Pengantar
:
Esai
berjudul “Menyuburkan Akar Budaya Pancasila
yang Meranggas” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhasil
menjadi Juara 2 (Kedua) dalam lomba
penulisan Esai Kreasi Pancasila yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP) 2018.
Jejak-jejak budaya dengan kandungan pesan kearifan lokal
(local wisdom) telah secara sempurna terangkum menjadi nilai- nilai
dasar dalam 5 sila Pancasila. Kearifan lokal
adalah filsafat yang hidup di dalam hati masyarakat, berupa
kebijaksanaan akan kehidupan, way of life,
ritus-ritus adat, dan sejenisnya. Kearifan lokal merupakan produk
berabad-abad yang melukiskan kedalaman batin manusia dan keluasan
rasionalitas dengan sesamanya serta menegaskan keluhuran rasionalitas hidupnya.
Nilai-nilai kearifan yang tergali dari rahim negeri inilah yang selanjutnya
menjadikan Pancasila sebagai sebuah fondasi filosofis (philosophische
grondslag) yang menjadi jiwa bangsa Indonesia.
Menurut Jaques Derrida, meaning (makna) dari suatu teks itu unattainable (tak bisa dijangkau) dan unreachable ( tak bisa diraih) dan undefinable (tak bisa didefinisikan). Dalam bahasa Derrida, makna
tidak bisa dibukukan, dituntaskan, dikejar hingga habis. Sebaliknya, menurutnya
makna itu tercetus seperti traces
(jejak jejak langkah kaki). Secara metaforis Derrida hendak berkata suatu teks sungguh
terlampau jauh untuk bisa diraih maknanya secara penuh, tetapi yang bisa
diketahui adalah bahwa kebenaran-kebenartan makna itu nyata dalam perjalan
manusia yang menghidup teks tersebut. Bila dikaitkan deegan teks Pancasila,
maka hampir tidak mungkin membukukan suatu makna yang sudah selesai perihal
teks sila-sila Pancasila. Makna “Ketuhanan” misalnya tidak mungkin direduksi
dalam suatu frase yang selesai, demikian juga dengan “Kemanusiaan”. “Persatuan”,
“kerakyatan” dan “Keadilan” dalam Pancasila. Makna yang bisa kita tuliskan
mengenai Pancaila – konteks kebijaksanaan lokal ialah traces, berupa pluralitas jejak-jejak perjalanan aneka narasi
kehidupan, tradisi, ritual, mitos, upacara selamatan, sastra yang ada dalam
masyarakat. Demikianlah kearifan lokal – Pancasila menjadi mungkin, justru karena keluhuran
nilai-nilai Pancasila ada dalam penghayatan
bangsa Indonesia serta nyata dan terus menerus, (Armada Riyanto : 2015).
Perspektif ini menjadi relevan untuk menjelaskan
mengapa hari ini banyak orang merasa galau dengan masa depan Pancasila. Ada
kekhawatiran Pancasila hanya akan jadi cerita pengantar tidur bagi anak cucu
kita kelak, kalau generasi sekarang tidak segera menemukan ‘kesaktian’
Pancasila dalam meredam dan menjawab berbagai persoalan kebangsaan yang
terjadi. Hemat penulis, apa yang menimpa Pancasila saat ini, sesungguhnya
merupakan implikasi dari realitas yang secara sadar atau tidak telah terjadi
secara perlahan-lahan dan terus terjadi. Apa itu? Tidak lain adalah jejak-jejak
kearian lokal yang tersimpan --dalam tradisi hidup sehari-hari, dalam mitologi,
dalam sastra yang indah, dalam bentuk ritual ritual penghormatan leluhur atau
upacara ada, dalam wujud nilai-nilai simbolik bentuk rumah, dalam bahasa dan
seni budaya-- di negeri ini satu persatu
hilang dan terus tergerus dan hilang
diterkam kaangkuhan modernitas dan kemajuan zaman.
Tercerabutnya nilai-nilai Pancasila di kalangan
generasi muda yang terjadi hari ini sesungguhnya harus membuka mata kita akan
pentingnya dihidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang ada di
masyarakat. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut bisa dijadikan pegangan, tali
pengikat, sebagai filter, di tengah ancaman kebersamaan, ancaman intoleransi,
korupsi serta derasnya arus modernitas yang membawa anak muda kita ke dalam
pilihan pragmatis, hedon dan profan.
Pancasila merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha
Esa untuk bangsa Indonesia yang beraneka ragam. Karena itu, Pancasila harus
senantiasa dijaga, dipelihara dan diimplementasikan oleh seluruh masyarakat
Indonesia. Pancasila sudah final menjadi falsafah dan dasar negara Republik
Indonesia. Bahwa Pancasila sudah final, tidak perlu diperdebatkan lagi untuk
menjadi falsafah hidup dan dasar negara Republik Indonesia. Pancasila telah
terbukti menjadi wadah pemersatu bangsa Indonesia yang beraneka ragam. Kita
tidak perlu lagi mempersoalkan Pancasila karena nilai-nilai Pancasila berakar
dari budaya bangsa kita sehingga terbukti Pancasila menjadi wadah pemersatu
bangsa Indonesia yang beraneka ragam dan multikultutal. Yang perlu kita lakukan
adalah menjiwai dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai Pancasila, seperti toleransi dan
menghargai keberagaman harus mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Penting
bagi kita bagaimana mewujudkan nilai-nilai Pancasila, seperti toleransi,
menghargai keberagaman karena sejak dari awal Indonesia sudah plural.
Menyuburkan Kembali Akar Budaya
Di era modernisme dan globalisasi, berbagai ideologi
masuk Indonesia dan mengancam keberadaan ideologi negara, yaitu Pancasila. Jika
kita tidak kuat, maka kita akan mudah dirasuki oleh ideologi-ideologi lain,
seperti liberalisme, komunisme, dan radikalisme Islam yang mengancam keutuhan
dan ketahanan bangsa. Karena itu, harapan agar merevitalisasi nilai-nilai
Pancasila untuk memperkuat jati diri bangsa menjadi menemukan relevansinya.
Pancasila harus menjadi pandangan hidup dan dasar negara, sehingga bangsa
Indonesia tidak kehilangan roh. Kalau ideologi-ideologi lain itu dibuat
manusia, tetapi Pancasila ditemukan oleh presiden pertama Bung Karno sebagai
rahmat dari Tuhan. Pancasila itu bersifat batin sehingga tidak bisa dikalahkan
oleh ideologi lain. Intinya, kita harus menjiwai dan mengimplementasikan
Pancasila dalam sikap dan tingkah laku masyarakat Indonesia.
Indonesia adalah negara multietnis, agama, ras dan
golongan. Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya
bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Adapun
Pancasila adalah ideologi yang bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia
yang sudah terbukti mampu menyatukan dan mendamaikan berbagai kemajemukan itu
di Bumi Pertiwi. Dengan kekuatan kearifan lokal itu, Pancasila mampu
menyelamatkan bangsa Indonesia dari berbagai gangguan dan ancaman perpecahan. Pancasila
sebagai ideologi negara telah mengakomodasi kearifan lokal yang hidup di
Nusantara seperti gotong royong, adat-istiadat, silaturahmi, dan lain-lain. Itu
terdapat dalam sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
NKRI ini tetap berlangsung dan berjalan harmonis
karena kekuatan dari nilai-nilai Pancasila itu. Maka pemahaman nilai Pancasila
itu harus terus digalakkan, terutama kepada para generasi muda. Selain itu,
pelestarian budaya, adat-istiadat dan kearifan lokal lainnya oleh berbagai
pihak, pemerintah, dan masyarakat, yang didukung pula oleh ideologi negara,
Pancasila dan Undang-undang 1945 sangat dibutuhkan saat ini dan pada masa yang
akan datang.
Pancasila merupakan dasar dan falsafah bangsa yang
sudah terbukti kesaktiannya dalam mempersatukan seluruh komponen bangsa dari
Sabang sampai Merauke. Dalam perjalanan bangsa sejak kemerdekaan, Pancasila
terbukti ampuh menjadi ideologi kunci dalam menjalankan roda kehidupan
masyarakat Indonesia sampai saat ini. Tanpa Pancasila, bukan hal yang mustahil
bangsa ini tidak bisa utuh seperti sekarang ini. Tanpa Pancasila, mungkin kita sudah
tercerai-berai. Karena keragaman Indonesia yang terdiri atas berbagai suku
bangsa, agama, hingga bahasa, sangat rentan pecah bila tidak ada pemersatu yang
diyakini secara bersama. Belum lagi negara kita yang berbentuk kepulauan, tentu
memiliki potensi yang tinggi untuk terpisah satu sama lain. Pada 1987, Pusat
Survei dan Pemetaan ABRI merilis ada 17.508 pulau di Indonesia yang terbentang
dari Sabang sampai Merauke.
Di sinilah pentingnya Pancasila sebagai dasar negara
yang mampu menjadi perekat beragam perbedaan tersebut. Dengan Pancasila,
berbagai perbedaan-perbedaan tersebut bukan lagi menjadi kelemahan. Kemajemukan
bangsa ini menjadi sebuah kekayaan Indonesia yang jarang sekali dimiliki oleh
negara lain. Masing-masing suku bangsa memiliki adat istiadat, bahasa hingga
kesenian khusus yang menjadi identitasnya. Ada tari Pendet dari Bali yang sangat
mendunia. Ada tari Saman dari Aceh yang juga sangat terkenal. Dan, itu semua
menjadi kebanggaan nasional Indonesia. Semuanya masih ada dan menjadi identitas
nasional karena peran Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Artinya, Indonesia
adalah Pancasila.
Keduanya tidak bisa dilepaskan, karena Pancasila
lahir dari kemajemukan bangsa dengan latar belakang sosial-budaya, geografis,
dan kesamaan sejarah masyarakat Indonesia. Sebaliknya, pandangan hidup,
ideologi, falsafah bangsa Indonesia itu semuanya telah tecermin dari
nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. Karena itu, Pancasila tidak akan bisa
dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Indonesia saat ini memang
menjadi negara demokrasi terbesar keempat di dunia. Namun, yang perlu diingat
adalah Indonesia memiliki kekhasan yang berbeda dengan demokrasi yang ada di
negara-negara lain, bahkan dengan demokrasi di Eropa maupun Amerika sekalipun.
Atau kita lazim menyebutnya Demokrasi Pancasila. Kesuksesan Indonesia dalam
berdemokrasi tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila yang mengalir di
seluruh urat nadi dan darah manusia Indonesia.
Bukan tidak mungkin nilai nilai Pancasila akan
tergerus seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi. Maka itu, para
generasi penerus bangsa wajib dibekali dengan nilai-nilai Pancasila sejak dini.
Sekolah-sekolah perlu lagi memberikan pelajaran yang cukup tentang Pancasila.
Yang tak kalah penting adalah jangan sampai Pancasila hanya menjadi jargon
belaka. Jangan sampai Pancasila dijadikan komoditas politik untukkepentingan sesaat
kelompok tertentu. Jangan sampai
Pancasila hanya diakui milik golongan tertentu. Kampanye soal Pancasila juga
jangan sampai digunakan untuk menyerang atau mendiskreditkan kelompok-kelompok
yang kritis, karena cara-cara seperti itu justru akan memecah belah bangsa dan
akan membahayakan kesatuan dan kemajemukan masyarakat yang selama ini hidup
rukun.
Kearifan lokal dan ideologi Pancasila dinilai
menjadi kolaborasi terbaik untuk membentengi bangsa dari "serangan"
ideologi transnasional yang membawa paham-paham kekerasan. Kearifan lokal di
Indonesia diakui sebagai alat pemersatu bangsa kita yang majemuk. Itu diucapkan
banyak ulama-ulama, terutama dari Timur Tengah. Mereka memuji Indonesia karena
mampu hidup damai dengan berbagai keragaman agama, suku, ras, bahasa, dan
sebagainya. Bahkan mereka juga memuji Islam Indonesia yang toleran. Identitas
bangsa Indonesia, yaitu kearifan lokalnya yang dikenal memiliki peradaban,
kultur, bahasa, dengan ciri masing-masing daerah. Artinya, dengan saling
menghormati dan menjunjung tinggi kearifan lokal, masyarakat otomatis telah memperkuat
persatuan bangsa. Masing-masing daerah memiliki kultur dan adat sendiri, dan
semua bisa saling menghormati dan menghargai.
Indonesia mempunyai sejarah sebagai bangsa yang disegani dan
dikagumi oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Nilai-nilai luhur rakyatnya dan
kearifan lokal masyarakatnya mampu menyatukan keanekaragaman budaya, tradisi,
dan adat-istiadat dalam ikatan kebersamaan yang saling menghormati dan
menghargai. Tak heran jika ada dua kerajaan besar yang pernah memiliki wilayah
seluruh Asia Tenggara, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Lantas, apakah modal
demografi bangsa Indonesia tersebut? Nilai asli Indonesia terbukti mampu
mengakomodir semua kepentingan kelompok menjadi perpaduan yang serasi dan
harmonis. Nilai-nilai kearifan lokal yang dapat membawa Indonesia ke puncak
kejayaan, di antaranya semangat gotong royong, tolong-menolong, kemajemukan,
dan budi pekerti.
Semangat gotong royong merupakan kearifan lokal bangsa
Indonesia yang ada sejak nenek moyang kita. Sebagai contoh, apabila di suatu masyarakat
di daerah pegunungan terjadi kerawan tanah longsor atau banjir, maka seluruh
warga akan bekerja bersama-sama membuat terasering untuk menanggulangi bencana
tersebut tanpa berharap upah atau imbalan. Semangat tolong-menolong dimunculkan
ketika salah satu warga yang memiliki hajat. Seluruh warga tanpa dikomandoi
akan menyumbangkan tenaga dan material guna menyelesaikan hajat orang tersebut.
Jiwa kemajemukan sangat terlihat dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika
dihadapkan pada pekerjaan bersama, tak seorang pun warga akan memandang latar
belakang, suku, agama, ras atau golongan. Mereka meleburkan diri untuk
memelihara keharmonisan umum. Sedangkan budi pekerti merupakan ajaran hidup
yang diturunkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia agar selalu menghormati dan
menghargai orang lain, serta memperlakukan orang lain seperti diri sendiri.
Nilai-nilai kearifan lokal merupakan sifat asli bangsa kita,
namun telah diracuni dan dikaburkan oleh kekuatan asing. Budaya kebersamaan
luntur oleh budaya pragmatis transaksional. Kerja bakti lingkungan yang
dimaksudkan sebagai media komunikasi antar warga dan menimbulkan rasa ikut
memiliki fasum/fasos, dianggap sebagai kegiatan formalitas yang dapat
ditinggalkan dengan cara membayar sejumlah uang. Ruang publik sebagai tempat
berkumpulnya warga tidak dijadikan prioritas dalam program pembangunan. Saling
sapa antar warga menjadi hal yang aneh, bahkan antar tetangga pun tidak kenal
satu dengan lainnya. Semangat kebersamaan luntur menjadi sikap individualistis
dan apatis. Nah hemat penulis, kalau
dalam kondisi demikian, maka sesungguhnya hanya mengenalkan Pancasila secara
tekstual kepada generasi sekarang juga tidak cukup bisa untuk memperbaiki
keadaaan. Sebab, teks-teks indah yang tersurat dalam butir-butir Pancasila itu
hanya akan menjadi teks mati kalau tidak diimbangi dengan tumbuh dan bangkitnya
budaya bangsa, yang notabene merupakan asal muasal kearifan lokal.
Singkatnya, salah satu cara tepat untuk menyuburkan kembali
pohon besar bernama Pancasila tidak ada lain adalah memupuk subur akar-akarnya
budaya bangsa yang dulunya menyimpan kearifan lokal. Dengan demikian, agenda
besar kita bersama adalah menghidupkan kembali pesan-pesan kearifan lokal yang
biasanya tersaji dalam tradisi hidup sehari-hari, dalam mitologi, dalam sastra
yang indah, dalam bentuk ritual ritual penghormatan leluhur atau upacara ada,
dalam wujud nilai-nilai simbolik bentuk rumah, dalam bahasa dan seni budaya
untuk selanjutnya dimanisfetasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kita sungguh percaya, ketika sumber-sumber kearifan lokal
tersebut bisa hidup berkembang lagi, maka pohon besar Pancasila akan kembali
menghijau kembali daun-daunnya. Kalaupun hari ini terlihat beberapa daunnya
meranggas, mengering kemudian jatuh berguguran daun-daunnya itu karena kita
telah melupakan akar budaya dari Pancasila yang mulai tercerabut dari kehiduapn
kemasyarakatan kita hari ini.