Senin, 04 Juni 2018

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas


Pengantar :
Esai berjudul “Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhasil menjadi Juara 2 (Kedua)  dalam lomba penulisan Esai Kreasi Pancasila yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)  2018.

Jejak-jejak budaya dengan kandungan pesan kearifan lokal (local wisdom) telah secara sempurna terangkum menjadi nilai- nilai dasar dalam 5 sila Pancasila. Kearifan lokal  adalah  filsafat yang hidup  di dalam hati masyarakat, berupa kebijaksanaan akan kehidupan, way of life, ritus-ritus adat, dan sejenisnya. Kearifan lokal merupakan  produk  berabad-abad yang melukiskan kedalaman batin manusia dan keluasan rasionalitas dengan sesamanya serta menegaskan keluhuran rasionalitas hidupnya. Nilai-nilai kearifan yang tergali dari rahim negeri inilah yang selanjutnya menjadikan Pancasila sebagai sebuah fondasi filosofis (philosophische grondslag) yang menjadi jiwa bangsa Indonesia.
Menurut Jaques Derrida, meaning (makna) dari suatu teks itu unattainable (tak bisa dijangkau) dan unreachable ( tak bisa diraih) dan undefinable (tak bisa didefinisikan). Dalam bahasa Derrida, makna tidak bisa dibukukan, dituntaskan, dikejar hingga habis. Sebaliknya, menurutnya makna itu tercetus seperti traces (jejak jejak langkah kaki). Secara metaforis Derrida hendak berkata suatu teks sungguh terlampau jauh untuk bisa diraih maknanya secara penuh, tetapi yang bisa diketahui adalah bahwa kebenaran-kebenartan makna itu nyata dalam perjalan manusia yang menghidup teks tersebut. Bila dikaitkan deegan teks Pancasila, maka hampir tidak mungkin membukukan suatu makna yang sudah selesai perihal teks sila-sila Pancasila. Makna “Ketuhanan” misalnya tidak mungkin direduksi dalam suatu frase yang selesai, demikian juga dengan “Kemanusiaan”. “Persatuan”, “kerakyatan” dan “Keadilan” dalam Pancasila. Makna yang bisa kita tuliskan mengenai Pancaila – konteks kebijaksanaan lokal ialah traces, berupa pluralitas jejak-jejak perjalanan aneka narasi kehidupan, tradisi, ritual, mitos, upacara selamatan, sastra yang ada dalam masyarakat. Demikianlah kearifan lokal – Pancasila  menjadi mungkin, justru karena keluhuran nilai-nilai Pancasila ada dalam penghayatan  bangsa Indonesia serta nyata dan terus menerus, (Armada Riyanto : 2015).
Perspektif ini menjadi relevan untuk menjelaskan mengapa hari ini banyak orang merasa galau dengan masa depan Pancasila. Ada kekhawatiran Pancasila hanya akan jadi cerita pengantar tidur bagi anak cucu kita kelak, kalau generasi sekarang tidak segera menemukan ‘kesaktian’ Pancasila dalam meredam dan menjawab berbagai persoalan kebangsaan yang terjadi. Hemat penulis, apa yang menimpa Pancasila saat ini, sesungguhnya merupakan implikasi dari realitas yang secara sadar atau tidak telah terjadi secara perlahan-lahan dan terus terjadi. Apa itu? Tidak lain adalah jejak-jejak kearian lokal yang tersimpan --dalam tradisi hidup sehari-hari, dalam mitologi, dalam sastra yang indah, dalam bentuk ritual ritual penghormatan leluhur atau upacara ada, dalam wujud nilai-nilai simbolik bentuk rumah, dalam bahasa dan seni budaya-- di negeri ini  satu persatu hilang dan  terus tergerus dan hilang diterkam kaangkuhan modernitas dan kemajuan zaman.
Tercerabutnya nilai-nilai Pancasila di kalangan generasi muda yang terjadi hari ini sesungguhnya harus membuka mata kita akan pentingnya dihidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut bisa dijadikan pegangan, tali pengikat, sebagai filter, di tengah ancaman kebersamaan, ancaman intoleransi, korupsi serta derasnya arus modernitas yang membawa anak muda kita ke dalam pilihan pragmatis, hedon dan profan.
Pancasila merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa untuk bangsa Indonesia yang beraneka ragam. Karena itu, Pancasila harus senantiasa dijaga, dipelihara dan diimplementasikan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Pancasila sudah final menjadi falsafah dan dasar negara Republik Indonesia. Bahwa Pancasila sudah final, tidak perlu diperdebatkan lagi untuk menjadi falsafah hidup dan dasar negara Republik Indonesia. Pancasila telah terbukti menjadi wadah pemersatu bangsa Indonesia yang beraneka ragam. Kita tidak perlu lagi mempersoalkan Pancasila karena nilai-nilai Pancasila berakar dari budaya bangsa kita sehingga terbukti Pancasila menjadi wadah pemersatu bangsa Indonesia yang beraneka ragam dan multikultutal. Yang perlu kita lakukan adalah menjiwai dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai Pancasila, seperti toleransi dan menghargai keberagaman harus mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Penting bagi kita bagaimana mewujudkan nilai-nilai Pancasila, seperti toleransi, menghargai keberagaman karena sejak dari awal Indonesia sudah plural.

Menyuburkan Kembali Akar Budaya
Di era modernisme dan globalisasi, berbagai ideologi masuk Indonesia dan mengancam keberadaan ideologi negara, yaitu Pancasila. Jika kita tidak kuat, maka kita akan mudah dirasuki oleh ideologi-ideologi lain, seperti liberalisme, komunisme, dan radikalisme Islam yang mengancam keutuhan dan ketahanan bangsa. Karena itu, harapan agar merevitalisasi nilai-nilai Pancasila untuk memperkuat jati diri bangsa menjadi menemukan relevansinya. Pancasila harus menjadi pandangan hidup dan dasar negara, sehingga bangsa Indonesia tidak kehilangan roh. Kalau ideologi-ideologi lain itu dibuat manusia, tetapi Pancasila ditemukan oleh presiden pertama Bung Karno sebagai rahmat dari Tuhan. Pancasila itu bersifat batin sehingga tidak bisa dikalahkan oleh ideologi lain. Intinya, kita harus menjiwai dan mengimplementasikan Pancasila dalam sikap dan tingkah laku masyarakat Indonesia.
Indonesia adalah negara multietnis, agama, ras dan golongan. Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Adapun Pancasila adalah ideologi yang bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia yang sudah terbukti mampu menyatukan dan mendamaikan berbagai kemajemukan itu di Bumi Pertiwi. Dengan kekuatan kearifan lokal itu, Pancasila mampu menyelamatkan bangsa Indonesia dari berbagai gangguan dan ancaman perpecahan. Pancasila sebagai ideologi negara telah mengakomodasi kearifan lokal yang hidup di Nusantara seperti gotong royong, adat-istiadat, silaturahmi, dan lain-lain. Itu terdapat dalam sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
NKRI ini tetap berlangsung dan berjalan harmonis karena kekuatan dari nilai-nilai Pancasila itu. Maka pemahaman nilai Pancasila itu harus terus digalakkan, terutama kepada para generasi muda. Selain itu, pelestarian budaya, adat-istiadat dan kearifan lokal lainnya oleh berbagai pihak, pemerintah, dan masyarakat, yang didukung pula oleh ideologi negara, Pancasila dan Undang-undang 1945 sangat dibutuhkan saat ini dan pada masa yang akan datang.
Pancasila merupakan dasar dan falsafah bangsa yang sudah terbukti kesaktiannya dalam mempersatukan seluruh komponen bangsa dari Sabang sampai Merauke. Dalam perjalanan bangsa sejak kemerdekaan, Pancasila terbukti ampuh menjadi ideologi kunci dalam menjalankan roda kehidupan masyarakat Indonesia sampai saat ini. Tanpa Pancasila, bukan hal yang mustahil bangsa ini tidak bisa utuh seperti sekarang ini.  Tanpa Pancasila, mungkin kita sudah tercerai-berai. Karena keragaman Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa, agama, hingga bahasa, sangat rentan pecah bila tidak ada pemersatu yang diyakini secara bersama. Belum lagi negara kita yang berbentuk kepulauan, tentu memiliki potensi yang tinggi untuk terpisah satu sama lain. Pada 1987, Pusat Survei dan Pemetaan ABRI merilis ada 17.508 pulau di Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Di sinilah pentingnya Pancasila sebagai dasar negara yang mampu menjadi perekat beragam perbedaan tersebut. Dengan Pancasila, berbagai perbedaan-perbedaan tersebut bukan lagi menjadi kelemahan. Kemajemukan bangsa ini menjadi sebuah kekayaan Indonesia yang jarang sekali dimiliki oleh negara lain. Masing-masing suku bangsa memiliki adat istiadat, bahasa hingga kesenian khusus yang menjadi identitasnya. Ada tari Pendet dari Bali yang sangat mendunia. Ada tari Saman dari Aceh yang juga sangat terkenal. Dan, itu semua menjadi kebanggaan nasional Indonesia. Semuanya masih ada dan menjadi identitas nasional karena peran Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Artinya, Indonesia adalah Pancasila.
Keduanya tidak bisa dilepaskan, karena Pancasila lahir dari kemajemukan bangsa dengan latar belakang sosial-budaya, geografis, dan kesamaan sejarah masyarakat Indonesia. Sebaliknya, pandangan hidup, ideologi, falsafah bangsa Indonesia itu semuanya telah tecermin dari nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. Karena itu, Pancasila tidak akan bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Indonesia saat ini memang menjadi negara demokrasi terbesar keempat di dunia. Namun, yang perlu diingat adalah Indonesia memiliki kekhasan yang berbeda dengan demokrasi yang ada di negara-negara lain, bahkan dengan demokrasi di Eropa maupun Amerika sekalipun. Atau kita lazim menyebutnya Demokrasi Pancasila. Kesuksesan Indonesia dalam berdemokrasi tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila yang mengalir di seluruh urat nadi dan darah manusia Indonesia.
Bukan tidak mungkin nilai nilai Pancasila akan tergerus seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi. Maka itu, para generasi penerus bangsa wajib dibekali dengan nilai-nilai Pancasila sejak dini. Sekolah-sekolah perlu lagi memberikan pelajaran yang cukup tentang Pancasila. Yang tak kalah penting adalah jangan sampai Pancasila hanya menjadi jargon belaka. Jangan sampai Pancasila dijadikan komoditas politik untukkepentingan sesaat kelompok tertentu.  Jangan sampai Pancasila hanya diakui milik golongan tertentu. Kampanye soal Pancasila juga jangan sampai digunakan untuk menyerang atau mendiskreditkan kelompok-kelompok yang kritis, karena cara-cara seperti itu justru akan memecah belah bangsa dan akan membahayakan kesatuan dan kemajemukan masyarakat yang selama ini hidup rukun.
Kearifan lokal dan ideologi Pancasila dinilai menjadi kolaborasi terbaik untuk membentengi bangsa dari "serangan" ideologi transnasional yang membawa paham-paham kekerasan. Kearifan lokal di Indonesia diakui sebagai alat pemersatu bangsa kita yang majemuk. Itu diucapkan banyak ulama-ulama, terutama dari Timur Tengah. Mereka memuji Indonesia karena mampu hidup damai dengan berbagai keragaman agama, suku, ras, bahasa, dan sebagainya. Bahkan mereka juga memuji Islam Indonesia yang toleran. Identitas bangsa Indonesia, yaitu kearifan lokalnya yang dikenal memiliki peradaban, kultur, bahasa, dengan ciri masing-masing daerah. Artinya, dengan saling menghormati dan menjunjung tinggi kearifan lokal, masyarakat otomatis telah memperkuat persatuan bangsa. Masing-masing daerah memiliki kultur dan adat sendiri, dan semua bisa saling menghormati dan menghargai.
Indonesia mempunyai sejarah sebagai bangsa yang disegani dan dikagumi oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Nilai-nilai luhur rakyatnya dan kearifan lokal masyarakatnya mampu menyatukan keanekaragaman budaya, tradisi, dan adat-istiadat dalam ikatan kebersamaan yang saling menghormati dan menghargai. Tak heran jika ada dua kerajaan besar yang pernah memiliki wilayah seluruh Asia Tenggara, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Lantas, apakah modal demografi bangsa Indonesia tersebut? Nilai asli Indonesia terbukti mampu mengakomodir semua kepentingan kelompok menjadi perpaduan yang serasi dan harmonis. Nilai-nilai kearifan lokal yang dapat membawa Indonesia ke puncak kejayaan, di antaranya semangat gotong royong, tolong-menolong, kemajemukan, dan budi pekerti.
Semangat gotong royong merupakan kearifan lokal bangsa Indonesia yang ada sejak nenek moyang kita. Sebagai contoh, apabila di suatu masyarakat di daerah pegunungan terjadi kerawan tanah longsor atau banjir, maka seluruh warga akan bekerja bersama-sama membuat terasering untuk menanggulangi bencana tersebut tanpa berharap upah atau imbalan. Semangat tolong-menolong dimunculkan ketika salah satu warga yang memiliki hajat. Seluruh warga tanpa dikomandoi akan menyumbangkan tenaga dan material guna menyelesaikan hajat orang tersebut. Jiwa kemajemukan sangat terlihat dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika dihadapkan pada pekerjaan bersama, tak seorang pun warga akan memandang latar belakang, suku, agama, ras atau golongan. Mereka meleburkan diri untuk memelihara keharmonisan umum. Sedangkan budi pekerti merupakan ajaran hidup yang diturunkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia agar selalu menghormati dan menghargai orang lain, serta memperlakukan orang lain seperti diri sendiri.
Nilai-nilai kearifan lokal merupakan sifat asli bangsa kita, namun telah diracuni dan dikaburkan oleh kekuatan asing. Budaya kebersamaan luntur oleh budaya pragmatis transaksional. Kerja bakti lingkungan yang dimaksudkan sebagai media komunikasi antar warga dan menimbulkan rasa ikut memiliki fasum/fasos, dianggap sebagai kegiatan formalitas yang dapat ditinggalkan dengan cara membayar sejumlah uang. Ruang publik sebagai tempat berkumpulnya warga tidak dijadikan prioritas dalam program pembangunan. Saling sapa antar warga menjadi hal yang aneh, bahkan antar tetangga pun tidak kenal satu dengan lainnya. Semangat kebersamaan luntur menjadi sikap individualistis dan apatis. Nah hemat penulis,  kalau dalam kondisi demikian, maka sesungguhnya hanya mengenalkan Pancasila secara tekstual kepada generasi sekarang juga tidak cukup bisa untuk memperbaiki keadaaan. Sebab, teks-teks indah yang tersurat dalam butir-butir Pancasila itu hanya akan menjadi teks mati kalau tidak diimbangi dengan tumbuh dan bangkitnya budaya bangsa, yang notabene merupakan asal muasal kearifan lokal.
Singkatnya, salah satu cara tepat untuk menyuburkan kembali pohon besar bernama Pancasila tidak ada lain adalah memupuk subur akar-akarnya budaya bangsa yang dulunya menyimpan kearifan lokal. Dengan demikian, agenda besar kita bersama adalah menghidupkan kembali pesan-pesan kearifan lokal yang biasanya tersaji dalam tradisi hidup sehari-hari, dalam mitologi, dalam sastra yang indah, dalam bentuk ritual ritual penghormatan leluhur atau upacara ada, dalam wujud nilai-nilai simbolik bentuk rumah, dalam bahasa dan seni budaya untuk selanjutnya dimanisfetasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kita sungguh percaya, ketika sumber-sumber kearifan lokal tersebut bisa hidup berkembang lagi, maka pohon besar Pancasila akan kembali menghijau kembali daun-daunnya. Kalaupun hari ini terlihat beberapa daunnya meranggas, mengering kemudian jatuh berguguran daun-daunnya itu karena kita telah melupakan akar budaya dari Pancasila yang mulai tercerabut dari kehiduapn kemasyarakatan kita hari ini.

Kewirausahaan, Nasionalisme Baru Generasi Zaman Now


Pengantar :
Esai berjudul “Kewirausahaan, Nasionalisme Baru Generasi Zaman Now” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhasil menjadi Juara 1 (Pertama)  dalam lomba penulisan Esai Kebangsaan kategori ; Wartawan, yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Mei 2018.

Menjadi seorang aparat sipil negara (ASN) sungguh masih menjadi salah satu pilihan pekerjaan yang paling diinginkan oleh para pemuda di negeri ini. Kenyataan ini mungkin membanggakan di satu sisi dan juga menyedihkan di sisi yang lain. Disebut membanggakan karena minat menjadi abdi negara yang cukup tinggi dari para pemuda di negeri ini menandakan besarnya kecintaan terhadap bangsa dan negaranya dengan berpartisipasi aktif dengan terjun menjadi korps birokrasi. Namun sejatinya realitas tersebut juga cukup menyedihkan mengingat tidak akan mungkin semua pencari kerja bisa di terima menjadi PNS mengingat terbatasnya kursi yang ada. Artinya akan ada kebutuhan posisi pekerjaan lain yang harus tersedia untuk menampung tenaga kerja yang nganggur karena tidak mendapatkan posisi di ASN.
Dalam kondisi seperti itulah, maka kelahiran wira usaha diyakini akan menjadi solusi bagi negeri ini dalam menghadapi berbagai persoalan seperti masalah kemiskinan dan pengangguran. Hadirnya wirausaha utamanya  muda akan menunjang Indonesia menjadi negara maju, sekaligus mendorong penciptaan lapangan kerja.  Apalagi, jumlah pengangguran di Indonesia cukup tinggi, terutama dari kalangan generasi muda. Dengan demikian, di tengah himpitan persoalan berupa angka pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi, maka pilihan menjadi wira usaha sesungguhnya merupakan cermin nasionalisme baru di zaman now ini.
Mengapa demikian? Tidak lain karena menjadi wirausahawan sangat membantu negara dalam hal mengurangi angka pengangguran dan menciptakan lapangan pekerjaan baru dan bahkan membuka lapangan kerja bagi saudara saudara kita. Dengan demikian, menjadi seorang wirausahawan, bukan saja akan membuat dirinya mandiri dan tidak menjadi beban bagi masyarakat dan negara, tetapi pada sisi lain menjadi wirausahawan juga berarti ikut serta mengatasi persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Sungguh bangsa ini sangat membutuhkan para nasionalis sejati yang siap membangun negaranya. Nasionalis sejati di era ini bukan hanya mereka yang siap memberikan jiwa dan raganya di medan pertempuran atas nama negara namun sebutan itu juga pantas disematkan bagi mereka yang sanggup memaknai dengan cerdas tujuan terpenting kemerdekaan yakni mencapai tataran bangsa yang ideal yakni bangsa yang adil dan makmur. Tak salah kiranya jika menyebut mereka yang mempunyai kontribusi meningkatkan kemakmuran negeri ini sebagai nasionalis nasionalis modern era ini. Bangsa ini membutuhkan lebih banyak generasi muda dengan mental wirausahawan yang positif dan kreatif. Itu artinya harus ada kesadaran kolektif dari bangsa ini untuk mendorong tumbuhnya kebijakan dan iklim entreprenerial bagi generasi muda negeri ini.
Salah satu negara yang berhasil mendorong pertumbuhan ekonominya lewat wirausaha adalah China. Awalnya wirausaha untuk menyelesaikan masalah pengangguran dan kemiskinan, ternyata negeri tirai bambu ini memberikan  ruang gerak lebih bebas pada wirausaha untuk meningkatkan perekonomian. Hasilnya sangat luar biasa, bahkan saat ini Cina menjadi kekuatan ekonomi baru di dunia.  Selain pertumbuhan ekonominya berkembang pesat, wirausaha juga telah membuat standar kehidupan Cina lebih tinggi. Melihat keberhasilan China dan sejumlah negara lain dalam mengembangkan kewirausahaan, tak salah jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan Indonesia masih membutuhkan jutaan wirausaha baru untuk memiliki dua hingga lima persen wirausaha dari seluruh populasi penduduk.
China telah membuktikan itu dan ini seharusnya menjadi pembelajaran positif bagi generasi muda negeri ini untuk tidak menganggap sepele dan mulai melihat pilihan menjadi wirausahawan sebagai alternatif yang menjanjikan. Dan kita bisa melihat semangat itu mulai tumbuh dengan semakin mewabahnya minat menjadi wirausaha  di kalangan kaum muda negeri ini. Mereka tak lelah terus mencoba melalui berbagai bidang usaha dan tak memedulikan lagi rasa takut gagal. Hingga berujung pada semakin banyaknya wirausahawan muda sukses yang sangat terkenal di negeri ini.

Gaya Hidup Generasi Milenial
Disadari atau tidak telah terjadi perubahan cara pandang masyarakat terhadap kewirausahaan (entrepreunership). Hari ini, kewirausahaan tidak lagi dipahami sebagai pekerjaan kelas dua, karena dilakukan akibat keterpaksaan atau ketidakmampuan  dalam berkompetisi di pasar tenaga kerja.
Kewirausahaan telah menjelma menjadi lahan kerja yang menantang jiwa-jiwa kreatif anak muda. Kalau dulu, umumnya orang akan memilih jalan menjadi wirausahawan atau mendirikan usaha sendiri ketika sudah gagal atau tidak bisa bersaing ketika harus bekerja di sektor formal. Tetapi hari  ini, banyak orang rela meninggalkan pekerjaan formal beralih menjadi seorang wirausaha demi bisa memerdekakan jiwa kreatifnya. 
Siapa tidak kenal  Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep?. Dua nama yang tidak  asing di telinga kita ini tidak lain adalah anak Presiden Joko Widodo. Diluar sebagai anak Presiden, kedua sosok muda ini juga dikenal sebagai wirausahawan muda yang hebat di tanah air.  Banyak bisnis yang mereka jalankan dan menginspirasi banyak orang. Misalnya bisnis kuliner Gibran Rakabuming Martabak Kota Barat (Markobar) yang kini booming di berbagai kota. Markobar ini pertama kali berdiri sejak tahun 1996 menarik perhatian karena menawarkan 8 rasa sebagai topping. Sementara Kaesang Pangarep dikenal sebagai seorang Youtuber, salah satu pekerjaan populer ini memang lagi digandrungi anak muda saat ini.
Bermodal kamera yang bagus dan kreativitas, kamu bisa menciptakan vlogmu sendiri. Kedua sosok muda di atas setidaknya menunjukkan, betapa menjadi wirausahawan bukan lagi sektor usaha pinggiran yang hanya dilakukan oleh mereka yang terpinggirkan. Banyak lagi wirausahawan-wirausahawan yang muncul justru berasal dari mereka yang sebelumnya sudah bekerja pada sektor ekonomi yang mapan.
Berkaca dari itu, maka kian bergairahnya dunia wirausaha di tanah air saat ini bisa  menjadi momentum untuk menjadikan hidup berwirausaha sebagai gaya hidup generasi milenial. Yakni sebuah gaya hidup baru yang menyandarkan pada aspek kemandirian yang bertumpu ada kreativitas dan inovasi. Inilah yang harus terus dikampanyekan dan disosialisakan ke tengah publik untuk menyemaikan kesadaran tentang betapa pentingnya membangun etos kewirausahaan sejak dini ke masyarakat. Sungguh alangkah manisnya, kalau media kita baik media mainstream maupun media sosial beramai-meramaikan menyajikan berita dan informasi yang menginspirasi dari putra putri negeri yang berhasil dalam ber-wirausaha. Publik sungguh lelah kalau media terus menerus dipenuhi oleh drama berita-berita politik yang acap hanya berisi ujaran-ujaran kebencian yang jauh dari edukasi dan inspirasi bagi anak negeri ini. Kita sungguh sangat rindu, suatu saat anak-anak muda kita akan berlomba-lomba menjadi seorang wirausaha.

Selanjutnya Bagaimana?
Menyimak paparan di atas, maka pemerintah perlu pula membuat kebijakan yang mampu mendorong generasi muda menjadi generasi mandiri. Pemuda yang bisa menciptakan lapangan kerja. Tidak lagi mengejar pekerjaan di kantor atau menjadi pegawai pemerintah. Perguruan tinggi harus berupaya untuk mengembangkan semangat dan keterampilan kewirausahaan di kalangan mahasiswa.
Kita meyakini banyak anak-anak muda yang berminat berwirausaha, namun mereka tidak berani melakukannya karena tidak ada yang membimbing, memotivasi, atau ketiadaan modal usaha. Harapan kita tentunya, mencari solusi dari semua persaolan-persoalan ini. Sehingga ke depannya, semakin banyak tampil anak-anak muda yang menjadi wiraswastawan. Tentu untuk memperbanyak jumlah wirausaha bukan hanya tugas pemerintah, juga peran stakeholder, dan masyarakat. Mari bersama-sama menciptakan anak-anak muda cerdas, kreatif, dan mampu menciptakan lapangan kerja dengan menjadi wirausaha. Kita bangga, sebagian besar anak-anak muda kita tampil menjadi pengusaha-pengusaha muda yang sukses di negerinya dan di tingkat global.
Jumlah pengusaha di Indonesia masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pengusaha di negara lain di ASEAN yang rata-rata sudah mencapai empat persen dari total populasi. Jumlah wirausaha di Indonesia baru sekitar 1,6 persen dari jumlah penduduk, belum sebanyak Singapura (tujuh persen), Malaysia (enam persen), Thailand (lima persen), dan Vietnam tiga persen. Sementara Indeks daya saing global di 10 negara ASEAN tertinggi masih Singapura dengan 5,68 persen, kemudian Malaysia 5,23 persen, kemudian Thailand 4,64 persen, baru kemudian Indonesia 4,52 persen. Itu artinya, masih banyak yang harus diperbaiki untuk meningkatkan daya saing global Indonesia.
Kebijakan ekonomi yang diluncurkan harus untuk mendorong pertumbuhan wirausaha, bukan mematikannya. Proses perizinan yang sulit dan berbelit-belit harus dihilangkan. Pokoknya, kita benar-benar memberi kebebasan bagi berkembangnya kewirusahaan. Tak hanya itu, genarasi muda mulai dari pelajar hingga mahasiswa harus sudah diajarkan tentang cara-cara berwirausaha. Pendidikan tinggi juga harus fokus mendidik anak didiknya yang dibutuhkan pasar kerja, dan mendorong anak didiknya untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Kebiasaan mengharapkan menjadi pegawai negeri sipil atau BUMN harus ditinggalkan.
Pertanyaannya kemudian, mampukah pendidikan tinggi membangun kerja sama baik antara pemerintah, swasta, dan komunitas untuk menyiapkan ekosistem yang mendukung? Indra Utoyo (2016) melalui bukunya Silicon Valley Mindset yang menceritakan pembangunan ekosistem wirausaha digital Indonesia. Silicon Valley memanfaatkan inovasi dalam bidang sains, teknologi, dan matematika serta kerja sama triple-helix yang kuat. Disebutkan pula tentang London yang berfokus pada niche gaya hidup (lifestyle) dan memanfaatkan posisinya sebagai hub di Eropa. Israel mengembangkan wirausaha digital di bidang militer dengan anggaran R&D yang besar dan kekuatan paten. Bangalore berfokus pada jasa alih daya (outsourcing) memberdayakan tenaga kerja berbahasa Inggris yang murah. Skolkovo dan Beijing sama-sama mengandalkan dana pemerintah dan fokus pada industri serta militer. Hong Kong fokus pada teknologi mobile phone dan software development
Bagaimana dengan Indonesia? Kajian Mandiri Institute dengan DEQPI Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, merekomendasi peran perguruan tinggi sebaiknya pada tahap wirausaha latent harus sudah memasukkan mata kuliah berbasis kewirausahaan sedini mungkin. Pada tahap nascent, melatih team work melalui kurikulum dan perencanaan bisnis (business plan). Pada tahap wirausaha new, memberikan kurikulum mata kuliah kewirausahaan yang menekankan skill pengelolaan keuangan maupun pengetahuan investasi. Terakhir, pada tahap established lebih menekankan desain sertifikasi coach dan mentor dan melatih para wirausahaan muda untuk mampu menjadi wirausahawan yang andal.

Menciptakan Ekosistem Kondusif
Visi ekonomi digital 2020 sesuatu yang tidak mustahil. Akan tetapi, diperlukan kerja keras dan komitmen para pemangku kepentingan yang kuat untuk membangun suatu ekosistem pendorong tumbuhnya wirausaha-wirausaha digital baru. Fakultas ilmu matematika, psikologi, dan komputer sudah harus bekerja sama dengan sekolah ekonomi dan bisnis dalam mengembangkan kurikulum berbasis teknologi informasi. Maka, perguruan tinggi menjadi garda depan yang harus mampu mengakselerasi perubahan. 
Pada era persaingan ekonomi global, industri berbasis tekonologi informasi digital telah mengubah model, strategi, dan penciptaan nilai bisnis barunya. Dari sisi pengembangan SDM, pendidikan tinggi memegang peranan penting dalam mendorong pertumbuhan dan inovasi wirausaha ekonomi digital. Namun, pendidikan tinggi saat ini juga menghadapi tantangan tak bisa dipandang sebelah mata. Untuk itu, yang penting dilakukan memperbaiki kurikulum dengan lebih mendekatkan diri pada muatan teknologi informasi dan inovasi.
Implikasinya, mahasiswa perlu diajarkan cara kerja teknologi digital dan masalah yang mampu ditangani. Hanya mengajari mahasiswa pemprograman (coding) akan membuat perguruan tinggi tak beda dengan lembaga kursus keterampilan. Namun, lebih dari itu, mahasiswa perlu diajarkan logika berpikir (computational thinking) yang komprehensif, termasuk cara melakukan pemodelan, menganalisis data, dan mengekstrak informasi. Selain itu, terkait sistem yang kompleks dan mempertajam sense of business dengan praktik langsung berwirausaha.
Tantangan besar lain, datang dari mahasiswa. Mereka yang kini duduk di perguruan tinggi dapat dipastikan lahir di era digital (digital native). Masalah muncul karena di sisi lain pengelola dan pendidik lahir di era industrial (digital immigrant). Perbedaan latar belakang ini membuat gap yang cukup besar dalam proses belajar mengajar. Contoh mahasiswa sekarang menyukai metode belajar yang interaktif dan dengan multimedia. Sebaliknya, para pengajar berdalih mata kuliah tidak bisa diajarkan dengan metode digital. Para pengajar lebih menyukai diskusi tatap muka. Sementara mahasiswa lebih memilih pola komunikasi menggunakan suat elektronik atau grup jejaring sosial.
Sementara itu, tantangan besar berikutnya peran pendidikan tinggi harus optimal dalam membangun ekosistem. Para pelaku di dalam ekosistem tersebut pemerintah, akademisi, komunitas ekonomi digital, dan lembaga keuangan swasta. Ekosistem memegang peranan penting dalam menyapih dan membesarkan wirausaha-wirausaha digital baru. Bangsa ini sedang membutuhkan wirausaha digital baru seperti Google yang besar, menguntungkan, menyerap banyak tenaga kerja, serta meluncurkan inovasi baru.
Wallahualam bhis-shawwab

***

Rabu, 14 Maret 2018

Menggerakkan Ekonomi Digital di Perdesaan



Tahun 2018 ini banyak yang menyebutnya sebagai tahun politik. Selain karena ada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang serentak diselenggarakan di  171 daerah  yang terdiri dari 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota, tahun ini juga  tahun terakhir menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 tahun depan.
Kita tentu berharap dalam tahun politik ini, tidak semua energi dihabiskan untuk ngurusi politik, karena ajang Pilkada dan Pilpres sesungguhnya hanya bunga-bunga perjalanan demokrasi sesaat. Bahwa yang justru harus diperhatikan karena lebih menentukan dalam perjalanan bangsa ini ke depan adalah bagaimana pemerintah mampu meyakinkan kepada pasar dan masyarakat bagaimana meraih target pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4% yang diwarnai sejumlah tantangan eksternal maupun internal. Bagaimana pula komitmen pemerintah dalam menjadikan Indonesia sebagai macan ekonomi Asia pada 2020 dengan laju ekonomi di atas 6%?
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana keseriusan pemerintah menempatkan Indonesia sebagai Negara Ekonomi Digital terbesar di Asia Tenggara pada 2020 dan menciptakan 1.000 technopreneurs baru pada 2020 dengan valuasi bisnis US$10 miliar?  Jawabnya, tentu tak bisa tidak, tahun 2018 ini adalah saat yang tepat untuk menyiapkan jalan agar target-target tersebut terealisasi.
Indonesia tahun ini sedang mengalami pertumbuhan ekonomi paling lambat dalam lima tahun terakhir. Tetapi pertumbuhan industri e-commerce justru semakin pesat di tengah perlambatan laju ekonomi tanah air.  Bukan tak mungkin nantinya industri e-commerce dapat menjadi salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Terlebih, kebanyakan pelaku bisnis e-commerce di tanah air berskala kecil dan menengah (UKM). Seperti yang kita ketahui, bisnis UKM menjadi usaha yang paling tahan banting di saat krisis ekonomi sekalipun.

Peluang Ekonomi Digital
Potensi industri e-commerce di Indonesia memang tidak dapat dipandang sebelah mata. Dari data analisis Ernst & Young, dapat dilihat pertumbuhan nilai penjualan bisnis online di tanah air setiap tahun meningkat 40 persen. Ada sekitar 93,4 juta pengguna internet dan 71 juta pengguna perangkat telepon pintar di Indonesia. Tak hanya sekadar untuk mencari informasi dan chatting, masyarakat di kota-kota besar kini menjadikan internet terlebih lagi e-commerce sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Perilaku konsumtif dari puluhan juta orang kelas menengah di Indonesia menjadi alasan mengapa e-commerce di Indonesia akan terus berkembang.
Berbicara mengenai industri ini memang tidak semata membicarakan jual beli barang dan jasa via internet. Tetapi ada industri lain yang terhubung di dalamnya. Seperti penyediaan jasa layanan antar atau logistik, provider telekomunikasi, produsen perangkat pintar, dan lain-lain. Hal inilah yang membuat industri e-commerce harus dikawal agar mampu mendorong laju perekonomian nasional. Bisnis ini memiliki nilai bisnis yang sangat besar, tetapi sayangnya sampai saat ini belum ada regulasi khusus yang secara komprehensif bisa mengatur bisnis online ini. Lihat saja bagaimana gugup dan gagapnya pemerintah kita menyikapinya tren layanan transportasi berbasis online semacam Gojek, Grab, Uber dan sebagainya.  Oleh karena itu, Pemerintah bersama para pemangku kepentingan dari kalangan asosiasi dan pelaku usaha e-commerce  bekerja bersama-sama dalam menyiapkan ekosistem yang baik untuk mengembangkan industri e-commerce.
Proyeksi IMF terhadap pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,7% pada 2018 mengindikasikan masih memberikan kewaspadaan terhadap datangnya risiko. Proyeksi perekonomian global tersebut memang sudah lebih positif dari yang diperkirakan karena saat ini terjadi momentum pertumbuhan yang cukup kuat dari perbaikan kinerja investasi dan perdagangan internasional. Namun, IMF juga mengingatkan adanya risiko yang bisa mengganggu terjadinya pemulihan dan untuk itu setiap negara diharapkan bisa membuat kebijakan yang bisa memperkuat fundamental, pada saat penguatan ekonomi sedang terjadi. Untuk itu, IMF menyarankan negara-negara untuk melakukan kebijakan dalam rangka memperkuat reformasi fiskal terkait dengan penerimaan dan belanja, kebijakan moneter serta structural.
Pada saat bersamaan, sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia, sedang menghadapi fenomena disrupsi (disruption) dalam era ekonomi digital, situasi di mana pergerakan ekonomi sejumlah negara tidak lagi linear. Perubahannya sangat cepat dan fundamental, yang mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru. Disrupsi menginisiasi lahirnya model bisnis baru dengan strategi lebih inovatif dan disruptif. Cakupan perubahannya luas, mulai dari dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat, hingga pendidikan. Era ini akan menuntut Indonesia, salah satunya, untuk berubah atau punah. Disrupsi hadir karena adanya inefisiensi. Ketidakefisienan ini yang kemudian dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan rintisan yang digagas anak muda. Generasi baru ini lahir untuk mendisrupsi ketidakefisienan. Sayangnya, pemerintah belum cukup tanggap menghadapi perubahan yang terjadi dan terkesan masih dalam tahap mencermati disrupsi yang mulai menyebar ke berbagai sendi-sendi perekonomian.
Sejauh ini, pemerintah memang menjanjikan akan memperbaiki birokrasi dan regulasi guna memacu efisiensi dan produktivitas, tetapi tidak spesifik mengacu pada disrupsi yang terjadi. Padahal, perbaikan juga diperlukan agar seluruh potensi inovasi dan kreativitas yang muncul sejalan dengan booming ekonomi digital bisa teraktualisasi dengan baik. Kebijakan terkait dengan ekonomi digital yang terlalu ketat dikhawatirkan malah menghambat atau menghilangkan inovasi. Sebaliknya, tanpa pengaturan yang memadai, pemerintah bakal kehilangan sejumlah potensi penerimaan. Perkembangan ekonomi digital berpotensi meningkat seiring dengan porsi struktur demografis Indonesia yang kondusif terhadap penetrasi dan adaptasi teknologi.

Ekonomi Digital Masuk Desa
Hadirnya Undang Undang (UU) Nomor 6 tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa membuka sejarah baru bagi  Pemerintahan desa. Undang-Undang ini  menempatkan desa sebagai ujung tombak pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Desa diberikan kewenangan dan sumber dana yang memadai yang kemudian disebut sebagai dana desa agar dapat mengelola potensi yang dimilikinya guna meningkatkan ekonomi dan kesejahtaraan masyarakat. Sekadar catatan, mulai tahun 2015, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk dana desa sebesar Rp 20,8 triliun. Jumlah itu naik menjadi Rp 46,9 triliun pada 2016, Rp 60 triliun pada 2017, dan tahun 2018 juga Rp60 Triliun.
Dana besar yang berputar di desa tersebut tentu juga akan semakin bermakna ketika nyambung dengan tren ekonomi digital yang sekarang sedang booming. Artinya, dana desa bisa dikelola dan diarahkan agar masyarakat desa bisa ikut menjadi pemain penting dalam tumbuh kembangnya ekonomi digital. Artinya, di era ekonomi digital hari ini, keuntungan bisnis berbasis digital (e-commerce), harus ikut dirasakan masyarakat perdesaan. Dengan cara itu, masyarakat perdesaan memiliki peluang besar memperluas pemasaran produk pertanian atau kerajinan. Dengan bisnis berbasis digital mereka dapat memasarkan berbagai hasil pertanian dan potensi ekonomi perdesaan lainnya ke kota secara langsung.
Peluang untuk menghidupkan ekonomi digital di perdesaan semakin menemukan momentumnya dengan akan selesainya proyek Palapa Ring di tahun 2018 ini. Pemerintah melalui proyek Palapa Ring  akan membangun infrastruktur jaringan tulang punggung serat optik nasional di daerah-daerah non-commercial demi pemerataan akses pita lebar (broadband) di Indonesia. Broadband adalah sebuah istilah dalam internet untuk menggambarkan koneksi internet transmisi data kecepatan tinggi. Selesainya proyek palapa ring ini akan jadi jalan bagi pemerintah untuk memberikan akses kepada daerah-daerah yang terhalang finansial.  Harapan besarnya tentu, selesainya proyek palapa ring ini akan kian memudahkan impian menjadikan desa-desa di seluruh pelosok tanah air menjadi melek digital. Keberadaan desa melek digital ini akan mendukung pemerataan gerakan ekonomi digital.
Ketika seluruh desa sudah tersambung dan terlayani koneksi internet, maka Indonesia akan semakin memiliki bekal luar biasa  untuk menjadi negara dengan industri e-commerce terkemuka di masa depan. Selain memiliki sumber daya manusia yang tak kalah bagus, pasar lokal juga menjadi potensi besar untuk mengembangkan e-commerce.
Dalam pengembangan e-commerce Indonesia harus belajar dari Cina. Di Cina, e-commerce bukan lagi sebuah fenomena yang secara eksklusif dinikmati oleh masyarakat kota. Masyarakat desa juga mulai ikut dalam tren teknologi ini. Sejak tahun 2012, Alibaba Group memanfaatkan platform e-commerce raksasa mereka, Taobao, sudah mulai masuk desa. Program ini dilakukan untuk mentransformasi aktivitas ekonomi pedesaan yang tadinya bergantung kepada peran distributor dan terbatas dalam hal pemasaran menjadi lebih mudah dan cepat melalui fitur Taobao Marketplace.
Di platform ini, petani dan pemilik Usaha Kecil Menengah (UKM) bisa langsung mendirikan toko online dan menjual produk mereka baik itu hasil pertanian, kerajinan tangan, aksesoris ke masyarakat kota. Untuk ambisi ini, Alibaba tak main-main. Alibaba telah berkomitmen untuk berinvestasi sebesar 10 miliar yuan untuk mengembangkan  e-commerce di 1000 kota kecil dan 100.000 pedesaan, Kompas (12/2).
Belajar dari Cina,  ada dua strategi yang dilakukan untuk memperluas adaptasi teknologi perdagangan digital dalam aktivitas ekonomi masyarakat desa. Strategi pertama adalah Rural Taobao. Strategi ini fokus dalam mendirikan pusat layanan (termasuk infrastruktur internet) dan mengidentifikasi pengusaha muda kota yang dapat kembali ke desa untuk memulai bisnis e-commerce.  Selain itu, mereka juga dipekerjakan sebagai tenaga ahli yang mengajarkan masyarakat lokal untuk melakukan jual-beli melalui e-commerce.
Strategi kedua adalah Taobao Village. Berbeda dengan Rural Taobao yang dimulai oleh Alibaba, Alibaba Village merupakan inisiatif mandiri masyarakat desa untuk menggunakan platform e-commerce Taobao dalam menjual atau membeli berbagai produk.
Singkatnya, dengan memacu pertumbuhan bisnis online, masyarakat Indonesia akan mendapatkan manfaat positif dalam perekonomian seperti pertumbuhan kesejahteraan, pertumbuhan lapangan kerja baru dan lain-lain. Dengan demikian Indonesia tidak lagi sekadar menjadi target pasar bisnis internasional, tetapi sebaliknya dapat menjadi pengusaha e-commerce yang mumpuni hingga menjangkau pasar luar negeri.

Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas

Pengantar : Esai berjudul “ Menyuburkan Akar Budaya Pancasila yang Meranggas ” karya Wahyu Kuncoro SN ini merupakan naskah yang berhas...