Selasa, 26 Februari 2013

Menguatkan Sinergi Regulator-Operator

(Catatan Transformasi Pelabuhan Indonesia)




Kehadiran Undang Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, meski sudah ditetapkan hampir 5 tahun lalu, namun geliatnya baru terasa 1-2 tahun belakangan ini, mengapa? Tidak lain karena beberapa ketentuan yang termaktub dalam UU ini baru bisa dilaksanakan sepenuhnya setelah 3 tahun sejak ditetapkan.
Toleransi waktu yang diberikan oleh UU Pelayaran ini menandakan betapa UU ini membutuhkan persiapan yang cukup sebelum benar-benar diimplementasikan. Pada derajat tertentu toleransi ini menunjukkan bahwa UU ini memang didesain untuk melakukan perubahan secara signifikan terhadap tata kelola pelabuhan  Indonesia. Beberapa toleransi yang diberikan oleh UU ini misalnya seperti pada pasal 344 (2) menjelaskan bahwa dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang- Undang ini berlaku, kegiatan usaha pelabuhan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Kemudian dalam pasal  341 juga memberi toleransi kepada kapal asing yang melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri tetap dapat melakukan kegiatannya paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

Fondasi Transformasi Pelabuhan
Kelahiran UU Pelayaran ini sesungguhnya memberikan fondasi untuk transformasi  sistem pelabuhan di Indonesia secara lebih komprehensif. Ikhtiar transformasi itu begitu terasa ketika UU ini secara berani menghapus monopoli pemerintah melalui PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) atas sektor pelabuhan  dengan  membuka  kesempatan  bagi  partisipasi  sektor  swasta.  Langkah berani ini  tentu dapat  mengarah  pada masuknya  persaingan  yang  sangat  diperlukan  di  sektor   pelabuhan. Kompetisi ini selanjutnya  akan menimbulkan  tekanan  untuk menurunkan harga-harga, dan secara umum meningkatkan pelayanan pelabuhan.
Penghapusan monopoli tersebut membuat Pelindo yang sebelumnya memegang peran sebagai regulator sekaligus operator untuk ‘merelakan’ melepaskan perannya sebagai regulator. Pelindo selanjutnya didorong untuk lebih fokus pada perannya sebagai operator terminal yang harus lebih memikirkan bagaimana pelabuhan bisa memberi pelayanan terbaik. Sebelum ada pemisahan antara peran sebagai regulator dan operator sebagaimana amanah UU 17/2008, Pelindo menikmati memang monopoli pada pelabuhan komersial utama yang dilegislasikan serta otoritas pengaturan terhadap pelabuhan-pelabuhan sektor swasta. Pada hampir semua pelabuhan utama, Pelindo bertindak baik sebagai operator  maupun otoritas pelabuhan tunggal, mendominasi penyediaan layanan pelabuhan utama seperti fasilitas-fasilitas pelabuhan untuk kegiatan bongkar muat, gudang, peti kemas hingga lahan untuk kantor dan kawasan industry, layanan medis pelabuhan dan sebagainya. Namun pasca kehadiran UU Pelayaran ini, rela atau tidak Pelindo harus menarik diri dari peran sebagai otoritas pelabuhan untuk kemudian bergeser sebagai Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang berperan sebagai operator terminal. Realitas ini pada awalnya memang bagi sebagian kalangan di Pelindo sebagai upaya merenggut kewenangan dan peran yang selama ini sudah telanjur dinikmati.

Sinergi Regulator-Operator
Pemisahan peran dalam tata kelola pelabuhan tersebut selanjutnya diikuti dengan pembentukan otoritas pelabuhan (OP), Syahbandar dan Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP). Kelembagaan baru di pelabuhan ini bertujuan untuk meningkatkan kompetisi yang sehat dan efisiensi kinerja di pelabuhan. OP merupakan lembaga pemerintah di pelabuhan yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian dan pengawasan pelabuhan secara komersial.
Tanggung-jawab utama mereka adalah untuk mengatur, memberi harga dan  mengawasi akses ke prasarana dan layanan pelabuhan dasar termasuk daratan dan perairan pelabuhan, alat-alat navigasi, kepanduan (pilotage), pemecah ombak, tempat pelabuhan, jalur laut (pengerukan) dan jaringan jalan pelabuhan. Selain itu, otoritas pelabuhan juga akan bertanggung jawab untuk mengembangkan dan menerapkan rencana induk pelabuhan (termasuk menentukan daerah kendali darat dan laut) sekaligus menjamin ketertiban, keamanan dan kelestarian lingkungan pelabuhan. Sementara UPP bertugas menangani tugas yang sama pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. Sedangkan Syahbandar merupakan unit pelaksana teknis yang melakukan fungsi keselamatan dan ketertiban pelayaran.
OP nantinya juga akan berperan sebagai wakil pemerintah untuk memberikan konsesi dan bentuk lainnya kepada Badan Usaha Pelabuhan (BUP) untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan sesuai perjanjian. Dalam konteks ini Pelindo dan pihak lain baik pemerintah daerah maupun swasta akan berperan sebagai BUP.
Berpijak pada skema yang telah ditetapkan oleh UU Pelayaran ini membawa konsekuensi bahwa semua operator jasa kepelabuhanan harus tunduk kepada ketentuan otoritas pelabuhan (OP) sebagai regulator. Dengan berfungsinya OP, seluruh kegiatan investasi, baik untuk kegiatan bongkar-muat, pengembangan pelabuhan, maupun pendirian pelabuhan baru, tidak bisa ditangani secara langsung, misalnya oleh Pelindo. Namun, ini tidak termasuk perusahaan bongkar-muat (PBM) yang sudah menandatangani kontrak kerja sama dengan Pelindo sebelumnya. Terhadap pihak ketiga yang sudah telanjur menandatangani kontrak dengan Pelindo tentu  bisa tetap dilanjutkan. Hanya saja ketika dilanjutkan untuk kepentingan investasi, tetap harus dikoordinasikan dengan OP.  
Kita tentu berharap regulator dan operator maupun menjalin kerja sama untuk meningkatkan pelayanan, khususnya terkait kecepatan kegiatan bongkar-muat, sehingga waktu tunggu kapal di pelabuhan bisa diperkecil menuju zero waiting time (tidak ada waktu tunggu). Kegiatan bongkar-muat di pelabuhan,  juga berpengaruh terhadap perekonomian. Untuk itu, OP dan operator di pelabuhan harus menunjukkan kinerja yang lebih baik. Apalagi semua kegiatan sudah mengadopsi teknologi, sehingga tidak ada lagi keterlambatan.  

Pengembangan Insfrastruktur
Pemisahan peran antara regulator dan operator pada gilirannya adalah agar ada percepatan proyek pengembangan pelabuhan strategis. Pengembangan infrastruktur pelabuhan akan menjadi stimulus utama bagi pelaku usaha  pelayaran untuk berinvestasi utamanya dengan membeli kapal baru. Saat ini pengusaha pelayaran sulit mendatangkan kapal-kapal baru bahkan kapal berskala lebih besar karena infrastruktur tidak siap.
Pelabuhan dan fasilitas di luar pelabuhan tidak siap menerima kapal-kapal yang lebih besar. Jika investasi kapal berskala besar terutama untuk angkutan barang antarpulau terjadi pada saat ini, akan semakin memperburuk kondisi pelabuhan karena tidak siap menerima kapal baru. Kunci menurunkan biaya logistik sekarang ini ada di pelabuhan. Untuk itu dibutuhkan lebih banyak pelabuhan atau terminal curah kering Indonesia yang memiliki kedalaman, lebar, dan panjang dermaga yang mampu melayani kapal dengan kategori capsize dengan kapasitas 200 ribu DWT (Deadweight tonnage) guna mendapatkan biaya layanan pelabuhan yang lebih efisien dan murah.
Sejalan dengan  ini, patut kiranya kita apresiasi keinginan kuat Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) untuk mempercepat proyek Pelabuhan Kalibaru yang lebih dikenal The New Tanjung Priok Port. Kehadiran New Tanjung Priok Port bakal menambah kapasitas Pelabuhan Tanjung Priok dengan potensi sebesar 4,5 juta twentyfoot equivalent units (TEUs), Kompas (16/1)
          Pembangunan New Tanjung Priok Port tak bisa ditunda lagi dengan melihat kapasitas Pelabuhan Tanjung Priok yang sudah padat dengan traffic yang sangat tinggi. Kapasitas pelabuhan saat ini sebanyak 7,2 juta TEUs tak bisa  lagi menampung arus barang yang masuk. Karena kapasitas pelabuhan yang  terbatas, akibatnya terjadi biaya tunggu (kongesti) yang jauh lebih  besar. Selain itu, pertimbangan ukuran kapal dewasa ini juga menjadi pemicu untuk memperbesar kapasitas pelabuhan.
Saat ini, kapal yang banyak beredar memiliki kapasitas angkut di atas 10.000 TEU, sementara Pelabuhan Tanjung Priok hanya bisa menerima kapal dengan kapasitas 6.000 hingga 8.000 TEUs saja. Dengan kondisi pelabuhan seperti itu sudah pasti sulit bersaing dengan pelabuhan beberapa negara tetangga Malaysia, apalagi Singapura. Dari segi kedalaman, pelabuhan di Singapura sudah mencapai 16 meter sehingga kapal ukuran 16.000 TEUs bisa berlabuh. Sedangkan Tanjung Priok masih  berada pada angka 12 meter, kapal yang bisa merapat di pelabuhan hanya dengan kapasitas 8.000 TEUs.  Apalagi kalau berbicara seputar fasilitas pelabuhan Indonesia akan semakin tertinggal.
Wallahu’alam Bhis-shawwab




Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...