12 Oktober tersebut pada wilayah lain sesungguhnya patut untuk disyukuri. Kondisi tersebut bisa dibaca secara positif yakni bahwa masyarakat di Jatim bukan lagi masyarakat yang pasif dan pasrah. Tetapi masyarakat Jatim adalah merupakan masyarakat yang aktif dan berani untuk berbeda sikap dengan pemimpinnya. Dan hal itu merupakan modal penting dalam mengelola Jatim. Dengan kondisi sedemikian diharapkan para pemimpin kita baik di eksekutif dan legislatif selalu memberikan argumentasi dan pijakan yang kuat dalam mengambil keputusan apapun.
Para pakar Sejarah mungkin tidak akan mempersoalkan tanggal 12 Oktober 1945 sebagai Hari Jadi Provinsi Jawa Timur asalkan dilengkapi dengan bukti sejarah yang autentik. Minimnya data autentik yang dijadikan pijakan penetapan Hari Jadi tersebut barangkali yang mendorong munculnya perdebatan tersebut. Namun sekali lagi, saat ini tentu tidak cukup bijak kalau kita terus menerus memperdebatkan validitas dan dasar hukum penetapan tanggal tersebut.
Kita mungkin hanya bisa melihat bahwa Perda hadir juga merupakan produk dan pilihan politik. Sehingga bisa jadi ketika situasi politik berubah, hari Jadi Jatim pun akan berubah. Artinya, jangan sampai penetapan Perda tentang Hari Jadi tersebut menghentikan langkah kita untuk terus mencari dan mencari catatan dan bukti sejarah yang lebih valid untuk dijadikan dasar bagi pemilihan tanggal tersebut.
Lantaran itu, barangkali akan lebih produktif lagi bila fokus kita kemudian adalah harus diapakan dengan Hari Jadi Jatim tersebut. Dana miliaran rupiah telah telanjur dikeluarkan untuk keperluan tersebut. Apakah kemudian kita sudah puas karena telah memiliki Hari Jadi ? Atau apakah cukup hanya dijadikan sarana membangkitkan romantisme atau hanya sekadar mementingkan aspek seremonial belaka. Tidak inginkan kita, penetapan Tanggal Hari Jadi tersebut bisa dijadikan momentum untuk membangkitkan semangat dan etos baru dalam membangun Jawa Timur ?

Emosi Ke-Jawa Timur-an
Menyimak prosesi perayaan HUT Jatim yang diselenggarakan setahun yang lalu (2007, red), bagi penulis memang menghadirkan sesuatu yang mengganjal. Sekadar catatan, saat resepsi perayaan HUT Jatim tahun kemarin, dari 38 kepala daerah yang diundang ternyata tak banyak bahkan tak satu pun yang bersedia hadir.
Mungkin akan ada yang berkilah, seberapa pentingkah menghadiri resepsi ulang tahun, dibandingkan mengerjakan pekerjaan rumah di daerah masing-masing yang mungkin lebih mendesak untuk diselesaikan. Bisa jadi memang ada yang memiliki urusan yang demikian penting sehingga tidak bisa ikut menghadiri resepsi HUT Jatim. Tetapi ketika semua kepala daerah tidak ada yang hadir maka tidak akan terlalu keliru bila kemudian muncul kesimpulan bahwa dimata para kepala daerah bila menghadiri resepsi HUT Jatim adalah tidak penting. Bila ini benar, maka sebenarnya kita masih bisa menghibur diri bahwa memang hadir acara resepsi tidak terlalu penting. Tetapi kita akan menjadi prihatin bila argumentasinya adalah bahwa menghadiri acara provinsi dianggap sudah tidak penting lagi. Atau dalam bahasa yang lebih lugas lagi, apa pentingnya kehadiran institusi provinsi bagi keberadaan Kabupaten/Kota di Jatim.
Kekhawatiran itu semakin menjadi-jadi ketika dikaitkan dengan fenomena politik pasca pemberlakukan otonomi daerah yang mulai menunjukkan kecenderungan semakin merdekanya daerah (Kabupatan/Kota). Atau dengan kata lain, keengganan kabupaten/kota untuk hadir jangan-jangan menjadi bukti bahwa kehadiran provinsi dianggap sudah tidak penting lagi bagi daerah.
Kita tentu patut cemas dengan fakta perihal keengganan para kepala daerah untuk hadiri di HUT tersebut. Karena bisa jadi itu merupakan bukti nyata betapa Kabupaten/Kota tidak lagi memiliki kepedulian dengan nasib Jatim. Bila itu dibiarkan maka bukan tidak mungkin, nantinya yang terjadi adalah persaingan bebas antar daerah.
Salah satu kecemasan yang kian terasakan adalah berlomba-lombanya daerah untuk membuat produk hukum yang hanya mempertimbangkan kepentingan daerah masing-masing. Imbasnya adalah terjadi ketidakserasian pembangunan antar daerah.
Dalam posisi seperti itu, sesungguhnya posisi provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah menjadi penting untuk menjadi pengatur keserasian pembangunan antar daerah. Namun ironisnya lagi, akibat fungsi tersebut acap terjadi hubungan yang kurang harmonis antar Kab/Kota dengan provinsi. ‘Ketegangan’ yang kerap terjadi antar Provinsi Jatim dengan Kota Surabaya adalah salah satu indikasi nyata situasi tersebut. Sehingga sesungguhnya momentum HUT Jatim harus dijadikan momentum untuk membangkitkan kesadaran membangun kebersamaan tersebut. Artinya, menyejahterakan rakyat tidak bisa dibangun secara sendiri-sendiri, namun antar daerah tetaplah harus terjalin kebersamaan agar terjadi keselarasan dalam menelorkan kebijakan.
Di luar itu yang lebih penting lagi sesungguhnya adalah seberapa mampukah penetapan Hari jadi Jatim tersebut bisa membangkitkan kebersamaan dalam membangun Jatim. Dan kesadaran itu tentu bukan hanya berlaku bagi petinggi-petinggi di pemprov Jatim tetapi juga menjadi kesadaran bagi Walikota/Bupati di Jawa Timur. Sudahkah terbangun kesadaran bahwa membangun Kab/Kota tidak mungkin dilakukan tanpa menjaga keserasian dan keseimbangan antar daerah. Bila kesadaran ini ada maka, kolektivitas dan kebersamaan antar Kab/kota di Jawa Timur sepatutnya menjadi agenda yang harus diprioritaskan dibandingkan dengan memenuhi ego daerah demi untuk memajukan daerah masing-masing tanpa mempertimbangkan kepentingan dan pembangunan di daerah lain.
Dalam konteks menjaga keserasian dan keselarasan pembangunan antar Kab/Kota di Jatim inilah sesungguhnya membuat peran Pemerintah Provinsi menjadi penting adanya. Selamat Merayakan HUT Provinsi Jatim.
Wallahu’alam Bhis-shawwab.
Oleh : Wahyu Kuncoro SN ; Jurnalis; Pemerhati Birokrasi-Pemerinthan Peneliti muda Public Sphere Center (PuSpeC)- SUrabaya ; (Artikel dimuat di Jawa Pos edisi Jumat (10/10/2008))

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...