(Catatan Transformasi
Pelabuhan Indonesia)
Kehadiran Undang Undang (UU) Nomor 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran, meski sudah ditetapkan hampir 5 tahun lalu, namun
geliatnya baru terasa 1-2 tahun belakangan ini, mengapa? Tidak lain karena beberapa
ketentuan yang termaktub dalam UU ini baru bisa dilaksanakan sepenuhnya setelah
3 tahun sejak ditetapkan.
Toleransi waktu yang diberikan oleh UU
Pelayaran ini menandakan betapa UU ini membutuhkan persiapan yang cukup sebelum
benar-benar diimplementasikan. Pada derajat tertentu toleransi ini menunjukkan
bahwa UU ini memang didesain untuk melakukan perubahan secara signifikan
terhadap tata kelola pelabuhan
Indonesia. Beberapa toleransi yang diberikan oleh UU ini misalnya seperti
pada pasal 344 (2) menjelaskan bahwa dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun
sejak Undang- Undang ini berlaku, kegiatan usaha pelabuhan yang dilaksanakan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini. Kemudian dalam pasal
341 juga memberi toleransi kepada kapal asing yang melayani kegiatan
angkutan laut dalam negeri tetap dapat melakukan kegiatannya paling lama 3
(tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
Fondasi
Transformasi Pelabuhan
Kelahiran UU Pelayaran ini
sesungguhnya memberikan fondasi untuk transformasi sistem pelabuhan di Indonesia secara lebih
komprehensif. Ikhtiar transformasi itu begitu terasa ketika UU ini secara
berani menghapus monopoli pemerintah melalui PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) atas
sektor pelabuhan dengan membuka
kesempatan bagi partisipasi
sektor swasta. Langkah berani ini tentu dapat
mengarah pada masuknya persaingan
yang sangat diperlukan
di sektor pelabuhan. Kompetisi ini selanjutnya akan menimbulkan tekanan
untuk menurunkan harga-harga, dan secara umum meningkatkan pelayanan
pelabuhan.
Penghapusan monopoli tersebut membuat Pelindo
yang sebelumnya memegang peran sebagai regulator sekaligus operator untuk
‘merelakan’ melepaskan perannya sebagai regulator. Pelindo selanjutnya didorong
untuk lebih fokus pada perannya sebagai operator terminal yang harus lebih
memikirkan bagaimana pelabuhan bisa memberi pelayanan terbaik. Sebelum ada
pemisahan antara peran sebagai regulator dan operator sebagaimana amanah UU
17/2008, Pelindo menikmati memang monopoli pada pelabuhan komersial utama yang
dilegislasikan serta otoritas pengaturan terhadap pelabuhan-pelabuhan sektor
swasta. Pada hampir semua pelabuhan utama, Pelindo bertindak baik sebagai
operator maupun otoritas pelabuhan
tunggal, mendominasi penyediaan layanan pelabuhan utama seperti fasilitas-fasilitas
pelabuhan untuk kegiatan bongkar muat, gudang, peti kemas hingga lahan untuk
kantor dan kawasan industry, layanan medis pelabuhan dan sebagainya. Namun
pasca kehadiran UU Pelayaran ini, rela atau tidak Pelindo harus menarik diri
dari peran sebagai otoritas pelabuhan untuk kemudian bergeser sebagai Badan
Usaha Pelabuhan (BUP) yang berperan sebagai operator terminal. Realitas ini
pada awalnya memang bagi sebagian kalangan di Pelindo sebagai upaya merenggut
kewenangan dan peran yang selama ini sudah telanjur dinikmati.
Sinergi Regulator-Operator
Pemisahan peran dalam tata kelola
pelabuhan tersebut selanjutnya diikuti dengan pembentukan otoritas pelabuhan
(OP), Syahbandar dan Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP). Kelembagaan baru di
pelabuhan ini bertujuan untuk meningkatkan kompetisi yang sehat dan efisiensi
kinerja di pelabuhan. OP merupakan lembaga pemerintah di pelabuhan yang
melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian dan pengawasan pelabuhan secara
komersial.
Tanggung-jawab utama mereka adalah untuk
mengatur, memberi harga dan mengawasi
akses ke prasarana dan layanan pelabuhan dasar termasuk daratan dan perairan
pelabuhan, alat-alat navigasi, kepanduan (pilotage),
pemecah ombak, tempat pelabuhan, jalur laut (pengerukan) dan jaringan jalan
pelabuhan. Selain itu, otoritas pelabuhan juga akan bertanggung jawab untuk
mengembangkan dan menerapkan rencana induk pelabuhan (termasuk menentukan
daerah kendali darat dan laut) sekaligus menjamin ketertiban, keamanan dan
kelestarian lingkungan pelabuhan. Sementara UPP bertugas menangani tugas yang
sama pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. Sedangkan
Syahbandar merupakan unit pelaksana teknis yang melakukan fungsi keselamatan
dan ketertiban pelayaran.
OP nantinya juga akan berperan sebagai
wakil pemerintah untuk memberikan konsesi dan bentuk lainnya kepada Badan Usaha
Pelabuhan (BUP) untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan sesuai
perjanjian. Dalam konteks ini Pelindo dan pihak lain baik pemerintah daerah
maupun swasta akan berperan sebagai BUP.
Berpijak pada skema yang telah
ditetapkan oleh UU Pelayaran ini membawa konsekuensi bahwa semua operator jasa
kepelabuhanan harus tunduk kepada ketentuan otoritas pelabuhan (OP) sebagai
regulator. Dengan berfungsinya OP, seluruh kegiatan investasi, baik untuk
kegiatan bongkar-muat, pengembangan pelabuhan, maupun pendirian pelabuhan baru,
tidak bisa ditangani secara langsung, misalnya oleh Pelindo. Namun, ini tidak
termasuk perusahaan bongkar-muat (PBM) yang sudah menandatangani kontrak kerja
sama dengan Pelindo sebelumnya. Terhadap pihak ketiga yang sudah telanjur
menandatangani kontrak dengan Pelindo tentu
bisa tetap dilanjutkan. Hanya saja ketika dilanjutkan untuk kepentingan
investasi, tetap harus dikoordinasikan dengan OP.
Kita tentu berharap regulator dan
operator maupun menjalin kerja sama untuk meningkatkan pelayanan, khususnya
terkait kecepatan kegiatan bongkar-muat, sehingga waktu tunggu kapal di
pelabuhan bisa diperkecil menuju zero
waiting time (tidak ada waktu tunggu). Kegiatan bongkar-muat di
pelabuhan, juga berpengaruh terhadap
perekonomian. Untuk itu, OP dan operator di pelabuhan harus menunjukkan kinerja
yang lebih baik. Apalagi semua kegiatan sudah mengadopsi teknologi, sehingga
tidak ada lagi keterlambatan.
Pengembangan
Insfrastruktur
Pemisahan peran antara regulator dan
operator pada gilirannya adalah agar ada percepatan proyek pengembangan
pelabuhan strategis. Pengembangan infrastruktur pelabuhan akan menjadi stimulus
utama bagi pelaku usaha pelayaran untuk
berinvestasi utamanya dengan membeli kapal baru. Saat ini pengusaha pelayaran
sulit mendatangkan kapal-kapal baru bahkan kapal berskala lebih besar karena
infrastruktur tidak siap.
Pelabuhan dan fasilitas di luar
pelabuhan tidak siap menerima kapal-kapal yang lebih besar. Jika investasi
kapal berskala besar terutama untuk angkutan barang antarpulau terjadi pada
saat ini, akan semakin memperburuk kondisi pelabuhan karena tidak siap menerima
kapal baru. Kunci menurunkan biaya logistik sekarang ini ada di pelabuhan. Untuk
itu dibutuhkan lebih banyak pelabuhan atau terminal curah kering Indonesia yang
memiliki kedalaman, lebar, dan panjang dermaga yang mampu melayani kapal dengan
kategori capsize dengan kapasitas 200 ribu DWT (Deadweight tonnage) guna mendapatkan biaya layanan pelabuhan yang
lebih efisien dan murah.
Sejalan dengan ini, patut kiranya kita apresiasi keinginan
kuat Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) untuk mempercepat proyek
Pelabuhan Kalibaru yang lebih dikenal The New Tanjung Priok Port. Kehadiran New
Tanjung Priok Port bakal menambah kapasitas Pelabuhan Tanjung Priok dengan
potensi sebesar 4,5 juta twentyfoot
equivalent units (TEUs), Kompas (16/1)
Pembangunan New Tanjung Priok Port tak
bisa ditunda lagi dengan melihat kapasitas Pelabuhan Tanjung Priok yang sudah
padat dengan traffic yang sangat
tinggi. Kapasitas pelabuhan saat ini sebanyak 7,2 juta TEUs tak bisa lagi menampung arus barang yang masuk. Karena
kapasitas pelabuhan yang terbatas,
akibatnya terjadi biaya tunggu (kongesti) yang jauh lebih besar. Selain itu, pertimbangan ukuran kapal
dewasa ini juga menjadi pemicu untuk memperbesar kapasitas pelabuhan.
Saat ini, kapal yang banyak beredar
memiliki kapasitas angkut di atas 10.000 TEU, sementara Pelabuhan Tanjung Priok
hanya bisa menerima kapal dengan kapasitas 6.000 hingga 8.000 TEUs saja. Dengan
kondisi pelabuhan seperti itu sudah pasti sulit bersaing dengan pelabuhan
beberapa negara tetangga Malaysia, apalagi Singapura. Dari segi kedalaman,
pelabuhan di Singapura sudah mencapai 16 meter sehingga kapal ukuran 16.000
TEUs bisa berlabuh. Sedangkan Tanjung Priok masih berada pada angka 12 meter, kapal yang bisa
merapat di pelabuhan hanya dengan kapasitas 8.000 TEUs. Apalagi kalau berbicara seputar fasilitas
pelabuhan Indonesia akan semakin tertinggal.
Wallahu’alam
Bhis-shawwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar