Senin, 01 Maret 2010

Jalan Berliku Menuju Revitalisasi Industri Pupuk

Penulis :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa
Alumnus Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya


Lazimnya, petani di negeri ini hanya akan mengalami dua musim, yakni musim tanam dan musim panen. Namun menariknya, ternyata masih ada satu musin lagi yang pasti dialami para petani kita yakni musim kelangkaan/kenaikan harga pupuk.
Ya, persoalan penyediaan pupuk bagi petani sudah sangat parah. Hal itu terjadi setiap tahun, dan dianggap peristiwa musiman yang tak terlewatkan. Pemerintah sepertinya tak sanggup merumuskan solusi untuk menjamin ketersediaan pupuk dalam jumlah yang mencukupi dan dengan harga yang terjangkau. Padahal, pusaran sumber utama kelangkaan dan melambungnya harga sudah terdeteksi sejak lama, yakni di mata rantai distribusi. Hal itu mengacu pada pengakuan produsen pupuk, bahwa jumlah produksinya memenuhi kebutuhan petani tanaman pangan. Tudingan yang diarahkan pada para distributor pupuk pun tak lebih retorika yang tanpa makna. Sebab kenyataannya pemerintah tak mampu menumpas kejahatan dalam distribusi pupuk.
Ironisnya, kebijakan subsidi pupuk yang diberikan pemerintah juga menjadi tak berarti, manakala musim kelangkaan tiba. Niat mulia membantu petani dan memacu produktivitas pertanian, kalah dengan kepiawaian para distributor mengakali tata niaga yang disusun pemerintah. Tak ada pilihan lain, petani harus membeli pupuk berapa pun harganya.
Untuk mengatasi penyimpangan alokasi pupuk bersubsidi tersebut, sesungguhnya bukan persoalan yang rumit. Pemerintah tidak perlu lantas mencabut subsidi, sebagaimana yang dilakukan terhadap BBM. Apalagi kita sepakat komoditas pupuk masih perlu disubsidi untuk memacu produktivitas pertanian, di samping juga meringankan beban petani, yang juga masih merasakan beban berat dampak kenaikan harga BBM.
Konsumen pupuk yang sangat spesifik, ditambah wilayah penyebaran yang terkonsentrasi di sentra-sentra pertanian, sebenarnya memudahkan pemerintah untuk mengarahkan kembali alokasi pupuk bersubsidi hanya kepada petani tanaman pangan. Cukup dengan menata kembali distribusi dari produsen, persoalan seharusnya teratasi. Sayangnya, formulasi kebijakan distribusi dan tata niaga pupuk, tak cukup efektif menjamin pupuk bersubsidi tersebut jatuh ke tangan petani secara memadai. Sebut saja kebijakan rayonisasi dalam distribusi oleh produsen pupuk, dinilai masih mengandung kelemahan. Di antaranya tidak ada fleksibilitas manakala di wilayah distribusi satu produsen terjadi kelangkaan, sementara di rayon lain yang bukan wilayah distribusinya pupuk melimpah.

Jaminan Produksi Pupuk
Paparan di atas setidaknya menyadarkan kita betapa persoalan pupuk sesungguhnya sangat strategis bagi masa depan bangsa ini. Artinya, nasib bangsa ini khususnya dalam menjamin ketahanan pangan di masa mendatang sangat ditentukan seberapa kita bisa mengelola produksi pupuk berikut mendistribusikannya.
Apalah artinya produksi pupuk melimpah kalau aliran distribusi pupuknya tidak mengarah pada petani yang membutuhkan. Demikian pula sehebat-hebatnya sistem dan mekanisme distribusi yang kita miliki, juga tidak akan terlalu berarti ketika produksi pupuk juga mengalami kendala apalagi sampai macet. Artinya, bahwa di samping membenahi distribusi pupuk yang terus dililit masalah, penting kiranya memikirkan produksi pupuk yang juga dihadapkan pada persoalan yang tidak kalah rumitnya, yakni kapasitas industri pupuk yang terbatas karena usia pabrik yang sudah tua sehingga efisiensinya berkurang dan pasokan gas yang juga mengancam kelangsungan industri pupuk di tanah air. Sekadar catatan bahwa sekitar 90 persen bahan baku pupuk adalah gas. Sehingga dengan sendirinya ketika pasokan gas tiada, maka kelangsungan hidup industri pupuk pun ikut menjadi terancam.
Berpijak pada kondisi ini, maka keinginan pemerintah untuk melakukan revitalisasi industri pupuk menjadi menemukan relevansinya. Selain karena pupuk merupakan sarana produksi pertanian dalam mendukung ketahanan pangan nasional sebagaimana paparan di atas, juga karena mempertimbangkan tingkat kebutuhan pupuk yang akan terus mengalami peningkatan.
Faktor lain yang tak kalah pentingnya mengapa revitalisasi industri pupuk merupakan keniscayaan adalah karena pabrik pupuk yang ada sudah tua dan kurang efisien, sehingga kapasitas pabrik yang ada sekarang tidak mampu memenuhi kebutuhan pupuk ke depan.
Untuk mendukung rencana revitalisasi pabrik pupuk itu, maka ketersediaan pasokan gas menjadi hal pokok untuk dipersiapkan secara jangka panjang. Ini penting ditegaskan karena dengan industri tumbuh maka permintaan gas semakin besar dan harga naik. Karena itu, akan terjadi tarik-menarik antara gas untuk energi kebutuhan masyarakat dan yang dipakai untuk pupuk.
Barangkali kita perlu banyak belajar ketika harga minyak di pasaran bisa tembus hingga 100 dolar AS. Kondisi tersebut telah membawa dampak banyak komoditas pangan yang digunakan untuk biofuel, sehingga mengerek harga pangan. Di sisi lain, tanpa ada pupuk maka produksi pangan juga tidak baik. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana cara mengatasi kebutuhan energi yang cukup besar itu?
Hemat penulis, ke depan akan terjadi tarik-menarik. Dengan demand tinggi, maka harga naik. Karena itu kita harus berpikir bagaimana supaya konsumsi energi yang digunakan untuk industri pupuk bisa efisien. Salah satunya saat ini yakni dengan membenahi industri pupuk. Pabrik-pabrik yang sudah tua harus segera direhabilitasi. Rehabilitasi yakni dengan mengganti peralatan yang sudah usang dengan teknologi yang jauh lebih baru sehingga bisa hemat energi. Selain juga mengonversi dengan bahan energi yang lebih murah dan cukup berlimpah, seperti batu bara. Karena kita bisa manfaatkan untuk processing-nya.
Sekali lagi, karena revitalisasi industri pupuk ini menjadi prioritas, maka konsekuensinya pemerintah harus berani menjamin pasokan gas untuk pabrik pupuk akan dipenuhi seluruhnya. Apalagi, sampai hari ini belum semua pabrik pupuk mendapatkan jaminan pasokan gas setelah kontrak pasokan dari kontraktor berakhir. Sejauh ini, baru Pabrik Kaltim V yang terjamin bahan baku gasnya melalui penandatanganan principal agreement antara Pupuk Kaltim dengan Total EP, Pearl Oil, dan Inpex selama 2012-2021.

Ironi Pasokan Gas
Sebagaimana banyak dipublikasikan media, terungkap bahwa mulai tahun 2011 sejumlah pabrik pupuk utama di Indonesia menghadapi ketidakpastian pasokan gas karena kontrak dengan produsen (umumnya usaha asing) gas habis. Padahal, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa sekitar 90 persen bahan baku pupuk adalah gas. Persoalan gas makin serius karena kebutuhan gas dalam negeri terus meningkat. Apalagi, pemerintah mendorong penggunaan gas untuk pembangkit listrik agar lebih efisien.
Sementara pada wilayah lain, sumber-sumber energi semakin hari kian langka dan menjadi barang mahal. Kita memiliki sumber energi terlengkap, tetapi masih menghadapi persoalan.
Minyak bumi, gas bumi, panas bumi, batu bara adalah sumber-sumber energi yang terkandung dalam perut bumi nusantara. Karena itu, kita mendorong pemerintah sebagai representasi negara lebih kuat dan bertenaga dalam pengelolaan sumber-sumber energi nasional. Peraturan-peraturan pengelolaannya harus terutama berpihak secara kuat bagi kepentingan nasional, kemakmuran rakyat.
Bukankah kompetensi dan kapasitas nasional semakin meningkat sehingga sudah saatnya kita melakukan kalkulasi ulang agar kebijakan energi nasional lebih berpihak dan bermanfaat lebih besar bagi bangsa sendiri? Harapan semacam itu tentu wajar dan bahkan sudah menjadi sebuah keniscayaan. Sebagaimana kritikan sering dilontarkan banyak pihak, sampai saat ini semua kekayaan itu masih salah urus. Akibatnya, tak jarang industri domestik menghadapi persoalan di bidang energi. Perusahaan Listrik Negara (PLN), misalnya, masih juga bermasalah dalam hal pasokan bahan bakar untuk pembangkitan.
Industri yang ada saja terpaksa menahan produksinya. Industri pupuk, industri keramik, dan industri karet yang memerlukan gas juga acap kali terbirit-birit kesulitan pasokan. Begitu juga sektor pertanian, mesti diperkuat sebab sektor ini seharusnya menjadi kekuatan ekonomi nasional, karena Indonesia sebagai negara agraris. Apalagi, mayoritas rakyat Indonesia menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Penyediaan pupuk secara tepat volume dan tepat waktu membutuhkan komitmen penuh pemerintah sebagai bentuk pembelaan negara terhadap petani.
Wallahu'alam Bhis-shawwab.

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...