Minggu, 29 Juni 2008

Di Mana Wajah Kultural NU Itu Sekarang?

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Penulis adalah seorang jurnalis
Peneliti senior Public Sphere Center (PuSpeC), Surabaya


Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Tanah Air, bahkan ada yang mengklaim terbesar di dunia. Di masa lalu, banyak momen ketika NU tampil begitu anggun dengan mengambil sikap kritis terhadap pemerintah, dan selalu berada di depan untuk menjaga keseimbangan dalam berbagai isu kebangsaan.
Sejarah emas yang ditorehkan NU patut menjadi acuan untuk mempertahankan dan mengembangkan eksistensi NU di masa depan.
Sayangnya, sejarah emas NU di bidang keumatan dan kerakyatan mulai memudar. Hampir seluruh pengurus NU (dari pusat sampai ranting) kembali berkubang ke ranah politik praktis, politik kekuasaan (power politics). Persoalan pendidikan, ekonomi, sosial, moral, kesejahteraan, dan sebagainya, tertelantarkan.
Secara linguistik, NU berarti kebangkitan ulama (nahdhatul ulama). Kebangkitan ulama tidak merujuk pada individu dan institusi ulama, tapi kepada sistem dan orientasi keulamaan. Artinya, kebangkitan ulama harus sejalan kebangkitan masyarakat (nahdhatul ummah). Secara simplistik, NU didirikan untuk memberdayakan umat melalui tangan-tangan arif dan bijak para ulama.
Corak keagamaan dan watak kebangsaan NU belakangan ini mulai terganggu dengan banyaknya ulama NU terlibat dalam politik praktis, di tingkat nasional maupun regional. Padahal, peran ulama sebagai faqih fi mashalihil khalqi seharusnya menjadi pendorong dan pemberi arah dinamika politik, ekonomi, sosial dan budaya. Ulama semestinya menjadi sumber inspirasi dalam menjawab tantangan dan menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Itulah sesungguhnya peran kultural yang mesti dilakoni oleh NU hari ini.
Melihat fakta yang terjadi sekarang ini, wajah dan peran kultural yang selama ini menjadi trade mark NU nampaknya relevan untuk dipertanyakan kembali. Gugatan tersebut pantas hadir dengan menyimak langgam dan gerak dinamika organisasi NU khususnya di Jatim dalam menghadapi Pilgub Jatim 23 Juli mendatang.
Publik Jatim hari ini barangkali lebih melihat sisi politik NU dibandingkan sisi kultural yang sesungguhnya menjadi garapan utama NU. Amatan ini bisa mudah didapati dengan menangkap geliat organisasi dari tingkat ranting hingga pengurus wilayah bahkan hingga pengurus besar yang lebih sibuk merespon dan asyik terseret dalam hiruk pikuk politik khususnya menyangkut pemilihan kepala.
Fenomena tersebut sesungguhnya tidak terlalu mencemaskan ketika secara organisasi NU tetap menjaga tradisi organisasi yang dimilikinya dalam merespon persoalan yang masuk dalam ranah politik. Namun akan menimbul problem ketika NU mulai menanggalkan tradisi organisasi ketika mencoba merespon persoalan yang kental nuansa politiknya.
Indikator paling mutakhir untuk menyimpulkan bahwa ada yang berbeda dari penampilan kultural NU adalah terjadinya ‘konflik’ antara pengurus Tanfidyah yang direpresentasikan oleh Ketua PW NU Jatim Ali Maschan Moesa dan segenap jajaran pengurus syuriah (dewan Syura) PW NU Jatim. Yakni menyangkut status apakah Ali Maschan Moesa harus mundur dari Ketua PW NU Jatim atau sekedar non aktif.
Kenekatan Ali Maschan Moesa untuk tetap maju Pilgub sesungguhnya merupakan cermin perlawanan terhadap tradisi NU. Sebagai ketua Tanfidiah, seharusnya tunduk dan patuh terhadap keputusan Syuriah yang menginginkan tetap memimpin NU Jatim.
Lantaran itu, keputusan syuriah yang menganggap Ali Maschan Moesa berhalangan tetap karena menjadi bacawagub hemat penulis sudah tepat. Dan sudah seharusnya Ali Maschan Moesa tunduk kepada keputusan Syuriah. Apalagi dalam AD/ART dijelaskan bahwa syuriah NU adalah pemimpin tertinggi di organisasi. Tanfidziah adalah pelaksana. Sehingga, kebijaksanaan itu harus dari syuriah. Ini sesuai khitah untuk mengembalikan NU seperti dulu, bahwa syuriah adalah pengendali dan pengarah organisasi. Sehingga ketika Ali Maschan Moesa memilih menunjuk Pelaksana Harian (Plh) untuk menjalankan tugas sebagai ketua PW NU, lagi-lagi menunjukkan sikap melawan tradisi NU yang mengharuskan patuh dan taat pada Syuriah.
Dalam perspektif lebih luas langkah Syuriah sesungguhnya juga ingin menyelamatkan organisasi agar NU tidak sekedar dijadikan batu loncatan ke dunia politik. Sebab bila kondisi tersebut dibiarkan maka nantinya orang mau jadi ketua PC NU atau PW NU ujung-ujungnya mengincar jadi bupati atau gubernur. Sekedar contoh kasus di Nganjuk, pengurus syuriah dan tanfidziah sama-sama maju Pilbup. Itu jauh dari etika NU yakni keikhlasan, melayani umat, dan memiliki kepedulian terhadap masyarakat.
Bagi masyarakat di luar NU, perbedaan orientasi politik tersebut setidaknya menggambarkan bahwa benih-benih pragmatisme di tubuh organisasi NU terus menguat. Sikap Ketua Ali Maschan Moesa yang lebih memilih menjadi Wagub dibandingkan menjalankan amanah memimpin NU Jatim sejatinya menggambarkan bagaimana orientasi politik menjadi godaan paling nyata dalam menata organisasi NU.
Bakal terseretnya wajah NU dalam ranah politik sebenarnya sudah terbaca sebelumnya. Bahkan saking khawatirnya PW NU Jatim akan terjebak pada politik Pilgub, para kiai menawarkan kontrak jamiyah kepada calon ketua PW NU saat Muswil kemarin. Awalnya publik memahami bahwa kontrak jamiyah menjadi janji dan komitmen bagi ketua PW NU untuk tidak ikut dalam Pilgub Jatim mendatang. Namun sayangnya akibat syahwat politik yang tak tertahan lagi tafsir terhadap kontrak jamiyah seolah menjadi bebas untuk ditafsirkan sesuai kepentingan masing-masing.
Pilihan melakukan kontrak jamiyah tersebut sesungguhnya merupakan keputusan yang tepat demi untuk menyelamatkan wajah dan organisasi NU. Bagaimanapun NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar sudah selayaknya dikembalikan pada maqam-nya sebagai organisasi yng berada di atas semua kepentingan partai politik. NU sepatutnya tidak dibawa dan dipersepsikan sebagai representasi kepentingan politik tertentu. Namun nampaknya, kelezatan politik menjadi mengedepan dan seolah menjadi prestasi tertinggi yang akan dicapai oleh pengurus PW NU. Sehingga mungkin berangkat dari logika seperti itulah akhirnya ketua PW NU Jatim Ali Maschan Moesa merelakan jabatan sebagai ketua PW NU Jatim untuk mencalonkan ‘hanya’ sebagai wakil gubernur.
Dalam situasi seperti itu, sebagai pimpinan tertinggi PW NU Jatim, Ali Maschan Moesa seolah telah mengajari jamiyahnya bahwa politik seolah lebih mulia dibandingkan dengan mengurusi NU. Jabatan wakil gubernur lebih prestise dan membanggakan dibandingkan dengan jabatan sebagai ketua PW NU Jatim.
Bahwa apa yang ditampilkan Ketua PW NU Jatim tersebut sesungguhnya menegaskan adanya kecenderungan bila jabatan di struktural NU hanya sebagai batu loncatan untuk menduduki jabatan politik. Terbukti, di beberapa daerah para pengurus NU beramai-ramai melirik jabatan politik dalam pemilihan kepala daerah.
Sungguh memprihatinkan, jika NU terus memilih berkutat di mazhab politik dan menomersekiankan mazhab kultural, tidak mustahil agenda pemberdayaan civil society akan patah di tengah jalan. Persoalan umat yang paling findamental dan substansial semisal peningkatan kualitas pendidikan, kesejahteraan, kenyamanan hidup yang penuh kerukunan, dan sebagainya, hanya akan menjadi wacana.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

000

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...