Senin, 02 Agustus 2010

Kalau Bisa Murah, Kenapa Dibuat Mahal?

(Catatan Peran Teknologi Informasi dalam Demokratisasi)

Kebuntuan aktualisasi kedaulatan rakyat menjadi terbuka seiring dengan hadirnya reformasi 12 tahun silam. Implikasinya, pintu pelibatan publik dalam menentukan dan menata kehidupan ketatanegaraan terbuka lebar. Namun demikian, dalam fase demokrasi yang tengah beranjak berjalan ini, tentu banyak kelemahan di sana-sini. Perilaku dan praktik politik yang tidak jauh dari orientasi uang menjadi titik terlemah dari tampilan demokrasi kita. Itulah kerawanan paling mengkhawatirkan di tengah euforia demokrasi. Sebuah tabiat yang jauh dari norma dan etika demokrasi, dan berpotensi merusak substansi demokrasi itu sendiri, karena hanya melahirkan pemimpin dengan orientasi mengembalikan investasi politik yang telah dibelanjakan.
Munculnya pemimpin yang berorientasi materi itu, sesungguhnya menemukan pembenarannya dengan menilik bahwa ‘sistem dan prosedur’ demokrasi yang melahirkan sosok pemimpin ternyata membutuhkan biaya/ongkos yang sangat mahal. Dalam Pemilukada misalnya, seorang calon yang ingin maju maka hal pokok yang harus dipersiapkan adalah masalah kekuatan materi. Mengapa? tidak lain karena seluruh proses yang akan dilaluinya hampir pasti tidak ada yang gratis bahkan sangat mahal harganya. Dari mulai pendaftaran ke partai politik, proses seleksi dari mulai tingkat paling bawah sampai pengurus pusat semua ada harganya. Belum lagi dana untuk tim sukses dan kampanye yang luar biasa besarnya. Di luar dana yang harus disiapkan oleh masing-masing kontestan, pemerintah daerah juga harus menganggarkan melalui APBD untuk penyelenggaraannya.
Sementara di wilayah lain, aroma uang juga demikian kuat berhembus di tubuh partai politik. Sebagai pilar utama dalam menopang tegaknya demokrasi, wajah partai politik hari ini juga masih menjelma menjadi institusi yang lebih banyak berperan sebagai ‘broker’ kekuasaan yang ujung-ujungnya selalu mengkonversi setiap transaksi yang dilakukan dengan hitung-hitungan rupiah. Realitas semacam ini kadang bisa ‘dipahami’ mengingat seseorang untuk menjadi pemimpin partai mulai dari tingkat cabang sampai pusat juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kalau jadi ketua partai saja harganya mahal, tentu logikanya parpol akan dijadikan alat untuk bisa mengeruk keuntungan setidaknya agar bisa mengembalikan investasi yang telah dikeluarkan sebelumnya. Apalagi, di tengah tingginya angka pengangguran dan kemiskinan membuat parpol menjadi salah satu pelampiasan mereka yang tidak memiliki pekerjaan untuk terlibat. Imbasnya, partai dihuni oleh orang-orang yang lapar dan tidak punya pekerjaan. Sehingga tidak aneh kalau menjadi politisi ibarat sedang bekerja yang hasil akhirnya adalah seberapa uang yang didapatnya.
Dalam situasi parpol yang sedemikian, nampaknya menjadi tidak berlebihan kalau kemudian semua proses politik dan pemerintahan yang terjadi apalagi melibatkan partai politik maupun politisi (baca : DPRD) hampir pasti menjadi ajang transaksi belaka. Praktik itu bisa disimak dengan telanjang dalam setiap perumusan kebijakan baik berupa pembuatan UU, Perda dan apalagi yang berkaitan dengan penetapan anggaran. Itulah mengapa hampir semua implementasi kehidupan demokrasi di Indonesia teramat mahal, bahkan cenderung tanpa batas. Kita semua barangkali tidak terlalu terkejut mana kala seorang calon bupati menjadi gila karena tak mampu membayar utang miliaran rupiah yang dia gunakan untuk membiayai pencalonannya.
Terkadang ada rasa miris menyaksikan semuanya ini? Di saat negara ini sedang dirundung oleh duka karena kemiskinan dan kemelaratan, kita masih sempat menghabiskan dana miliaran rupiah demi harapan untuk mendapatkan sosok terbaik. Lantaran itu, benar kiranya apa yang disampaikan Mendagri Gamawan Fauzi bahwa ada sesuatu yang paradoks dalam praktik demokrasi kita yaitu untuk menjadi seorang kepala daerah dibutuhkan miliran rupiah, namun setelah menjadi kepala daerah mereka dituntut untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Gamawan mengungkapkan, gaji gubernur hanya Rp8,7 juta per bulan, sedangkan gaji bupati Rp6,2 juta.
“Logikanya, kalau menjadi gubernur membutuhkan Rp20 miliaran dengan gaji sebesar itu butuh waktu berapa lama untuk mengembalikanya,” ungkap Mendagri, Kompas (23/7/2010).
Apa yang disampaikan Mendagri tersebut setidaknya menunjukkan kepada kita betapa pemerintah sendiri masih gamang dalam mewujudkan sebuah pemerintahan yang bersih ketika sistem politik yang masih berjalan tersandera oleh praktik politik yang demikian mahal harganya.

Memangkas Ongkos Politik
Berkaca dari eksplanasi di atas, maka mahalnya biaya politik dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia setidaknya dapat dipilah menjadi dua faktor: pertama karena sistem dan prosedurnya dan yang kedua karena faktor manusianya. Dengan demikian langkah yang bisa diambil untuk memangkas mahalnya ongkos demokrasi tersebut, pertama harus menyentuh wilayah sistem/prosedur demokrasi yang berlangsung dan yang kedua mampu membangun karakter manusianya sehingga menjadikan manusia-manusia yang tidak mendewakan materi. Meskipun terlihat sederhana, tetapi upaya itu bukan hal yang mudah. Mengapa? tidak lain karena semua greget demokrasi yang berjalan selama ini selalu mengatasnamakan untuk memperbaiki keadaan, namun yang terjadi justru malah sebaliknya. Imbasnya, demokrasi yang terbangun jauh dari substansi demokrasi itu sendiri, yaitu yang menempatkan rakyat dan seluruh aspirasinya sebagai pemilik yang sah atas kedaulatan di negeri ini.
Di sinilah dilema dari praktik demokrasi di negara yang para elitenya belum dewasa dalam berdemokrasi. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikannya rendah adalah ladang subur terpeliharanya tradisi itu. Kita bisa melihat negara-negara yang relatif lebih dewasa dalam berdemokrasi dapat menjalankan pemilu langsung secara praktis dan ekonomis. Semua pihak ambil bagian. Menurut pakar ekonomi yang kini jadi politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Drajat Wibowo mahalnya biaya politik dalam penyelenggaraan demokrasi merupakan ekses dari Pemilu yang dilaksananan ditengah-tengah kemiskinan. Di negara-negara maju, rakyat tidak mau menjual suara, malahan rakyat yang membiayai kandidat secara sukarela seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Asutralia.
Realitas tentang demikian mahalnya ongkos politik dalam penyelenggaraan demokrasi sepatutnya bisa mendorong semua pihak untuk mendesain ulang sistem dan prosedur politik agar tidak terlalu mahal. Terlepas dari kontroversi yang terjadi, munculnya keinginan untuk mengembalikan model Pemilihan Gubernur (Pilgub) dari pemilihan langsung ke model pemilihan melalui DPRD setidaknya menunjukkan adanya kegelisahan betapa Pilgub menjadi prosesi politik yang sangat mahal. Sementara pada sisi lain, keberadaan gubernur sesungguhnya merupakan kepanjangtangan presiden yang seharusnya bisa sejalan dengan kebijakan presiden. Di luar wacana tersebut, kita juga patut mengapresiasi langkah kalangan legislatif untuk menaikkan angka ambang batas pemilu (Electoral Threshold) maupun ambang batas parlemen Parliament Threshold) sebagai sebuah upaya melakukan penyederhanaan partai politik. Penyederhanaan partai diharapkan bisa ikut menyederhanan proses politik baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam penyelenggaraan system demokrasi yang selama ini banyak direpotkan akibat demikian banyaknya partai politik yang terlibat.

Peran Teknologi Informasi
Esensi demokrasi adalah persoalan komunikasi. Komunikasi yang efektif memungkinkan perjuangan demokrasi bisa berlangsung secara cepat dan tentu saja murah. Dalam konteks ini, maka kehadiran Teknologi Informasi (TI) untuk ikut serta membangun komunikasi yang efektif menjadi relevan adanya. Karakter TI yang egaliter sangat sesuai dengan sifat demokrasi. Penyebaran informasi berlangsung secara peer to peer, one to one, one to many ataupun broadcast. Tidak ada hirarki penyampaian informasi yang mengarah kepada filterisasi informasi sebagaimana terjadi pada sistem informasi di suatu organisasi tertutup. Ide perjuangan demokrasi dengan mudah mencapai sasaran masyarakat luas tanpa terkendala oleh rejim pengawasan informasi yang dilakukan oleh penguasa.
Adanya TI menjadikan distribusi informasi akan menjadi lebih mudah dan cepat. Imbasnya komunikasi pun menjadi sesuatu yang tidak mahal lagi. Apalagi, beberapa faktor yang membuat demokrasi menjadi mahal harganya adalah karena distorsi informasi yang terjadi baik yang disengaja atau tidak.
Pada wilayah yang lebih luas, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi melalui dunia maya atau internet yang berbentuk jejaring sosial, seperti facebook, twitter, dan blog secara tidak langsung ternyata mampu memengaruhi proses demokratisasi di Indonesia. Gerakan demokrasi rakyat yang riil justru banyak ditemui lewat jejaring sosial, seperti facebook, twitter, dan blog. Hal itu menunjukkan bahwa ada perkembangan yang lebih baik dari masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya secara lebih luas, dibandingkan dengan dulu yang hanya mampu menyuarakannya lewat wakil rakyat di DPR.
Di dunia maya, setiap orang dapat berkomentar atau menyuarakan aspirasi dan dukungannya terkait isu-isu dan persoalan negara, maupun persoalan sosial yang tengah terjadi. Beberapa contoh menarik misalnya ketika kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit-Chandra, perseteruan RS Omni International dengan Prita Mulyasari, Bank Century, dan sebagainya yang menunjukkan antusiasme masyarakat menanggapi lewat jejaring sosial. Hal ini merupakan dampak positif perkembangan proses demokratisasi di Indonesia, terutama perkembangan dalam proses komunikasi politik, meskipun tetap ada dampak negatif yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi itu. Maka disadari atau tidak, kehadiran TI akan membuat demokrasi menjadi lebih mudah dan murah.
Persoalannya kemudian adalah siapkah kita untuk menjadikan demokrasi itu murah? Pertanyaan ini relevan diajukan karena realitas menunjukkan bahwa penikmat ‘mahalnya demokrasi’ adalah para pelaku politik (baca : politisi) yang notabene menjadi pengambil kebijakan-kebijakan dalam pemerintahan. Artinya, relakah para politisi kita untuk tidak lagi menikmati keuntungan yang bisa diraihnya ketika demokrasi itu mahal harganya. Bagi publik tentu berlaku logika, kalau demokrasi bisa dilangsungkan dengan murah dan mudah mengapa harus dibuat mahal dan rumit.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

***

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...