Senin, 23 Juni 2008

Ingat Bupati Banyuwangi

Menimbang (Kembali) Aksi Pelengseran Bupati Banyuwangi
Monday, 29 January 2007


Kursi Bupati Banyuwangi kembali 'digoyang'. Kali ini bergoyangnya kursi Bupati Ratna Ani Lestari akibat demonstrasi yang dilakukan PNS Pemkab Banyuwangi yang dipimpin oleh Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Sudjiharto. Gerakan perlawanan tersebut berawal kebijakan Bupati Ani yang memberhentikan sekkab dan membatalkan kenaikan pangkat beberapa PNS yang dianggap bermasalah. Menurut bupati, Sekkab telah melakukan tindak pidana karena menaikkan pangkat PNS tanpa prosedur dan persyaratan yang benar. Sementara sekda beranggapan bahwa sebagai ketua Baperjakat ia berhak untuk mempromosikan pejabat yang diangap berprestasi. (Kompas, 23/1).Konflik yang dipicu oleh kebijakan mutasi memang tidak hanya terjadi di Banyuwangi saja. Di Temanggung, Bupati Totok Arie Prabowo (waktu itu) tidak bisa menjalankan pemerintahan dengan efektif karena kantornya diduduki para pegawai yang menentangnya. Pemicunya, sama, yaitu kebijakan mutasi pejabat yang dilakukan Totok Arie Prabowo. Para pegawai merasa dirugikan oleh pengangkatan dan pemindahan pegawai yang diambil bupati. Demikian pula Bupati Bolaang Mongondow Marlina Moha Siahaan didemo pegawainya pada April 2005 lalu. Di Kabupaten Kampar, demonstrasi guru berminggu-minggu mampu menggulung bupati dari kursinya. (Media Indonesia, 24/1).Adalah hak semua orang di negara demokratis untuk berdemonstrasi dan menyatakan pendapat. Juga pegawai negeri. Namun persoalannya tentu bukan pada aspek boleh dan tidak boleh, namun juga harus mempertimbangkan aspek pelayanan masyarakat. Artinya, sungguh tidak bijaksana kalau aksi tersebut justru malah mengorbankan aspek pelayanan kepada masyarakat. Jadi, dari sisi kepatutan, PNS tidak patut mogok kerja dan bupati tidak patut berbuat seenaknya dalam soal kepegawaian. Seorang bupati yang tidak mampu meyakinkan pegawainya untuk tidak mogok dan berdemonstrasi, dia harus dinilai gagal. Walaupun tidak patut juga bupati semacam itu dipecat, apalagi dipecat hanya karena demonstrasi. Persoalan KlasikPermasalahan di Banyuwangi sebenarnya juga menjadi permasalahan di berbagai daerah. Mengatur hubungan sekda dan kepala daerah seringkali menemui kendala apalagi kalau terjadi ketidakcocokan di antara pribadi sekda dan bupatinya. Masing-masing pihak tidak memiliki otoritas yang kuat sehingga akhirnya terjadi hubungan semu yang dampaknya merugikan banyak pihak. Problem ini pernah terjadi di Surabaya dan banyak daerah, meski sebagian berhasil mengatasinya. Salah satu harus mengalah. Biasanya sekda yang 'baik' cenderung membiarkan dan mengamini saja keinginan kepala daerah meski itu sebenarnya merampas otoritasnya.Hal-hal kecil dan dapat menuai konflik adalah apabila muncul kepentingan pribadi di sana. Misalnya sekda ingin menempatkan seseorang pada posisi tertentu sambil menaikkan pangkatnya, namun di saat yang sama bupati juga berminat memosisikan orang lain pada tempat yang sama. Meski dalam hal ini kekuasaan itu ada pada sekda, namun sekda juga harus mempertimbangkan hubungannya dengan bupati. Apabila ia bersikeras menolak, maka posisi sekda sendiri akan terancam. Bupati bisa saja kemudian mencari alasan lain untuk menyingkirkan sekda. Sebaliknya ada juga sekda yang sok kuasa dan mengambil kesempatan itu untuk 'memperdagangkan' pangkat dan jabatan. Adalah wajar pula kalau kepala daerah segera memperingatkannnya dan mengambil tindakan. Tetapi yang banyak terjadi adalah sekda dan bupati membagi tugas; untuk jabatan eselon III dan II menjadi 'wilayah' bupati, sementara di bawahnya menjadi 'wilayah' sekda. Namun tidak jarang sang kepala daerah ingin menguasai semua untuk mengatur dan menentukan pangkat mulai dari yang paling atas sampai ke tukang sapu. Kesekarahan seperti inilah yang dapat memicu pertikaian. Memahami peraturan yang ada seringkali tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Meski sekda mendapat otoritas penuh dalam mengendalikan anggaran dan promosi PNS, ia tidak bisa leluasa. Di atasnya masih ada kepala daerah yang terus mengevaluasi kinerja dan kesetiaannya. Apabila diketahui bahwa sekda bermain sendiri apalagi dengan tujuan memperkaya diri maka kepala daerah sebagai pejabat politik wajib memberi peringatan atau mengusulkan kepada gubernur agar sekda diganti. Sayangnya sistem pengawasan melekat yang diatur oleh undang-udang ini tidak berlaku lagi apabila masing-masing pihak punya kepentingan sendiri. Masing-masing berupaya untuk mengintervensi kekuasaan orang lain sehingga ada pihak yang merasa dilecehkan.Andaikan saja bahwa sekda bisa bekerja profesional. Ia melakukan evaluasi terhadap kinerja pejabat di bawahnya dengan adil barulah kemudian melakukan mutasi atau promosi. Sepanjang itu dilakukan secara transparan maka kepala dearah yang bijak pasti akan mendukungnya. Ada banyak faktor yang bisa membuat sebuah tim kuat, antara lain adalah kesetiaan dan loyalitas yang ukurannya tidak lagi objektif. Seorang kepala daerah merasa tidak mungkin mempromosikan seorang pejabat yang cerdas dan rajin apabila ia seringkali menerobos wilayah kekuasaan atasannya. Pada akhirnya konflik antara sekda dan kepala daerah sangat bergantung dari banyak hal. Konflik kepentingan ini bisa ditipiskan apabila kedua belah pihak mau bertindak transparan, jujur, dan adil. Bisakah?
Menebak Arah BolaHampir bisa dipastikan, gejolak di Pemkab Banyuwangi tersebut akan merembet pada persoalan yang lebih besar yakni persolan politik. Terbukti setelah aksi demonstrasi PNS, segera disusul aksi demonstrasi masyarakat yang melibatkan ulama yang meminta Bupati Ratna Ani Lestari untuk mundur (Surya, 25/1).Minimnya modal politik Bupati Ani Lestari saat merengkuh kekuasan di Banyuwangi --karena diberangkatkan dari partai gurem/non parlemen-- membuat secara formal posisi politik bupati sangat lemah. Imbasnya, isu apa pun yang bergulir bisa dimanfaatkan menjadi amunisi bagi lawan-lawan politiknya.Perlawanan terhadap kepemimpinan Bupati Ani ini memang mengingatkan kembali pada perlawanan politik yang dilakukan DPRD setempat. Sebelumnya istri Bupati Jembrana ini terlibat sengketa panjang dengan DPRD, tahun lalu, karena kebijakannya yang dinilai tidak bisa diterima akal sehat. Salah satu kebijakan yang dianggap bernuansa SARA adalah 'pelarangan' terhadap kegiatan istigotsah. Kebijakan kontroversi tersebut selanjutnya dijadikan modal oleh DPRD Banyuwangi untuk melengserkan Bupati Ani. Namuan langkah DPRD untuk menjatuhkan Ratna Ani kandas di Depdagri yang memegang teguh amanat UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Yakni menolak argumentasi penolakan laporan menolak pertanggungjawaban bupati sebagai alasan pelengseran. Dan tampaknya para musuh politik Bupati Ratna kembali menemukan dalih baru untuk menggoyang kepemimpinannya.Dalam kondisi seperti itu, maka kita tentu berharap agar semua pihak bisa menahan diri untuk tidak menyeret kasus ini pada ranah politik. Biarlah persoalan tersebut diselesaikan pada wilayahnya sendiri. Kalau memang benar sekkab dan kawan-kawannya melakukan pelanggaran dalam proses pengangkatan jabatan, maka biarlah itu yang menentukan adalah instasnui yang berwenang dalam hal ini adalah Badan Kepegawaian Nasional (BKN). Pengembalian pada porsinya ini diharapkan agar tidak muncul opini bahwa kasus tersebut merupakan limbah politik dari perseteruan latens eksekutif dan legislatif di Banyuwangi. Sebab kalau itu dibiarkan sejatinya yang dirugikan adalah masyarakat Banyuwangi. Singkatnya, marilah semua pihak terus berupaya untuk melakukan langkah-langkah yang kondusif untuk membangun Banyuwangi. Janganlah karena faktor kepentingan politik, justru malah mengorbankan kepentingan rakyatnya. Bagi kalangan tokoh masyarkat dan ulama hendaknya tidak mudah terseret oleh kepentingan politik yang ada. Wallahu'alam Bhis-shawwab
Wahyu Kuncoro SNKolumnis dan Praktisi Media

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...