Selasa, 24 Juni 2008

Ketika Pemimpin Tak Punya Sensitivitas


Ketika Pemimpin Tak Punya Sensitivitas
Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Direktur Bidang Media dan Penerbitan
Public Policy Institute (PPI)- Surabaya
Telp. 081 2320 8565


Sensitivitas para pemimpin kita di Jakarta nampaknya kalah dengan para pemimpin-pemimpin kita yang berada di desa-desa, kelurahan-kelurahan bahkan dengan para ketua RT/RW sekalipun. Ketika para pemimpin Jakarta memutuskan bahwa BLT akan bisa menjadi obat atas gejolak masyarakat akibat kenaikan BBM nanti, justru para Kepala Desa, Lurah dan ketua RT/RW mampu menunjukkan fakta lain kepada kita. Yakni penyaluran BLT tidak akan mampu meredam gejolak kenaikan BBM, tetapi justru penyaluran BLT hanya akan menimbulkan gejolak di tingkat bawah. Berpijak pada kondisi tersebut, hari-hari ini kita saksikan para lurah dan kades di berbagai daerah seperti Blitar, Jember, Tulungaung, Gresik dan Surabaya melakukan aksi menolak menyalurkan BLT (Kompas, 21/5).
Realitas di atas jelas menunjukkan kepada kita betapa kebijakan yang diambil pusat untuk menerapkan kembali BLT tidak mencoba berangkat dan belajar dari kebijakan BLT di tahun 2005 lalu. Bahkan apa yang dilakukan hari ini lebih parah dari yang terjadi di tahun 2005 lalu. Yakni menyangkut proses persiapan yang relatif mepet. Beberapa daerah mengaku akan menggunakan data BLT tahun 2005 lalu. Langkah untuk tidak melakukan verifikasi data BLT tersebut terpaksa dilakukan akibat mempetnya waktu dan juga ketiadaan anggaran untuk memverifikasi data BLT kembali. Fakta tersebut jelas semakin meyakinkan kita betapa ancaman konflik ditingkat bawah pasti akan terjadi.
Sungguh ironis bila pemerintah pusat tidak menyadari akan kemungkinan konflik tersebut. Dalam konteks ini maka langkah pusat dalam menyalurkan BLT ini sesungguhnya juga mencerminkan betapa sensitivitas pemerintah terhadap kemungkin gejolak sosial akibat penyaluran BLT sangat menyedihkan.
Lantaran itu, para pemimpin pusat nampaknya perlu mengkaji ulang rencana pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) plus yang akan dicairkan sebagai kompensasi kenaikan harga BBM Juni nanti. Selain dipandang dari sisi kemanfaatan yang masih meragukan juga melihat respon masyarakat yang cenderung negatif terhadap kebijakan tersebut.
Memang sempat ada yang menuding aksi penolakan terhadap penyaluran BLT tersebut dikaitkan dengan agenda politik tertentu yakni upaya untuk merusak citra politik pemerintahan SBY-JK. Namun nampaknya, kita juga harus lebih jeli dan fair bahwa apa yang dilakukan oleh para pejabat di bawah (Kades, Lurah, RT/RW dll) tersebut lebih merupakan ekspreasi nyata akan kecemasan dan kekhawatiran terkait imbas yang mungkin terjadi bila BLT benar-benar akan dicairkan.
Kalau saja yang menolak BLT adalah dari kalangan anggota dewan atau partai politik tentu kita tak kan kaget. Karena memang, apapun yang akan dilakukan dewan sepatutnya kita tak perlu kaget karena memang begitulah tabiat politik para politisi kita yang lebih banyak bermain kata-kata dibanding memperjuangkan subtansinya. Kalaupun ada anggota dewan yang menolak BLT, percayalah penolakan itu lebih didasarkan pada upaya mencari popularitas dan membangun citra politik saja.
Kita mungkin juga tidak perlu kaget kalau penolakan BLT ini dilakukan oleh para pakar ekonomi atau praktisi pemberdayaan yang memang dari dulu menilai bahwa BLT bukan pilihan yang tepat untuk memberdayakan masyarakat. Namun kita patut mengernyitkan dahi ketika ternyata yang melakukan aksi penolakan BLT ini adalah para kepala desa (Kades) dan lurah yang akan menjadi ujung tombak dalam kebijakan pemberian BLT nantinya.
Dalam pandangan mereka, BLT tak lebih hanya merupakan politik uang pemerintah untuk meredam gejolak masyarakat lapis bawah. Namun sayangnya, alih-alih mendongkrak ekonomi masyarakat, BLT justru berpotensi untuk memicu munculnya konflik antara rakyat dengan aparatur pedesaan.
Konflik di antara rakyat akibat dari kebijakan BLT dipastikan akan terjadi karena BLT pada praktiknya bukan hanya menjadi milik rakyat miskin tetapi juga diperebutkan oleh masyarakat kelas menengah. Kelompok menengah ini juga terkena imbas dari kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM bisa menimbulkan sikap apatis dan distrust dari masyarakat. Harga jadi naik, sedangkan harga bahan pokok tidak terjangkau. Lurah yang harus membagikan BLT sekarang ini ketakutan karena pasti terjadi manipulasi data. BLT akan jadi perebutan antara yang berhak dan tidak berhak. Ini akan memunculkan anarki.

Kebijakan Tak Inovatif
Salah satu tugas pemerintah adalah membuat dan menjalankan kebijakan untuk menyejahterakan rakyat. Dalam menjalankan tugas tersebut, pemerintah dituntut kreatif dan inovatif membuat kebijakan yang aplikatif. Sayangnya, kreativitas dan inovasi itu nyaris tidak tampak. Bukti paling mutakhir adalah masih dipakainya program bantuan langsung tunai (BLT), ditambah kata plus, seperti saat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Oktober 2005. BLT plus merupakan program pemerintah untuk mengompensasi kenaikan harga BBM yang dijadwalkan pada 1 Juni 2008. Kecuali sasaran dan bantuan pangan, program BLT plus sama dengan BLT sebelumnya, seperti nilainya sebesar Rp100.000/kepala keluarga/bulan dan diberikan sekitar setahun. BLT plus ditujukan bagi keluarga sangat miskin berupa dana tunai dan pangan, terdiri dari minyak goreng dan gula.
Program ini diharapkan dapat membantu masyarakat miskin yang paling terkena dampak kenaikan harga BBM. Oleh karena itu, BLT plus tetap didampingi oleh program penghapusan kemiskinan yang sudah berjalan, yakni beras untuk rakyat miskin, asuransi kesehatan, dan bantuan operasional sekolah. Namun, manfaat bantuan langsung itu, apalagi berupa uang dan barang, kurang maksimal bagi rakyat miskin. Akan jauh lebih bermanfaat bila dana itu diberikan dalam bentuk upah yang mereka terima, misalnya? setelah bekerja dalam suatu proyek padat karya. Upah merupakan kompensasi dari prestasi yang telah mereka berikan dalam bentuk hasil kerja?
Cara ini, dengan demikian, dapat menciptakan lapangan kerja baru di tengah tingginya angka pengangguran. Dengan bekerja, rakyat miskin merasa lebih dihargai sebagai manusia daripada hanya menerima belas kasihan, meski hal itu datang dari negara.
Upah hasil kerja biasanya dipergunakan secara lebih bertanggung jawab dibandingkan dengan bantuan. Sikap ini diharapkan akan menumbuhkan etos kerja bagi rakyat, bukan mengharapkan bantuan tanpa bekerja, apalagi kebiasaan meminta-minta. Di lain pihak, cara tersebut akan menghasilkan output berupa rampungnya suatu proyek padat karya. Apalagi bila proyek tersebut merupakan kebutuhan vital, seperti infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan udara, dan bendungan.
Sekali lagi, daripada menolong dengan uang tunai yang bermanfaat sesaat, lebih baik menolong sekaligus membangun motivasi bekerja dan disiplin. Atau memberi kail, bukan ikan. Sebab, miskin terjadi karena tidak bekerja. Membagi-bagi rupiah dalam jangka pendek terlihat populer di kalangan orang miskin. Seakan-akan menyelesaikan kemiskinan. Padahal, itu cuma penyelesaian sesaat. Itulah sesungguhnya yang menjadi alasan mengapa banyak pihak menentang mengatasi kemiskinan dengan uang tunai.
Inti solusi terhadap kemiskinan adalah bekerja. Orang-orang harus bekerja dan mempunyai pekerjaan agar dia mengatasi kemiskinan. Dengan demikian, membagi-bagi uang tunai begitu saja atas nama apa pun kontraproduktif terhadap upaya memerangi kemiskinan.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...