Minggu, 29 Juni 2008

Mengitung Potensi Politik Lansia dalam Pilgub Jatim

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Jurnalis;
Peneliti Public Sphere Center (PuSpec), Surabaya


Keberadaan masyarakat lanjut usia (lansia) nampaknya belum mendapatkan perhatian cukup dalam masyarakat kita. Pencitraan yang cenderung meletakkan lansia sebagai kelompok masyarakat yang tidak produktif bahkan dianggap beban masyarakat semakin memperparah kondisi tersebut. Sehingga sering ditemukan cara pandang yang meletakkan lansia sebagai komunitas masyarakat yang hanya butuh belas kasihan belaka.
Dalam kerangka pemahaman yang semacam itu maka keinginan untuk memberdayakan potensi yang dimiliki lansia menjadi butuh energi ekstra. Ada problem menyangkut cara pandang masyarakat yang perlu dibongkar terlebih dahulu untuk memperjuangkan agar lansia mendapatkan ruang dan tempat yang layak dalam pembangunan ini. Dengan kata lain, prosesi pembangunan yang tengah berjalan hari ini nampaknya belum meletakkan lansia sebagai salah satu aktor penting yang harus dihitung dan dipertimbangkan keberadaannya.
Bahwa peminggiran terhadap peran dan potensi lansia ternyata bukan saja pada ranah sosial kemasyarakatan kita saja, tetapi pada wilayah politik pun kita menyaksikan bahwa lansia belum menjadi ‘komoditas’ yang menarik perhatian mereka. Buktinya, partai politik berikut insfrastruktur politiknya cenderung mengabaikan potensi lansia dalam misi-misi politiknya.
Bagi Jawa Timur, contoh yang paling mudah disodorkan untuk menyimpulkan bahwa belum ada kepedulian yang layak terhadap keberadaan lansia adalah ‘sepinya’ suara partai politik –termasuk birokratnya-- dalam menuarakan kepentingan lansia di Jatim. Kenyataan tersebut semakin membuktikan betapa para penyelenggara negara kita tidak memiliki sensitivitas yang cukup untuk sedikit memikirkan nasib dan ksejahteraan lansia.
Lemahnya posisi tawar lansia dalam politik secara terang benderang juga terlihat dalam pemilihan kepala daerah selama ini. Pun demikian kiranya dalam menghadapi Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2008 nanti. Posisi dan peran lansia juga nyaris tidak diperbincangkan dalam forum-forum politik.
Setidaknya ada dua tema penting yang layak didiskusikan menyangkut keberadaan lansia dalam relasinya dengan politik (baca Pilgub). Pertama, adalah seberapa signifikan jumlah lansia sehingga pantas untuk dijadikan target dalam meraup dukungan politik atau menjadi wilayah yang potensial digarap. Kedua adalah seberapa besar komitmen politik yang ada untuk memperhatikan nasib dan kesejahteraan lansia.

Potensi ‘Politik’ Lansia
Berdasar data dari Badan Pusat Statistik (BPS), terlihat ada laju pertumbuhan persentase jumlah lansia di Jatim. Data BPS tahun 1990 menunjukkan dari jumlah penduduk 32,5 juta jumlah lansianya mencapai 2,5 juta (4,48%). Pada tahun 2000 jumlah penduduk menjadi 35,5 juta sementara jumlah lansianya mencapai 3,7 juta (10,54%) dan pada tahun 2006 dari jumlah penduduk Jatim yang 37.478.737 jiwa, lansianya mencapai 3.942.419 (11%). Dan persentase jumlah lansia tersebut akan semakin besar bila dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebagai jumlah real yang memiliki hak pilih.
Sekedar ilustrasi, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2004 lalu, Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Jawa Timur berdasar data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim mencapai 27.120.974 orang, sementara jumlah lansia pada tahun yang sama (2004) mencapai 3.741.811. Dengan demikian potensi suara yang bisa disumbangkan lansia mencapai 13,797 %. Distribusi suara lansia ini tentu untuk masing-masing daerah tidak sama. Misalnya untuk Kabupaten Banyuwangi dengan lansia sebanyak tahun 2005 yang mencapai 188.307 orang sementara DPT Pilkada tahun yang sama yang mencapai 1.201.733 maka persentase lansianya mencapai 15,67 %. Dengan demikian tentu merupakan sebuah kesalahan bila para elit politik tidak melirik potensi yang dimiliki lansia ini.
Apalagi, kalangan lansia ini pun memiliki ‘mesin politik’ yang relatif kuat dengan keberadaan Karang Werda. Merujuk pada Keputusan Gubernur Jatim 65/1996 tentang Pembentukan Karang Werda di Propinsi Jatim. Karang Werda adalah lembaga kemasyarakatan desa/kelurahan bagi lanjut usia. Sekedar catatan hingga saat ini sudah 4.895 desa/kelurahan yang memiliki Karang werda atau 57,81 % dari total 8467 desa/kelurahan yang ada di Jatim. Artinya, potensi massa lansia sesungguhnya menggiurkan untuk disimak bagi yang ingin memanfaatkannya dalam kepentingan politik.
Selain faktor jumlah yang cukup signifikan, pentingnya memperhitungkan potensi politik lansia adalah menyangkut multiflier effect (dampak ikutan) yang mungkin ditimbulkannya. Gambaran mudahnya, seorang lansia biasanya --meski tidak semuanya-- adalah sosok yang punya pengaruh kuat di lingkungannya apalagi bila lansia tersebut adalah mantan pejabat atau tokoh masyarakat. Sehingga bisa saja nantinya, seorang lansia akan mampu menggandneg suara laian baik anak, cucu dan sebagainya.
Di atas itu semua, tentu kita berharap agar kepedulian dan perhatian terhadap keberadaan lansia tidak an sich karena misi dan kepentingan politik saja. Namun harus dicamkan bahwa persoalan lansia adalah persoalan kita bersama tanpa harus ada embel-embel kepentingan politik.

Nasib Lansia
Terlepas dari faktor dan kepentingan politik, perlunya perhatian terhadap lansia juga dilandasi oleh kenyataan dalam tradisi sosial kita dimana masyarakat lanjut usia cenderung tidak diberi kesempatan secara memadai untuk berperan dan dianggap sebagai kelompok masyarakat yang tidak produktif. Meski juga harus dicatat tidak semua lansia dapat dikategorikan sebagai tak produktif dan menjadi beban masyarakat. Masih banyak lansia yang menyimpan potensi baik dari segi keilmuan dan ketrampilan yang bila diberdayakan akan menjadi kelompok masyarakat yang produktif.
Ketika seseorang sudah menjadi lansia dan tidak bisa melakukan apapun maka dengan sendirinya akan menjadi beban masyarakat lainnya. Masih beruntung bila para lansia tersebut adalah mantan pejabat atau birokrat barangkali masih memiliki dana pensiunan untuk menghidupi sisa hidupnya. Atau mungkin para lansia tersebut kebetulan berasal dari keluarga yang mapan sehingga masih ada keluarga yang akan memperhatikannya. Namun akan menjadi persoalan bila para lansia tersebut berasal dari masyarakat kebanyakan yang kondisi ekonominya biasa-biasanya saja. Maka keberadaan menjadi beban bagi keluarganya. Lantas bagaimana bila mereka kebetulan berada dalam kondisi keluarga yang miskin, maka hampir dapat ditebak mereka (para lansia) akan menyandarkan hidupnya dari belas kasihan dan kehidupan di jalanan (baca : menjadi gelandangan).
Bahwa kepedulian terhadap keberadaan lansia sejatinya tidak diterjemahkan hanya sejauh kita mau memberi bantuan kepada lansia atau seberapa besar angka-angka anggaran yang bisa dialokasikan bagi lansia. Namun kepedulian terhadap lansia juga dapat diukur dari terciptanya ruang bagi lansia untuk dapat menampilkan peran-peran dan mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Untuk itu perlu dibangun kembali cara pandang masyarakat utamanya para penyelenggara negara bahwa lansia tidak hanya cukup diberi bantuan saja namun juga harus dibukakan ruang yang memadai untuk menampilkan potensi yang dimilikinya.

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...