Kamis, 14 Desember 2017

Kawal Harta Negara, BPK Harus Berdaya



Penggunaan uang negara harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan. Pertanggungjawaban atas uang negara itu pun harus dilakukan secara transparan. Setiap rupiah dana negara yang keluar dari kas negara harus benar-benar dibelanjakan untuk kepentingan rakyat. Bukan untuk kepentingan lainnya, apalagi dikorupsi. Demikian pesan yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam acara Persiapan Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2017 dan Institusi Pengelola Keuangan Negara Lainnya Dalam Rangka Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik di Istana Kepresidenan Bogor, Kompas (6/12/2017).
Substansi dari pesan itu pada dasarnya sangat dipahami dan memang bernuansa normatif. Namun pesan tersebut menjadi menarik ketika disampaikan bersamaan waktunya dengan pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan pemerintah. Opini itu merupakan yang pertama diraih pemerintah pusat dalam 12 tahun terakhir. Karena itu, kita sepakat dengan pesan Presiden Jokowi tersebut.
Sekali lagi yang perlu kita garisbawahi adalah bahwa setiap laporan keuangan pemerintah mencerminkan di dalamnya seberapa besar kepercayaan rakyat dijaga dan dirawat. Dalam setiap rupiah yang dibelanjakan tecermin bagaimana upaya pemerintahan dalam menjaga kepercayaan rakyat. Artinya laporan keuangan pemerintah mencerminkan bagaimana setiap rupiah uang rakyat digunakan. Di sana tecermin pula seberapa tanggung jawab pemerintah atas amanat yang diberikan rakyat. Karena itu, kita sependapat dengan Presiden agar opini wajar tanpa pengecualian ini tidak saja harus dipertahankan, tetapi juga menjadi standar laporan keuangan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Bukan hanya dalam administrasi keuangan, kita pun ingin agar standar yang sama juga diimplementasikan dalam menjaga semangat untuk mempertanggungjawabkan setiap rupiah penggunaan uang rakyat.

BPK Kawal Harta Negara
Kita berharap peningkatan kualitas laporan keuangan yang ditandai dengan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) ini tidak berhenti sebatas di atas kertas. Kita ingin ia hidup sebagai semangat untuk mengawal setiap rupiah penggunaan uang rakyat. Jika ia hidup dalam setiap aparatur negara baik di pusat maupun daerah, niscaya korupsi dapat dibasmi dan rakyat menjadi sejahtera. Dalam bahasa yang berbeda, produk opini yang dikeluarkan  BPK sesungguhnya sebagai manifestasi dari misi BPK Kawal Harta Negara.
Terkait adanya hasil opini BPK terhadap pengelolaan keuangan Negara/ daerah acap masih muncul pertanyaan yang cukup menggelitik yakni  mengapa kasus korupsi masih terjadi di lembaga-lembaga yang laporan pengelolaan anggarannya dinilai baik oleh BPK? Misalnya, ada daerah yang dalam beberapa tahun belakangan selalu memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tapi kepala daerah dan birokrasinya juga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Bahkan, dalam kasus terakhir yang terjadi di Kementerian Desa, diduga terjadi praktik suap dalam pemeriksaan laporan keuangan yang dilakukan auditor BPK.
Menjawab pertanyaan tersebut bisa saja didekati dari dua kemungkinan, yakni pertama, opini WTP bisa saja berkaitan langsung dengan tindak pidana korupsi yang sedang terjadi. Ini bisa dicontohkan dari kasus yang terjadi di Kementerian Desa, ketika ada upaya untuk memperoleh opini WTP dengan melakukan suap. Publik tentu dengan mudah menyimpulkan bahwa proses pemberian opini di BPK memang rentan praktik suap. Kedua, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, pemimpin lembaga, atau birokrasi tidak berkaitan langsung dengan kinerja pengelolaan keuangan negara. Sebagai contoh, kepala daerah menerima suap dari perusahaan swasta karena pengurusan izin tertentu.
BPK harus dilihat sebagai salah satu aktor yang berfungsi dalam mitigasi praktik korupsi. BPK adalah satu-satunya lembaga tinggi negara yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sesuai dengan Pasal 23E UUD 1945. Dengan demikian, peran BPK sangat penting untuk memastikan tidak terjadinya penyimpangan dan praktik korupsi dalam pengelolaan keuangan negara.
Jika membaca beberapa laporan tentang kecenderungan korupsi yang terjadi di lembaga-lembaga negara, harus diakui bahwa BPK termasuk lembaga yang tidak dikategorikan korup. Misalnya, dalam hasil riset Global Corruption Barometer (GCB) 2017, yang dirilis Transparency International (TI), lembaga yang dikategorikan korup adalah lembaga-lembaga politik (DPR/DPRD, partai politik), kementerian, birokrasi, penegak hukum (polisi, pengadilan), pengusaha, dan seterusnya.

Menjadikan BPK Lebih Berdaya
Kerja-kerja BPK Kawal Harta Negara seharusnya diarahkan dan dipastikan memiliki dampak positif dalam penggunaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK harus dipastikan ditindaklanjuti oleh setiap lembaga yang mengelola keuangan negara. Namun ada beberapa catatan yang perlu dicermati oleh BPK agar fungsinya sebagai salah satu instrumen pemberantasan korupsi bisa dijalankan. Pertama, BPK tidak memiliki kewenangan untuk memastikan hasil audit, pemeriksaan, atau rekomendasi dijalankan oleh lembaga, kementerian, atau pemerintah daerah. (http://www.bpk.go.id/news/opini-wtp-dan-korupsi)
Menurut undang-undang, kewenangan BPK hanya berhenti pada penyerahan hasil pemeriksaan tersebut kepada legislatif, pemerintah, dan lembaga yang diaudit. Walaupun BPK memiliki kewenangan untuk memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan, hasil pemantauan tersebut diserahkan kembali kepada legislatif dan pemerintah.
Dari sudut hukum, hampir tidak ada mekanisme yang bisa digunakan BPK untuk memaksa suatu lembaga untuk melaksanakan hasil pemeriksaannya. Undang-undang juga tidak memuat sanksi apa pun ketika hasil pemeriksaan BPK tidak ditindaklanjuti. Salah satu cara yang bisa digunakan BPK adalah melalui publikasi hasil pemeriksaan/rekomendasi secara detail kepada publik. Menurut undang-undang, hasil pemeriksaan yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum. Terhadap hasil pemeriksaan yang terindikasi pidana memang hanya disampaikan kepada penegak hukum.
Pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran menunjukkan peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. BPK akan meningkatkan pemeriksaan untuk menilai pengelolaan keuangan negara dalam mencapai tujuan negara, yaitu kemampuan entitas dalam melaksanakan program-program pembangunan, utamanya yang langsung berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, ke depan masyarakat selain melihat dari perolehan opini atas laporan keuangan, juga harus melihat kepada hasil pemeriksaan kinerja BPK untuk menilai prestasi kerja suatu entitas pemerintah daerah. (http://www.bpk.go.id/news/bpk-wujudkan-kesejahteraan-rakyat-melalui-pemeriksaan-keuangan-negara)
Ada dua peran BPK dalam pemberantasan korupsi. Pertama, menemukan penyalahgunaan atau penyelewengan. Ini merupakan tindakan represifatau bersifat korektif. Jika pada hasil pemeriksaan ditemukan perbuatan berindikasi tindak pidana korupsi, BPK melaporkan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti. BPK terus berkoordinasi dengan penegak hukum terkait dengan tindak lanjut hasil pemeriksaannya.
Peran kedua, mencegah penyalahgunaan dan penyelewengan. Ini tindakan pencegahan (represif). Pencegahan dilakukan BPK melalui pemeriksaan terhadap sistem pengendalian intern entitas yang diperiksa atau audit. Kedua, BPK merancang pemeriksaan atas sistem kendali korupsi (fraud control system) pada entitas pemerintah. Jika selama ini pemeriksaan BPK untuk mendeteksi indikasi korupsi, maka pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai keberadaan, implementasi dan efektivitas sistem kendali korupsi di lingkungan entitas. Ini sesuai dengan Inpres No. 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Gerakan Sosial Melawan Korupsi
Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), maka salah satu tolok ukur kinerja pemerintah daerah dapat dilihat dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), yang tentu saja harus terlebih dahulu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Informasi dalam LKPD harus dapat memenuhi kebutuhan para penggunanya, yang menurut SAP dinyatakan bahwa kelompok utama pengguna laporan keuangan pemerintah adalah masyarakat, wakil rakyat, lembaga pengawas, lembaga pemeriksa, donatur, investor, pemberi pinjaman, pemerintah, dan pihak lain yang berkepentingan.
Jika kita beranalogi dengan kegiatan ekonomi, maka terdapat kemiripan dengan kegiatan perdagangan saham di pasar modal. Di pasar modal, perusahaan-perusahaan akan belomba menarik hati investor agar mau berinvestasi pada saham yang diterbitkannya. Salah satu perhatian utama investor di pasar modal sebelum berinvestasi adalah laporan keuangan perusahaan yang sudah diaudit dan diterbitkan opini audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP).
Investor sangat tergantung pada opini audit dalam pengambilan keputusan investasi, karena itu peranan KAP di pasar modal sangat strategis dan dapat berkontribusi menentukan nasib ribuan investor dan calon investor. Begitu juga dengan pemerintah daerah, setiap tahun LKPD diaudit oleh BPK yang kemudian juga diterbitkan opini auditnya. Dengan demikian, ibaratnya seorang investor di pasar modal, sebenarnya rakyatpun bisa saja menentukan keputusan politiknya dengan dasar opini audit yang diterbitkan oleh BPK.
Agar bangsa ini bisa hidup mulia tanpa korupsi, kesadaran masyarakat harus ditransformasikan menjadi gerakan sosial yang bisa menangkal dan melawan korupsi. Melalui gerakan sosial menangkal korupsi itu, public akan terlibat dalam pengawasan praktik korupsi yang dilakukan penyelenggara negara yang mempunyai kekayaan tidak sebanding dengan penghasilannya. Dengan demikian, sistem whisle blower harus lebih dioptimalkan. Di sinilah perlunya kita semua secara bergandengan tangan masuk dalam area perang semesta melawan korupsi, dengan niat kuat memberantasnya sampai tuntas sekaligus mengawal negeri ini.
Korupsi di manapun di dunia termasuk di Indonesia, berkembang, berevolusi sampai pada tahan dimana korupsi itu dilakukan secara sistematis dan bahkan sudah berjejaring. Kerena sudah masuk sampai masa berjejaring, maka untuk melawan korupsi itu hanya perlu keberanian untuk menjalankan dua langkah aksi pencegahan yang betul-betul nyata, serta tindakan penegakan hukum yang betul-betul tegas.  (Wahyu Kuncoro, ST. M.Medkom - Dosen Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Sunan Giri (Unsuri) Surabaya)

***

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...