Senin, 02 Agustus 2010

Pendidikan Karakter, Bagaimana Menyemaikannya?

Praktik korup yang terjadi di segala bidang kehidupan dianggap biasa, bahkan seolah menjadi sebuah keniscayaan. Meminjam ilustrasi ‘zaman edan’nya Ranggawarsita, maka kita hari ini tengah mengalami krisis moral dan keteladanan. Buruknya perilaku moral bangsa justru dipertontonkan secara masif oleh mereka yang disebut panutan dan pemimpin bangsa. Melunturnya sikap kepemimpinan di segala lini membuat kita seolah-olah sebuah orkestra kehidupan tanpa konduktor. Karut marutnya moralitas dan budaya yang ditandai terjadinya krisis kejujuran, krisis keberanian untuk mengungkap yang benar dan berujung pada krisis kepercayaan ini membuat kita layak mempertanyakan kembali seperti inikah karakter bangsa ini?
Kian mencemaskannya budaya dan karakter anak negeri ini, menuntut kita untuk lebih peduli dan serius dalam menyemaikan kembali karakter bangsa yang bersendikan pada nilai-nilai luhur bangsa.
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menekankan pentingnya pendidikan karakter. Artinya, sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa maka pendidikan karakter mendesak untuk diterapkan. Pendidikan karakter sangat penting dalam rangka terbentuknya karakter peserta didik yang kuat dan kokoh, menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional tersebut menyiratkan bahwa melalui pendidikan hendak diwujudkan peserta didik yang memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual maupun kecerdasan kinestetika.
Harus diakui, selama ini pendidikan cenderung kepada peningkatan mutu intelektualitas. Porsinya kepada pembentukan nilai, budi pekerti, pendidikan moral masih minim. Orang tua lebih senang kalau anak dapat sepuluh, orientasinya pada pembentukan intelektual, bukan pada pembentukan karakter. Pendidikan karakter adalah mengubah tabiat yang berujung pada membentuk karakter dan sikap bangsa. Pembangunan karakter idealnya dibangun dari pendidikan dalam keluarga. Sayangnya, banyak orangtua yang belum memahami potensinya sebagai pendidik bagi anak-anaknya, padahal orangtua adalah aktor penting dalam pengembangan keterampilan hubungan sosial anak. Ada orangtua yang paham potensinya sebagai pendidik bagi anak-anaknya, namun mereka mengabaikan potensi itu hanya karena ingin memenuhi obsesinya semata yakni beranggapan bahwa mendidik anak pada sebuah institusi lebih baik dari hasil didikan langsung di rumah.

Bagaimana Menyemaikannya?
Bekaca dari paparan di atas, maka mempersiapkan sistem pendidikan yang mampu memberikan pondasi dalam membangun karakter anak didik menjadi semakin relevan untuk dilakukan. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana memulainya
Hemat penulis, ada beberapa catatan penting yang patut disodorkan sebagai bahan diskusi dalam membangun sebuah sistem yang bisa meletakkan dasar-dasar karakter bagi anak didik kita.
Pertama, membangun karakter anak bangsa bukan sebuah persoalan instan yang bisa dicapai dalam sekejap, namun membutuhkan poses panjang, terus menerus dan secara konsisten dilakukan. Lantaran itu, pendidikan yang menanamkan nilai-nilai luhur kemanusiaan (kejujuran, kreativitas moral dan kasih sayang universal) sangatlah perlu diberikan kepada anak-anak sejak usia dini. Dalam usia ini anak masih belum terkontaminasi dengan sifat yang kurang baik sehingga sangat memungkinkan untuk ditanamkan sifat-sifat atau karakter dasar. Penanaman pendidikan karakter pada anak usia dini diharapkan dapat mempersiapkan mereka kelak sebagai manusia-manusia yang mempunyai identitas di dalam masyarakat lokalnya sekaligus mempunyai visi global untuk membangun dunia bersama.
Dalam konteks ini, patut rasanya kita apresisai langkah pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang memiliki greget untuk memperhatikan perkembangan Pendidikan Anak Dini Usia (PAUD). Bergairahnya berbagai pihak untuk menyelenggarakan pendidikan PAUD tentu menjadi angin segar bagi upaya untuk mempersiapkan SDM sejak dini usia. Namun demikian perkembangan tersebut haruslah tetap dipantau agar niat positif untuk menyelenggarakan PAUD tersebut tidak ‘tersesat’ hanya menjadi sekadar gaya hidup belaka yang melupakan orientasi dan visi pendidikan di usia dini sebagai fase dasar dalam menanamkan karakter anak.
Kedua, bahwa pembangunan karakter sangat berkaitan dengan keteladanan. Artinya, pendidikan karakter tidak hanya cukup diajarkan melalui mata pelajaran di dalam kelas saja. Sekolah dapat menerapkannya melalui kegiatan-kegiatan pembiasaan. Pelaksanaannya dapat dilakukan baik secara spontan, terprogram, maupun dengan keteladanan. Kegiatan pembiasaan secara spontan bisa dilakukan dengan saling menyapa, baik antarteman, antarguru, maupun antara guru dengan murid. Guru-guru sebagai teladan harus datang pagi dan tidak terlambat. Begitu datang, guru sudah berdiri di depan pintu sekolah dan menyambut anak-anak yang datang dengan menyalaminya. Keteladanan yang diberikan seorang pendidik (guru) tentu tidak hanya ditampilkan dalam lingkungan sekolah saja. Dalam masyarakat pun seorang guru harus tetap bisa memberikan keteladanan dalam sikap dan perilaku kesehariannya. Dalam falsafah Jawa mengajarkan bahwa guru berarti digugu lan ditiru (jadi panutan dan contoh). Dengan demikian, ketika hari ini kita menyaksikan anak didik tidak mampu menampilkan perilaku dan karakter yang kita harapkan maka bisa jadi karena para pendidik/guru juga tengah mengalami krisis keteladanan.
Ketiga, bahwa merujuk peran guru sebagai pendidik memiliki makna bahwa seorang guru bukan hanya menyampaikan ilmu pengetahuan tetapi juga mendidik anak dalam bersikap dan berperilaku. Pertanyaannya adalah sudahkan para guru kita hari ini memiliki bekal yang memadai untuk menjadi pendidik? Menjadi pendidik bukan hanya membutuhkan kecerdasan dan kemapanan dalam penguasaan ilmu pengetahuan tetapi juga harus memiliki kemapanan dan kematangan dalam sikap dan berperilaku.
Pertanyaan ini layak untuk diajukan mengingat kebijakan pendidikan kita relatif memberikan kelonggaran bagi siapa saja untuk menjadi guru. Kalau dulu untuk menjadi guru, minimal harus lulus Sekolah pendidikan Guru (SPG) ataupun Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) --sebuah institusi yang secara khusus didesain untuk menghasilkan tenaga pendidik dan kini sudah dibubarkan--, namun hari ini semua orang bisa menjadi guru hanya dengan mengikuti semacam pendidikan penyetaraan. Pemerintah sepertinya menganggap bahwa mempersiapkan SDM menjadi tenaga guru sama halnya dengan mempersiapkan SDM pada bidang kerja lainnya sehingga tidak perlu dipersiapkan secara khusus. Imbasnya, siapa saja yang ingin menjadi guru dipersilakan asalkan telah ‘menyesuaikan’ pendidikan dengan pendidikan khusus. Jalur pintas menjadi tenaga didik inilah yang membuat sektor pendidikan khususnya tenaga guru menjadi ‘pelarian’ bagi masyarakat yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor lain. Ironisnya lagi, SDM buangan ini pada akhirnya akan berperan pada sektor yang sesungguhnya sangat strategis bagi bangsa ini. Logikanya, bagaimana kita bisa menghasilkan anak didik yang berkualitas dan memiliki karakter yang mapan kalau tenaga didiknya (guru) saja diproduksi secara instan ditambah lagi dengan bahan baku yang ala kadarnya. Pesan terpentingnya dari realitas tersebut adalah bahwa sungguh menumpuk aspek dan sektor yang perlu dibenahi agar pendidikan bisa menjadi instrumen terpenting dalam membangun karakter anak didik.
Akhirnya, kita sungguh berharap dunia pendidikan menjadi motor penggerak untuk memfasilitasi pembangunan karakter, sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan norma-norma di masyarakat. Pembangunan dan pendidikan karakter menjadi suatu keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas, juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun orang lain.
Wallahu'alam Bhis-shawwab

***

Tidak ada komentar:

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...