Minggu, 21 Februari 2010

Risma dan Dilematika PDIP

Langkah untuk menuju gelanggang Pemilihan Walikota (Pilwali) Kota Surabaya bagi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Tri Rismaharini semakin terang benderang. Usai silaturahmi ke tokoh PDIP Jatim Sutjipto, komunikasi politik dan penggalangan dukungan mulai intensif dilakukan Risma. Meski ada penolakan di kalangan internal PDIP, namun harus diakui, juga ada reaksi positif yang muncul dari para elit politik PDIP sendiri. Artinya, bila serangkaian komunikasi politik yang telah dimulai Risma terus berlanjut yang berujung pada kerelaan PDIP untuk mengusung Risma dalam Pilwali mendatang, maka itu berarti PDIP mulai berani bersikap rasional untuk mengusung figur yang akan dimajukan dam pilwali mendatang. Meskipun sesungguhnya langkah itu pada wilayah lain juga menunjukkan kalau PDIP tidak konsisten dalam sikap politiknya. Mengapa ? Tidak lain karena, jauh-jauh hari PDIP sudah menggembar-gemborkan mekanisme dan prosedur penetapan figur Cawali/Cawawali melalui forum Rakercabsus. Padahal forum tersebut sudah telanjur menetapkan nama Bambang DH, Saleh Ismail Mukadar dan Wisnu Sakti Bhuana sebagai nama yang disetor ke DPP untuk mendapatkan rekomendasi. Meski DPP memiliki otoritas penuh untuk menetapkan siapa nama yang dikehendaki, namun bila itu dilakukan maka akan menambah panjang daftar panjang inskonsistensi politik PDIP.
Sebenarnya kita tidak perlu terlalu heran dengan inskonsistensi PDIP dalam berpolitik. Pengalaman paling telanjang adalah dalam Pilgub Jatim kemarin. Ketika forum Rakercabsus yang digelar DPC-DPC se Jatim akhirnya secara mutlak telah memilih Soekarwo sebagai Bacagub PDIP, namun ketika sampai Jakarta ternyata keputusan yang diambil PDIP malah memilih Soetjipto yang notabene merupakan kader yang kalah. Blunder politik tersebut telah dibayar sangat mahal dengan kegagalan calon yang diusung PDIP. Dan Soekarwo yang telah 'didzalimi'nya justru yang muncul sebagai pemenang meskipun melalui Pilgub yang panjang dan melelahkan.
Memang, logika PDIP untuk tidak mengusung figur di luar partai barangkali ada benarnya. Sebagai partai besar, tentu akan menjadi naif bila PDIP tidak memiliki stok kader yang memadai. Artinya, mengusung Cawali dari luar partai sesungguhnya juga menandakan bila partai yang bersangkutan sedang mengalami krisis kader handal. Selain itu, pengalaman politik PDIP yang mengusung kepala daerah dari luar partai juga cenderung tidak mengenakan. Banyak tokoh yang berhasil menjadi kepala daerah melalui PDIP ternyata lupa akan ‘balas jasa’ terhadap partai pengusungnya. Pengalaman pahit seperti itulah yang kemudian memunculkan trauma bagi PDIP untuk mengusung tokoh dari luar partai.
Di atas itu semua, kengototan PDIP untuk mengusung kader sendiri juga disebabkan oleh sifat over confidence akan popularitas Bambang DH. Dalam pandangan PDIP, Bambang DH masih akan menjadi daya tarik yang luar biasa untuk menyedot perhatian publik. Kalaupun tidak boleh jadi cawali jadi Cawawali pun Bambang DH menurut mereka akan menjadi pendulang suara yang baik.
Namun perkembangan politik ternyata tidak seperti itu. Langkah DPC PDIP yang telanjur mendeklarasikan pasangan Saleh Mukadar-Bambang DH (Sabar) ternyata tidak mendapat respon yang memadai dari public. Meski Bambang DH masih memiliki pesona dihadapan warga Surabaya namun figur Saleh Ismail Mukadar justru menjadi kartu mati bagi PDIP untuk memenangkan Pilwali.
Di sela-sela kegamangan itulah, kemudian muncullah desakan agar PDIP berani mengusung nama yang berasal dari luar partai tetapi memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi. Salah satu figur yang dinilai memiliki kans besar dan popularitas tinggi adalah Tri Rismaharini.
Nama Risma ini sesungguhnya jauh-jauh hari sudah banyak disuarakan berbagai kalangan sebagai figur yang layak untuk memimpin kota Surabaya. Karya nyata yang dihasilkan selama menjadi birokrat di Pemkot Surabaya membuat warga kesengsem dengan Risma. Sayangnya partai politik yang ada cenderung memilih kader sendiri dibanding mencari figur yang kompeten dan teruji kapasitas dan kapabilitas dalam memimpin kota Surabaya. Sementara Risma sendiri tidak terlalu bernafsu untuk mengejar jabatan sebagai Walikota. Di berbagai kesempatan Risma selalu menolak untuk dicalonkan baik sebagai cawali maupun sebagai cawawali. Padahal dari segi popularitas jelas Risma sangat layak jual bahkan popularitasnya bisa jadi akan mengalahkan figur lain andai saja Risma mau mendeklarasikan diri maju gelanggang Pilwali.
Hari ini, partai politik cenderung melihat Pilwali sebagai ajang untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Tiket Cawali yang disediakan parpol tak ubahnya alat untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Mekanisme penjaringan cawali/cawawali yang digelar parpolnya tak lebih dari ‘aksi tipu-tipu, untuk mempedayai figur yang mendaftar. Bagaimana tidak, calon yang sudah lolos sampai pusat sekalipun tidak ada jaminan akan mendapat rekomendasi. Banyak mekanisme dan prosedur yang dibuat yang intinya bahwa parpol boleh semau gue dalam menetapkan figur yang bakal dipilihnya. Ironisnya, banyak figur yang terpikat dengan muslihat partai politik. Hasrat kekuasaan yang terlalu tinggi membuat banyak tokoh tidak sadar kalau tengah dipedayai parpol dengan iming- iming tiket cawali.
Dalam kungkungan budaya politik yang seperti itu, tidak terlalu keliru kiranya kalau Risma juga tidak terlalu tertarik untuk terjun dalam pertarungan politik yang tengah dipenuhi politisi-politisi yang mendewakan uang seperti itu.
Namun demikian, meski terkesan agak terlambat kalau benar Risma akan menjadi Cawali lewat pintu apapun khususnya lagi PDIP maka kahadirannya akan dinilai lebih bermartabat dibanding kalau Risma yang melamar ke parpol. Artinya, kesediaanya Risma untuk maju bukan karena keinginannya sendiri (baca : haus kekuasaan), tetapi karena aspirasi warga khususnya PDIP yang menilainya layak untuk memimpin Surabaya. Dan inilah salah satu nilai plus dari figur Tri Rismaharini. Yakni jadi pemimpin bukan karena ingin, tetapi karena diinginkan masyarakat.
Namun di atas itu semua, dilema besar kini justru terjadi di tubuh PDIP. Di satu sisi kalau PDIP tetap ngotot ingin maju dengan kader sendiri, misalkan dengan mengajukan pasangan Saleh-Bambang maka berat kiranya untuk menang. Selain figur Saleh yang terlalu kecil popularitas dan elektabilitasnya juga akan kesulitan untuk meraup dukungan suara dari luar PDIP. Logikanya karena kedua figur merupakan kader PDIP sehingga sulit untuk menarik suara dari komunitas lain. Sementara pada sisi lain, peluang PDIP untuk menang akan sedikit terbuka, namun sayangnya PDIP harus melirik calon di luar stok kader yang dimilikinya. Maka pertanyaan mendasarnya adalah, apakah PDIP ingin menang dalam Pilwali, ataukah tetap bersikukuh dengan egoismenya dengan mengusung kadernya sendiri untuk maju dalam Pilwali nanti dengan resiko kalah. Bagaimana PDIP ?
Wallahu’alam Bhis-shawwab

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...