Senin, 23 Juni 2008

Catatan Tragedi Kecelakaan Bus Wisata di Kota Batu

Wahyu Kuncoro SN
Pemerhati masalah birokrasi – pemerintahan
Peneliti Public Sphere Center (PuSpeC)
Alumnus ITS - Surabaya


Tragedi memilukan baru saja terjadi. Keceriaan dan kegembiraan yang menghiasi wajah murid Taman Kanak-Kanak (TK) Dharma Wanita Karangdieng, Mojokerto yang sedang menikmati indahnya perjalanan mengisi liburan akhir sekolah sontak harus berakhir tragis dan memilukan. Ya, ledakan bus yang membawa rombongan anak-anak tersebut Senin (9/6) lalu masih mengguratkan kepedihan dan kedukaan mendalam bagi keluarganya. Bahkan masyarakat luas pun ikut berempati karena korban yang masih kanak-kanak.
Bahwa disamping menyisakan duka mendalam bagi teman-teman khususnya anggota keluarga korban, musibah tersebut juga telah membuka tabir gelap yang selama ini tersimpan rapi, yakni praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh oknum petugas yang kebetulan bertugas di Pos Jaga DLLAJ di lokasi kejadian.
Pos jaga yang dibangun pada 2002 lalu itu ternyata sudah lama dikeluhkan. Selain lokasinya berada pada kemiringan hampir 30 derajat, tempat ini, menurut pengakuan para sopir, juga menjadi ajang pungutan liar (pungli) kepada angkutan yang lewat. Bahkan, banyak pihak menduga praktik pungli inilah yang mungkin jadi salah satu pemicu musibah besar yang menyebabkan bus Sidomulyo dan penumpangnya hangus terbakar. Sebab, bus Sidomulyo tiba-tiba jalan mundur setelah sopirnya terpaksa menghentikan bus di tanjakan usai dikejar oleh petugas DLLAJ di pos jaga tersebut. Padahal, beberapa saat sebelumnya, sopir sebetulnya telah membayar retribusi jalan sebesar Rp 2 ribu. (Kompas, 11/6).
Berkaca dari kasus kecelakaan tersebut setidaknya telah membukakan kesadaran kita bahwa :
Pertama, keberadaan pos-pos semacam pos DLLAJ, jembatan timbang atau sejenisnya masih kerap menjadi lahan pungli. Fakta tersebut sesungguhnya sudah terlalu sering terungkap di media. Namun nampaknya banyak faktor dan kendala yang membuat praktik semacam itu terus terawat secara baik. Sehingga praktis keberadaan pos yang sejatinya untuk memantau pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para pengendara angkutan umum berubah menjadi ajang konversi kesalahan/pelanggaran menjadi segebok uang (baca : pungli). Artinya, institusi yang awalnya dibangun untuk membenahi kualitas pelayanan khususnya angkutan menjadi baik justru menjadi ’penyakit’ bagi perbaikan pelayanan tersebut.
Kedua, musibah kecelakaan tersebut juga menunjukkan masih terlalu longgarnya kontrol terhadap pelaksanaan Perda khususnya yang mengatur tentang kelaikan kendaraan/angkutan umum. Imbasnya, masyarakatlah yang akhirnya harus menjadi korban. Contoh sederhana adalah ketika angkutan umum yang berdasar Standar Operasionalnya sebenarnya tidak laik beroperasi namun karena ada praktik ’main mata’ antara pemilik angkutan umum dengan petugas menyebabkan kendaraan tetap diperbolehkan beroperasi. Sehingga ketika terjadi kecelakaan, lagi-lagi masyarakat yang harus menjadi korban. Fakta tersebut barangkali juga menjadi koreksi bagi anggota dewan agar tidak saja sibuk mereproduksi Perda dan aturan lainnya tetapi juga mengawasi dan mengevaluasi sejauh mana efektivitas produk hukum yang dibuatnya. Kita tentu tidak ingin kalangan eksekutif dan legislatif hanya sekadar membuat aturan namun lupa melihat implementasinya di lapangan.
Ketiga, menilik kasus kecelakaan yang terjadi menunjukkan bila Pemkot Batu cenderung mementingkan bagaimana mendapatkan retribusi sebanyak- banyaknya dibandingkan memperhitungkan resiko kecelakaan yang bakal terjadi. Fakta bila di lokasi tersebut sudah sering terjadi kecelakaan semakin menegaskan bila Pendapatan Asli daerah (PAD) lebih dipentingkan dibandingkan keselamatan dan kenyamanan masyarakat. Apa yang terjadi di Kota Batu bisa jadi juga menjadi potret bagi Kab/Kota lain yang hari ini lebih sibuk memikirkan bagaimana meningkatkan nilai PADnya dibandingkan bagaimana memberi kesejahteraan dankenyamanan bagi masyarakatnya.
Keempat, berpijak pada kondisi tersebut maka sesungguhnya yang akan tetap menjadi kunci terpenting untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya korban lain ataupun peristiwa sejenis adalah bahwa aturan harus ditegakkan. Dalam hal kelaikan angkutan misalnya, maka semua pihak baik petugas DLLAJ ataupun pemilik kendaraan tersebut harus menghormati aturan yang ada. Jangan sampai demi memburu rupiah resiko kecelakaan harus dipilih.

Praktik Buruk Layanan Publik
Penyelenggaraan otonomi daerah sekarang ini sesungguhnya juga dimaksudkan agar pelayanan publik dapat lebih ditingkatkan. Namun, apa yang terjadi? Berdasarkan temuan Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara (LAN), banyak pelayanan publik terbengkalai akibat pemerintah daerah hanya mementingkan kenaikan pendapatan asli daerah (PAD).
Peningkatan PAD sering meningkatkan beban masyarakat. Terungkap, lembaga pemerintah yang bergerak dalam bidang pelayanan kesehatan pun, dibebani tugas untuk mengeruk PAD dari pasien atau keluarganya. Namun, evaluasi Pusat Kajian LAN tersebut juga mencatat adanya pelayanan publik yang telah menunjukkan kecenderungan positif meskipun belum dapat disebut memuaskan. Pelayanan publik yang dinilai paling baik ialah penyediaan fasilitas sosial dan pelayanan akte kelahiran. Yang paling buruk adalah pelayanan sertifikat tanah. Disebutkan pula bahwa pelayanan yang dinilai kurang memuaskan, selain pelayanan sertifikat tanah, masih dirasakan di beberapa sektor lainnya, misalnya pelayanan izin mendirikan bangunan, fasilitas umum, dan air bersih.
Praktik suap dan (pungli) masih menggejala di masyarakat kita. Terlepas siapa yang memulai, fenomena suap, pungli, pemerasan dan sejenisnya ternyata masih menjadi bagian buruk dari kehidupan bangsa kita. Biasanya, praktik semacam itu tumbuh di lembaga-lembaga pelayanan publik atau institusi yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak. Maka yang namanya pungutan liar atau suap adalah bagian dari prosedur yang telah tersistematika sedemikian rupa, dan seolah-olah kemudian dianggap sebagai hal yang lumrah.
Masyarakat diajak membiasakan diri untuk taat pada proses pelayanan yang wajar. Praktik pungli yang merupakan wajah lain dari korupsi di sektor pelayanan publik ini, bukan hanya terkait aspek finansial, tetapi juga aspek lain, misalnya aspek waktu dan tenaga. Jika warga masyarakat yang memerlukan pelayanan harus mengeluarkan uang sesuai dengan tarif resmi yang jelas dasar hukumnya dan uang itu memang disalurkan ke kas pemerintah, hal tersebut masih dapat dipahami. Jika pengelolaan pelayanan itu memerlukan waktu tertentu, relatif lebih lama misalnya, juga masih dapat dimengerti asalkan dalam batas-batas kewajaran dan dapat diterima secara logika. Yang tidak dapat dipahami publik, jika ada pungutan tambahan yang dipaksakan dan hasil pungutan tambahan itu tidak masuk kas pemerintah. Juga tidak dapat dipahami, jika pengelolaan pelayanan itu sengaja diulur-ulur waktunya hanya karena pihak yang meminta pelayanan tidak atau belum memenuhi pembayaran pungutan tambahan yang dipaksakan itu atau terulur-ulur waktunya oleh alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...