Senin, 01 Maret 2010

Rumitnya Menegakkan Peraturan di Tengah Masyarakat Lapar

Menertibkan Kegiatan Pertambangan di Jatim

Undang Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara membawa semangat baru bagi Jawa Timur. Kehadiran UU yang dipertegas dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan serta PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dinilai mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya pengelolaan pertambangan yang salah dan tidak berpihak pada masyarakat dan lingkungan.

"UU 4/2009 memuat ketentuan tentang penetapan wilayah pertambangan yang tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan, sehingga berdasarkan kewilayahan telah ditentukan wilayah usaha, wilayah untuk pemberdayaan masyarakat dan wilayah pencadangan negara (konservasi)," jelas Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jatim Ir Dewi J Putriatni, Msc.
Menurut pejabat yang baru memimpin Dinas ESDM selama tiga bulan ini, Jawa Timur memiliki sekitar 20 jenis bahan tambang unggulan yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan sektor industri dan konstruksi di Jatim dan sekitarnya. Implikasinya, Pemerintah Propinsi Jatim harus mengambil langkah-langkah serius sejalan dengan amanah UU 4/2009 tersebut.
"Kita akan lakukan evaluasi terhadap seluruh aktivitas pertambangan mineral yang ada di Jatim baik yang izin usaha pertambangannya diterbitkan Kab/Kota maupun Provinsi," jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga akan melakukan pembinaan dan penertiban pertambangan tanpa izin secara persuasif dan melakukan tindakan hukum bila diperlukan.
"Kita intensifkan monitoring pemanfaatan hasil tambang dan mendata lahan bekas tambang," jelas alumnus Teknik kimia ITS ini.
Dan sebagai bukti komitmennya tersebut, Dinas ESDM Jatim turun ke lokasi tambang di Jatim untuk melihat kondisi alam, tata cara penambangan dan penanganan pasca tambang pada Rabu-Kamis (24-25/2) lalu. Lokasi yang jadi tujuan awal adalah penambangan pasir batu (sirtu) di Ngoro Mojokerto dan penambangan batu andesit (batu kali) di Winongan Pasuruan.
Selain Bhirawa, tim juga terdiri dari unsure Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jatim dan Biro Sumber Daya Alama (SDA) Pemprov Jatim. Tim yang ke Mojokerto dipimpin oleh Kadis ESDM Dewi J Putriatni, sementara tim ke Pasuruan dipimpin Kabid Air Tanah Dinas ESDM Rustamadji.
Menurut Dewi, dari hasil kunjungan tersebut setidaknya membantu dirinya untuk melakukan pembenahan-pembenahan terhadap kondisi pertambangan yang ada di Jatim.
Ketika meninjau lokasi pertambangan sirtu di Ngoro Mojokerto misalnya, timnya menemukan fakta-fakta yang barangkali tidak sama persis dengan yang sering dipublikasikan media selama ini.
"Ada memang kerusakan-kerusakan lahan tambang yang mencemaskan, namun ada juga pihak penambang yang punya komitmen untuk melakukan reklamasi lahan," jelasnya lagi. Yang perlu ditekankan bahwa kerusakan-kerusakan lahan yang banyak terjadi adalah akibat ulah Penambang LiarTanpa Izin (PETI).
"Kalau para penambang yang berizin, masih bisa kita kendalikan. Namun yang merupakan PETI inilah yang sulit mengatasinya," tambahnya.
Menurut Dewi, permasalahannya bukan sekadar hukum harus ditegakkan tetapi juga menyangkut kelangsungan hidup warga sekitarnya yang sudah bertahun-tahun menggantungkan hidupnya dengan cara menambang pasir (secara liar).
“Menambang pasir sudah menjadi taruhan hidup dan mati bagi mereka. Kondisi seperti ini tentu butuh pendekatan yang persuasif. Orang yang sedang lapar tentu sulit diajak bicara soal hukum,” tambah Dewi lagi. Namun demikian, tentu kondisi tersebut tidak boleh menyurutkan langkah untuk terus mengedukasi warga agar tidak semau-nya melakukan aktivitas penambangan secara liar.
Harapan agar ada penertiban terhadap penambang liar tersebut juga disuarakan oleh para penambang yang memiliki izin. Salah satunya adalah PT Karya Mitra Sejati yang mengantongi izin pertambangan sejak 1993. Luas lahan yang dimilikinya mencapai 445 hektar. Dari lahan seluas itu hanya 68% yang bisa dilakukan penambangan.
"Ada beberapa lahan yang digunakan untuk bangunan dan juga tempat tinggal, sehingga tidak seluruhnya bisa diambil bahan tambangnya," jelas direktur PT Karya Mitra Sejati MH Huddin Al Sony. Dan dari potensi lahan yang ada tersebut jelas Sony sudah 72% yang diambil hasil tambangnya. Pihaknya berkomitmen untuk melakukan reklamasi terhadap lahan yang sudah diambil.
"Jadi tidak benar tudingan kalau kami menelantarkan lahan bekas tambang. Dari cara menambang hingga pengelolaan pasca tambang kami mematuhi ketentuan yang berlaku," jelasnya lagi.
SEMUA perusahaan tambang yang berizin telah memiliki kontrak kesepakatan dalam izin yang dikeluarkan Gubernur Jatim. Bahwa setiap perusahaan tambang diwajibkan menempatkan dana jaminan reklamasi lingkungan sekitar tambang di Bank Jatim berdasarkan luas areal pertambangan.
Lebih lanjut, menurut Sony yang juga menjabat Sekjen Asosiasi Perusahaan Tambang (Apertam), pihaknya berharap agar pemerintah tidak hanya menekan kalangan penambang untuk mengurus perizinan, tetapi juga memberikan jaminan agar bisa berusaha secara nyaman. Pasalnya, disatu sisi pemerintah menekan para penambang legal, namun di sisi lain pemerinath juga membiarkan para penambang liar (illegal mining) untuk beroperasi.
"Kami sering kena getah akibat ulah penambang liar yang cenderung kurang memedulikan lingkungan," keluhnya..
Kabag ESDM dan Lingkungan Biro SDA Pemprov Jatim, Diah Susilowati ketika dikonfirmasi Bhirawa mengungkapkan, persoalan yang terjadi di Ngoro, Mojokerto, telah menjadi concern biro-nya.
“Tahun ini telah diagendakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) terkait kerusakan lingkungan di Ngoro akibat penambangan Sirtu,’’ jelasnya.
Nantinya kajian ini akan dijadikan referensi dalam merumuskan kebijakan penataan lahan di Ngoro dan Gempol.
“Masyarakat juga akan dilibatkan karena merekalah yang ikut memberi kontribusi terjadinya kerusakan,’’ tambahnya. Selain ini, pihaknya (Biro SDA, red) juga telah mempersiapan Draft Peraturan Gubernur (Pergub) tentang kriteria kerusakan lahan akibat penambangan sistem terbuka.
’’Adanya Pergub diharapkan bisa menekan kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan, akibat penambangan dan bisa memaksa penambang untuk melakukan reklamasi lahan bekas tambang,” tegasnya.
Selain meninjau lokasi penambangan di Ngoro, tim juga melakukan peninjauan ke lokasi penambangan batu jenis andesit yang dikelola anak perusahaan Holcim Indonesia yakni PT Pendawa Lestari Perkasa (PLP). Pemegang SIPD 545.4/080/116/1997 yang berlokasi di Ds Jeladri, Kecamatan Winongan, Pasuruan memiliki izin lahan seluas 71 hektar.
’’Sampai sekarang baru sekitar 14 hektar lahan yang sudah ditambang,’’ jelas Corporate Comunication PT Holcim Indonesia Deni Nuryandain.
Menurut alumnus Undip ini, proses penambangan sudah dimulai sejak 1998, namun produksi baru benar-benar stabil pada tahun 2000-an. ’’Praktis baru 9 tahunan kita produksi secara stabil," tambahnya.
Sementara itu Manajer Operasi PT PLP, Ir Tribowo menjelaskan sistem penambangan yang dilakukan dengan block systems. Dari keseluruhan lahan yang ada dibagi dalam 4 blok. Penambangan dilakukan secara berurutan.
’’Kita sudah melakukan penambangan di blok yang kedua. Untuk blok yang selesai ditambang (blok I) langsung kita reklamasi,’’ jelasnya.
Sementara itu Kabid Air Tanah Dinas ESDM, Rustamadji mengakui dengan model sistem blok kerusakan lahan akibat kegiatan pertambangan bisa segera direklamasi.
’’Kalau menggunakan model lain yakni single continuous batch, maka kerusakan alam baru bisa direklamasi ketika kegiatan penambangan sudah selesai semua. Dan inilah yang sering diprotes masyarakat dan LSM,’’ tegas Rustam.
Lebih lanjut, menurut Rustamadji, selain mengevaluasi kegiatan pertambangan, kunjungan ke PT PLP juga untuk mensosialisasikan UU Minerba yang baru berikut PP yang telah terbit.
Rencananya, selain kedua lokasi itu, Dinas ESDM Jatim juga akan meninjau lokasi penambangan di tempat lainnya di Jatim. Semangatnya tentu saja agar kegiatan pertambangan yang ada di Jatim tetap berjalan tanpa harus mengabaikan aspek lingkungannya.
Menurut Kadis ESDM Jatim, Ir Dewi J Putriatni MSc kegiatan pertambangan akan membuat berubahnya morfologi (bentang alam), namun dengan melalui perencanaan dan tahap pertambangan yang benar maka usaha pertambangan akan berdaya guna dan berhasil guna bagi meningkatnya perekonomian.
Sayangnya, lanjut Dewi sektor pertambangan sebagai komoditas alternatif masyarakat dimanfaatkan sebagai mata pencaharian sehingga terjadi eksploitasi sumber daya mineral tanpa melalui mekanisme legalitas dan prosedur yang benar.
’’Praktik seperti itu menyebabkan persepsi kalau sektor pertambangan merupakan pemicu terjadinya kerusakan lingkungan," ungkap Dewi dengan penuh keprihatinan. ( wahyu kuncoro sn/wartawan Harian Bhirawa)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kunjungi blogku yaaah.

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...